Sierra Leone

129 2 0
                                    

"Tebas lengannya!" ujar si kepala plontos, lalu meludah penuh amarah. Di tangannya, senjata berlaras panjang menggantung pasrah setelah sebelumnya memuntahkan ratusan peluru yang menembus perut, dada, punggung, kaki, tangan, dan kepala para tubuh tak berdosa.
"Tidaaak! Jangaaaaaaan!" teriak Alie dengan raut penuh ketakutan. Sekuat tenaga dia meronta, tapi tubuh ringkihnya tak mampu melawan. Kedua tangannya ditumpukan pada sebilah kayu lapuk dengan cat yang sudah terkelupas di beberapa bagian.
Sakit rasanya saat teman sekelasku sedang dalam situasi antara hidup dan mati, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Aku bahkan hanya bisa melihatnya lewat celah bebatuan cadas yang menyembunyikan tubuhku dari pengamatan mereka. Berulang kali kucoba menelan ludah, tapi tenggorokanku tercekat. Kering. Sekering tanah yang kupijak. Bulir keringat merembes, membasahi alis kiriku yang berjengit, lalu turun menetes melewati rahangku. Aku mendengar jantungku sendiri berdegup tak beraturan di antara sengal napas yang tertahan.
Susah payah aku mencapai semak-semak bebatuan ini dengan merangkak, berjalan dengan kedua tanganku sebagai tumpuan demi menyelamatkan diri. Tas selempang dengan tali panjang yang dibuat Mama kulilitkan pada pinggang agar bisa leluasa bergerak. Ini serangan ke sekian kalinya yang aku alami saat pulang sekolah.
"Cepat tebas lengannya!" perintah lelaki itu.
Tanpa menghiraukan teriakan Alie, si Tukang Jagal Tangan segera mengayunkan tombaknya. Dalam sekali tebas, kedua lengan mungil Alie telah sama sekali putus. Aku nyaris memekik. Kutangkupkan kedua telapak tangan untuk menutup mulutku sendiri. Aku tidak mau mereka mengetahui keberadaanku di sini.
Tubuh Alie menggelepar di tanah. Kemejanya yang lusuh kini terlihat menyala oleh darah yang mengucur dari kedua lengannya yang tak lagi sempurna. Tangisnya terdengar begitu memilukan di antara tawa membahana para pemberontak.
"Berikutnya!" Si Kepala Plontos kembali menghardik. Salah satu anak buahnya menyeret acak salah satu dari tujuh warga sipil yang tertangkap. Dia mendorong duduk seorang pria paruh baya dengan tulang-tulang penyangga tubuh yang terlihat terlalu menonjol di sana-sini. Wajahnya tampak pias karena ketakutan. Dengan menggigit bibir dan memejamkan kedua matanya, pria itu pasrah saat kapak memotong kedua lengannya. Tak ada teriakan pilu, hanya keringat yang membasahi tubuh dan wajah yang meringis menahan sakit dan ngilu.
Setelah itu lengan demi lengan begitu ringan dilepaskan dari tubuhnya, bersama dengan erangan kesakitan yang mengalun bagai paduan suara. Darah menggenang, meluber, menyisakan anyir di indra penciuman siapa pun yang mengendusnya. Lalu, beberapa pasang potongan lengan itu mereka bakar, sementara mereka menari dengan jemawa dan gelak tawa, ditemani minuman memabukkan yang ada di genggaman, seolah tengah merayakan pesta dengan api unggun menyala.
Para pemberontak yang menamakan diri sebagai Revolutionary United Front (RUF) ini datang dari Liberia, memberontak atas nama rakyat untuk melawan pemerintah yang dianggap tak becus. Diprakarsai oleh Foday Sankoh sebagai pendirinya, kelompok ini terus melakukan makar terhadap siapa pun yang melawan, termasuk warga sipil, tak peduli anak-anak dan wanita. Tak hanya memerkosa wanita, memotong tangan dan kaki serta menembaki warga sipil, mereka juga menculik anak-anak untuk kemudian mereka jadikan tentara cilik. Diam-diam aku selalu bertanya, sebenarnya mereka memberontak atas nama rakyat yang mana, jika justru kamilah yang menjadi korban.
Negeri kami memiliki dua suku besar, Temne dan Mende, tapi sampai aku sebesar ini tak pernah sekali pun aku mendengar cerita keduanya terlibat konflik. Pun perbedaan agama di antara kami tak pernah menjadi masalah. Islam, Kristen, dan kepercayaan lain mampu hidup dengan toleransi tinggi. Namun sayang, negeri ini porak poranda justru karena sumber daya alam yang kami punya: berlian.
Kupeluk tubuhku sendiri, meringkuk terduduk menyisakan remuk di dada yang entah harus kutujukan pada siapa. Pada pemberontak yang sudah hilang akal itukah? Pada pemerintah yang abai pada kami—rakyatnya? Atau pada Tuhan yang telah menganugerahi tanah ini dengan gelimang berlian?
"Sierra Leone berarti Pegunungan Singa. Julukan ini adalah pemberian dari para pedagang Portugis yang pernah singgah di sini. Tanah ini sejatinya tanah surga, Anakku. Kau lihatlah di luar sana padang rumput begitu luasnya, pegunungan yang berdiri gagah, hutan rimbun dengan beragam flora faunanya, dan ladang berlian yang sekarang menjadi sengketa para pemburu duniawi. Kau harus mencintai tanah surga ini, Anakku. Meski orang-orang yang menjejak di atasnya tak lagi pantas disebut penghuni surga. Percayalah pada Mama, surga itu akan kautemukan suatu saat nanti." Nasihat panjang lebar Mama selalu terngiang di telinga tiap kali aku merasa gamang dan ketakutan. Begitu juga saat aku merasa asing dengan diriku sendiri, Mama-lah yang selalu meyakinkanku. "Kamu berlian putih Mama, Sayang!" begitu ujarnya selalu dibarengi dengan kecupan yang mendarat di dahiku; perlakuan Mama yang membuat Alicia—adik perempuanku—merasa cemburu.
Mama memanggilku "Berlian Putih" bukan tanpa alasan. Saat masih kecil, orang-orang menjulukiku Si Putih di Afrika. Tak hanya persoalan warna kulit, kedua mata dan rambutku pun berbeda dengan mereka. Rambutku lurus dan kedua kelopak mataku tak memiliki lipatan, sementara mereka berambut keriting dengan kelopak mata yang terlipat. Aku tahu aku berbeda, tapi Mama selalu menegaskan bahwa ini hanya perkara kulit luar. Pada kenyataannya, aku memang tak pernah mendapat masalah karena warna kulitku. Kecuali, ya, kecuali Alicia yang bersikeras enggan menganggapku sebagai kakaknya. Mungkin karena dia masih kecil untuk memahami ini semua, dan aku tidak bisa tidak memaklumi sikap keras kepalanya.
Kini, di antara kondisi perang perebutan kekuasaan dan pemberontakan yang seakan tak ada ujung pangkalnya, aku benar-benar merasa terasing. Di mana surga itu bersembunyi, Tuhan? Kueratkan pelukan pada kedua kaki dengan sikap tubuh meringkuk di antara himpitan bebatuan besar, dan bibirku masih tak lepas dari dzikir.
Entah berapa lama aku tertidur di sana, saat kubuka mata, langit sudah menggelar jubah gelapnya. Sebelum beranjak, kedua mataku awas memicing memindai sekeliling. Para pemberontak itu sudah pergi. Alie dan beberapa korban lain pun sudah tak ada di sana. Semoga para tentara PBB telah menyelamatkan mereka. Aku berdoa dalam hati.
Aku berjalan dengan mengendap-endap melewati gang-gang bangunan sempit yang beberapa di antaranya telah menjadi puing dan rumah rumbia yang telah terbakar. Mendekati wilayah perkampungan, kupercepat langkah agar segera tiba di rumah. Setiap jengkal tanah kulewati dengan gelisah. Takut kalau-kalau ada penyerbuan tiba-tiba. Kepalaku masih terus memutar adegan pemotongan tangan tadi.
Bayangan wajah Mama yang pasti resah menungguku pulang membuat perasaanku makin campur aduk. Benar saja, tepat saat buku-buku jemariku beradu dengan pintu berbahan kayu, dan kudekatkan mulutku untuk memanggilnya lirih, terdengar langkah kaki yang terburu mendekati pintu.
"Kaukah itu, Tama?" tanyanya setengah berbisik.
"Iya, Ma—" Tanpa menungguku menyelesaikan kalimat, Mama membuka pintu dan dengan sigap mendorong tubuhku untuk cepat masuk rumah.
"Oh, Alhamdulillah, ya Allah. Kau telah menjaga Tama-ku! Anakku, Mama menunggumu dengan perasaan cemas. Apa kau baik-baik saja, Sayang?" Mama memeriksa tubuhku, memastikan aku dalam keadaan baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja, Ma. Maaf sudah membuat Mama khawatir."
"Kau dari mana sampai selarut ini baru pulang? Kau tidak tahu betapa Mama tidak tenang memikirkanmu!" ucap Alicia, yang kini tengah duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Dia kemudian mendengus kesal. Gadis kecil bertubuh agak mungil itu melipat kedua tangan di dadanya. Umurnya 12 tahun. Aku menatap matanya yang bening, kemudian kualihkan pandangan mataku pada wajah Ma yang masih menyimpan cemas.
"Tadi sepulang sekolah, para pemberontak datang dengan truk-truk hendak menangkap kami. Aku berhasil melarikan diri dan sembunyi sampai ketiduran. Aku memastikan keadaan aman dulu, baru pulang. Maafkan aku, Ma." Ucapku. Saat ini aku tengah duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Umurku baru 16 tahun. Di umur ini, aku rasa Mama tak perlu terlalu cemas seperti ini. Aku sudah menjadi lelaki remaja yang akan selalu berusaha menjaga diri dengan baik. Aku bukan anak kecil lagi yang harus dikhawatirkan.
"Jadi kau tadi dalam bahaya, Nak? Oh, Tama!" Mama meraih wajahku di antara kedua telapak tangannya. "Tidak, besok kau tidak boleh pergi ke sekolah. Ini sudah kejadian yang ke sekian kalinya, Tama. Mama tidak mau mengambil risiko kehilangan kamu, Sayang!" lanjutnya.
"Yang penting aku baik-baik saja sekarang, Ma." Aku mencoba menenangkan Mama, menyingkirkan kekhawatirannya yang wajar.
"Tama, Mama mohon kali ini penuhi permintaan Mama. Tidak ada yang boleh pergi jauh-jauh dari Mama saat-saat sekarang ini. Tidak kau, tidak juga Alicia. Situasi makin tidak aman. Kalian paham?" ucap Mama lagi, memelas.
Aku dan Alicia berpandangan. "Baiklah, Ma," jawab kami hampir berbarengan.
​"Bagus!" ujarnya. "Sekarang kemari, Tama, Alicia. Peluk Mama."
Dalam dekap hangatnya, hatiku berdesir. Hari ini, aku masih selamat. Bukan. Lebih tepatnya, aku kembali diselamatkan. Tuhan telah menyelamatkanku. Dan mungkin, itu lewat perantara doa penuh harap mamaku.
*****
"Alicia, coba kau panggil kakakmu ke dalam. Kita makan sama-sama." Di luar rumah aku mendengar Mama menyuruh Alicia.
"Ma, berapa kali harus kubilang, Tama bukan kakakku! Dia bukan kakakku!" protes Alicia.
"Alicia, jangan begitu, Sayang. Kita ini keluarga. Kau tidak sepatutnya bicara begitu," peringat Mama. Rumah petak yang hanya beratap dan berdinding rumbia ini membuatku bisa mendengar dengan jelas percakapan Mama dan Alicia di dalam. Seringkali aku berharap tak mendengarnya. Tanpa menunggu Mama menyuruh untuk yang kedua kali, aku bergegas masuk, menyunggingkan senyum pada Mama. Aku tidak ingin menambah resah di hatinya.
"Ayo kita makan selagi masih ada waktu," ujar Mama parau. Dia duduk di antara aku dan Alicia. Bertiga kami duduk dengan alas kulit sapi yang disamak sekenanya, mengelilingi makanan yang seadanya.
"Mama kenapa bilang seperti itu? Seperti kita tidak akan pernah lagi makan bersama saja!" gerutu Alicia.
"Iya, Sayang, Mama tahu. Tapi Mama takut sekali kehilangan kalian. Suasana di negara kita membuat hati Mama tidak tenang akhir-akhir ini. Mungkin rombongan pemberontak itu sudah semakin mendekati wilayah perkampungan kita. Kalian sendiri tahu betapa kejamnya mereka." Mama menatap nanar makanan yang ada di depannya. Kugenggam tangan Mama dan kuelus pundaknya, mencoba menenangkan. Pagi menjelang siang hari itu kami lewati dengan perasaan gamang penuh kekhawatiran.
Seusai makan, kubantu Mama merapikan piring-piring dan mencucinya ke ruangan lain yang lebih mirip bilik sederhana yang kami sulap sebagai dapur dan kamar mandi. Mama mengelap beberapa sendok yang telah kucuci dengan lap kering yang warnanya telah memudar dimakan usia, sedangkan Alicia beranjak keluar. Dia masih enggan bercengkerama denganku. Bahkan saat usia kami sudah beranjak remaja seperti sekarang ini, Alicia masih belum bisa menunjukkan sikap basa-basinya untuk dekat denganku.
Dulu, dulu sekali, kami pernah begitu akrab. Saat usia Alicia belum genap empat tahun. Tangannya yang mungil menggenggam erat jemariku. Dengan pengucapan yang belum jelas dia memanggilku kakak. Seringkali aku rindu masa itu, saat Alicia dengan kepolosannya tak menganggap kami berbeda.
"Maafkan adikmu, Tama. Kau tahu dia terkadang suka sembarangan saat berbicara denganmu. Suatu saat dia akan menyadari bahwa Tama Janowitz, kakak lelakinya, begitu menyayanginya. Dan Mama tahu, kau memang menyayanginya, kan?" Suara Mama membuyarkan ingatanku yang sedang terbang ke masa kecil. Dari tatapan mata teduh dan ucapannya, Mama seakan tahu isi hatiku. Mama menjawab pertanyaanku tentang sikap Alicia. Ya, Mama benar, aku sangat menyayanginya. Meski aku tahu, Alicia tak pernah bersikap sama terhadapku. Dan sekali lagi, Mama benar, mungkin ini hanya soal waktu.
Tepat saat kuangkat sisa piring yang telah kucuci, suara teriakan beradu suara muntahan peluru menggedor samar-samar gendang telingaku. Mama sontak panik.
"Adikmu ada di luar, Tama!" Sendok-sendok yang semula digenggamnya diletakkan serampangan hingga berjatuhan, lalu Mama berlari keluar.
Bayangan Alie dan warga sipil lain yang mengalami penyiksaan kemarin terlintas di pelupuk mataku. Bulu tengkukku meremang. Aku bergidik ngeri membayangkan kejadian itu hingga nyaris menjatuhkan piring-piring yang kupegang. Suara tembakan terdengar semakin dekat. Kuletakkan piring-piring itu sekenanya dan segera berlari menyusul Mama dan Alicia.
​"Di mana Mama dan Alicia? Mamaaaaaaaa... Aliciaaaaaaaaa...!" teriakku. Otakku dengan segera memerintahkan kedua kaki untuk berlari menyusuri jalanan yang sudah hiruk. Orang-orang lari berhamburan. Rasa panikku tak lagi terbendung. Keadaan yang sudah terlalu kacau membuatku tak bisa berpikir tenang.
"Menjauh dari sana, Nak! Selamatkan dirimu! Para pemberontak sudah tiba!" peringat seorang ayah yang sedang menggendong bayi lelakinya saat berlari melintas di depanku. Aku hanya menatapnya penuh kengerian.
Aku menggeleng. "Tak boleh takut! Aku harus selamatkan Mama dan Alicia dulu." bisikku pada diri sendiri, berusaha menguatkan.
Pandanganku kacau. Keadaan sudah benar-benar di luar kendali. Seorang ibu mengenggam tangan anak perempuannya di tangan kiri, sementara tangan kanannya mendekap bayi. Seorang ayah membopong anak perempuannya. Anak-anak kecil dengan tanpa alas kaki harus rela saat kedua kaki mungilnya beradu tanah yang sepanjang hari ini terpanggang matahari. Semua orang berlalu lalang panik di sekelilingku.
Decit roda truk menderu, menerbangkan debu-debu tanah yang dilewatinya. Suara tembakan kembali terdengar sangar. Semakin lama, suara teriakan semakin memenuhi udara, mmbuat panas telinga. Para pemberontak itu ada di depan mata. RUF telah tiba! Aku merunduk, menyusup di antara semak-semak saat truk mereka melintas. Para penumpang di atasnya berdiri pongah menenteng senjata, bersiap memuntahkan pelurunya.
Dengan tetap waspada, aku berlari menjauhi mereka untuk kembali mencari Mama dan Alicia. Pemandangan yang kutemukan kemudian membuat jantungku berdegup makin kencang. Astagfirulloh. Tubuh-tubuh berlumuran darah bergeming kaku di jalanan, tak lagi bernyawa. Jasad seorang perempuan yang kaki dan tangannya telah remuk, lalu di sampingnya jasad seorang ibu dengan isi perut terburai, tampak jelas bekas luka sayatan di sana, di tangannya yang berlumuran darah, ada makhluk kecil yang aku yakin itu adalah janin. Perutku mual seketika.
Sambil beristigfar kulayangkan pandangan ke sekeliling, berharap segera menemukan Mama dan Alicia. Kemudian lamat-lamat kudengar suara tangisan yang tak asing. "Mamaaaaaa! Bangun, Maaaaa! Banguuuuun!"
Benar saja, itu suara adikku. "Alicia!" Aku berlari mendekatinya. Di pangkuannya, Mama terkulai dengan darah mengalir dari dua lubang menganga di perut dan dadanya. "Mama! Bangun, Ma! Alicia, Mama masih hidup, kan?" tanyaku spontan. Kutatap wajah Mama lekat-lekat. Persendianku terasa lemas, hatiku remuk menyaksikan jasad Mama tak lagi bernyawa. Tangisku seketika pecah. Kugoyang-goyang tubuh Mama, tapi sia-sia. Tubuh itu hanya membisu beku.
Tanganku bergetar hebat saat perlahan mengusap wajah Mama sambil membacakan syahadat di telinganya. "Asyhadualla Ilaha Illalah, Wa Asyhaduana Muhammada Rosululloh." Innalilahi Wainna Ilaihi Roji'un.
"Hei, kalian, cepat masuk ke dalam mobil!" teriak seseorang. Tenggorokanku nyaris tercekat saat mendengar suara itu. Aku hampir mencengkeram lengan Alicia untuk kabur sebelum akhirnya menyadari bahwa kali ini bukan para pemberontak yang datang, melainkan para tentara PBB yang ingin menyelamatkan kami.
"Ayo, semuanya cepat ikut kami!" teriak tentara itu lagi. Kali ini pandangan kami bertemu. Mata birunya tegas memandangku. Dia menyuruhku untuk segera beranjak.
Kudekatkan bibirku di telinga kanan Mama, kurapalkan sebuah doa dan berbisik lirih, "Mama, kami sangat mencintaimu. Aku berjanji akan menjaga Alicia. Selamat tinggal, Ma. Suatu saat kita akan bertemu lagi di surga-Nya." Suaraku bergetar, pandanganku kabur seiring air mata yang terus keluar. Kucium kedua punggung tangannya dan kusedekapkan di atas dadanya, lalu kucium keningnya untuk yang terakhir kalinya.
"Alicia, kita harus pergi dari sini." Kutarik tangan Alicia ditengah isak tangisnya. Aku dan Alicia harus segera ikut tentara PBB sebelum para pemberontak itu kembali datang.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku ingin menemani Mama di sini! Kau saja yang pergi, Tama!" teriaknya, menepis tanganku. Dia rengkuh jasad Mama.
"Alicia, Mama sudah tiada. Aku tahu ini berat, tapi kita harus melanjutkan hidup." Aku berusaha membujuknya.
"Kau lanjutkan saja hidupmu! Aku akan tetap di sini menemani Mama!" Alicia mendorong tubuhku untuk menjauhinya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kucengkeram lengan Alicia. Aku berjalan setengah menyeretnya yang mencoba berontak. "Lepaskan aku, Tama! Tinggalkan aku di sini bersama Mama! Kau tidak berhak untuk memaksaku!" Sekali lagi Alicia mencoba melepaskan cengkeramanku. Sia-sia, tenaganya tak cukup kuat untuk melawanku.
Truk tentara PBB yang akan membawa kami telah siap berangkat. Tentara PBB yang sedari tadi menunggu, menjajari langkahku menuju truk. Kukencangkan cengkeramanku pada tangan Alicia. "Kita harus pergi dari sini, Alicia! Kita harus ikut mereka!" Kali ini kudekap tubuh Alicia sambil terus berjalan dengan langkah terburu. Tepat di belakang bak truk yang sudah dipenuhi orang-orang, kudorong tubuh Alicia ke atas untuk segera masuk. Dibantu tentara PBB, aku turut naik menyusul Alicia.
"Kau jahat meninggalkan Mama di sana! Menjauh dariku! Kau bukan kakakku! Selamanya kau bukan kakakku! Aku benci kau, Tama! Aku benci!" Alicia memukul-mukul dadaku, tapi yang sakit justru hatiku.
Hatiku sakit saat Alicia bilang aku jahat telah meninggalkan jasad Mama di sana. Sungguh, jika saja aku mampu, aku akan merawat dan mengubur jasad Mama di tempat yang selayaknya, sesuai syariat Islam. Tapi di tengah konflik seperti ini, saat nyawa bagai barang murah, kami tentu akan kesulitan bahkan untuk sekadar merawat jenazah para korban, sementara nyawa kami sendiri harus dipertaruhkan. Entahlah, barangkali ini akan terdengar tidak manusiawi, tapi semoga Allah mengampuni kami—para korban kejahatan kemanusiaan.
Perlahan truk berjalan. "Mamaaaaaa...!" teriak Alicia. Dia  hendak turun sebelum akhirnya kupeluk tubuhnya dari belakang. Kedua tangannya berusaha melepaskan pelukanku. Tapi, lagi-lagi, usahanya sia-sia. Pandangannya terus tertuju pada jasad Mama yang tergeletak di sana.
"Aku mohon, Alicia, kali ini ikuti apa kataku." Kuhadapkan wajahku pada Alicia. Kutatap kedua matanya lekat-lekat, mencoba meyakinkannya bahwa dia tidak sendirian, bahwa dia masih memiliki aku—kakaknya. Sesaat setelah itu, dia roboh terduduk. Suara tangisnya tak lagi keras terdengar, hanya sisa napasnya yang tersengal. Pandangannya kosong menatap aspal jalan yang banyak berlubang. Aku turut terduduk di sampingnya. Seluruh persendianku benar-benar terasa lumpuh.
Beberapa orang di sekeliling kami memandang nanar. Mungkin mereka menaruh prihatin padaku, atau justru menganggap aneh keberadaanku di antara mereka. Sisanya tak acuh, sibuk dengan pikiran masing-masing, mungkin memikirkan nasibnya yang sendiri yang juga belum jelas.
Mobil melaju, semakin menjauhi desa kami, meninggalkan harta kami yang tak seberapa, meninggalkan jasad orang-orang yang kami cintai yang tak lagi bernyawa, dan hanya menyisakan pemandangan pilu di setiap jengkalnya; jasad-jasad kaku dengan kulit terbacik di sana-sini dan dikerubuti beberapa burung pemakan bangkai.
Sierra Leone tak lagi sanggup menjanjikan surga kepada kami, para penghuni yang menjejak tanahnya. Apalah artinya berkarat-karat berlian, jika untuk mendapatkannya harus menumpahkan banyak darah. Dua kata yang menjadi mata kunci semua persoalan yang terjadi di negeri ini: nafsu duniawi.
Kuhapus air mata yang membanjiri pipi. Aku harus kuat demi Alicia. "Aku akan menjaganya. Itu janjiku, Ma!" bisikku dalam hati.

Runway to HeavenWhere stories live. Discover now