Matahari mulai tergelincir ke arah barat saat truk melewati sabana. Beberapa akasia berdiri berjajar seakan melewati kami. Rerumputan berwarna emas tampak berkilau ditempa cahaya matahari, melambai meliuk serempak mengikuti arah angin yang bertiup semilir. Hujan sudah lama berlalu, bergilir dengan kemarau yang mulai menjejak. Pohon baobab raksasa—pohon khas Afrika—meranggas memagari jalan. Kulit batangnya mengelupas di beberapa bagian dengan akar mencuat di permukaan tanah. Dari kejauhan, singa jantan melenggang anggun. Sesekali ia mengibaskan surai di tengkuknya yang membuatnya terlihat menakutkan di depan mangsanya. Warna kulit dan surainya tampak serasi dengan rerumputan di sekitarnya. Sementara itu, di sudut lain, sekawanan jerapah begitu masyuk menikmati dedauan, lidahnya yang panjang terjulur-julur dengan kepala menengadah tanpa rasa lelah. Diam-diam aku iri pada mereka. Meski hidup di alam liar dengan hanya dibekali dua pilihan; dimangsa atau memangsa, tapi mereka terlihat tanpa beban ketakutan. Tuhan menciptakan mereka sepaket dengan mekanisme untuk bertahan hidup dari pemangsa.
Dadaku bergetar. Aku salah, Allah tak pernah memalingkan wajah-Nya dari makhluk ciptaan-Nya.
Roda truk berdecit melewati sejengkal demi sejengkal dataran Afrika, menyemburkan debu-debu menyepatkan mata, menguarkan aroma kerontang tanah. Aku terbatuk sambil menutup mulut dan hidung dengan kedua telapak tanganku. Sesekali truk berguncang saat roda beradu dengan kerikil dan jalanan yang tak rata, membuat kepalaku terantuk dengan badan truk. Sedangkan Alicia tertidur, kepalanya jatuh di pangkuanku.
Kuamati satu persatu orang-orang yang berada dalam truk. Kuhitung dalam hati. Ada lima belas orang termasuk aku dan Alicia. Mereka orang-orang yang bernasib sama dengan kami. Wajah-wajah lelah dihiasi peluh dengan mimik muka tegang, sedih, dan nelangsa. Seperti kami, mereka kehilangan tempat tinggal, sanak saudara, dan keluarga.
"Putraku telah menjadi bagian dari pemberontak itu." Seorang pria di samping kiriku memecah lamunanku. Spontan aku menoleh padanya. Perawakannya kurus, sepertinya tinggi karena kakinya yang melipat tampak panjang, kepalanya sedikit lebih besar, membuatnya tampak tak proporsional. Kedua matanya menerawang seakan mengingat objek yang tengah dibicarakannya.
"Mereka menculik putraku saat dia dalam perjalanan menuju sekolah. Kemudian mereka mencuci otaknya dengan doktrin dan memberinya suntikan obat-obatan di lengan. Dua adik perempuannya tewas karena selongsong peluru yang dia muntahkan. Sementara ibunya dia perkosa. Dan aku... pelurunya nyaris menembus betisku." Tanpa kuminta dia melanjutkan panjang lebar. Kedua tangannya menggulung salah satu bagian bawah celananya ke atas. Ditunjukkannya luka itu. "Nyaris, bukan?" ujarnya lagi.
Aku hanya diam mendengarkan sebagai respon atas ceritanya. Namun tampak jelas dia merasa mendapat perhatian penuh dariku karena itu dia melanjutkan ceritanya lagi.
"Putraku anak yang baik. Aku yakin dia akan kembali padaku," ucapnya penuh harapan.
Di balik kelopak keriputnya, mata itu berkaca-kaca. Aku benar-benar tercekat. Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi ceritanya. Hanya hati sekuat karang yang mampu menceritakan ulang kisah nyata sepedih itu tanpa mengeluh. Dan seharusnya aku malu.
"Putraku mungkin dua-tiga tahun lebih tua darimu, Nak!" Dia menepuk pelan pundakku. "Kamu pasti bukan asli sini, tapi... jaga adikmu baik-baik." Senyum tulus dari bibirnya seolah menghipnotisku untuk turut mengangkat otot-otot di wajahku. Tersenyum. Sejurus kemudian, dia menggeser duduknya ke depan, menjatuhkan kepalanya lalu mulai memejamkan mata. Dia tidur memunggungiku dengan kaki melengkung dan menjadikan kedua tangannya sebagai bantal seolah apa yang barusan terjadi hanya bentuk igauan.
Aku mengangkat sedikit kepala Alicia yang masih tertidur di pangakuanku untuk menggeser posisi duduk. Aku mencoba memejamkan mata, tapi luka gores peluru yang mengukir betis pria yang sedang tertidur di sampingku membuat mataku terpaku. Cerita pedihnya kembali terngiang di telinga. Seorang anak menjadi mesin pembunuh bagi saudara dan orang tuanya sendiri. Jika saja para pemberontak itu berhasil menculikku, mungkin jalan hidupku tak akan ada bedanya dengan mereka—para tentara cilik. Aku bergidik.
Bayangan tubuh Mama yang berlumuran darah kembali terlintas hingga tanpa sadar cairan bening menetes dari pelupuk mataku.
"Mama...," Alicia bergumam lirih. Matanya mengerjap. Pelipisnya basah oleh air mataku.
"Alicia...." Kubersihkan sisa air mataku yang mengenainya dan kuelus rambut ikalnya dengan lembut.
"Kau!" Alicia mengangkat kepalanya dengan gusar. "Aku tidak mau dekat denganmu. Aku tidak sudi tidur di pangkuanmu. Jangan sentuh aku, kau bukan kakakku! Selamanya aku tidak akan menganggapmu kakakku!" Alicia mendorong tubuhku agar menjauhinya.
Beberapa orang yang tadinya telah lelap tertidur terusik oleh pertikaian kecil kami. Air mataku meleleh. Bukan karena penolakan Alicia, tapi lebih karena kesedihanku melihatnya harus menerima kenyataan pahit, hidup tanpa orangtua dan menghadapi masa depan yang belum jelas. Segalanya terasa begitu gelap. Anak-anak korban perang seperti kami tak akan bisa lagi bermimpi indah dengan mata terbuka. Hanya kesedihan dan kepedihan yang terus membayang. Lupakan bangku pendidikan dan ilmu pengetahuan, kami lebih was-was nyawa kami melayang daripada harus khawatir memikirkan apakah cita-cita kami akan tergapai atau tidak. Saat anak-anak di belahan bumi lain asik menikmati buku-buku bacaan bermutu, berdiskusi teori-teori ilmu baru dengan teman sebaya dan guru, atau bermain sambil berolah raga dengan gelak tawa, di sini kami harus menguliti tiap lapis ketakutan, berharap akan menemukan kedamaian di lapisan berikutnya.
"Alicia—" Aku hendak merengkuhnya, tapi dengan kasar Alicia kembali mendorong tubuhku.
"Kau jahat, kau biarkan Mama sendirian di sana. Aku tidak akan pernah memaafkanmu!" ujarnya sengit.
"Mama sudah pergi menyusul Papa. Mereka sudah tenang di alam sana." Aku mencoba menenangkannya.
"Tapi kau yang membiarkan Mama sendirian di sana. Kau tega pada Mama!" Tangis Alicia kembali pecah. Telunjuknya menuding tepat ke arah mataku, seolah ingin menghakimiku.
Aku memejamkan mata, merasakan sayatan luka yang berdenyut di dada. Bukan karena tuduhan Alicia pedih ini mencuat, tapi karena dia benar. Aku tak berdaya, hanya bisa membiarkan jasad Mama di sana. Aku menarik napas panjang sebelum berkata selembut mungkin pada Alicia, "Baiklah, kau mau memaafkanku atau tidak, mau menganggapku kakak atau tidak, aku akan tetap menjagamu, Alicia."
Aku menyerah, berusaha tidak memedulikan penolakannya. Sebelum memalingkan wajah dan membelakangi Alicia, kulihat dia meringkuk dengan tangan memeluk kedua lututnya yang menempel di dada. Sepertinya dia berpura-pura tidur. Aku beringsut agak menjauh.
Ekor mataku menangkap seorang gadis berambut pendek tengah memandang tajam ke arahku. Gadis itu duduk di hadapanku dengan posisi kedua kaki ditekuk menyilang; bersila. Dua buah batu sebesar kelereng berputar saling beradu di genggaman tangan kanannya. Ada bekas luka memanjang yang tampak kontras dengan warna pipinya yang legam. Kedua alisnya saling beradu dan turun sedikit ke bawahnya. Sepasang mata itu tak berkedip, seolah ingin menelanjangi pikiranku. Untuk sesaat, mata kami bertemu.
"Kau lelaki cengeng!" cercanya tiba-tiba.
"Hei, kau siapa? Hati-hati kalau bicara!" aku mendengus sedikit tak terima.
"Kau manja! Kau sama sekali tidak pantas disebut lelaki, kau tahu itu?" Sebelah alisnya terangkat dan bibirnya tersenyum menyeringai. Dia mencibirku.
"Kau tahu apa tentang aku dan hidupku hingga berani mengataiku manja, hah?!" Suaraku naik tiga oktaf. Emosiku terpancing. Aku benci menerima gelar manja dari gadis yang baru aku jumpai.
"Papa adik perempuanmu sudah meninggal sejak kalian masih kecil dan Mama kalian baru saja tewas tertembak. Adik perempuanmu itu tidak mau menganggapmu sebagai kakak meski kau sangat menyayanginya. Benar begitu, hah?" tebaknya.
Aku tercengang. Gadis ini pasti sudah sejak tadi mengawasiku dan Alicia hingga bisa menyimpulkan sejauh itu. Kedua matanya yang terkesan menghakimi masih lekat memandangku. "Kau sok tahu sekali!" aku berkelit.
"Tidak ada yang tersisa—" Mata itu menunduk. Aku menangkap kepedihan di sana.
"Apa?" Aku memotong kalimatnya.
"Tidak ada yang tersisa... selain aku...." Dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "Mama, Papa, dan dua adik kembarku yang masih balita meregang nyawa di depanku. Para pemberontak itu hanya menyisakanku. Mereka bermaksud merekrutku untuk menjadi salah satu dari ratusan tentara anak hasil penculikan. Mereka mengurungku di sebuah ruangan pengap tanpa ventilasi, tanpa makanan, hanya minuman dalam botol dengan bau menyengat hidung. Mereka mencekoki aku dan anak-anak lain dengan alkohol dan obat-obatan." Dia terdiam lagi. Seolah tenggorokannya tercekat.
Aku diam, menanti kelanjutan ceritanya. Seakan gadis itu seorang juru dongeng. Tapi sunyi masih meraja di antara kami. Kulihat wajahnya memucat tapi tetap tegar, sepertinya dia sedang mengenang bagian yang sangat penting.
"Suatu malam, salah satu dari mereka menyeretku ke ruangan lain yang lebih terpencil. Dengan mata nyalang, mulut bau alkohol dan tubuh sedikit sempoyongan, dia hendak memerkosaku. Aku sekuat tenaga melawan dan merebut botol setengah isi yang dipegangnya. Kupecahkan botol itu dan kutancapkan bagian tajamnya tepat di perutnya. Manusia sadis itu menggelepar lalu mati perlahan." Gadis itu tersenyum getir, seolah merayakan sebuah kemenangan. "Aku kabur, dan sejak saat itu hidupku hanya tentang pelarian, sembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Hingga akhirnya aku berhasil menyusup ke dalam truk ini."
Angin berdesau, meniup-niup tudung truk. Dedaunan akasia saling bergesek, seolah sedang menyuguhkan latar suara pengiring cerita gadis itu. Mataku sedari tadi ingin menangkap basah raut kesedihannya untuk kemudian mencibirnya balik. Namun, justru bias ketegaran yang kutemukan. Aku ingin melihat sepasang mata yang berkaca-kaca, bibir yang bergetar, dan hidung yang disusut karena mengeluarkan ingus. Nihil.
"Bekas luka di pipi dan ini yang mereka tinggalkan di tubuhku." Terjawab juga dari mana asal bekas luka memanjang itu. "Dan... kau lihat ini?" Dia kembali menunjukkan bekas luka lain di lengan kirinya. Bukan, itu bukan bekas luka, melainkan tulisan yang sengaja diukir di kulit, seperti tato timbul.
"R... U...." Mataku menyipit, mencoba membaca huruf yang terukir di sana.
"RUF! Mereka mengukirnya dengan bayonet. Ini artinya hidup kami sudah menjadi hak mereka. Milik RUF." Gadis itu menjelaskan tanpa kuminta. "Kau tahu, sebelum segala pemberontakan ini terjadi, aku sudah tahu semuanya." Tanpa memedulikan keterkejutanku akan ceritanya, dia terus mengajakku bicara. Mungkin karena seluruh penumpang di truk ini telah tertidur. Atau mungkin dia memang ingin menceritakan segalanya padaku.
"Maksudmu?" Aku hanya menanggapi sekenanya, tidak sepenuhnya paham.
"Roh nenek moyangku telah lebih dulu membisikkannya padaku. Kelaliman, pembunuhan, pemberontakan, darah, mayat-mayat... semua ini... aku sudah pernah menerima penglihatan ini lewat mimpi," jelasnya dengan wajah serius.
Aku tergelak mendengar ceritanya. Akhirnya kutemukan celah untuk mencibirnya balik.
"Apa? Kenapa? Kau tidak percaya dengan penglihatanku? Kau kira para pemberontak itu akan diam saja membebaskan kita? Tunggu saja, tengah malam nanti mereka akan berhasil menyusul truk ini dan menghabisi kita semua," sesumbarnya.
"Kau kira aku akan percaya ramalanmu yang tidak masuk akal itu? Maaf, tapi ajaran agamaku melarang kami untuk percaya dengan ramalan. Lagipula—"
"Kau mau percaya atau tidak, itu terserah saja," potongnya tanpa mengacuhkanku, kemudian dia memilih tidur atau mungkin mencoba untuk tidur.
Kini, tinggal aku yang sepenuhnya terjaga. Angin meniup lembut rambut lurusku yang jatuh di dahi. Kupejamkan mata, meresapi tangan-tangan angin yang membelai wajahku. Rona senja yang menembus kornea mata membuat kedua mataku kembali membuka.
"Oh, matahari hampir tenggelam dan aku belum salat." Aku merutuki diri sendiri. Jika saja Mama tahu, dia pasti akan marah mendapatiku melalaikan waktu untuk bercengkerama dengan Allah. "Selama nyawa masih ada dan pikiran terjaga, kewajiban salat akan tetap berlaku. Tak peduli susah atau senang, di waktu luang atau sempit, salat tidak bisa begitu saja kita tinggalkan. Jangan pernah lalai mengingat-Nya, niscaya Dia akan lebih mengingatmu." Begitu nasihat Mama yang selalu kuingat.
"Alicia, bangunlah. Senja sudah hampir habis. Kau belum menunaikan salat, bukan?" Kugoyang sedikit pundak Alicia. Dia tergagap. Matanya merah masih menahan kantuk. "Pakai ini sebagai penutup kepala dan kakimu," lanjutku sambil menyerahkan chitenje, kain warna-warni khas penduduk Afrika yang biasa digunakan para wanita dengan dililitkan pada pinggang, penutup kepala, atau untuk menggendong bayi-bayi mereka. Alicia mengambilnya dari tanganku tanpa sedikit pun melihatku. "Bertayamumlah dahulu."
"Ya, aku sudah tahu!" tukasnya. Aku sudah terbiasa mendengar jawaban ketus dari bibir Alicia hingga hampir tak pernah sedikit pun terbersit untuk memasukkannya dalam hati.
Aku mulai bertayamum dengan menempelkan kedua telapak tanganku pada badan truk tempatku bersandar, menepuknya, untuk kemudian kuusapkan pada wajah, kembali menempelkan dan menepuknya yang kedua kali untuk kuusapkan pada tangan. Debu; zat remeh yang dianggap kotor hingga orang-orang harus menutup hidung saat berpapasan dengannya, mengusirnya saat ia mulai menempel dan menutup permukaan barang-barang kesayangan, menyapunya keluar seolah tak ada tempat yang layak untuknya. Tapi kini, debu justru menjadi solusi paling tepat saat keberadaan air tak lagi terlacak untuk kebutuhan bersuci. Saat kebanyakan manusia tak pernah menyambutnya dengan ramah, debu justru membalasnya dengan indah. Debu mewakafkan dirinya untuk dimanfaatkan oleh manusia saat air tak lagi tersedia, menjadi sarana bagi seorang hamba untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Ia menjadi penyeimbang ekosistem. Sungguh sebuah cara berkhidmat yang luar biasa.
Salat kali ini terasa begitu berbeda. Bukan karena aku salat sambil duduk, bukan pula karena salat di atas mobil bak terbuka yang sesekali melaju oleng ke kanan dan kiri, tapi lebih dari itu, aku merasa kasih sayang Allah benar-benar digelar di hadapanku. Di antara kekacauan dan huru-hara yang terjadi, di mana batas antara kehidupan dan kematian hanya setipis kulit ari, tangan-Nya selalu terulur menyelamatkanku. Aku tergugu mengingat semua kejadian yang pernah aku alami. Memori otakku seakan memutar ulang setiap detail kejadian. Menyadari bahwa Dia tidak pernah mengabaikanku membuat air mataku kembali berjejalan keluar.
Kulirik Alicia yang geming. Dia juga sudah selesai salat dan duduk dengan mata terpejam. Mungkin dia masih ingin melanjutkan tidurnya. Diam-diam kusematkan doa, semoga Allah berkenan membuka hatinya agar Dia bisa menerimaku. Suatu saat nanti.
Matahari telah benar-benar menghilang. Perannya telah terganti oleh bulan dan gugusan bintang. Udara panas yang sejak tadi menyelimuti kini berganti dengan dingin yang menusuk-nusuk. Tudung terpal yang memayungi truk cukup mampu menghalau terpaannya.
Roda truk masih melaju, berjalan beriringan bersama tiga mobil lain di depan. Mencoba melintasi tapal batas yang mungkin saja tak terbatas, menyingkap teriknya siang, menyibak selimut malam, berharap menemukan sejumput asa. Sebuah damai yang sudah begitu langka keberadaannya. Entah sudah berapa kilo perjalanan yang kami tempuh. Kuintip celah tudung di atas kepalaku, bulan hampir purnama, gugusan bintang tercecer tak beraturan di sekitarnya, serupa remah roti yang sengaja ditebar oleh Tuhan. Waktu magrib sudah masuk, pikirku. Tak ada penanda waktu, hanya pemandangan langit yang bisa menjadi petunjukku. Aku kembali bertayamum dan menjamak dua salat dalam satu waktu; magrib dan isya. Sebelum aku memanggil Alicia, dia sudah lebih dulu memulainya.
Seusai salat, kubaringkan tubuhku dengan posisi telentang. Aku menoleh pada Alicia yang tidur membelakangiku. Setidaknya dia masih di sampingku, meski tidak terlalu dekat. Kurapalkan doa-doa yang kuhafal, apa saja. Sekadar sebagai penenang jiwa. Kubaca tanpa suara hingga aku terlelap.
Aku terbangun saat roda truk tak lagi kurasakan tengah berputar. Samar-samar indra pendengaranku menangkap suara seseorang sedang menyenandungkan kidung-kidung mistis. Kutegakkan punggungku, mengedarkan pandang. Penumpang lain masih pulas, kecuali satu orang di depanku. Si Gadis Peramal. Bibirnya komat-kamit menggumamkan sesuatu, entah apa. Pandangannya jauh ke atas, seakan sedang menelanjangi isi langit. Sejurus kemudian, dia bersenandung lirih, membuat bulu-bulu halus di tengkukku berdiri. Aku berusaha tak mengacuhkannya namun sia-sia.
"Suaramu cukup mengganggu telingaku, kau tahu? Bisa kau menghentikannya?"
"Diam kau! Jangan mengganggu konsentrasiku!" dia balik menghardikku.
"Maaf, setidaknya bisakah kau kecilkan suaramu? Aku tidak bisa tidur karena suaramu." Aku mencoba bernegosiasi.
"Darah... darah akan menggenang. Orang-orang di sini akan mati. Pasukan PBB tidak akan mampu menolong kita. Mereka menginginkan kita. Sebentar lagi, ya sebentar lagi mereka datang, mengepung kita." Gadis itu terus meracau.
Kata-katanya yang mengerikan seakan sedang menghipnotisku untuk bereaksi panik. Setelah beberapa kali menarik napas panjang, dia merogoh saku kemejanya yang lusuh dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Pakaikan kalung ini di leher adikmu! Aku melihat roh leluhurmu hadir untuk melindungimu. Mereka berkulit terang sepertimu. Cina... mereka dari Cina. Kau akan aman di sini, tapi adikmu...." Matanya kemudian terpejam, lalu menggeleng dengan cepat. Entah apa yang sedang ada di benaknya. "Ah, tidaaaak... tidak... tidak...!" dia kembali bergumam tidak jelas. "Cepat... cepat kau pakaikan kalung ini pada adikmu!"
Gadis itu tiba-tiba saja sudah berada tepat di hadapanku. Aku sontak mundur, kaget dengan sikap refleksnya. Tangan kanannya terjulur, hendak menyerahkan benda yang dia sebut kalung. Sekilas kuamati benda itu. Bukan kalung dengan mata berlian seperti yang selalu diperebutkan orang-orang, melainkan benda lonjong dengan ujung lancip berwarna gading, entah tulang apa, dengan tali—lebih mirip tali sepatuku—yang kedua ujungnya betemu untuk saling bersimpul.
Gadis itu menarik kerah bajuku saat aku menggeleng tegas menolak pemberiannya. "Kau akan kehilangan adikmu tanpa kalung ini. Kau paham?!" Tanpa aba-aba dia merenggut kasar tangan kananku, meletakkan kalung itu untuk kugenggam.
"Jika Tuhan menghendaki kami mati, maka kami akan mati. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalungmu." Aku berusaha melepas genggaman tangannya, tapi pandangan matanya seakan memohon agar aku mengabulkan permintaannya.
"Bukankah kau sudah berjanji pada mamamu untuk melindungi adikmu? Cepatlah! Waktunya sudah tidak banyak lagi untuk berdebat. Bau kematian akan segera terendus. Sebentar lagi!" Aku semakin merinding mendengar kalimat-kalimat yang terlontar dari bibirnya. Di luar dugaanku, gadis ini seolah tahu semua isi hatiku. Tapi tetap saja, nalarku menolak untuk percaya. Guru Nedci, salah satu guruku yang terkenal sangat religius, suatu kali menasihatiku agar jangan percaya pada ramalan dan mengkultuskan benda-benda mati dengan menganggapnya sebagai pelindung, jimat, atau apa pun sebutannya. Hal itu termasuk menyekutukan Allah, dan itu termasuk dosa besar. Tidak ada kekuatan besar selain kekuatan Allah. Tidak ada pertolongan paling hebat selain pertolongan dari Allah.
"Maaf, aku tidak bisa menerima ini. Sebaiknya kau pakai sendiri." Kuserahkan kembali kalung itu di depannya. Tanpa kuduga, dia mendekati Alicia yang masih tidur. "Hei, apa yang hendak kau lakukan?" Aku bermaksud mencegahnya, tapi urung. Dengan hati-hati disematkannya kalung itu pada leher Alicia. Adikku sama sekali tak terusik oleh gadis itu. Membuatku tertegun di tempat.
"Kalau kau bersikeras tidak ingin percaya, anggap saja kalung itu sebagai hadiah dariku untuk adikmu." Dia kembali duduk di tempatnya dan melanjutkan ritual merapalkan mantra. Aku masih ingin membantahnya, tapi kupikir ulang bahwa tak ada gunanya aku mendebat gadis ini.
Kembali kupejamkan mata, mencoba menulikan pendengaran untuk tidur dengan tenang, tapi kemudian suara tembakan justru terdengar, disusul teriakan, tawa menggelegak, dan deru roda beradu dengan tanah serta mesin kendaraan yang meraung-raung. Seakan-akan dikomando, semua penumpang yang berada di dalam truk terbangun. Hanya ketakutan yang terpancar di wajah-wajah mereka. Rasa kantuk dan letih yang sedari tadi mengekang tubuh seakan sirna. Kematian terbayang di depan mata.
Seorang pria berlari turun dari truk. Mungkin dia ingin menyelamatkan diri sebelum para pemberontak itu menghampiri truk kami, tapi yang terjadi kemudian pria itu ambruk tepat beberapa langkah saat dia menjauhi truk. Penumpang lain yang melihat pemandangan itu memekik, beringsut ke pojok truk.
"Tama, mereka datang lagi!" Alicia memilin bagian bawah kemejaku, mencengkeramnya dengan erat.
"Berdoa! Berdoalah, Alicia!" Aku balas mencengkeram lengannya. "Allah akan menyelamatkan kita," bisikku lagi.
Tembakan demi tembakan saling bersahutan. Suasana semakin mencekam. "Tolong kami, Tuan! Tolong kami!" Seorang wanita menggedor-gedor sekat kaca yang membatasi kami dengan ruang pengemudi. Sayangnya, tak ada tanggapan. Mungkin mereka sudah lebih dulu tewas. Atau mungkin jumlah pasukan PBB kalah telak oleh jumlah pemberontak.
Satu per satu penumpang keluar dari truk. Hanya tersisa aku, Alicia, dan Gadis Peramal itu. Alicia berlindung di balik punggungku. Kami berdua meringkuk di pojok truk, sementara gadis itu meringkuk di pojok lain. Suara tembakan terdengar dekat kemudian disusul erangan dan debuman tubuh yang roboh ke tanah. Semua penumpang yang beberapa detik lalu masih membersama kami kini hanya menjadi seonggok jasad tanpa nama.
Suara derap langkah mendekati kami. Badan truk digedor dari luar dengan keras. Alicia semakin merapat, menarik bagian belakang kemejaku. Mataku menangkap Gadis Peramal itu masih memutar batu kelereng di tangannya dengan bibir bergerak-gerak lebih cepat dari sebelumnya. "Beberapa orang di sini akan mati. Pasukan PBB tidak akan mampu menolong kita. Mereka menginginkan kita." Kalimat gadis itu kembali terngiang. Aku tidak ingin memercayai kata-katanya, tapi harus kuakui tebakannya benar terjadi.
Bibirku tak henti berdoa. Pasrah. Alicia ganti menggenggam tanganku. Desah napasnya yang memburu meniup-niup tengkukku. Tubuhnya gemetar di balik punggungku. Semakin dekat suara derap langkah itu, semakin kencang degup jantungku. Seluruh nadiku berdenyut dahsyat, memompakan keringat untuk lebih cepat keluar, menyembul di tiap pori kulit. Membuat tubuhku kuyup. Saat seperti ini, tidak ada pertolongan yang bisa kuharapakan selain pertolongan Allah. Tidak dari pasukan PBB, tidak juga roh-roh leluhur yang sempat disebut gadis itu.
Seorang pria berkepala plontos berdiri dengan kedua kaki terbuka, senjatanya diarahkan pada kami. Ingatanku refleks memutar ulang sebuah kejadian. Sepulang sekolah, potong tangan, Alie! Aku berusaha menyusun potongan-potongan kejadian yang pernah aku alami sebelumnya. Ya, dia pria yang sama yang memerintahkan anak buahnya untuk memotong tangan Alie dan beberapa orang lain saat aku pulang sekolah beberapa hari lalu. "Kalian bertiga turun dan ikut kami! Cepaaaaat!" ujar pria itu, mulutnya menyemprotkan saliva. Bahkan caranya meludah dan menghardik sudah terekam jelas di ingatanku. Sangat khas sekali.
Kami bertiga lebih memilih geming. Kali ini aku benar-benar pasrah jika Tuhan harus mengambil nyawaku malam ini juga. Setidaknya aku lebih siap mati tertembak daripada harus dipaksa menjadi pemberontak.
