2

73 3 0
                                    


Kamar bercat putih susu ini menjadi tempatku berbagi segala yang kurasa. Aku hanya bercerita pada benda-benda mati di kamarku yangtertata rapi. Menyuarakan seluruh isi hatiku, apapun itu. Sekarang, di malam yang dingin karena hujan baru saja menyelesaikan tugasnya membasahi bumi, aku ingin bercerita. Cerita tentang mereka, dua orang yang kusayang. Uni dan Gabriel.

Sejak kejadian sore itu, Uni dan Gabriel jarang bertemu. Bukannya aku tak senang mereka jarang bertemu, malah seharusnya aku bersyukur. Tapi perubahan itu malah semakin membuat dugaanku benar. Bahwa Unidan Gabriel sama-sama memiliki rasa. Nggak mungkin mereka hanya bersahabat jika Uni hanya mengatakan gombalan dan mereka langsung seperti tak kenal. Ini seperti menujukkan kalau Uni malu jika bertemu dengan Gabriel dan seketika mengingat kejadian gombalan itu. Seharusnya, mereka tak bersikap seperti itu jika mereka memang murni hanya bersahabat. Lalu, kenapa malah begini?

Uni selalu menghindar setiap kali kuajak ke kantinj ika tahu di sana ada Gabriel yang menunggu. Begitupun Gabriel, yang tidak jadi menemaniku ke toko buku hanya karena ada Uni. Mereka kenapa, sih? Apa cinta benar-benar sudah tumbuh di antara mereka?

Aku mengingat kejadian beberapa hari sebelum kejadian gombal itu. Saat Gabriel begitu panik mengetahui Uni pingsan akibat kelamaan dihukum hormat depan tiang bendera selama satu jam gara-gara terlambat. Begitu perhatiannya Gabriel sampai dia menunggu Uni hingga sadar.

Miris. Begitu kontras dengan perhatian yang diberikan Gabriel saat aku sedang sakit. Selama tiga hari tak masuk sekolah,Gabriel hanya datang sekali untuk menjengukku.

Ketukan halus dari pintu membuyarkan lamunanku. Akuy ang tengah duduk di balkon langsung berdiri untuk membukakan pintu. Mungkin itu Ozi, adikku yang baru kelas tigaSMP.

"Eh, kamu. Kenapa, Zi?" tanyaku, membuka pintu lebihlebar agar Ozi bisa masuk.

Aku tersenyum melihatnya. Kebiasaannya jika masuk kekamarku adalah melompat ke kasur, lalu dengan posisi telungkup dia menatap kudengan matanya yang membulat penuh.

Ozi adalah harta yang paling berharga yang saat ini kupunya. Kematian papa dan mama dua tahun lalu akibat kecelakaan pesawat menjadikan kami berdua anak yatim piatu. Hidup berdua bersama dua orang pelayan di dalam rumah milik adik papa, sama sekali tak membuat kami bahagia. Tapi kami cukup bersyukur, tante Mira mau merawat kami meski beliau dan suaminya hanya pulang satu bulan sekali karena bisnis yang mereka jalani.

Cinta yang kuyakini milikku hanya satu. Yaitu Ozi.

"Kenapa, Zi? Mau ngerjain PR lagi?" tanyaku, kembali duduk di balkon. Menatap ke arah langit yang mulai mengerlipkan bintang-bintang.

"Enggak, Ozi lagi nggak ada PR kok."

"Terus?" tanyaku heran. Nggak biasanya Ozi datang ke kamarku dengan tidak membawa PRnya.

"Ozi mau tau kenapa kakak akhir-akhir ini sering melamun. Terus mukanya keliatan sedih." ucapnya. Membuatku tersentak kaget. Aku sadar, akhir-akhir ini aku memang terlihat murung. Karena memikirkan Uni danGabriel, aku sampai lupa pada Ozi yang ternyata memperhatikanku.

"Ah enggak, perasaanmu aja. Kakak biasa aja kok,nggak kenapa-kenapa." kilahku, mengalihkan pandanganku dari mata Ozi yang menyelidik.

 "Kakak kenapa, sih?" tanya Ozi.

"Nggak kenapa-napa kok." kilahku.

Rencana TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang