Plane

24 0 2
                                    

Warn: may contain shounen-ai/BL, read it by your own risk.

.
.
.
.

"Apa benar pesawatmu sampai esok?"

Kubertanya pelan, menatap sosok yang jauh dari jangkauanku itu. Bisa bertemu hanya melalui aplikasi telepon video. Meski begitu, aku setidaknya bersyukur bisa bertegur sapa dengannya.

'Ya, begitulah.' kulihat ia yang tengah menikmati kripik kentang di depan kameranya, mengangguk. Aku hanya bisa mendengus geli melihatnya. Ia memang bisa bertingkah begitu sembrono dan menyebalkan. Makan disaat berkomunikasi itu sedikit tak sopan; pikirku. Tapi ia tak peduli, sebelum-sebelum ini berapa kali kuperingatkan.

"Kalau begitu besok, ya. Jam berapa?"

kulihat ia segera menjauh dari layar, grasak-grusuk mencari sesuatu, dan tak lama kembali. Menggaruk tengkuknya yang sepertinya tak gatal. Ditangannya terdapat sebuah tiket pesawat. 'Err... Jam 10 malam di sana, kurasa. Rentang waktu di sini dan Tokyo cukup jauh kan?'

Dalam hati ku mengamini perkataannya, bisa dibilang rentang waktu Tokyo dan negara yang menjadi 'rumah' sementara Sakuma, terbilang cukup jauh.

"Jadi... Sampai ketemu besok?"

'...ya. Sampai ketemu besok.'

.
.
.
.
.

Dengan bosan kumengetik. Sesekali menguap. Kostumer di depanku masih saja berisik meminta karya ilmiah nya segera di selesaikan.

"Kakak tahu! Karya ilmiah ini penting untuk kami..." aku menulikan telinga begitu mulut bocah menyebalkan ini masih saja menyerocos. Gila! Pelanggan internet kafe makin hari makin ada-ada saja ulahnya. Kalau tidak ingat jumlah uang yang kuterima tiap bulan, mungkin sudah lama aku angkat kaki.

Baru kali ini aku menemui anak sepantaran SMP menyuruh penjaga mengetikkan tugas. "Oi, Yuu," Kualihkan pandangan, sosok botak tinggi menjulang dengan mata sipit yang tajam memandangku.

Oh, si bos. Tatapannya masih saja bikin keder.

"E-eh iya bos?!" Sontak saja aku menghentikan aktivitas; si bocah SMP itu memprotes, namun kuacuhkan. Si bos jauh lebih mengerikan daripada dirimu, nak.

"Shift-mu sudah selesai."

Sontak aku terbelalak, mengarahkan pandangan mencari jam dinding terdekat. Danㅡ

Holy crap! Ini sudah jam delapan lewat!

Dengan cepat aku berkemas; melalui sudut mataku, kudapati sekarang si bos yang menempati posisiku, bertanya pada si bocah songong yang langsung ketakutan melihat bos kami. Ha! Rasakan!
Tapi aku tak punya waktu untuk memperhatikan lebih lanjut hal itu. Berpamitan sekenanya pada bos, aku segera saja berlari.

Tak butuh waktu lama untuk melihat pemberhentian bus; kebetulan ada sebuah bus yang berhenti.
Mempercepat lariku, aku segera saja menaiki bus itu. Tersengal, aku tak terbiasa berlari cepat seperti tadi.

Baru kisaran beberapa menit aku mengambil tempat duduk yang nyaman, dering panggilan masuk dari ponselku mampu membuatku berjengit kaget. Mengambil benda komunikasi itu dari saku ku, sungguh tak kupercaya begitu melihat ID yang tertera.
'Baka-Sakuma.' tentu saja langsung ku angkat panggilannya, berusaha meredam detak jantungku yang mendadak menggila.

"Moshi-moshi, Sakuma?"

'Err, Yuuㅡ' aku sedikit keheranan mendengar keraguan pada suaranya, kebisingan bandara yang kentara kudengar jelas dari sini.

"Sialan! Kau belum berangkat?!" terang saja aku bertanya, kalau dia belum berangkat, berarti aku harus menunggu lebih lama lagi di bandara. Crap.

'B-Bukan begitu!' kudengar dia panik, alisku menukik mendengarnya. Dan tak lama helaan nafas terdengar dari sisi seberang sana. 'Aku mau bicara, Yuu.' Bicara? Bicara apa sampai menunda keberangkatan? "Kenapa tidak nanti saja?" Tentu aku menyela, ketus. Untuk apa ia keberangkatan ditahan selama sekian masa waktu kalau hanya sebuah percakapan tak penting ingin diungkit. Membayangkannya saja, dahiku berkedut kesal.

'Aku takut tak sempat, Yuu. Dengarkan dulu makanya'. Oke, itu alasan aneh, tapi kupikir sebaiknya tak menyela apa akan terucap dari line seberangku ini. kelanjur penasaran. Apa yang ingin Sakuma sampaikan sampai-sampai ia begituㅡ

'Aku suka kamu, Yuu.'
Serius...

...HAH?!

"...Hah?! Kau serius?!" Ku tak bohong kalau saat ini aku terkejut. Maksudku, mendapat pernyataan cinta secara mendadak begini, siapa yang tak kaget, coba. Dan lagi, ada satu dua hal kukhawatirkan kalau ini adalah kenyataan.

'Tentu saja.' kudengar suaranya menegas, baru pertama kali kudengar Sakuma seperti itu. Ia begitu serius. Dadaku berdesir, menggila rasanya.

'Aku serius terhadapmu, baka-tsundere.'

Aku tentu saja kebingungan. Aku bahkan tak menyadari wajahku segera memanas saat itu. Pemikiranku blank. Bukannya aku tak menyukai Sakuma; tidak, malah aku menyukai pria itu. Sangat.

Ia berbeda, tak seperti temanku atau yang lain. Ia memberikanku kenyamanan yang tak biasa.

Tapi apa tak apa seperti ini? Aku sedikit ragu, tapi akuㅡ

"...mungkin saat kau sudah sampai aku harus memberikanku kecupan, ya."

ㅡ meyakini diri sendiri, perasaan Sakuma terhadapku terbalaskan.

Kuucapkan dengan lirih, dan yang terakhir kudengar adalah teriakan semangat dari Sakuma sebelum kuputus telepon.

'Kau serius?!'

"Tidak ada siaran ulang, Baka-Sakuma!"

...sialan.

.
.
.
.
.

Nyatanya, kecupan yang kujanjikan tak pernah sampai padamu.

Nyatanya, pesawat dittumpangi Sakuma, tak pernah mendarat di Tokyo.

Kecelakaan merubah segalanya. Kecelakaan pesawat yang berakhir menenggelamkan burung besi di lautan itu, membunuh semua.

Termasuk dirimu. Kecelakaan yang terjadi tepat tiga jam setelah keberangkatan.

"...Kau pembohong, Sakuma."
Dan akhirnya, yang kulakukan hanya bisa menangis. Dalam diam.

Aku ingin meratapi jasadmu yang tak kembali lagi. Tapi percuma rasanya, sesak.

Serak memanggilmu kembali berkali-kali.

Namun baka-Sakuma takkan kembali.

Aku benci. Benci kenapa kami harus begitu jauh.

Benci. Kenapa ia harus menaiki burung besi itu hanya untuk bertatap muka padaku.

Aku benci. Benci diriku sendiri.

.
.
.
.
.

...fin?

Kumpulan Cerita OrisinilWhere stories live. Discover now