"Jo Saelin.. Jo Saelin..? Apakah anak itu hadir?" oh tidak, Pak guru Kim sudah datang! Ini semua karena sepeda sialan itu!
"Ma-maafkan aku, Ssem" kini semua mata dikelas memandangku. Yup, ku yakin rambutku berantakan.
"Untung nilaimu bagus. Masuklah!" ah, Ssem hari ini berbaik hati. "Ini, nilai test kimia mu minggu lalu. Kau yang terbaik lagi kali ini" semua orang bertepuk tangan.
"Terima kasih.." sesaat sesudah aku duduk, Ssem menggelengkan kepala sambil mendecak.
"Jung Woojin" laki-laki dibelakangku ini pun maju dan menerima hasil ujiannya. "Kang Ahjoon.. Kang Daeyun.." sementara Ssem membagikan nilai, lebih baik kubetulkan rambutku. Lalu pelembab bibir, karena bibirku hari ini kasar sekali, seperti batang pohon. "Park Jimin, kau yang terendah lagi. Mau mu apa sebenarnya?" seketika kelas menjadi hening. "Kau mau saya keluarkan?!" bentak Ssem pada anak didepannya itu. Jimin. Anak terpopuler disekolah. Sepertinya dia sudah biasa dibentak, namun yang kali ini membuatnya shock, terlihat dari raut mukanya yang sekarang menjadi pucat. "Saelin'ssi" tiba-tiba Ssem memanggilku.
"Iya, Ssem?" Jangan bilang aku harus menerangkan semua jawaban di depan.
"Kau kutugaskan untuk mengajari Jimin sampai ujian perbaikan minggu depan. Bisa?" Untunglah.
"Baik, Ssem" asalkan tidak mengajari seisi kelas, aku sanggup. Bangku sebelahku kosong, Minah tidak masuk. Mungkin dia bisa duduk disini sementara.
*
Saat istirahat, banyak sekali yang bertanya tentang ujian itu. Aku lelah. Kuserahkan kertas jawabanku pada mereka, biarkan mereka menyalinnya sendiri. Dengan nilai seperti itu, Jimin seharusnya melakukan seperti ini juga, apalagi dia disuruh belajar bersamaku.
"Nu-nuna.." dia mengagetkanku yang sedang minum--hampir saja aku memuntahkannya. "Nuna benar-benar tidak keberatan mengajariku?" Tanyanya dengan nada pelan. Hampir sama seperti suara kepakan sayap burung hantu.
"Tentu. Kenapa kau meragukanku? Aku benar-benar bersedia, 'kok" senyum tipis mengembang diwajahnya. Aku baru sadar kalau anak ini imut sekali. Ah. Perutku meronta. Sepertinya cacing-cacing diperutku sudah lapar. Aku malu, pasti Jimin mendengarnya.
"Makanlah bersamaku, Nuna" katanya sambil menggandeng tanganku.
"Yang benar saja?" Ini sungguh memalukan. Tapi anak ini mengajakku dengan senang. Baiklah.
"Benar, aku benar-benar bersedia" sekarang dia memakai kalimatku barusan. Anak ini memang imut. Sayangnya dia pemalas.