#1

5 0 0
                                    

"Gini ya, Egio, aku tuh gak pernah mau pergi sekolah bareng kamu."

••••••••

Cahaya matahari yang mulai naik, masuk ke celah tirai tebal maroon yang menutupi kaca besar di tembok samping ruangan yang tak kalah besar dari jendela. Seorang gadis yang menjadi ratu disekolahnya, sudah tak lagi bersemayam di tempat tidur. Perfectionist. Kalau tidak, ibunya akan memarahinya.

Tok! Tok! Tok!

"Nona muda," seorang wanita dewasa masuk, dengan meja dorong yang menghidangkan sarapan pagi untuk Arin.

"Ibu udah berangkat?" sedikit pun, tak ada kesan ramah, pada salah satu pelayan rumah yang kini menyimpan sarapannya di atas meja kecil yang sepasang dengan sofa empuk kebanggaannya yang diisi oleh tubuh mungilnya.

"Sudah, non. Silahkan." Sembari membungkukan badannya, pelayan itupun pamit dan meninggalkan Arin yang sudah siap dengan seragamnya.

Berdecak kesal, Arin segera menghabiskan makanannya. Well, cukup enak, ya ini sangat enak. Nasi goreng kesukaannya.

Setelah merasa cukup kenyang dengan sarapan paginya, gadis berumur 18tahun itu segera berangkat.

Pintu utama yang besar, dibubukan si pelayan, guna tidak merepotkan nonanya. Yah, memang sangat menarik menjadi Clarin Aulia Winata. Satu-satunya anak di rumah ini, dan sangat dilayani dengan benar.

"Hai?" merasa ada yang menyapa, maniknya menyisir halaman rumahnya yang seluas lapangan sepak bola. Ah tidak-tidak itu berlebihan, hanya seperti lapangan futsal?

Seorang pria berperawakan tinggi dan tidak terlalu berisi sudah ada di depan, menggantikan mobil biasa yang akan mengantarnya ke sekolah. Ya, sebenrnya jarang ia biasa diantar oleh mobil, karena si pemuda jangkung itu selalu stand by di depan mansionnya.

"Yu bareng?" tetangganya, saingannya, teman sekelasnya, yang amat menyebalkan ini mengeluarkan cengiran, sembari tangannya mengulurkan helm merah yang siap Arin pakai. Gadis itupun mendengus keras-keras, dan memandang kesal ke arah Egioㅡpemuda di hadapannya, dengan motor besar berwarna merah. Ya, sebenarnya pemuda itu biasa dipanggil Egi, tapi entah kenapa, karena menurut Arin ia tak mau terlihat akrab, maka Arin memanggilnya lengkap.

"Gini ya, Egio, aku tuh gak pernah mau pergi sekolah bareng kamu," tangannya lekas mengambil helm itu, "cepetan." Egi terkekeh, lalu menaiki motornya dan memakai helm.

Dengan tetap terlihat angkuh dan menyebalkan, Arin yang sudah memakai helm ikut menaiki motor. Dan mereka pun melaju meninggalkan perumahan elit itu menuju sekolah.

Egio, berbeda jauh dengan Arin. Pemuda itu memiliki banyak teman, sementara dirinya tidak. Pemuda itu sering tersenyum lebar, berbicara yang tidak perlu, namun Arin tidak seperti itu. Ah banyak perbedaan dianatara mereka. Tapi, entah kenapa Egi selalu saja mendekatinya. Tidak sih, sebenarnya itu mengganggu, menurut perspektif Arin.

Ckiiiitttt!!!

Refleks, tangan yang ia lipat di depan dada, berpegangan pada kedua pinggang Egi. Menahan agar tubuhnya tidak merosot ke depan.

Lalu setelah motor berhenti Arin menanggahkan kepalanya dan melihat sesuatu di sana, tanpa melepaskan pegangannya. Mata serta mulunya membulat, tanda Arin tengah kaget.

'Juan?'

Tbc

Haaaii, kalau udah baca jangan lupa vomment yaaa^^ kasih tau aku menurut kalian cerita ini gimana, makasih!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Queen.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang