Tlit... tlit... tlit...
Ya Tuhan! Betapa lemah detak jantungnya? Tak berdaya rasanya aku mendengarnya. Mengapa bukan aku saja yang menggantikan posisinya, Tuhan? Mengapa bukan aku saja yang Kau biarkan aku menerima apa yang dideritanya? Jangan dia, Tuhan! Bisakah aku memintanya sekarang?
Lihatlah betapa pucat wajahnya itu! Kapankah mata yang biasanya jernih itu akan terbuka? Kapan jemarinya dapat membalas genggaman tanganku ini? Kapankah bibir mungilnya dapat menjawab panggilanku untuknya? Kapankah kakinya dapat menyambut ajakanku untuk berlari seperti dulu lagi? Bangunlah, chagi!
"Lee Hyuk Jae!"
Secepatnya aku menghapus air mataku. Suara tadi, aku yakin dokter Jung Soo. Pasti ia akan mengecek kondisi Hyo Kyung lagi. Belum sempat aku menoleh, ia sudah ada di sampingku.
"Eotteyo?" tanyaku basa-basi. Padahal nyatanya aku tahu, pasti dia akan memberikan jawaban yang sama. "Sama saja," ya, itu yang akan diberikannya padaku. Tak mungkin yang lain.
Tapi kali ini, ia hanya menatapku. Kurasakan ada jawaban yang lain yang akan diberikannya padaku. Tertulis jelas di mata itu. Atau, ia hanya prihatin melihat mata sembamku ini?
"Hah..." tapi dia hanya mendesah perlahan. Ia tak bicara apapun tapi langsung pergi begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Tak ada kata-kata apapun yang keluar dari bibirnya. Ada apa denganmu, chagi? Kutatap lagi wajahnya, hanya diam dan datar. Tentu! Lee Hyuk Jae! Dia tak akan memberimu jawaban apapun! Kembalilah pada kenyataan! Ia tak akan bangun!
"Aku pergi dulu sebentar," bahkan pamitku ini pun tak akan mungkin terbalas. Kukecup keningnya sekilas, ia pun tak akan bereaksi. Oh, betapa perihnya hatiku! Gemetar, kugamit gagang pintu. Sempat sekilas kulihat wajahnya sebelum menutup pintu kembali. Seolah kulihat di wajah itu, meski sebenarnya tak ada sama sekali! Miris!
***
"Kau bercanda, kan?" rasanya berat sekali bibirku ini terbuka. Hanya untuk meyakinkan dokter tampan ini bahwa ia sudah salah berucap. Tapi yang kudapati ia hanya menghela nafas. Melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja. Memijit sedikit pelipisnya dan bangkit bangun. Yang membuat air mataku kembali terjun bebas, ia tiba-tiba meraih kedua pundakku dari belakang. Meski begitu pelan, aku bisa mendengar ucapan maaf darinya.
"Kau benar-benar tak mendapatkan donor jantung itu?" masih kucoba mendatangkan kesalahan. Siapa tahu dia hanya salah! Dia salah! Tak ada yang benar dari kata-katanya tadi. Tak mungkin kehidupan Hyo Kyung tinggal menghitung hari? Bagaimana mungkin dia setega itu memvonisnya seolah ialah Tuhan sebenarnya?
"Hyuk Jae, tak mudah mendapatkan donor jantung. Kau tahu apa konsekuensi bagi manusia jika mendonorkan jantungnya, kan? Nyawa taruhannya, Hyuk Jae! Nyawa!" kudengar penuh tekanan pada kata-katanya. Oh, aku tak ingin berlama-lama di sini! Aku tak suka mendengar dokter Park seolah menjadi malaikat maut sekarang! Aku harus pergi dari tempat ini!
***
Langkahku gontai. Bisa kurasakan kakiku yang lemas tak berdaya menopang tubuh kurusku. Bahkan aku sudah tak ingat lagi kapan terakhir aku menelan makanan. Yang ada di dalam fikiranku hanya Hyo Kyung. Gadis sebatang kara itu sudah diputuskan untuk pergi? Gadis yang selama ini aku cintai penuh kasih itu sebentar lagi akan pergi meninggalkanku? Benarkah aku tak bermimpi sekarang?
Aku tak akan mampu masuk ke kamar Hyo Kyung lagi. Aku harus mencari tempat lain. Mungkin taman di depan rumah sakit sana bisa menenangkanku.
Tak ada satu orang pun di sana. Hanya kesunyian yang menemaniku sekarang. Awan-awan putih seolah begitu dekat di depan wajahku. Apa ekspresi yang diberikan mereka kira-kira? Senangkah mereka melihat kemirisan nasibku ini? Atau mereka pun ikut menangis? Tapi, jika memang benar mereka sedih, kenapa tak ada setetes air pun yang mereka turunkan kemari? Lalu benarkah mereka mentertawakanku sekarang?