T A S T E

40 3 0
                                    

"Apa?"

Sebuah kata keluar dari mulutnya ketika aku memanggil namanya.

"Apa?"

Kata itu muncul lagi dengan nada yang sedikit berbeda. Lagi-lagi dia hanya fokus pada buku itu.

"Apa?!"

Kali ini nada yang kudengar berbeda dari yang pertama maupun kedua. Ada sedikit bentakan dan kekesalan disana. Aku menyeringai.

"Jangan ganggu!"

Ucapannya seperti harga mati ditelingaku. Tapi siapa yang mau berhenti? Bukan aku.

Tidak lama kemudian, suara gaduh terdengar diiringi tatapan horornya padaku. Aku membalasnya dengan menaikkan sebelah alisku.

Detik berikutnya, dia keluar dari ruangan ini bersama buku kesayangannya dan diikuti umpatan kasar. Aku tahu umpatan itu untukku, tapi biarlah.

Rambutnya sepinggang diterpa sinar matahari pagi. Mungkin dia tidak akan pernah tahu, di belakangnya aku tersenyum. Bukan tersenyum sinis tapi senyuman yang tidak akan pernah dia bayangkan.

"Apa aku bisa mendapatkannya?"
〘〘

〘〘
🌺

Aku tidak berniat mengejarnya atau menyusulnya. Aku kembali saja ke kelas dengan santai. Tapi yang aku lihat sebelum sampai ke kelas adalah dia, lagi.

Dia bersama teman lelakinya, aku tidak tahu siapa namanya. Yang aku tahu mereka sering bersama-sama bahkan sekedar makan di kantin atau berkeliling sekolah. Sepertinya mereka kenal sangat dekat.

"Apa?"

Aku tidak tahu kenapa, setiap dia melihatku, bertemu denganku, mendengar namaku, atau apapun yang berhubungan denganku dia selalu memasang wajah melengkung turun. Maksudku, cemberut, kesal, marah atau sejenisnya.

Mataku teralih pada sosok di sampingannya. Lelaki itu memandangiku dengan tatapan khawatir. Padahal aku tidak menanyakan apapun padanya hingga sorot matanya itu... hm, ketakutan.

Aku melenggang begitu saja dari hadapannya dan lelaki itu. Masa bodoh aku mengurusi mereka.

Tiba-tiba sebuah teriakan mengagetkanku. Aku menoleh dan mendapati seseorang.

Dia, bukan dia yang tadi. Tapi dia yang lain.

🌺

"Bagaimana hubunganmu?"

Pertanyaan itu menghentikanku. Aku tidak mengerti maksudnya. "Hubungan apa?"

Dia merilekskan jari-jemarinya, "Oh iya aku lupa, mengingatmu memiliki banyak hubungan diluar sana." Dia sengaja menekan dua kata terakhir dari kalimatnya.

Aku menyeringai. Hanya dia yang berusaha memata-matai setiap kegiatanku. Aku membiarkannya karena dia adalah sepupuku. Tapi aku tetap mengancamnya agar tidak membocorkan aib-ku kepada orang tuaku. Biarlah mereka menganggapku ini anak alim.

"Tidak ada apanya, berjalan seperti biasa."

Acha menyendok sedikit nasi goreng dihadapannya. Meskipun mulutnya terisi penuh, dia tetap berbicara, "Lalhu siopa talgetmu sekharoang?"

Aku berpikir sejenak, bukan karena tidak mengerti apa yang Acha ucapkan. Tapi.... target? Siapa targetku sekarang?

"Kailyn. Anak XI IPA 1," jawabku tanpa sadar. Seketika itu mulut Acha menganga, bahkan sisa makanan dimulutnya hampir keluar.

"Gilamu! Kailyn? Cewek yang pintar matematika, anak buahnya Pak Freen?" ceroscos Acha begitu saja.

Aku mengangguk saja. Itu benar, aku gila. Bisa menyebutkan nama orang cuek bebek kayak dia. Jujur saja, bahkan aku tidak tahu kalau Kailyn itu pintar matematika dan anak buahnya Pak Freen, guru terkiller dan tersombong di sekolah ini. Yang aku tahu, Kailyn itu anak perempuan berkacamata yang suka aku ganggu akhir-akhir ini.

T A S T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang