"Gue bakalan operasi malam nanti," ucap Rahma sore itu yang langsung membuat Dimas mundur selangkah.
Mata Dimas melebar menatap sahabat karibnya yang sedang berdiri di hadapannya itu. Sahabat sejak kecil yang selalu mengikutinya kemana pun ia pergi. Sahabat yang selalu membuatnya tertawa, marah, kesal ... dan kali ini Rahma membuatnya sedih.
Tiga bulan lalu semuanya baik-baik saja sampai Rahma merasakan gejala-gejala penyakit gagal ginjal. Sekarang penyakitnya sudah mencapai tahap lima yang secara resmi dinyatakan kalau Rahma mengidap penyakit gagal ginjal kronis, dan sekarang dia berniat untuk mencangkokkan ginjal donor ke dalam dirinya.
Ini sebabnya Dimas selalu melarang Rahma untuk minum minuman berenergi. Tapi Rahma tak pernah mendengarkannya.
"Udah ada donoran?" tanya Dimas pelan, setelah terjadi keheningan yang cukup lama.
Rahma mengangguk pelan. Dia adalah wanita terkuat yang Dimas pernah kenal. Rahma masih mampu berdiri, masih mampu tersenyum, masih mampu melawan dan menyembunyikan penyakitnya.
Rahma menyukai Dimas, Dimas tau itu. Rahma dengan terang-terangan menyatakan kalau ia menyukainya sebulan yang lalu. Sayangnya Dimas tidak memiliki perasaan yang sama, dia hanya menganggap Rahma sebagai teman masa kecilnya.
Tapi kini, entahlah.
Persahabatan mereka sempat meregang sehabis Rahma menyatakan cintanya. Tapi Rahma membentak Dimas dan memberitahu kalau maksudnya menyatakan cinta bukan sebuah deklarasi permusuhan, namun hanya kejujuran. Hanya sebuah rasa yang sedang dialami di hati kecilnya. Hanya sebuah pernyataan tentang apa yang selama ini mengusik harinya.
"Lo tau kan resikonya di operasi?" Dimas bersuara membuat Rahma tersenyum letih.
"Ya," ucap Rahma lirih.
Dimas menajamkan penglihatannya. Berusaha melihat gadis dihadapannya. Berusaha menerka apa yang sedang hati Rahma perdebatkan. Tak lama air bening turun dari pipi perempuan itu. Membuat Dimas tergagap.
Perempuan itu rapuh.
Rahma itu rapuh.
Mengapa Dimas begitu tega sampai tidak mempedulikan hati Rahma?
Tangisannya semakin deras. Samar-samar terdengar suara isak tangis dari Rahma.
Tangan Rahma terangkat, mencoba menghapus seluruh air matanya yang membahasi pipi merahnya.
"Gue sakit, Dim."
Dimas tersentak.
"Gue sakit, Dimas." Rahma mengeluarkan seluruh amarahnya. Terdengar jelas lewat suara tangisannya yang semakin kencang. "Orang yang gua sayang, gak sayang balik ke gue," lanjut Rahma.
Dimas berdiri kaku. Seakan-akan ada panah yang menusuk jantungnya. Menusuk hingga merobek relung hatinya yang dingin.
"Gue muak sama semua yang berkaitan dengan cinta bertepuk sebelah tangan ini."
Dimas melangkahkan kakinya mendekati Rahma, lalu menarik lengan Rahma perlahan. Rahma mendongak, menampakkan jelas wajahnya yang penuh air mata.
Dimas mengusap pelan pipi Rahma, mencoba membantu menghilangkan air mata itu.
"Gua sayang lo." Rahma berkata lirih.
Sekali lagi ia mengucapkannya. Mendeklarasikan isi hatinya. Mendeklarasikan kesakitan yang selama ini dia pendam.
Langit yang memerah berubah menjadi gelap. Segelap hati Rahma.
Dia tidak membenci gelap, justru kini Rahma sudah tidak percaya lagi akan guna matahari jika tidak bisa menerangi sudut gelap dihatinya.
Hati Rahma membeku sejak lama, terkadang melelehkan cairannya melalui mata. Tapi hatinya tetap membeku.
"Dim," panggil Rahma pelan sambil menatap mata Dimas dalam-dalam. Membuat Dimas terdiam kaku di hadapan Rahma yang menatapnya lemah itu.
Senyuman dengan wajah pucatnya. Dan hatinya yang memucat.
"Kalau ini malam terakhir gua bareng sama lo...," Rahma menghela napasnya lalu menghembuskannya bertahap, "gua minta buat peluk gua seperti bukan temen biasa, gua minta lo ngebuat memori yang bisa gua kenang, pegang tangan gue Dim."
Rahma menangis lagi di hadapan Dimas. Malam ini dia rapuh serapuh-rapuhnya.
"Perlakuin gue seperti yang orang-orang saling sayang lakuin," ujar Rahma sambil terisak. Tangannya menutupi matanya yang terus menerus mengeluarkan air mata.
Tiba-tiba saja Dimas memeluknya erat, menjadikan Rahma termangu tak percaya dengan perlakuan Dimas.
Nyaman dan hangat. Itu yang Rahma rasakan.
Dimas melepaskan pelukan singkatnya lalu menatap wajah Rahma.
"Gua juga sayang lo, Rah."
Dimas meraih sepasang tangan Rahma lalu menggenggamnya kuat-kuat. Seakan takut kehilangan yang mendalam.
"Jangan tinggalin gue, Rah."
Rahma menanggapinya dengan senyum bahagia.
× ×
"Rahma itu anak yang baik," ucap Tante Sela, Mamanya Rahma. "Dia periang ... anak yang sopan," sambungnya.
Dimas hanya menatap Tante Sela iba.
"Tuhan sayang sama dia. Tuhan rindu sama dia, makanya dia menjemputnya secepat ini." Tante Sela menghembuskan napasnya. "Tante yakin ini yang terbaik untuknya, kamu setuju kan Dim?"
Dimas mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Terakhir
Novela JuvenilMenatap rembulan bersamamu untuk terakhir kalinya.