HUJAN

3.2K 17 2
                                    

Pagi ini hujan kembali membasahi kota dengan gaya angkuhnya yang selalu membuat Aqila mengeluh dan mengutuk hujan. Baginya hujan adalah mimpi buruk yang memang di ciptakan untuk menghantuinya.

"Arghh! Kenapa dari semua yang ada Engkau harus menciptakan hujan Tuhan?! Kenapa?" Erangnya frustasi.

Dulu Aqila seorang anak pencinta hujan. Dulu baginya setiap tetesan hujan selalu menghantarkan hatinya menuju ketenangan. Dulu hari-harinya penuh harapan akan datangnya hujan. Dulu hujan adalah temannya berbagi kesedihan dan kebahagiaan. Dulu hujan selalu merengkuhnya dalam rasa nyaman. Dulu.. semua yang menyenangkan berasal dari hujan.

Tapi, semua berbanding terbalik. Harapannya hancur. Kabahagiaan yang selalu di hadirkan hujan ternyata harus di bayar mahal dengan kesedihan yang juga di hadirkannya. Dan pada akhirnya Aqila menjadi pembenci hujan.

"Butuh tumpangan?" Tanya seorang laki-laki tampan setahun lebih tua darinya.

Kali ini di depan ruko sebuah toko yang belum buka karena hari masih terlalu dini untuk si pemilik toko, Aqila merasakan hal yang aneh. Rasa itu tak terdeskripsikan. Namun efeknya benar-benar nyata. Dadanya berdesir.

"Tidak. Terimakasih." Kata Aqila dengan angkuh. Mencoba menetralkan debaran jantung yang kian tak tau diri.

Aqila kembali menatap jalanan yang masih setia di guyur hujan tanpa melawan. Matanya kembali nyalant. Debaran itu seketika dilupakannya begitu saja kala melihat hujan.

Kali ini siapa lagi yang sedang kau pisahkan? Tidak cukupkah aku yang selalu sakit melihatmu turun? Memang selucu apakah perpisahan dan kehilangan kami dimatamu?! Dasar tak tau diri. Kami mencintaimu dengan tulus tapi kau memberi kami luka terdalam yang ada di hidup kami.

"Baiklah. Kalau boleh aku tau, mengapa ada kilatan benci di mata indahmu itu saat kau menatap hujan?" Tanyanya.

"Bukan urusanmu." Kata Aqila.

Baru saja Aqila hendak angkat kaki dari depan ruko itu, tangannya dicekal seseorang. Aqila menatap tajam kearah laki-laki itu.

"Namaku Divo dan mulai saat ini semua yang kau lakukan adalah urusanku." Katanya, tak ada nada tinggi di dalam kata-katanya. Tak juga nada bercanda. Suara itu lembut, tegas namun juga manis.

Aqila memalingkan wajahnya btah mengapa wajahnya bersemu merah dan senyum tipis mulai terukir dari bibirnya.

"Cantik." Komentar Divo. Dengan bibirnya yang juga tertarik menyunggingkan senyum tulus.

"Kenapa?" Tanya Aqila meragukan pendengarannya.

"Kau jauh lebih cantik saat tersenyum."

Semenit dua menitpun berlalu. Masing-masing dari mereka mulai berkutat dengan fikirannya masing-masing dan mulai menetralkan detak jantung mereka yang tak bisa diajak kompromi.

Pagi ini hujan tersenyum.

"Kau mau kemana?" Tanya Divo.

"Aku? Menurutmu aku mau kemana?" Tanya Aqila.

"Kesekolah. SMA Bintang kan?" Tanyanya dengan smirknya yang khas.

"Eh? Darimana kamu bisa tau?" Tanya Aqila polos.

"Seragam kitakan sama sayang." Jawab Divo gemas.

Mereka berjalan beriringan dengan satu payung yang menaungi mereka. Seketika Aqila benar-benar lupa dengan rasa bencinya akan hujan. Diam-diam Divo berterimakasiih kepada Sang Pencipta karena telah mengembalikan senyum adik kelasnya yang beberapa minggu terakhir selalu menganggu fikirannya. Divo selalu memperhatikan Aqila, dia selalu penasaran dengan Aqila yang selalu murung ketika hujan tiba. Divo tidak akan memaksa Aqila untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya hingga begitu begis melihat hujan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang