2. Formula

1 0 1
                                    

"Senja, coba selesaikan persoalan di papan tulis."
Alamak, makanan apa pula ini? Serasa dipaksa menelan semangkuk gado- gado + bakso + kwetiau goreng + rujak + pancake + ice cream yang sudah dicampur aduk menjadi satu. Bayangkan bagaimana rasanya?

Dan dosen cantik ini bertitah bagaikan raja agar aku menghabiskan semangkuk itu. Dengan pasrah aku melangkah ke depan kelas, tidak tahu apa yang harus kulakukan, berharap ini kelas di SMA yang beberapa kemalangan siswanya akan terselamatkan oleh bel tanda istirahat atau akhir mata pelajaran.

Dalam hati aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencemooh metode konvensional sang dosen. Bagaimana tidak, di zaman dimana proyektor dan notebook begitu mesra menjadi pasangan dalam setiap pemaparan materi di kelas dan internet membuat kelas itu hampir tiada, disini kami masih harus ditunjuk-tunjuk semacam bocah SD yang harus belajar menjawa soal dua dikali dua yang sudah dituliskan guru di depan kelas.

Sementara kakiku melangkah perlahan sambil pura-pura sibuk membolak-balik buku catatan yang sesungguhnya berisi corat-coret ala Senja, otakku berfikir di sudut mana mahasiswa-mahasiswa dewa yang mampu menyelamatkanku. Minimal membisikan separuh saja jawaban.

Ahaa....

~~~

*Duggg.. (bayangkan saja bunyi sepatu yang beradu dengan besi kalau sempat hehe)
"Bwahahahahaa..."
Siallll...

Ternyata saking asiknya dengan kekesalan pada formula-formula matematika itu, aku sampai tidak memperhatikan bahwa ada besi pembatas di depanku sehingga kakiku tersandung. Untung saja tidak sampai jatuh. Bisa jadi bahan tertawaan anak-anak yang lagi nongkrong di sepanjang jalanan kampus.
Sayangnya tetap saja duo kampret itu puas tertawa sambil tetap berjalan seolah-olah tidak mengenalku.

"Jiah, seneng banget ya teman sendiri lagi sial? Puasin deh ketawanya." Ujarku sewot, tetapi tetap saja hanya di jawab duo kampret, Sisi plus Eta dengan tertawa.

"Hahaha.. Lagian besi segede itu emang nggak kelihatan Ja? Dasar Jaja! Sisi aja yang pake kacamata bisa lihat jelas, ya kan Si?"

"Iya, biarin aja Ta, matanya lagi ketutup sama bayang-bayang si Ris-Ris itu hahaa."

"Anjay, panggilan sayang baru tuh? Ris-Ris, lucu juga ya Si."

Errrr... bukannya dapat simpati, aku justru semakin diolok-olok oleh mereka.  Dan jangan kira bahwa merekalah yang menyelamatkan aku dari titah sang dosen tadi, mereka terlalu sibuk menyembunyikan diri demi tidak menjadi korban berikutnya. Membuatku antara kesal dan geli melihat tingkah mereka.
"Ngomongin apaan sih kalian ini? Ris-Ris, Risih tau dengernya. Pulang yuk ah, pusing abis dibombardir sama rumus absurd tadi."

Sejujurnya kekesalan yang selalu aku rasakan setiap berhadapan dengan segala macam teori dan logika matematika. Sialnya lagi, seperti penerjun payung yang sudah melompat dari pesawat, mau tak mau harus berusaha mendarat dengan selamat. Ya begitulah aku, Senja, seorang mahasiswa Matematika yang kiprahnya di kampus bisa diibaratkan hidup segan mati tak mau.

Beruntungnya aku mengenal mereka di semester kedua. Mereka duo kampret yang walaupun menyebalkan, tapi selalu bisa menjadi partners in crime demi masa masa muda yang lebih bercerita.

Kamu dalam MaknakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang