"Ya jangan begitu dong, say. Lo harus ngertiin juga. Gue udah nge-begging ke photographer dan beauty department supaya ngeluangin waktu buat lo. Gue tau lo sibuk, tapi bantu gue juga dong..." handphone dijepitnya diantara bahu kanan dan daun telinga kanannya, sementara menunggu lawan bicaranya diseberang sana berbicara, kedua tangannya sibuk untuk menyalakan api dari pematik dan menahan supaya angin tidak menggagalkan rencananya untuk membakar sebatang rokok yang sudah dijepit diantara bibir merekah merah pemiliknya. Setelah niatnya berhasil, dihirupnya sekali panjang morfin otaknya itu sebelum memindahkan rokok itu untuk dijepit diantara kedua ruas jarinya.
"Iya, gue paham, say. Pemotretan lo padat dan lo ada show di luar negeri juga, tapi gue kan udah buat jadwal duluan sama management sejak sebulan lalu. Jangan tiba-tiba dibatalin sepihak gini. You should be professional, hon... halo? Halo?" kepanikan tersirat dari suaranya. Handphone yang sebelumnya berada diantara pundak dan telinganya kini diambil alih tangan kirinya. Setelah dia melihat layar dan sambungan terputus, yang tentu saja dia tahu penyebabnya, dia mengutuk sepenuh hati dengan suara lantang, "Brengsek!" Suaranya terdengar menggema di udara yang penuh keheningan.
Diletakkannya lagi rokok itu diantara bibirnya untuk dihirup semakin panjang untuk meredakan emosinya dan kemudian dibuangnya hasil kenikmatan itu ke udara sambil menutup kedua kelopak matanya. Kepalanya terasa pening karena terus dipacunya untuk bekerja, memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk menyelesaikan masalah barusan. Dia membuka matanya kembali sambil memandang kosong kejauhan gedung-gedung yang terpapar dihadapannya. Angin yang berhembus mengacaukan rambut cokelat panjangnya itu cukup kooperatif untuk mendinginkan syaraf-syaraf otaknya yang sedang berkedut kepanasan. Bagian tertinggi dari gedung berlantai enam belas ini akan menjadi tempat favorit barunya untuk melakukan hal-hal pribadi, termasuk melamun, memaki ataupun hanya mengisap rokok.
Tiba-tiba ditengah keheningan yang disyukurinya itu, terdengar suara sesuatu benda ringan terjatuh dari belakangnya yang mengusik kenikmatannya menghisap candunya dan menengok mencari penyebab suaranya.
Seorang pria, panik, berusaha mengambil gelas kertas penyebab kegaduhan ringan tadi di lantai. Dia sedang duduk, membungkuk dan mengawasi wanita yang dari tadi diperhatikannya, tanpa sengaja, sedang menelepon, mengutuk kasar, dan mengisap rokok sendirian; berharap wanita itu tidak menyadari kehadirannya yang tentu saja tidak mungkin, karena wanita itu saat ini sedang menatapnya tidak bersahabat.
Davin, pria itu, tanpa sadar menahan napasnya melihat sang jelita bertatapan tajam dihadapannya itu. Bahkan sebelum dia melihat paras wanita ini, saat dia tanpa sengaja mengawasinya berjalan menuju pembatas di bagian tertinggi gedung ini beberapa saat lalu dan hanya dapat melihat siluet lekukan tubuh itu dari belakang, naluri lelakinya mengatakan bahwa tidak normal untuk melewati pemandangan indah ini. Wanita itu mengenakan loose t-shirt putih yang memberikan kesempatan bra hitam berenda dibaliknya untuk menampilkan keindahannya, dengan denim skinny levi's jeans nomor 711 dan toe pumps Jimmy Choo berwarna merah darah dengan heels setinggi 11 cm. Rambut wanita itu ditarik keatas membentuk ponny tail berantakan namun tetap mempesona yang memperlihatkan tengkuk dan tattoo kecil yang mengintip dari bagian teratas ruas tulang belakang yang tertutup t-shirtnya.
Dan kini saat wanita itu berbalik dan memperlihatkan paras galaknya, keindahan ciptaan Tuhan itu tetap tidak pudar. Hidung mancung yang mencuat tinggi, alis cokelat gelap yang terlukis tipis namun tegas, bibir merah make-up forever nomor 42 yang menggoda untuk dicicipi dan rahangnya yang mungil namun lancip itu menghiasi bagian atas paket keindahan yang sedang dinikmati Davin. Sementara dibagian bawahnya, yang sudah diteliti sebelumnya oleh Davin dari arah belakang dan membuatnya penasaran, kedua buah pahatan khas wanita bersanding tepat ditempatnya dengan sempurna bersembunyi dalam balutan bra hitam yang dengan sengaja dan menggoda menampakkan dirinya dibalik t-shirt putih itu. Naluri lelakinya meningkatkan kemampuan berhitung dan dimensi ruangnya secara tiba-tiba untuk mengukur seluruh lingkar tubuh dihadapannya. 36-27-36 dengan cup sedikitnya D.
Setelah selesai melakukan pemindaian yang tanpa disadarinya dan mata Davin kembali naik keatas untuk mengagumi kembali paras jelita itu, dia malah menemukan kedua mata tajam tidak bersahabat memandangnya. Kini kedua matanya terkunci dan dipaksa untuk memandang kedua bola mata berwarna cokelat tua yang mengintip dibalik bulu mata lentiknya. Mata cantik itu menantangnya, tanpa kedipan.
"Sorry." Kata Davin mengalihkan pandangannya ke lantai, entah apa yang dicarinya, yang kemudian diputuskannya untuk melihat gelas karton yang tadi hendak dipungutnya. Dalam prosesnya Davin mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Sorry? Salah apa dia? Kenapa dia harus minta maaf tiba-tiba tanpa ada pembicaraan sebelumnya? Dan harusnya banyak kalimat lebih keren yang bisa diucapkannya untuk memberikan kesan untuk wanita itu.
Setelah memenangkan pertarungan itu dengan K.O., wanita itu menghirup candunya terakhir kali dengan bibir merah itu dan menjerembabkan sisa batangnya ke gundukan pasir untuk bergabung dengan kawan-kawannya yang sudah dibuang terlebih dahulu. Davin menyempatkan untuk kembali mengawasi wanita itu dalam intipan sampai dia melenggok pergi dari sana meninggalkan Davin dengan tatapan terpesonanya dan denyutan hasrat disekujur tubuhnya.
Ya, hanya sekedar pesona dan hasrat. Tidak lebih. Tidak sedikit pun Davin berniat lebih dari itu. Tidak untuk mengenal, apalagi memiliki hubungan. Davin cukup sadar diri akan hal itu.
Bukan karena dia tidak layak untuk wanita mempesona barusan. Dia memiliki seluruh kriteria untuk dapat disebut rupawan, dari wajah, suara, maupun tubuh. Dia tidak menggunakan busana bermerk dan dia tidak mengikuti perkembangan fashion, namun kemeja stripped biru muda berlengan panjang dengan dua lipatan, celana katun hitam dan sepatu pantofel hitam, yang melekat ditubuhnya secara sempurna seolah ukuran di pakaian itu diciptakan untuknya, tetap membuatnya terlihat istimewa.
Namun wanita seperti tadi; wanita yang dari ujung kepala hingga ujung kaki menggoda naluri setiap lelaki; wanita dengan feromon seksual yang begitu tinggi; wanita dengan rokok di tangan, tattoo di tengkuk dan berbicara kasar; wanita seksi seperti itu bukan untuk Davin. Dia tahu itu. She's out of his league.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sexy Andrea's Love Story
RomanceSEBAGIAN PART AKAN DIUNPUBLISH PER 15OKTOBER2018 KARENA KEPERLUAN PENERBITAN ========================================================================== Andrea, mahluk cantik, seksi, cerdas, mandiri dan bebas. Kaum adam mengaguminya, menjadikannya...