"Hei, kalian tuli, hah?!" Dipukulnya badan truk dengan ujung senjata yang sedang dipegangnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menaiki truk. Jaraknya hanya beberapa langkah saja dari tempat kami berdiri.
"Kalian ingin segera mati rupanya, ya!" Matanya berkilat-kilat. "Dan kau, akhirnya aku bisa menemukanmu, Gadis Busuk! Aku tahu, kau yang membunuh rekanku!" Tatapannya segera mengarah pada gadis itu, begitupun dengan senjatanya. Tepat di pelipis Gadis Peramal. Pelatuk siap ditarik. Kerah bajunya dicengkeram, membuatnya tampak kehabisan napas. Aku ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tapi keberanianku sudah menguap sejak tadi.
"Aaaaaarrrggghh...!" Tiba-tiba pria itu mengerang sebelum akhirnya ambruk di bawah kaki Gadis Peramal. Pria itu baru benar-benar tak bergerak setelah tangan kanannya memuntahkan tembakan. Sekali. Sebuah pisau menancap tepat di ulu hatinya, hampir terbenam seluruhnya.
Aku dan Alicia masih belum sepenuhnya mampu menetralisir kejadian yang baru saja terjadi. Tubuh Alicia melorot ke bawah. Dan aku masih merasakan gemetar. Rupanya Gadis Peramal itulah yang dengan cepat menancapkan pisau ke dada pria tadi. Kecepatannya seperti kilatan petir. Aku bahkan tak menyadari dia menyembunyikan pisau. Sekarang semua terasa masuk akal, kenapa gadis itu mampu keluar hidup-hidup dari sekapan para pemberontak.
"Apa kau baik-baik saja, hah?" Gadis itu berusaha menegakkan kedua kakinya untuk berdiri.
"Bukan kau, tapi aku yang seharusnya bertanya," tukasku.
"Ya... ya...." Dia tersenyum memaksa. Dengan tertatih dia merangkak mendekatiku. Tangan kirinya memegang rusuk kanannya. Darah merembes melewati celah-celah jari.
"Kau terkena luka tembak!" Kuraih tubuhnya agar tak lagi banyak bergerak. Alicia dengan sigap meraih kepala gadis itu dan menyerahkan kedua pahanya sebagai bantalan.
"Alicia, tutup lukanya sekuat mungkin. Pastikan denyutnya tidak melemah. Aku akan segera mencari pertolongan." Aku hendak beranjak, tapi tangan gadis itu mencegahku.
"Tidak, jangan pergi! Dengarkan aku, tolong...." Napasnya mulai tersengal. "Pasukan PBB akan menolong dan membawa kalian ke Guinea," ucapnya. Sesaat dia mengambil napas, menahan perih sekaligus mengumpulkan kekuatan. "Kalau sudah sampai di sana, carilah pesawat khusus yang memuat kebutuhan pokok para pengungsi, lalu naiklah secara sembunyi-sembunyi." Dia kembali mengambil napas. Aku dan Alicia saling berpandangan. "Pesawat itu akan mengantarkan kalian pada sebuah negeri asing. Kalian akan hidup dengan aman di sana. Kali ini, percayalah!" Dia mengerang menahan sakit.
Sekali lagi aku dan Alicia bertatapan. Kami sama-sama bingung, ingin menyembuhkan gadis itu tapi tak bisa berbuat apa-apa. Mata kami kembali berpusat pada gadis itu saat tangannya merogoh ke dalam saku kemejanya. Kali ini dia mengeluarkan secarik kertas yang warnanya sudah menguning, sedikit lapuk.
"Dan ini... jika kalian sudah tiba di negeri itu, tolong... tolong kalian cari wanita yang ada di foto ini. Dia kakakku." Tangannya gemetar menyerahkan secarik foto itu. Dia mengambil napas yang terlihat makin pendek-pendek lewat mulutnya. Matanya terpejam beberapa saat. "Sampaikan... padanya... bahwa aku sangat merindukannya... selama sepuluh tahun terkahir ini. Kau... kau... bersedia melakukannya untukku?" tanyanya terpatah-patah. Aku mengangguk. Sesungging senyum terlihat di wajahnya yang penuh peluh. "Kalung itu terlihat... bagus untukmu." Mata gadis itu beralih pada kalung pemberiannya yang dia sematkan sendiri di leher Alicia.
Alicia meraba lehernya, seakan baru sadar dengan benda yang menempel di sana. "Terima kasih," ucap Alicia sedikit linglung.
"Kau harus kuat... demi adikmu. Jangan cengeng. Berhenti menjadi lelaki melankolis. Kau harus tegar.... Kau janji?" tanyanya lagi. Helaan napasnya makin terlihat berat. Mataku memandangi wajahnya dan Alicia bergantian. Alicia hanya membisu. Kalimat bantahannya sama sekali tidak keluar. Tidak seperti biasanya. Hanya kedua matanya yang berkaca-kaca, seolah ingin mengabarkan kesedihan yang sama.
