Prolog

59 3 3
                                    

Kini matahari sudah dipuncak tertingginya, sinar terang dari Sang Surya melewati langit biru tanpa awan, hawa panas begitu terasa karenanya.

Dengan hari yang seperti itu, Segerombolan manusia terlihat berdiri di halaman depan disalah satu rumah didekat sungai tersebut.

Melihat orang-orang berkumpul di sana, pemuda berambut hitam ini jadi penasaran karenannya. Dia pun mengambil langkah ke sana, tapi belum langkah kelima dia ambil, mereka yang di sana mulai berlari ke segala arah.

Sebagian besar dari mereka berlari ke arah si pemuda, bersamaan dengan wajah mereka yang terlihat begitu takut, pucat, dan keringat dingin keluar deras dari keningnya.

Melihat orang-orang menjadi takut seperti itu, si pemuda mengurunkan niat. Tapi sayang, dikarenakan rasa penasarannya lebih kuat dari rasa takut, pemuda ini kembali mengambil langkah maju, kemudian berlari ke sana.

Tak sampai sepuluh detik dia berlari, si pemuda kembali menghentikan langkahnya, bukan karena ada yang menghalangi, tapi dia sudah melihat apa yang ada di sana, meski jarak dia dengan tempat itu masih sekitar 50 meter.

Mata coklatnya membulat, wajah pucat, keringat dingin keluar dari kening, dan bergetar seluruh tubuhnya.

Rasa takut, panik, sedih, dan keterkejutannya menjadi satu kala melihat apa yang ada di halaman depan rumah itu.

Seorang pria bertubuh besar berdiri tegap, tapi masih kalah tinggi dengan orang di depannya. Darah segar terlihat keluar dari mata, mulut, lengan, dan pahanya. Kepala yang menghadap ke atas, dan terbuka lebar mulut dia karena sebilah parang yang menancap masuk hinggi melewati tenggorokannya.

Orang yang menancapan parang itu, memutar-mutar parangnya, senyuman dia begitu menakutkan kala melihat pria di depannya ini masih hidup, berteriak kesakitan dengan suara yang begitu menyedihkan, dan terus mencoba melawan meski kedua mata, lengan, dan kakinya sudah tidak ada lagi.

Dengan semua siksaan yang diberikan oleh orang itu pada pria di depannya, si pemuda tadi berusaha menggerakan kakinya, mulut mencoba berkata, dan tenggorokannya mengeluarkan suara.

"Ap... Apa... Ap-Apa yang telah kau perbuat, Ian-"

Disaat dia ingin menyelesaikan perkataannya yang terdengar begitu terbata-bata, seorang pria berbaju abu-abu, rompi anti-peluru terpasang di badan kekarnya, dan sebuah senapan 'M4' mengantung di belakang tubuh, menepuk pundak si pemuda.

"Sebaiknya kau segera berlindung, biar kami yang menanganinya."

Polisi? Guman si pemuda. Melihat wajah tegar dari polisi ini, si pemuda menggelengkan kepalanya.

"Ijinkan saya ikut membantu! Orang yang berdiri di sana adalah saudara saya!"

"Saudaramu!? Yang mana?"

"Yang sedang memegan parang itu...." sambil menujuk ke arah orang yang berdiri dengan senyum iblis di wajahnya.

"......... Tidak bisa! Kau lebih baik pergi berlindung saja!"

"Tapi-"

Polisi tersebut langsung berlari meninggalkan si pemuda, diikuti oleh Polisi lain di belakangnya.

Mengepung pemuda bersenyum iblis tersebut, para Polisi yang berjumlah 10 orang ini, mengarahkan ujung senapannya pada dia, jari telunjuk mereka siap menekan pelatuk, dan membuat timah panas bisa keluar kapan saja.

"Angkat tanganmu ke atas! Tidak ada gunanya melawan, kami sudah mengepungmu! Jadi, menyerahlah!"

Mengikuti perintah Polisi tersebut, pemuda berambut hitam sedikit putih di ujungnya ini, menarik parangnya keluar dari mulut pria tadi, lalu diangkatnya tinggi-tinggi.

Saat para Polisi mengira dia menyerah, mereka menurunkan sedikit senapannya, dan menjauhkan ujung jari mereka dari pelatuk. Melihat itu, pemuda beriris mata kuning ini berlari cepat--sangat cepat ke arah para Polisi, membuat mereka terkejut dan panik, hingga tak sempat memperbaiki posisi senapannya.

Satu persatu senapan para Polisi itu terbelah karena tebasan parang, diikuti kedua kaki mereka, kemudian lengan, dan akhirnya leher mereka. Aspal tempat para Polisi tadi berdiri kini menjadi genangan darah segar dengan si pemuda berparang berdiri di tengah-tengahnya.

Tubuh si pemuda yang sejak tadi hanya berdiri jauh di belakang para Polisi--kini jadi tumpukan daging—bergetar hebat, kakinya kehilangan kekuatan untuk berdiri, lalu terjatuh dan duduk dengan wajah pucat. Dia menutupi mulutnya dengan kedua tangan, menahan agar tidak muntah karena kejadian sadis tadi.

"Ahahaha... Ahahahahaha!...Ahahahahahahahaha!! Ah~ luar biasa! Tanganku... Tanganku bergetar! Kakiku bergetar, sekujur tubuhku bergetar! Ah~ perasaan ini, perasaan yang tak pernahku rasakan ini... Entah kenapa begitu nikmat, begitu menyenang, dan membuatku begitu tidak asing-"

"IAN!!!"

Perkataannya terpotong oleh teriakan seseorang yang dia kenal, memanggil namanya. Ian, begitulah pemuda tadi memanggilnya.

Ian menoleh ke sumber suara, dia melihat pemuda seumuran dengan dirinya berusaha berdiri dengan kaki yang masih bergetar, rasa takut, sedih, dan panik yang begitu dalam dapat terlihat di wajah pucatnya.

"Jaya...."

"IAN! Apa yang telah kau perbuat!? Apa kau sadar dengar perbuatanmu itu!? kau telah membunu-"

"Ahahahahahaha!" tawa kerasnya memotong perkataan Jaya.

Ian kemudian melepaskan parang dari genggamannya, dia mengangkat tangan kanan ke depan, seolah ingin meraih sesuatu. Di sekitar mata kuningnya, keluar cairan bening, turun, lalu membasahi pipi. Senyuman menakutkan masih terpasang di wajahnya.

"Jaya... Ahahahahahaha... Hahahaha... Jaya... To-Tolong aku...."

Meskipun Ian berkata-kata dengan suara yang hampir tak terdengar jelas oleh Jaya, Jaya dapat mengerti maksudnya. Dia berlari ke arah Ian sambil mencoba mengapai ujung tangan pemuda di depannya.

Hanya tinggal beberapa senti lagi, ujung jari Jaya dapat menyentuh ujung jari Ian, tapi, petir besar dan terang terlebih dulu menyambar tubuh Ian. Melihat itu, Jaya membulatkan matanya, terjatuh ke genangan darah, lalu terdiam membatu.

Apa itu tadi? Petir? Dihari yang terang begini? Guman Jaya saat terdiam di genangan darah. Dia pun membangkitkan dirinya, lalu memperhatikan tempat Ian tadi berdiri.

Jaya tidak melihat ada tubuh Ian di sana, dia juga tidak menemukan lubang bekas sambaran petir tadi. Di pikirannya terdapat banyak pertanyaan, tapi satu hal yang dia tau pasti, petir hitam tadi membawa Ian ke tempat lain.

"Ian..."

MemorieszTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang