Si Pria Tampan.

521 28 1
                                    

                  

Kutengok lautan awan disampingku, bergulung-gulung putih seperti kapas. Bunyi nyaring mesin pesawat seolah sudah melekat ditelingaku hingga tiba-tiba terdengar suara bel lalu diikuti suara pilot yang memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat akan tiba di Paris untuk transit sementara sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuanku, Turki.

Tak lupa pilot memberitahukan untuk memasang kembali sabuk pengaman. Kutarik sabuk di sisi dan kananku lalu kupasangkan mereka hingga terdengar bunyi klik. Aku kembali menatap lautan awan disampingku yang perlahan-lahan berubah menjadi hamparan daratan hijau hingga akhirnya pesawatku menyentuh tanah.

Para pramugari berhamburan ke penjuru lorong pesawat, memberitahu kami untuk segera meninggalkan pesawat. Mereka bilang perjalanan akan dilanjutkan pukul 5 pagi esok, kutengok arloji kulitku, masih menunjukkan pukul 5 sore. Itu artinya aku harus menyewa kamar hotel, tapi aku sedang malas beristirahat. Mumpung di Paris, aku ingin menjelajah kota ini dalam 12 jam yang kupunya.

***

Kugigit perlahan roti dihadapanku sambil memandangi orang-orang yang berjalan tanpa memperdulikan sekitar sedikitpun. Berbeda sekali dengan di Indonesia, disini orang-orang cenderung cuek dan cenderung berjalan lebih cepat. Terlihat sekali mereka sangat menghargai waktu, tidak seperti Indonesia yang telah meresmikan budaya ngaret sebagai budaya yang mereka pegang teguh.

Saat kupalingkan wajahku dari jendela, kulihat sekilas seseorang yang duduk di sebrang ruangan sedang memperhatikan aku namun dia langsung pura-pura membaca majalahnya. Bodohnya dia, majalah yang dia pegang terbalik dan dia buru-buru membalik majalahnya tersebut, namun saking cerobohnya dia malah menyenggol kopi dihadapannya hingga tumpah ke jaket yang dipakainya.

Aku memalingkan wajahku darinya dan kembali menyantap rotiku sambil memerhatikan orang-orang lagi. Tapi tak lama kemudian, pria ceroboh yang menumpahkan kopinya menghampiriku.

"Boleh aku duduk disini? Kau orang Indonesia kan?" Ucapnya. Aku tidak menyangka dia bisa berbahasa Indonesia dengan logat sebagus ini, karena dari wajahnya dan postur tubuhnya aku yakin seribu persen bahwa dia bukan orang Indonesia, kulitnya putih pucat dengan rambut hitam kecoklatan dan mata hijau menyala.

"Tentu saja, ini tempat umum. Kau boleh duduk dimanapun kau mau." Aku melihat wajahnya sedikit gugup sekaligus memberanikan diri untuk mendekatiku.

"Ada yang bisa kubantu?" Lanjutku.

"Sebenarnya aku ingin melatih kemampuanku berbahasa Indonesia denganmu, apa kau keberatan?" Dia tersenyum manis, kumisnya tumbuh tipis-tipis diantara bibirnya dan hidungnya yang mancung. Alisnya tebal dan lurus, membuatnya tampak ramah.

"Tentu tidak, kebetulan aku juga tidak ada teman untuk ngobrol." Sahutku.

"Bagus, bolehkah aku menanyakan sesuatu? Ada satu hal yang benar-benar menganggu pikiranku." Dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari saku jaketnya. Dia membolak-balik halaman hingga menemukan sebuah halaman dengan satu kata yang diakhiri dengan tanda tanya.

"Apa arti dari kata ini?" Dia menyodorkan bukunya tadi ke wajahku. Saat aku membacanya, spontan aku terbahak-bahak. Aku tertawa cukup keras, cukup untuk membuat orang-orang disekitarku menoleh kearahku dengan tatapan sinis.

"Kenapa kau tertawa? Apa itu sebuah kata yang lucu?" Dia bertanya denganku dengan tersenyum bodoh.

KEBELET?

Ya, kata itu yang tertulis di halaman buku itu. Aku sempat kebingungan untuk menjawabnya.

"Jadi begini, kebelet itu sebuah kata yang menunjukkan bahwa kau sudah tidak tahan untuk melakukan suatu hal. Contohnya, kau sedang kebelet buang air kecil, artinya kau sudah tidak tahan untuk segera buang air kecil. Seperti itu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

"Selamat jalan, Reza. Aku menyayangimu."Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang