"Sha, gue suka sama lo,"
Kalimat yang tiba-tiba terlontar dari mulut Rafky mengagetkanku. Semuanya seperti berhenti lima detik setelahnya.
"Gimana?" kalimat itu membuatku tersadar.
Aku dan Rafky masih di dalam kelas. Dan disini masih ada beberapa teman sekelasku yang belum keluar dari ruangan ini, tatapan mereka mengarah ke arahku.
"lo.. lo bercanda kan? Ga lucu deh" jawabku sambil membuang mukaku, menyembunyikan rona merah di pipi.
Bukan, bukan rona merah karena tersipu layaknya mengetahui cowok impianku menyatakan perasaannya. Tetapi, rona merah karena malu, dilihat teman-teman sekelasku. Malu, karena didepanku ada sahabat yang menemaniku sejak SMP, memandangku lekat dan penuh arti, terpancar ketulusan dari mata kecoklatan yang dibingkai kacamata itu.
Ada perasaan bergejolak di dadaku. Perasaan bersalah menyeruak, terasa sesak.
"give me time, I have something to think about" bisikku. Dia mengangguk, lalu kami berdua berjalan keluar kelas beriringan. Sunyi yang canggung sangat terasa diantara aku dan Rafky. Suasana itu terus berlanjut sampai aku turun dari mobil dan mengucapkan terimakasih ke cowok berkacamata tersebut.
=-=-=-=-=
Aku masuk ke kamar, mengganti baju dan merebahkan badan di tempat tidur berukuran kingsize dikamarku, aku membentuk bintang besar . Kejadian di sekolah tadi terus terbayang.
Rafky, Rafky yang itu. Rafky Haidar Utomo. Rafky si jenius konyol yang mempunyai banyak sekali piagam dan medali olimpiade. Rafky yang selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Rafky yang rumahnya berlawanan arah denganku dari sekolah tapi memaksaku berangkat dan pulang sekolah bersama. Rafky sahabatku sejak masuk SMP hingga kini, kelas 12.
Dia menyatakan perasaannya padaku, Asharika Indira Purnama. Cewek biasa yang tergila-gila dengan novel dan Shawn Mendes. Dan menurutku aku tidak mempunyai nilai plus selain dapat membaca novel 700 halaman dalam sehari. Oh maaf, sepertinya itu bukan nilai plus. Semua orang dapat melakukan itu kalau mau.
Aku termenung memikirkan pilihanku. Setelah memikirkannya dengan matang, aku segera mengirim LINE ke Rafky
Asha : Raf, nanti malem ke tempat biasa ya.
Dua menit setelah mengirim pesan tersebut. Aku me-nonaktifkan iphone-ku dan tidur.
=-=-=-=-
"Neng Asha, bangun atuh. Udah maghrib, sholat dulu." Suara Bi Lasmi samar-samar terdengar di telingaku. Lalu aku bangun dan pergi ke kamar mandi untuk wudhu.
Setelah sholat, aku mengaktifkan iphone. Ada balasan dari LINE dari Rafky sepulang sekolah tadi.
Rafky Haidar : ok, nanti habis sholat isya.
Aku membalas pesan tersebut dan mulai membuka novel yang kubeli kemarin bersama Rafky. Tak lama, adzan isya berkumandang. Sehabis sholat, aku memakai jaket dan berjalan ke taman belakang kompleks. Yapp, aku dan Rafky sangat sering ke taman ini sejak dulu. Selalu sepi, tapi tidak remang-remang, jadi tetap aman walaupun malam hari.
Aku menunggu sebentar di taman sampai Rafky datang.
"Hei, Sha" sapa Rafky.
"Oh, heii. Sini-sini" kataku sambil menepuk tempat yang kosong di bangku yang kududuki.
"Yoii. Emm, jadi gimana Sha?"
"Setdah, langsung to the point nih" kataku sambil tertawa, berusaha mencairkan suasana.
"Buruan" ucap Rafky tegas dan membuatku langsung mengatupkan bibir.
"Raf, sorry. Gabisa" tuturku, lalu berusaha menyampaikan rasa bersalahku lewat tatapan mata.
YOU ARE READING
Too Late
Teen FictionPentingnya menghargai perasaan. Sesaknya saat perasaan itu dibalas, tapi bukan di waktu yang tepat.