Lemper

46 6 12
                                    


Dia-- yang saat ini kupandangi saat ini bukanlah anak yang haus akan perhatian dari banyak orang maupun perempuan. Dia memang bukan pemain basket. Dia juga bukan pemain futsal. Dia hanyalah lelaki kurus nan jangkung yang mempunyai ketertarikan dengan beladiri karate. Dia sangat tampan maupun rupawan, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku terpaku. Mengaguminya. Dalam diam.

.
.
.

Kupandangi-lagi-dia yang sedang mengajarkan kami tentang transformasi geometri-translasi, refleksi garis, dilatasi, dan rotasi-- yang terkadang aku tak mengerti akan kegunaanya. Tolong jangan benci aku karena aku tidak menyukai matematika.

"Ngerti gak nih?"

Ia menatap satu per satu anggota kelompoknya yang terdiri atas lima orang termasuk aku.

Aku hanya menganggukkan kepala agar tidak mencurigakan karena tidak mengerti sedangkan temanku yang lain bergumam serupa, "ngerti kok."

Lalu ia melanjutkan penjabarannya yang lain. Guru matematika kelas sebelas kami memang menerapkan tutor sebaya dan mengharapkan pelajarannya lebih mudah dipahami jika diajarkan oleh teman sendiri dan ini juga yang mengantarkanku padanya. Aku sangat setuju namun jika ada soal yang cukup sulit tetap saja guru mesti turun tangan juga.

Ini tahun kedua aku menempati kelas yang sama dengan Hyungwon--orang yang menjabarkan penjelasannya tadi-sekaligus orang yang kukagumi. Hari ini rambutnya tertata rapi seperti biasanya dan semakin mempertegas bentuk wajahnya yang tirus dengan bola mata cokelat gelap dan besar--alis yang melengkung dan tebal. Kulit kecokelatan seperti orang Indonesia kebanyakan dan jangan lupakan senyumnya yang hangat. Ya ampun, aku melebur bukan meleleh lagi!

 Ya ampun, aku melebur bukan meleleh lagi!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Di kelompok ini pun aku lebih mengenalnya dan kami belajar kelompok selama dua kali seminggu bergilir mengunjungi rumah satu per satu anggota yang terdiri atas tiga lelaki dan dua perempuan. Saat itu giliran rumah Hyungwon menjadi tempat kunjungan, rumah tingkat dua bercat ungu muda dengan tampilan minimalis itu sangat nyaman. Sudah menjadi kebiasaan kami sebelum memulai pembelajaran akan bermain terlebih dahulu agar santai. Dia bersama Jooheon dan Minhyuk bermain Play Station sedangkan aku dan Jennie hanya menonton mereka hingga Minhyuk bertanya pada Hyungwon,

"Gimana inceran lo?"

Jantungku berdetak keras dan aku merasa sesak seraya menunggu jawabannya.

"Doain aja, bro."

Sudah, hanya itu jawabannya dengan senyum hangatnya tapi membuatku meringis. Giliran Jooheon yang menimpali,

"Asik dah, PJ sabi kali."

Kegiatan belajar kelompok kami pun dilanjutkan dengan aku yang tertunduk lesu.

.
.
.

"Hai."

Sapaan itu membuatku berhenti sejenak dari kegiatan mencoret buku tulis sejarah di bagian belakang saat menunggu bel jam pertama dan mendongak mendapati Hyungwon tengah memandangku disertai senyum kecil yang begitu manis.
Ah bangke! Gimana gue mau move on coba?!! Gerutuku dalam hati namun tetap mencoba memberi senyum padanya.

LemperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang