T h r e e

1.9K 131 3
                                    

∞ ∞ ∞ ∞ ∞

Aku baru saja memakai helm yang dibawakan oleh Iqbaal. Lalu aku mematung di samping motornya. Bagaimana bisa aku naik ke motor Iqbaal yang sebesar ini dengan memakai rok seperti ini?

Mungkin melihat tidak ada tanda-tanda aku akan naik ke motornya, Iqbaal yang sudah duduk di atas motornya membuka kaca helmnya, menoleh ke arahku. Iqbaal memperhatikanku beberapa detik yang membuatku canggung sebelum tau-tau turun dari motornya, membuka kemejanya--hanya meninggalkan kaus putih di badannya. Lalu Iqbaal mendekat ke arahku yang membuat jantungku ingin jatuh ke perut saking cepatnya berdetak. Apa yang akan Iqbaal lakukan? Tanpa aku duga sama sekali, ternyata Iqbaal mengerti dengan tingkah bodohku dan langsung mengikatkan kemejanya ke belakang rok yang aku pakai. Aku tentu saja berjengit kaget, bahkan aku sempat menganga beberapa detik sebelum akhirnya bisa kembali mengontrol diriku sendiri.

"Sorry. Udah ada kemeja gue, jadi lo bisa duduk nyaman tanpa harus mikirin rok lo. Ya at least better lah daripada tadi."

Aku masih membeku, tidak tau harus merespon apa. Iqbaal memperlakukan sebaik ini ya Tuhan. Dia tidak ingin rokku terbang-terbang tertiup angin karena itu akan sangat berbahaya.

Iqbaal terkekeh. "Come on," katanya lalu naik lagi ke motornya.

Sungguh, aku ingin sekali masuk ke dalam rumah, mengunci pintunya rapat-rapat agar bisa sedikit menutupi kebodohanku di depan Iqbaal. Sekarang masalahnya adalah; bagaimana caranya aku naik ke atas motor tanpa harus jatuh? Motor Iqbaal sangat besar dan tinggi. Jujur, ini baru pertama kalinya aku naik motor model seperti ini.

Iqbaal menghembuskan napas kasar melihatku yang tidak juga bergerak. Iqbaal lalu membuka kaca helmnya lagi, menoleh ke arahku untuk kedua kalinya.

"Lo pegangan di ke dua pundak gue, terus kaki lo yang kiri naik ke pijakkan."

Aku mengangguk polos, mempraktekkan apa yang baru saja Iqbaal katakan dengan hati-hati. Untuk memegang pundak Iqbaal saja tubuhku rasanya sudah lemas, tapi untung saja aku tidak oleng dan akhirnya sekarang sudah duduk di jok belakang motor Iqbaal.

Betapa bodohnya aku saat ini.

"Pegangan."

Ha? Apa pegangan? Aku megerjapkan mataku beberapa kali.

"Pegangan, Zidny."

Aku bergeming. Merasa canggung untuk melakukannya.

Dengan gerakan cepat Iqbaal mengulurkan tangannya ke belakang dan menarik kedua tanganku ke depan yang tentu saja mebuatku tersentak kaget.

"Kalo lo nggak mau meluk gue, at least lo pegang ujung kaos gue. Ini naik motor, Zidny, bukan naik mobil yang bisa pake seatbealt."

Dengan ragu-ragu aku memegang ke dua ujung kaos Iqbaal.

"Lo kok lucu sih?"

Kalimat itu keluar dari mulut Iqbaal dan dia tujukan untukku? Dia mengatakan aku lucu? Demi apa? Tubuhku menegang seketika. Belum selesai tubuhku rileks kembali, Iqbaal mengegas motornya yang membuatku kaget dan refleks langsung memeluk pinggangnya.

Iqbaal terlihat menyeringai, lalu mulai melanjukan motornya dengan kecepatan normal bersamaan dengan tanganku yang melepaskan pelukkannya. Dalam hati aku teriak-teriak sendiri. Aku tadi memeluk pinggang Iqbaal?!

***

"Akhirnya selesai juga." Iqbaal meregangkan otot-otot tangannya karena baru saja mengetik tugasnya yang lumayan banyak.

Aku hanya mengangguk. Lalu hening. Suasana kafe di mall ini tidak terlalu ramai hari ini. Iqbaal sibuk dengan ponselnya, entah chatting dengan siapa. Atau jangan-jangan pacarnya? Tapi setauku Iqbaal tidak punya pacar. Lalu siapa? Gebetannya? Untuk memikirkan jika kemungkinan itu benar saja sudah membuat hatiku sesak.

DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang