CERPEN KETIKA MALAIKAT BERBISIK

17 3 0
                                    


Aku berlari kecil menghindari hujan sambil memayungi kepalaku dengan kedua tangan, meski percuma tetap saja tubuhku basah. Air berkecipak di kakiku. Membasahi celana jeans panjang yang kupakai. Setelah sampai di samping sebuah rumah kecil, aku berlari menuju bawah atapnya mencari perlindungan. Memiringkan badan agar tumpahan air dari atap tak mengguyur badanku. Berjalan pelan menuju pintu masuknya. Baru sampai di jendela yang sedikit terbuka, kuedarkan pandanganku ke dalam ruangan. Mataku mengerjap beberapa kali. Kulihat ada sekitar enam perempuan di dalam, lalu pandanganku beralih ke pakaian yang kupakai. Bukan karena basah, tapi aku merasa tidak pantas berpakaian kemeja kedodoran dan celana jeans bersanding dengan para perempuan berhijab syar'i.

Ada perasaan berkecamuk dalam diriku. Kakiku ingin melangkah masuk, tapi hatiku berusaha keras menahannya. Aku menengadah ke langit beberapa kali, berharap hujan akan cepat reda. Kuhembuskan napas dengan keras mencari-cari jawaban dari pertanyaan yang menggelayuti benakku. Pandanganku mengarah lagi ke dalam rumah itu, kulihat sepasang bola mata menangkap keberadaanku. Tak ingin dia menemukanku, aku berlari kecil menjauh dari rumah ini.

"Shafia." Langkahku terhenti mendengar suara yang tak asing dipendengaranku. Aku menoleh ke belakang. Mendapati sosok Afri di sana. Teman dari SMA-ku yang sekarang menjadi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku memutuskan masuk di Universitas yang sama dengannya di jurusan Ilmu Komunikasi.

"Tidak masuk ke dalam?" tanyanya membuatku memerah karena malu telah kepergok melarikan diri. Tadi sore aku telah berjanji akan datang di Pena Pelita --komunitas menulisnya. Di rumah kecil itulah mereka sering berkumpul untuk mendiskusikan semua hal tentang menulis.

Dia berjalan mendekatiku, aku berjalan kembali ke arahnya.

"Afri gerimis, nanti baju kamu basah." Kulingkarkan jemariku di pergelangan tangannya yang dibalut gamis hijau muda.

"Kamu sudah berjanji akan datang," ucapnya keras melawan suara angin yang beradu dengan rintikan hujan. Dia memayungi kepala dengan kedua tangannya.

"Aku memang sudah datang," balasku. Aku mengusap wajahku yang dibasahi air hujan berulang kali.

"Lantas, kenapa tidak masuk dan pergi begitu saja?" Di tengah temaram lampu jalanan kulihat tatapannya tajam ke arahku.

"Aku belum pergi, masih di sini." jawabku. Aku menggigit bibir keras-keras merasa benar-benar malu dengannya. Dia teman yang kukenal begitu tegas dan selalu menepati janji.

"Itu kalau aku tidak memanggilmu," tegasnya.

"Afri, lihat bajuku! Aku merasa tidak pantas berada di tengah-tengah kalian." Kali ini aku yang menatapnya tajam. Tidak ada yang perlu kusembunyikan darinya.

"Ada apa dengan bajumu dan baju kita?" Dia balik menatapku serius.

"Kalian berhijab syar'i, sedangkan aku tidak." Suaraku hampir tidak terdengar, tertiup angin yang disisakan hujan.

"Jadi itu alasannya?" responnya sambil tertawa renyah. Aku mengerutkan kening melihat sikap anehnya.

"Tidak ada yang lucu, Afri!" Aku heran melihatnya.

Seketika dihentikan tertawanya. Dia mengambil napas pelan. "Tidak ada ketentuan pakaian di antara kita. Asal bebas dan sopan, Shafia." Ditepuknya bahuku. Aku tahu itu. Tapi coba bayangkan jika ada orang berpenampilan berbeda dengan yang lain. Dia tampil mencolok. Pasti dia merasa malu. Apalagi aku tidak suka dijadikan pusat perhatian. Semua pasang mata pasti memandangiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KETIKA MALAIKAT BERBISIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang