Aku tiba di sekolah lebih awal bahkan hanya ada aku dan penjaga sekolah disini. Untuk mengulur waktu, aku mencoba berkeliling ke kelas lain. Ada persamaan dari tiap kelas yang aku lewati, kipas angin selalu dalam keadaan dinyalakan. Apa sekolah ini tidak tahu gerakan hemat listrik?
Aku mendekat pada kipas angin yang ada di bagian belakang berniat untuk mematikannya. Sebelum aku berhasil menarik tali ke arah nol, ada yang menepuk pundakku, "Jangan dimatikan, Nak!"
Penjaga sekolah yang tadi aku sebutkan tiba-tiba sudah ada di belakangku. Keningku mengernyit, "Kenapa, Pak?"
Tak ada jawaban. Bapak itu hanya menatap lurus ke arah kipas angin sejenak lalu beranjak pergi, "Sebaiknya kamu langsung ke kelas, Nak," ujarnya dari ujung pintu sebelum ia benar-benar berlalu.
Aku tidak jadi mematikan kipas angin itu dan menuruti perkataannya untuk kembali ke kelas.
BLAM!
"Ah, aku lupa menutup kembali kelas itu," ujarku sambil menepuk kening. Aku kembali melangkahkan kaki sembari berpikir, siapa yang menutup pintu tadi.
***
Pelajaran matematika sedang berlangsung di kelasku. Sekarang Bu Siska sedang menuliskan rumus-rumus yang terdiri dari x, y, dan z, ah ya, aljabar namanya. Ketika semua huruf seharusnya hanya ditulis, kini juga harus diperhitungkan.
Bu Siska yang sedang menulis tadi tiba-tiba tangannya bergetar, tak lama kemudian ia mengambil penggaris kayu yang biasa ada di kelas lalu menggebraknya ke meja guru.
"Sudah saya katakan tadi, jangan ada yang berisik di pelajaran saya!"
Semua siswa saling bertatapan dengan teman sebangkunya dan menatap heran ke arah Bu Siska. Kemudian Beno, si ketua kelas memberanikan diri untuk mengeluarkan suaranya, ia mengacungkan tangannya, "Ma...maaf, Bu. Tapi sedari tadi kami yang ada disini tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun."
Bola mata Bu Siska bergerak gelisah kemudian kembali menulis soal-soal dengan cepat.
"Kerjakan soal yang ada di papan tulis. Jangan ada yang menyalin jawaban punya temanmu. Ibu akan mengawasi kalian," katanya setelah selesai lalu duduk di kursi guru.
Bu Siska benar-benar mengawasi siswa-siswi yang ada disini selama latihan berlangsung, terutama deretan tempat duduk paling belakang. Itu tempat yang aku, Tiwi, dan Kinan duduki. Wajar jika kami diawasi karena tercatat bodoh atau sering menyontek. Tetapi ini tidak wajar karena kami termasuk deretan tiga besar dan juga kami duduk sendiri, tanpa ada teman sebangku di masing-masing tempat.
"Desi, Tiwi, Kinan, kenapa kalian duduk secara terpisah?" tanya Bu Siska.
"Maaf, Bu. Ini sudah diatur oleh wali kelas kami kemarin," kataku mewakili dua temanku yang lain.
"Ayo duduk berdua. Ibu tidak suka ada bangku yang kosong."
"Tapi, Bu..." Tiwi berusaha menyela.
"Tidak ada tapi-tapian. Sekarang, Desi dan Tiwi duduk sebangku. Kinan bisa menempati kursi Dewi yang sedang izin. Nanti ibu yang bilang ke wali kelas kalian."
Kami akhirnya menuruti keinginan Bu Siska dan ia terlihat menghembuskan napas lega. Aneh memang, ini bukan pertama kalinya ia melihat kami duduk secara terpisah kan?
"Ibu izin ke ruang guru sebentar. Beno, kamu tanggung jawab atas kelas ini ya?"
"Siap, Bu."
Sepeninggal Bu Siska ke ruang guru, siswa-siswi mulai berpencar ke tempat yang mereka inginkan. Beno mengizinkan itu karena ia juga melakukan hal yang sama. Bekerjasama mencari jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleepy Time [Oneshoot]
Short Story" Kakak ngantuk banget kan? Ayo tidur bareng aku disini." "Des, kamu ngerasa nggak kalau kita saat ini sedang menginjak sesuatu?" Perhatikan sekeliling saat di dalam kelas, siapa tahu kelebihan orang. Jangan kalah dengan kantuk atau kamu akan diajak...