Caffe Latte Tak Sama Dengan Luwak Kopi
Oleh : Noni Nurrohmah YF
Semua orang pasti memliki perasaan yang sama, pernah mengalami hal yang sama dan mendapat sebuah solusi dari masalah yang terjadi.
Begitupun denganku, aku memiliki sebuah perasaan benci. Bukan rasa benci pada seseorang dan memilih untuk mengindarinya atau membicarakan orang itu, rasa benciku adalah rasa benci pada keadaanku. Sebenarnya keadaan ekonomiku yang membuat aku harus meneledan ludah ketika melihat orang lain sedang duduk bersama keluarganya atau temannya di sebuah restoran di mall atau di pinggir jalan, mereka dengan santainya memesan makan dan menikmatinya, membiarkan semua orang memerhatikan aroma yang bersumber dari makan yang ada dihadapan mereka. Mereka makan tanpa harus khawatir berapa uang yang harus dibayar hanya untuk sebuah makanan cepat saji seperti itu, sebuah ayam goreng dan seungguk nasi semacam itu dan harus membayar pajak tempat tersebut. Ah, mungkin bagiku saat itu tidak akan berpikir panjang untuk masuk dan makan di tempat-tempat sepeti itu.
Dan ketika keadaan berbalik, saat roda kehidupan berhasil kuputar, dan dengan usahaku sendiri tak mengenal siang dan malam, tak mempedulikan apapun, tujuanku hanya satu cukup menjadikanku salah satu dari orang yang memiliki uang banyak, agar aku bisa membeli apapun yang aku mau dan memakan apapun yang aku suka. Kemudian hari itu datang dengan waktu yang tak singkat, segala pengorbananku, kerja kerasku terbayar semua bahkan orangtuaku sempat aku abaikan.
Untuk apa semua uang itu jika kau tidak memiliki waktu bersama ibumu, dia menghabiskan sebagian hidupnya hanya untuk melihatmu tumbuh dengan baik. Tapi balasan apa yang dilakukan manusia kejam seperti ku membiarkan ibu hidup susah dan menahan rindu pada anaknya sendiri yang jauh darinya? Untuk apa ku kumpulkan uang jika aku tak bisa melihat senyum ibu? ***
Melangkah mendekat pada pintu dari sebuah kedai kopi yang sangat apik dengan desain serupa di manapun kedai kopi itu berada, baik itu di sebelah barat kota ini, di sebelah timur, atau di sebelah selatan semua desain dan pernak-pernik yang menjadi ciri khas dari kedai kopi ini akan tetap sama meski di kota ini ataupun di kota lain. Jendala dan pintu dari kedai ini jelas terbuat dari kaca membiarkannya sebagai pembatas antara bagian luar dan dalam kedai itu, kebanyakaan kursi terbuat dari kayu yang dipoles dengan licin lengkap dengan meja kayu dan tak lupa di bawah meja itu selalu ada stop kontak bagi pelanggan yang berkunjung dan membutuhkan arus listrik untuk mengisi batrei smartphone atau leptop mereka. Bukan hanya kursi kayu, di kedai itu juga ada beberapa kursi seperti modelan sofa yang lebih pendek dari kursi kayu, meja yang di pakai mungkin bukan dari kayu permukaannya berwarna hitam mungkin terbuat dari marmer atau semacamnya sehingga satu cup kopi dingin maupun panas ketika menempel pada meja itu pasti akan meninggalkan bekas lingkaran setelahnya.
Tak perlu ditanya lagi ketika membiarkan pintu kedai itu terbuka aku bahkan belum menginjakkan kakiku tepat di dalam kedai itu, aroma kopi yang menyeruak sangat kuat dan menusuk hidung. Jika mengingat aroma kopi yang menusuk hidung memang baunya pahit tapi setelah menghirupnya bersama udara sekitar dan melepaskannya sebagai satu tarikan napas ada bau khas yang semua orang kenal yaitu aroma kopi yang benar-benar original, padahal kedai itu tidak hanya menjual cup kopi mereka juga menjual teh dan sejenis makanan lainnya. Bagiku aroma kopi yang awalnya pahit itu akan terasa sangat manis setelahnya dan aku suka menciumnya, itu membuatku akan mengingatkan satu hal bagaimana kehidupanku yang dulu sangat pahit saat hidup miskin namun manis memiliki hubungan baik dengan ibu dan sangat manis saat hidup berkecukupan namun pahit memiliki hubungan tidak baik dengan ibu. Dan aku tak pernah tau sekarang aku berada di posisi mana, pahit kemanisan atau manis kepahitan?
"Mau pesan apa?" aku menawarkan pada orang yang berdiri di sebelahku.
"Ah... ?" dia terus menatap papan menu di belakang barista, jelas sekali tulisannya ada Caramel, Vanilla, Mocha, Espresso dan masih ada lagi itu untuk kopinya yang tanpa kopi ada Green tea, Hazelnut Vanilla, Signature Chocolate ada juga juice Raspberry dan Manggo. Sizenya pun jelas ada Tall (354 mL), Grande (473 mL), dan Venti (591 mL) disertai daftar harganya, mengapa dia masih bingung untuk memutuskan mau pesan apa? Memalukan.
YOU ARE READING
Caffe Latte Tak Sama Luwak Kopi
FanfictionCaffe Latte Tak Sama Dengan Luwak Kopi Oleh : Noni Nurrohmah YF Semua orang pasti memliki perasaan yang sama, pernah mengalami hal yang sama dan mendapat sebuah solusi dari masalah yang terjadi. Begitupun denganku, aku memiliki sebuah perasaan benci...