Probabilitas Patah Hati

145 20 15
                                    

Oh, hanya jadi korban perselingkuhan ternyata. Ini memang pertama kalinya, tapi aku sudah menduga jauh sebelum fakta ini terbongkar. Dia, sebutlah dengan inisial AD, gagal menyimpan kebohongannya untuk jangka waktu yang lebih lama. Aku memang marah, tapi lebih merasa bodoh.

Untuk masalah sakit hati, biarkan ia bangkit lagi dari tidur panjangnya. Jangan khawatir, ia tak akan bertahan lama untuk seorang laki-laki berusia 22 tahun ini. Aku sudah kebal dengan segala hal yang berbau kekecewaan, kegalauan, ataupun penolakan. Cukup dengan mendengarkan musik, berbagi informasi mengenai film atau bola bersama teman, dan kembali sibuk dengan dunia perkuliahan, aku rasa semua akan berjalan normal seperti biasa.

Setelah mengakui perbuatannya di sebuah kafe kopi pinggir jalan, AD bangkit dari duduknya, lalu pergi meninggalkan aku yang masih terdiam di kursi kayu ini. Aku mencuri pandang melihat langkahnya di balik kaca bening kafe. Seseorang menjemputnya dengan sebuah mobil sedan hitam. Aku tidak tahu siapa yang menjemputnya itu. Lebih tepatnya, tidak ingin tahu.

Sambil menyesap cappuccino hangat yang belum sempat kuhabiskan, mataku masih terpaku pada jalanan di luar dari balik kaca. Sekilas, aku melihat refleksi diri sendiri di sana sedang memegang cangkir. Rambut hitam sedikit bergelombang. Mata kecoklatan. Dagu diihiasi dengan jenggot tipis tanpa kumis. Aku malah tersenyum kepada bayanganku sendiri.

"Rugi sekali dia menyia-nyiakan laki-laki seperti aku," kataku pelan nyaris tak terdengar.

***

Seperti yang aku bilang, sakit hati tidak akan selamanya memenjarakanku. Semua berjalan normal di hari ketiga sejak peristiwa itu. Aku mencoba berpura-pura lupa, tapi temanku, DF, selalu berpikir bahwa aku masih ada di lingkaran kehancuran hidup. Oh, ayolah, aku tidak seburuk itu.

DF adalah teman SMA-ku dulu. Dia datang ke rumahku kemarin malam jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung hanya untuk menemaniku. Padahal, aku sudah terbiasa sendirian.

"Kamu itu hanya terlalu berlebihan," kataku saat itu.

"Je, kamu tidak lupa kan pernah ditolak SM waktu kuliah semester 2?"

Aku tidak menjawab, tetap fokus membuat teh hangat untuk pagi yang dingin ini.

"Kamu mendadak jadi aneh, meski teman-teman tidak sadar akan hal itu. IPK kamu turun drastis. Belum lagi, kesehatan kamu yang lemah jadi pemicu kamu masuk rumah sakit saat itu."

Sambil mendengar DF, aku mengaduk gelas yang sudah terisi air panas dan gula, kemudian menyimpan teh celup di dalamnya.

"Terus, waktu selesai wisuda SMA 4 tahun lalu, tiba-tiba hubungan kamu diputuskan oleh FT secara sepihak. Kamu jadi sosok yang sulit mengendalikan emosi. Sering marah, berdiam diri di kamar, kadang juga menangis diam-diam."

"Minum dulu," kataku menyerahkan gelas ke tangannya. "Waktu itu aku masih dalam tahap labil. Jadi, harap maklum saja."

DF menyesap tehnya sedikit demi sedikit, lalu kembali melanjutkan pidatonya yang belum selesai.

"Urusan patah hati kan bukan hal yang sederhana. Paling tidak, aku di sini untuk memberi support agar kamu tetap bisa-"

Volume suara DF mendadak mengecil, lalu perlahan hilang tenggelam dalam ketidakmengertian pikiranku. Keringat dingin menetes di pelipis disusul oleh jantungku yang mulai terasa sakit. Aku memegang dada, merasakan detak jantung mulai berdetak di luar batas normal. Sial, mengapa ini terjadi lagi.

Sekilas, aku melihat DF tampak cemas melihat keadaanku yang seperti ini. Tapi, aku terlalu kaku untuk menggerakkan badan, bahkan untuk berdiri sekalipun. Lalu pada detik selanjutnya, aku roboh dan berbaring di lantai sampai tak sadarkan diri.

Probabilitas Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang