Our Destiny - 1

540 34 10
                                    

Author POV

Prilly Alamta Darwene, si gadis manis pendiam. Hidupnya tidak sesempurna yang kalian bayangkan, dan mungkin tidak akan pernah sempurna. Selama ini tidak ada yang Prilly butuhkan, selain sahabatnya yang sampai saat ini menjadi satu-satunya teman Prilly.

Aliando Derofa Giovano.

▪◾▪◾▪◾▪

Prilly tersenyum sumringah saat mengingat susunan hal-hal yang akan dilakukannya dengan Ali sore hari ini.

Rencananya dia dan Ali akan pergi ke taman bermain. Ini sudah menjadi kebiasaan Prilly dan Ali setiap akhir pekan.

Masih dengan senyum sumringahnya, Prilly segera mengambil handuk dan berlari ke arah kamar mandi.

Setelah siap, Prilly mematut dirinya di depan cermin, dia telah siap dengan setelan santainya.

Prilly melangkah dengan ceria menuju balkon kamarnya.

"Aliii!" teriaknya ke arah balkon rumah sebelah yang hanya berjarak beberapa meter dengan balkonnya.

"Aliii!" teriaknya lagi, tapi tidak ada respon sama sekali.

"Ih! Ali mana sih?! Telpon aja kali ya?" gumam Prilly, dia segera mengeluarkan benda kotak berwarna putih itu lalu menghubungi nomor Ali.

Sibuk, nomor Ali sibuk. "Pasti lagi main basket deh nih anak! Awas aja lo, kalo ketemu gue pites pala lo!" ujar Prilly pada handphonenya seolah-seolah dia tengah berbicara dengan Ali.

Akhirnya Prilly memutuskan untuk duduk di kasurnya sambil menonton TV.

Prilly melirik jam dinding di kamarnya, sudah pukul 5:30 itu artinya sudah satu setengah jam dia menunggu dan Ali belum juga menghubunginya.

Dengan wajah yang ditekuk, Prilly berniat kembali menghubungi Ali. Tapi suara benda pecah menginstrupsi Prilly.

Perasaan tidak karuan mulai menyelimutinya, jantungnya mulai berdetak dengan kencang.

Prilly menggenggam erat handphone nya lalu berjalan turun ke lantai satu.

Prilly melihat kedua orang tuanya sedang... Bertengkar, seperti biasanya.

Prilly hanya bisa berdiri mematung sambil menatap kedua orang tuanya.

"Udahlah Mas, aku capek liat kamu kayak gini terus!" ujar Nova- Mama Prilly dengan ekspresi lelahnya.

"Kamu pikir aku gak capek hah?!" balas Nata- Papa Prilly dengan suara yang naik satu oktaf.

Prilly hanya bisa menutup matanya takut. Melihat kedua orang tuanya bertengkar adalah hal biasa, tapi untuk yang satu ini Prilly benar-benar takut, apalagi ketika melihat ekspresi lelah Mamanya.

Keluarga Prilly memang bukan keluarga harmonis. Mamanya hanya ibu rumah tangga biasa, sedangkan Papanya adalah seorang penggila kerja hingga sering kali ia melupakan bahwa dia telah berkeluarga. Hal inilah yang sering kali mengundang pertengkaran kedua orang tuanya.

Selama ini Nova tidak menuntut apa-apa dari Nata, hanya saja dia menuntut kasih sayang Nata untuk kedua anaknya. Terlebih untuk Sean Alfiza Darwene. Adik lelaki Prilly yang baru berusia 3 tahun.

Menurut Prilly, dia sudah tidak membutuhkan kasih sayang orang tua lagi. Tapi saat melihat adiknya yang menangis sambil memanggil Papa cukup membuat Prilly sakit hati. Papanya terlalu dibutakan dengan pekerjaan.

PLAK

Prilly terkesiap dari lamunannya. Air mata yang sedari tadi di tahannya langsung meluruh begitu saja tanpa bisa di cegah. Dia melihat itu dengan jelas, Papanya menampar Mamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang