Di suatu siang yang berangin itu kita bertemu. Tanpa janji, tanpa rencana, semua terjadi karena waktu yang entah mengapa hari itu berpihak kepada kita. Di sebuah keramaian kita bertemu. Kamu datang dengan baju kerja yang terlihat lusuh dan wajah yang tampak begitu letih. Dan aku datang dengan dengan baju berwarna biru berlengan panjang dan sebuah syal yang kulilitkan begitu saja di leherku. Bukan agar aku terlihat modis, namun karena aku tidak tahan dengan angin yang bertiup dengan penuh semangat beberapa hari ini di kota kita.
Kita duduk berseberangan di sebuah meja bundar di kedai kopi langganan kita, dengan secangkir minuman hadapan kita masing-masing. Sejenak hanya ada kesunyian di antara kita. Masing-masing kita seakan sibuk dengan pikiran sendiri. Lalu aku memandangmu. Kulihat kau sibuk mengaduk minumanmu, dan matamu tampak menerawang. Kau bahkan tak menyadari, bahwa aku memandang wajahmu. Kunikmati wajahmu dalam keheningan yang kita ciptakan. Wajah yang sangat aku rindukan kala malam-malam terasa begitu panjang ketika engkau tak ada di sisiku. Kutelusuri lekuk wajahmu, tampak ada keletihan di sana. Kupandang bibirmu, masih sama dengan bibir yang pernah begitu mesra memagutku, di suatu pertemuan yang sarat kerinduan, setelah jarak yang berulah memisahkan kita. Kala itu.
Kemudian kamu memandangku. Mata kita bertemu. Namun belum ada sepatah kata yang terucap dari bibir kita. Kamu diam, aku pun begitu. Hanya mata kita yang saling memandang. Merekalah yang seakan mewakili bibir kita untuk bicara. Dan kala itulah, aku melihat ada sorot lain di sana. Yang tidak pernah kutemui sebelumnya ketika kita saling memandang. Hingga kemudian aku tersadar, bahwa hari ini aku akan mengalami sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang..............akan menyakiti hatiku.
"Ada apa?" tanyaku.
"Mengapa kamu bertanya?"
"Aku melihat ada yang lain di matamu, Ray. Sesuatu yang entah mengapa seakan menusuk hatiku."
"Tidak ada apa-apa," jawabmu sambil tersenyum kecil. Senyum yang nampak dipaksakan.
"Jangan menutupi sesuatu, Ray. Jika memang itu harus diucapkan, katakan saja. Walau mungkin itu adalah sesuatu yang tak ingin kudengar."
Kamu terdiam. Menundukkan kepala. Aku pun terdiam, namun aku tak menundukkan kepalaku. Aku terus memandangmu, seakan aku tahu, bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bisa menikmati wajahmu. Kamu pun sepertinya merasa bahwa aku terus memandangmu, kamu mengangkat kepalamu. Kita berpandangan. Mata kita kembali berbincang. Entah berapa lama kita saling memandang, aku tak tahu. Aku tak mempedulikan waktu. Aku hanya ingin memandangmu. Menikmati wajahmu selagi ia masih milikku.
Lalu kamu berbicara. Suaramu perlahan. "Aku bertemu wanita lain," katamu.
Aku tidak menjawab. Aku tetap memandangmu dan menatap matamu.
"Aku mencintainya," katamu lagi.
Aku masih diam. Namun mataku tak lepas memandangmu.
"Bicaralah. Katakan sesuatu," katamu lagi. Kali ini dengan sedikit tekanan.
Aku tetap diam, lalu membuang pandangku ke arah lain.
"Jingga, katakan sesuatu," katamu lagi. Kamu mendekatkan tubuhmu ke arahku hingga bagian perutmu menempel pada meja.
Aku kembali menatap wajahmu. Pandanganku mengabur karena air mata yang membasahinya. Aku menarik napasku dalam-dalam sebelum akhirnya bersuara.
"Apa kata-kata yang ingin kamu dengar dariku, Ray?"
"Apa saja. Tapi tidak pandangan tajammu itu."
"Ada apa dengan pandanganku, Ray? Salahkah aku memandang wajah kekasihku?"
"Tidak salah, Ji. Tapi itu mengangguku. Aku seperti seorang terdakwa, yang sedang dihakimi."
"Mengapa? Karena kamu merasa bersalah?" jawabku dengan dingin.
Kali ini kamu yang diam.
"Aku ingin bertanya padamu, Ray. Bolehkah?"
Kamu tak menjawab, hanya menganggukkan kepalamu.
"Apakah kamu lebih bahagia bersama dia daripada bersamaku?"
Kamu menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Entahlah, Ji. Aku bertemu dengannya tidak sengaja. Lalu berkenalan, Dan kami sering menghabiskan waktu bersama. Kemudian tumbuh rasa cinta di hatiku untuknya. Namun kamu tetap ada di dalam hatiku, Ji."
"Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Ray," kataku lagi.
"Aku tak tahu harus menjawab apa, Ji. Aku bahagia saat bersamanya. Tapi aku juga bahagia saat bersamamu."
"Itu egois, Ray. Kamu harus memilih satu di antara kami. Baiklah, aku ubah pertanyaanku. Siapa yang lebih kamu cintai, aku atau dia?" Aku hampir saja menangis saat mengucapkan kata-kata itu. Namun aku menahannya.
"Aku tak tahu, Ji. Aku mencintaimu. Tapi aku tak memungkiri bahwa aku pun mencintainya."
"Lalu, apa maksudmu menceritakan tentang dia kepadaku, Ray?"
"Aku hanya tak mau membohongi-mu, Ji. Aku pernah berjanji padamu, bahwa aku tak akan pernah berbohong padamu."
Aku kembali terdiam. Aku memandang ke arah jendela. Di luar sana tampak gerimis mulai membasahi jalan. Namun hatiku terasa kering. Terasa hampa. Seakan sesuatu telah direnggut secara paksa, sehingga meninggalkan lubang dalam yang tak berdasar. Aku tiba-tiba merasa sangat lelah.
"Jingga...."
"Baiklah, Ray. Karena sepertinya kamu tidak yakin dengan perasaanmu. Biarkan aku yang memgambil keputusan untukmu. Pergilah kepadanya, dan tinggalkan aku. Aku tidak mau menjadi batu sandungan bagimu. Kenyataan bahwa ternyata kamu membagi cintamu dengan wanita lain, membuktikan bahwa cintaku tidak cukup berarti bagimu."
"Jingga, aku masih mencintaimu."
"Aku pun masih mencintaimu, Ray. Tapi ternyata rasa cintaku tidak lagi cukup untukmu, karena kamu pun mencintai dia. Jadi, biarlah aku yang pergi, Ray. Cintailah dia dengan seutuh hatimu dan lupakan aku."
Kamu diam. Aku pun lalu terdiam. Keheningan kembali mengelayuti kita. Biasanya, dalam tiap keheningan yang tercipta di antara kita, selalu kugunakan untuk menikmati wajahmu. Namun keheningan kali ini terasa sangat memuakkan bagiku. Aku mulai membenci keheningan ini. Dan saat ini aku tak ingin memandang wajahmu. Aku menundukkan kepalaku dan memejamkan mataku. Aku mencoba menikmati rasa sakit di hatiku yang tiba-tiba saja muncul.
"Harus seperti itukah keputusan yang kau ambil, Ji?" tanyamu.
Aku tak menjawab, hanya menganggukkan kepalaku saja.
"Apakah kita benar-benar harus berpisah?" tanyamu lagi.
"Ya."
Kamu terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Baiklah jika itu maumu, Ji. Apakah kita masih bisa berteman?"
"Tidak. Dan kuharap kita tidak lagi saling berkomunikasi. Bukan karena aku membencimu, Ray. Tapi karena aku tidak ingin membuatmu memiliki kembali rasa yang sudah kamu lepaskan hari ini. Anggap saja aku adalah sebuah cerita yang pernah hadir di dalam hidupmu."
Tepat setelah aku mengucapkan kalimat terakhirku itu, kita sama-sama berdiri lalu berjalan keluar bersama. Episode yang sama seperti yang selalu kita lakukan ketika bertemu di tempat ini. Yang membedakan siang ini adalah kali ini kita berjalan ke arah yang berlawanan. Jika biasanya setiap pertemuan kita selalu diakhiri dengan rasa bahagia dan kerinduan akan pertemuan selanjutnya, namun tidak kali ini. Karena ini adalah episode terakhir kisah kita. Aku tak tahu perasaan apa yang ada di dalam hatimu, tapi rasa hampa tercipta dalam hatiku. Aku bersedih, namun aku tak ingin menangis. Karena aku sadar, air mataku terlalu berharga untuk menangisimu.
Selamat jalan, Rayan. Selamat berbahagia dengannya, bisikku dalam hati.--- Tamat ---
Kalasan, Februari 2016
*Ketika hujan deras*
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Siang Itu
RomanceSiang itu kita berdua, duduk berhadapan di sebuah kedai kopi. Seharusnya kau membawa rindu. Tapi ternyata kau membawa cerita lain.