Prolog

67 3 7
                                    


Aku pernah mendengar suara. Suara yang mirip dengan suara decitan pintu dari kotak musik tua pemberian nenek buyutku, tepat sebelum ia meninggal. Suara yang aneh, terdengar menyeramkan bagi anak-anak seumuranku sebenarnya. Namun, entah mengapa aku tidak merasa demikian. Seolah kotak itu berhasil menyihir ku, menghipnotis tanganku agar tidak melepaskannya.

Sebenarnya, kotak itu... dari wujudnya saja sudah menyeramkan. Warnanya coklat tua kehitaman, dengan ukiran pada pinggirannya,-kalau diperhatikan mirip dengan tulisan pada gulungan naskah Mesir kuno. Tak hanya itu, bahkan nyanyian yang keluar ketika tutup kotak itu dibukapun juga terdengar aneh, selalu terdengar asing bila kau memperhatikannya. Seolah kau belum pernah mendengarnya. Seolah melodi yang keluar adalah melodi yang berbeda. Seolah... kotak itu mengerti keadaan disekitanya sehingga ia takpernah ragu untuk mengubah plitur musiknya sesuai suasana sekitar.

Satu bulan lamanya setelah nenek buyutku meninggal. Decitan dari kotak musik tua itu takpernah terdengar lagi. Namun, bagiku suara musiknya masih sama, selalu terdengar berbeda dan berubah-ubah. Awalnya aku takambil pusing. Toh, mau bagaimanapun keadaannya kotak musik itu tetap menjadi peninggalan berharga bagiku. Peninggaln terakhir yang diberikan nenek buyutku sebelum ia menghembusakan nafas terakhirnya. Sesuatu yang harus sangat ku jaga bukan?

Meskipun... tak dapat ku pungkiri ada sedikt rasa penasaran yang bersarang di hati kecilku.

Tanpa ku sadri. Seiring dengan berjalannya waktu, rasa penasaran itu semakin meluap dan mulai mengubah wujudnya menjadi pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat aku pecahkan semdiri. Lambat laun, pertanyaan-pertanyaan itu semakin menghantui kepalaku. Terus bergeming, bagai tep rcorder yang terus menyala. "Apa yang sebenarnya terjadi?", "Kenapa musiknya selalu terdengar berbeda?", "Apakah kotak itu sama seperti robot mainan?", "Tapi mengapa kotak itu pernah berdecit keras?", "apakah kotak itu berhantu? Sama seperti di film-film?", "atau jangan- jangan... kotak ini sudah rusak?", "tapi kenapa... bagaimana bisa... mengapa...?", Argh! Cukup sudah! Semuanya tak dapat ku belenggu lagi! Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkan jawabannya! Ya, harus dan segera!

Dimalam yang sunyi itu, kuputuskan untuk bertanya pada ibuku. Lengkap dengan keberanian dan kotak musik tua itu ditangan kananku. Aku berjalan menuju kamar ibuku yang berada tepat di depan kamar almarhumah nenek buyutku, dekat dapur rumah kami. Sempat ku lirik jam dinding pada ruang keluarga yang ku lewati, jam itu menggerrakkan jarumnya ke angka yang sama, dua belas. Sudah larut, apalagi untuk anak umur tujuh tahun sepertiku.

Aku sudah dapat membayangkan reaksi apa yang akan ditunjukkan ibuku ketika aku mulai menggoyangkan tubuhnya dan matanya terbuka. Kemudian dengan mata sayunya ia melihatku masih terjaga hingga tengah malam begini. Kemungkinan besar dia akan murka lengkap dengan omelan darinya yang... tak bisa kau sebut tak mengerikan. Mengertikan?

Ibu muda dengan usia 19 tahun diatasku. Wajah ibuku itu... masih muda dan manis, namun kalau sedang marah... jangankan untuk mengeluarkan sepatahkata, menggeser posisi saja aku tak berani. Tapi aku sudah tak peduli lagi saat itu, rasa penasaran sudah tak dapat ku belenggu. Mau bagaimana lagi? Maafkan aku ibu.

Begitu sampai di depan pintu kamar ibuku, aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengangkat tangan kiriku untuk memegang kenop pintu berwana perak dihadapanku itu. Berniat untuk memutarnya. Sekali lagi, ku kumpulkan keberanian yang sempat memudar karena melihat angka jarum jam di ruang tamu tadi. 'baiklah.. sekarang atau tidak selamanya, Rio.' Batinku saat itu.

"hey~ kau sang pemilik hati kesatria... yang berdiri tanpa pedang dan baju zirah~" sebuah suara,-yang aku yakin perempuan-terdengar mengalun merdu dari arah belakangku-kamar nenek buyutku.

Aku membeku, siapa yang baru saja bersenandung? Itu bukan suara ibuku. Karena ibuku tak suka bernyanyi. Terlebih, ini tengah malam. Hn... Apa mungkin nenek ya? Karna cuman dia yang suka bernyanyi dirumah ini.. mungkin.. Ah, tidak. Apa yang aku pikirkan? Nenekkan sudah tidak tinggal dirumah kami. Nenek sudah pergi ke kota karena asma akut kakek yang sering kambuh. Beliau membutuhkan penangannan khusus, jadi nenek membawanya ke kota dan memutuskan untuk tinggal bersama adik perempuan ibu di sana. Ya, setidaknya itu adalah pilihan terbaik. Dari pada nenek dan kakek tinggal di dataran tinggi terpencil seperti di rumah kami, kota lebih baik.

BOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang