Pahlawan yang Terlupa

351 42 7
                                    

Aku berlari sekuat tenaga setelah melompati pagar sekolah, Pak Amin, satpam sekolahku bersama Pak Karim guru tata tertib yang paling killer mencoba menangkapku. Aku Devan, siswa kelas XII di sebuah SMA swasta di salah satu kota besar di Indonesia. Siapapun pasti mengenalku, Devan berandalan yang langganan keluar-masuk BK. Di tikungan yang tidak jauh dari sekolah, temanku Nolan sudah menungguku sambil menghisap sebatang rokok di atas sepeda motor modifannya.

“hahaha, gokil. Gue ketahuan Pak Amin sama Pak Karim, untung gue bisa kabur.” Kataku sembari mengatur nafas.

“gue kan sudah bilang, nggak usah ngambil jaket segala.” Komentar Nolan setelah menghembuskan asap rokok di depan wajahku. “cepet lo naik, teman-teman pasti sudah nunggu.” Lanjutnya.

Aku segera naik ke jok belakang motor sesuai perintahnya, tanpa mengenakan helm, Nolan melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan ibukota. Sepeda motor Nolan berhenti di depan sebuah warung kopi yang di sana sudah di penuhi oleh laki-laki berseragam sepertiku, bahkan ada beberapa yang mengenakan seragam putih biru. Warung kopi sederhana itu memang sudah menjadi tempat favorit untuk bolos bagi para pelajar, selain harganya cocok dengan kantong pelajar, free WiFi, dan tentu saja tempat lesehannya luas sehingga bisa untuk tiduran.

***

Sudah hampir lima jam aku berada di tempat ini, virus bosan tiba-tiba menyerang. Ketika itu juga aku baru sadar, Nolan sudah tidak berada di tempat ini lagi. Saat aku bertanya pada salah satu temanku, katanya Nolan pergi mengambil pesanannya ke seorang bandar, aku kira kalian pasti tahu maksudku. Yah, Nolan ada seorang pecandu narkoba. Ia telah mencoba segala jenis narkoba.

Aku memang berandal, tapi aku tidak berlebihan sepertinya. Nakalku, masih dibilang setengah-setengah, aku hanya merokok dan bolos sekolah. Tidak sampai mengonsumsi narkotika, meminum alkohol, dan seks bebas. Alasan mengapa aku tidak melakukan seks bebas, karena memang sekarang aku masih berstatus jomblo, dan aku juga tidak mau kalau harus menyewa wanita penghibur yang perlu diwaspadai terjangkit PMS (Penyakit Menular Seksual). Untuk mengobati rasa ingin tahuku, aku hanya melakukan onani dengan melihat gambar-gambar wanita seksi, untuk menonton video pornopun aku hanya sekali, itupun karena tidak sengaja membuka file video salah satu temanku.

“oh gitu, oke makasih bro gue balik dulu.” Aku pamit kepada temanku yang masih asyik memainkan smartphone-nya itu.

Sial sekali diriku, mungkin ini hukuman bagiku sebagai anak nakal. Udara terasa panas sekali, tidak seperti biasa. Matahari begitu terik hingga sinarnya menyilaukan pandangan. Sekarang aku sedang berjalan kaki menuju sekolah, tepatnya menuju parkiran dekat sekolah untuk mengambil sepeda motorku. Sebenarnya aku ingin naik metromini, tapi uangku sudah menipis karena untuk membeli kopi dan beberapa batang rokok di warung kopi tadi.

Saat aku melewati makam pahlawan, aku melihat seorang lelaki tua yang memakai seragam hijau dengan topinya, laki-laki itu sedang menikmati sebungkus nasi di pinggir jalan. Para pengendara motor yang lewat di depannya seperti tidak peduli dengan keberadaan laki-laki rentah itu, mereka melewatinya begitu saja. Tidak lama setelah itu, laki-laki itu bangkit setelah menenggak segelas air mineral yang sepertinya tadi tinggal setengah. Laki-laki itu kemudian berjalan menujuku.

“selamat siang cu.” Laki-laki itu menyapaku, aku hanya membalas dengan anggukan sembari tersenyum. Ternyata laki-laki itu berjalan ke arahku hanya untuk membuang bungkus nasi di tempat sampah yang berada tepat di sampingku. Laki-laki itu kembali menyapaku dengan senyumannya sehingga kulit keriputnya semakin kentara. Setelah dua langkah ia berjalan tiba-tiba ia terjatuh. Aku segera menolongnya.

“astaga kakek.” Aku segera membantunya untuk duduk. “kakek tidak apa-apa?”

“tidak apa cu.” Ia berusaha untuk berdiri, aku pun membantunya.

Pahlawanku di Hari TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang