Jangan bilang aku gila. Jangan bilang aku aneh, apalagi kalian sebut aku tidak normal. Sedih sekali rasanya. Padahal akupun manusia biasa, seperti kalian, tapi kenapa kalian memperlakukanku berbeda? Apa yang salah dariku? Apa karena kebiasaanku yang sering mengajak mereka bermain dengan kalian? Sungguh aku tak pernah mengajak mereka, tapi merekalah yang memaksa untuk ikut, tahu alasanya kenapa? Mereka takut kalian membuatku menangis lagi, seperti hari itu. Aku hampir saja trauma, dan merekalah yang menyembuhkannya. Mereka baik, tak seburuk yang kalian kira.
Kalian harus mendengarkan dulu ceritaku dengan mereka, agar kemudian kalian tak menanggapku tak waras lagi.***
"Dam, aku dibilang gila lagi gara-gara tadi kamu ngajakin aku ketawa,""Abisnya temenmu itu lucu, aku ledekin aja deh,"
"Kamu kalo ngajak aku bercanda bilang-bilang dulu, Dam, biar aku bisa ambil ancang-ancang, hahaha.."
"Emang mau lari? Hahaha.."
Malam ini kuhabiskan bersama Damar, bahagia sekali mendengar leluconnya. Dia selalu bisa membuatku bahagia dan tertawa lepas. Damar oh Damar, tampan betul parasmu malam ini, yaa lukamu disamping bibir dan dikepalamu pun tak mengurangi indah parasmu, Dam. Mau peluk, tapi nggak bisa, ya, udah, aku perhatikan dalam-dalam saja ya wajahmu?
Dam, rasanya aku hampir jatuh.
Sama kamu.***
"San, kamu kemana aja sih, daritadi aku cariin."
"Aku abis jalan-jalan,hahaha,kamu kangen sama aku, Ry?"
"Pergi nggak bilang, kebiasaan,"
"Heh, kamu kangen sama aku?" Mata sayunya menatapku.
"GE-ER!!!!!" Jawabku sambil meledeknya.
Tak lama, Damar datang mendekat, menerkamku dari belakang, haha. Damar Damar selalu saja ada tingkahmu yang membuatmu terpana.
"Gak akan bisa juga meluk aku, Dam, haha.."
"Iya nggak bisa, tapi aku bisa merasakannya kok, Ry.."
Dam, matamu begitu membuatku makin jatuh.
"San, kamu kemana aja sih? Betah banget pergi lama-lama," Tanya Damar pada Sandy.
"Kan kamu yang nyuruh aku pergi dulu biar kamu bisa lebih lama bareng Ryndi kan?"
"Hah? Maksudnya apaan, San?" Tanyaku kaget.
Damar melotot menatap ke Sandy.
"Eh enggak, Ry, ngga kenapa-kenapa,"
Damar kelihatan kikuk. Haha, pertama kali aku lihat Damar gugup. Entahlah ada apa ini, yang jelas kebersamaan ini adalah hal yang sangat-sangat menyenangkan. Terima kasih teman-temanku.
Damar dan Sandy pergi meninggalkanku, ke depan kamarku, kulihat ada percakapan yang rahasia, sampai-sampai harus menjauh dariku. Damar Sandy kalian begitu menggemaskan.
***
Dini hari."Dam, aku kok ngerasa seneng ya setiap kamu nemenin aku?"
"Sama..." Jawabnya lirih.
Aku diam. Damar juga diam. Kita berdua saling diam dalam dinginnya angin dini hari. Damar duduk disampingku, persis disebelah kiriku. Kakinya menggantung sambil digoyang-goyangkan. Matanya lurus menatap ke langit-langit dini hari. Sesekali kupalingkan mukaku kearahnya, ia nampak begitu tampan seperti biasanya. Dam, ingin rasanya memelukmu dini hari ini.
"Dam.."
"Ry.."
"Eh kamu duluan, Ry, hehe.."
"Kamu aja, Dam.."
Damar menghembuskan nafasnya, "Aku seneng bisa kenal kamu sampai selama ini, Ry.. Seneng banget, rasanya aku seperti menemukan sesuatu yang dari dulu aku cari."
"Dam.."
"Aku belum selesai, biar aku lanjutkan dulu ya?"
"Iya.."
"Aku tahu Ry posisiku disini siapa dan kamu siapa. Tapi apakah adil jika aku menyalahkan rasa? Tak adil rasanya, Ry. Aku terlalu nyaman bersamamu. Bahkan aku ingin lebih lama dari ini, Ry. Entah bagaimana dengan kamu. Aku hanya tahu bagaimana memposisikan rasa ini. Sisanya terserah padamu, Ry.."
Aku terisak. Sungguh tak pernah kurasa seperti ini. Rasa ini hadir dan semakin besar. Kamu adalah sebab dan rasa ini adalah akibat. Tapi mau sepandai apapun kita rajut rasa ini bersama, rasanya tak akan berarti apa-apa, Dam. Bukan, bukan karena aku tak menghargai rasamu, rasa yang juga kurasakan, aku hanya ingin kamu tahu bahwa ada beberapa hal yang tak bisa dipaksakan. Aku tak menjawab apa-apa, karena aku yakin kamupun sudah mengetahui jawabanku. Dam, aku menangis. Lihat aja nih mataku basah.
"Ry, jangan nangis, aku nggak bisa hapus air matanya.."
Kuseka sendiri air mataku, dan kutatap dalam-dalam matanya, "Dam, terima kasih kamu sudah mau menemaniku sejauh ini. Jangan kemana-mana, aku butuh kamu,"
Damar tersenyum. Ia memang paling bisa membuat mood ku membaik. Senyumanmu itu lho, Dam.
Dini hari ku terasa lebih hangat dari sebelumnya. Senyumanmu adalah alasannya.
***
"Ry, kamu masih temenan sama mereka?"
"Masihlah, Ta. Kenapa? Nih mereka ikut,"
Tania menatapku tajam, "Serius?"
Aku menangguk santai.
"Ry, mereka beneran?"
"Beneran apa?"
"Ya, beneran ada, ngga kayak yang orang-orang bilang selama ini, kan?"
"Kalaupun aku jelaskan juga rasanya kamu ngga akan percaya sepenuhnya, kan, Ta.."
"Tapi aku percaya kok sama kamu dan mereka, cuma aku penasaran aja,hehe.."
"Sebentar," Aku mengambil daun yang jatuh di bawah kursi taman.
"Nih kamu perhatikan ya daun ini,"
"Dam, tiup deh daunnya," Kataku pada Damar yang berdiri di belakangku.
Tania menatapku serius sambil kemudian menatap daun yang kutaruh diatas kursi. Damar meniup daunnya, dan daun itu bergerak. Tania takjub.
"Ry, itu daunnya gerak!!!"
"Iya, Damar yang tiup,hehe.."
"Dia baik, Ry?"
Aku menangguk. Mereka baik, baik sekali. Mereka mengerti, sangat mengerti. Mereka memahami, lebih memahamiku.
***
Tak ada yang lebih baik selain mereka, temanku. Tak hanya Damar dan Sandy lho. Ada lagi yang lainnya dan mungkin mereka akan kuceritakan juga di ceritaku selanjutnya.
Untuk sekarang, aku ceritakan Damar dulu ya. Biarkan kubuat dulu kisah-kisah unikku bersama teman-temanku yang lain.
Yang kalian sebut hantu adalah teman terbaikku.
Kisah ini kutulis bersama mereka lho, katanya semoga kalian senang dengan kisah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
teman.
Gizem / GerilimKarena terkadang mereka lebih mengerti dibanding kalian. Mereka adalah pendengar yang baik. Dan perkenalkan ini adalah teman-temanku.