Gadis itu diam. Kedua matanya mengatup rapat. Napasnya makin jauh. Setelah beberapa saat, tak terdengar lagi sengal napas yang keluar dari hidungnya. Kedua tangannya terkulai.
"Denyutnya sudah tidak ada!" suara Alicia bergetar, kemudian menangis tanpa suara. Hanya pundaknya yang bergerak naik turun.
"Semoga kau tenang di sana." Kusedekapkan kedua tangannya di atas dada. "Terima kasih sudah menolong kami. Namaku Tama dan dia Alicia. Kuharap aku akan mengetahui namamu suatu hari nanti." Kupandangi wajah wanita yang ada di foto itu. "Jika aku tidak berhasil menemui kakakmu, tolong maafkan aku." Bibir itu hanya diam terkatup kaku. Alicia kemudian menurunkan kepala gadis itu kembali dari pahanya.
Langit bergemuruh. Debu-debu berterbangan di sekitar kami. Aku beranjak keluar dari truk. Mencari tahu apa yang terjadi. Mataku menyipit melihat ke atas. Sebuah helikopter berputar-putar, menggantung beberapa kaki di atasku, membuat rambutku tertiup ke sana kemari. Aku berdiri tepat di bawah lampu sorotnya, dan kulambaikan kedua tangan ke atas, berharap mereka menangkap keberadaanku di sini. Tak lama kemudian, helikopter itu turun. Arus angin semakin kencang. Debu bertebaran masuk ke dalam mata dan hidungku. Aku terbatuk hingga memutuskan untuk sedikit menjauh. Tepat saat kedua kaki helikopter itu sempurna menjejak tanah, seorang pria berseragam PBB keluar dan sedikit berlari membungkuk menuju ke arahku.
"Hanya kau? Mana yang lain?" tanyanya dengan logat Inggris yang kental.
"Tidak. Aku bersama adikku." Aku menjawab dengan sedikit terbata. Pria itu kemudian menepuk pundakku dan memandangi keadaan sekeliling. Dia menggeleng seakan bergumam, betapa kacaunya peperangan ini.
Aku memanggil Alicia untuk segera turun dan menemui pria berseragam PBB itu.
"Benar-benar tidak ada yang tersisa. Hanya kalian berdua."
"Hei, cepat masuk!" seorang pria yang melongokkan kepalanya keluar dari jendela kecil helikopter memberi perintah. Pria di depanku menggiring kami berdua untuk segera masuk.
Seandainya tidak dalam keadaan genting begini, aku pasti merasa bahagia berada di dalam helikopter yang dulunya hanya bisa kubaca di buku-buku. Aku bahkan mengenali beberapa perangkatnya. Kami bertiga duduk berdampingan di belakang. Sementara di belakang kemudi, ada dua pria yang tampak sigap dengan headphone menutupi kedua telinga dan microphone mungil yang terjulur tepat di depan mulut mereka. Mereka berbicara dengan bahasa Inggris yang begitu cepat.
Helikopter perlahan naik. Perutku seakan terasa kram tiba-tiba. Alicia meremas jok di sampingku. Pengalaman pertama naik helikopter ini membuat kami sangat gugup. Semakin tinggi kami berada di awang-awang, pemandangan di bawah sana seakan bisa terangkum semua. Mayat-mayat bergelimpangan di tengah jalan, mobil terguling dengan asap yang masih mengepul. Aku baru menyadari bahwa keadaan di luar truk yang kami tumpangi ternyata lebih menyedihkan. Semakin tinggi kami naik, pemandangan di bawah sana semakin mengecil hingga hanya terlihat seperti titik kecil serupa maket yang terkungkung dalam sebuah ruangan kaca.
Andai helikopter ini bisa mengantarkanku ke surga, menemui Papa dan Mama, aku tak ingin pulang ke negeri ini lagi, tidak juga ke negeri damai seperti yang diceritakan gadis itu. Ke mana lagi takdir mengarahkanku setelah ini, aku pun tak tahu. Yang aku tahu, aku harus bersyukur pada Allah karena untuk ke sekian kalinya telah melindungiku. Mungkin salah satu alasan mengapa Allah menyelamatkanku adalah untuk melindungi Alicia. Atau mungkin juga untuk menyampaikan amanat gadis itu.------
Penasaraaaan? Sila temukan novel ini di Gramedia terdekat atau di toko buku online.Salam,
Hengki Kumayandi
YOU ARE READING
Runway to Heaven
Teen FictionNovel ini telah diterbitkan oleh Penerbit Elekmedia Komputindo - Laiqa. Hak cipta dilindungi undang-undang. ---- Dari waktu ke waktu, aku tak pernah menemukan arti kebahagiaan. Selalu berlari secepat angin dari masalah satu ke masalah lainnya. Namak...