Di Balik Sinar

12 2 0
                                    

KRINGGGGGGG!!!!!!!!

"to-toOTOLONGGGGGG!!!" tanpa sadar aku sudah mebuka mata. Cahaya putih dari lagit-langilah yang menyapa pandanganku untuk pertama kali.

Aku merasa kakiku digoyang, "kakak, bangun! Kau hanya semakin membuatku takut!" suara seorang gadis terdengar tak asing di telingaku.

Untuk sementara waktu akuhanya terdiam. Mencoba menelaah situasi saat ini, "eh...? Aku... dimana... ?" kalimat itu terlontar begitu saja diari bibirku.

Sejurus kemudian dapat ku dengar gadis itu menarik nafas panjang, "ibuuu!! Kakak amnesiaaaaa lagiiii!!!" ia berteriak. Menggema ke seluruh ruang ini.

.
.
.
.
Chp 1: Di Balik Sinar
.
.

Tapak mengetuk keras pada permukaan trotoar. Menyisakan jejak tipis berbentuk alas sepatu merah maroon yang ia kenakan. Sesekali baju SMA pemuda itu terangkat, keluar dari dalam celana seragam panjang biru mudanya. Istilah rapi yang disandangnya saat bercermin tadi kini telah sirna sepenuhnya. Kini hanya ada kata berantakan dan pelu sebesar biji jagung di tubuh langsatnya—menambah kesan rembes pada penampilanya pagi ini. Mata hitam pekat miliknya sesekali melirik jalan raya. Menantikan sosok teman 'seangkatan' yang bisa ia mintai tumpangan.

Ditengah ramainya suasana senin pagi, ia terus memacu kaki jenjangnya untuk berlomba bersama angin.

Ia merogoh saku celananya. Mengambil benda berbentuk persegi panjang kesayangan para remaja seusianya. Ditekannya bagian atas benda tersebut. Tombol penghidup yang membangunkan setiap system pada benda persegi panjang bernama ponsel itu. Sejurus kemudian muncullah angka pada layar ponsel pintar miliknya, "Jam 7 kurang 5?! Oh yang mahakuasa.. yang benar saja?!" pekiknya begitu melihat angka pada layar persegi itu. Mempercepat langkah kaki adalah hal yang ia lakukan selanjutnya, sebelum akhirnya kembali memasukkan ponselnya ke dalam kantong. "kalau aja kemaren aku ngelarang dia... mungkin gak gini kali jadinya...", gumamnya frustasi.

Detik terus bertambah. Menit telah berganti. Waktu berharganya semakin menipis pagi ini. Terhitung, sudah lebih dari 7 menit ia berlari seraya memperhatikan jalan raya yang kian sepi. Dadanya mulai terasa sesak. Pandangannya mulai mengabur. Mulutnya terasa kering. Kakinya sudah tak berlari sekencang tadi. Perlahan namun pasti ia mulai merasakan kaku pada betisnya. Sepertinya inilah batasan dirinya. 900 meter berlari dengan tenaga kuda, benar-benar membuatnya lelah.

Ia mungkin akan pingsan di tempat kalau saja benda itu tak melintasinya.

Matanya sedikit menyipit, memfokuskan pandangan pada kuda besi itu. Motor ninja berwarna coklat pasir yang selalu ia tunggu kehadirannya. 'itu dia!'. Seperti mendapatkan hawa surga pemuda itu segera mempersiapkan dirinya. Menarik nafas panjang sebelum akhirnya, "TOUFANNN!!!!", teriaknya dengan sekuat tenaga. Ia kenal betul motor itu. Warna khasnya membuat pemuda ini hapal mati benda kesayangan sohibnya tersebut.

Mendengar namanya di panggil sedikit 'nyolot'—menurutnya, Toufan segera menarik rem pada stir motornya. Suara panggilan yang terdengar mirip 'terompet' perang dari sekolah lain (baca: tauran) di teleinganya itu membuatnya bergegas membuka kaca helem seraya menoleh ke belakang, tak sabar ingin melihat wajah si 'pelaku' peneriakan. Mata biru safir miliknya yang terbingkai kaca mata minus 2 itu langsung terfokus pada seorang pemuda yang saat ini sedang berusaha menyebrang, menghampiri dirinya.

Membalikkan kepalanya kearah depan. Toufan mengkerutkan keningnya. Sejurus kemudian ia melepas kacamatanya, lalu mengelapnya—asal—dengan dasi seraya berusaha berpikir keras. Dedemit mana lagi yang kulihat, ya tuhan? Ia kembali menenggerkan kaca ber frame hitam itu di hidung mancungnya lalu menoleh kearah belakang. Kembali memperhatikan pemuda itu. Sekali lagi memastikan pandangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang