SATU

86 6 4
                                    

Aku tidak mau makan di kantin. Namun, Dinda memaksaku untuk menemaninya makan di tempat itu. Aku sudah menolaknya. Tapi dia bilang, biar aku terbiasa dengan suasana sekolah yang ramai saat jam istirahat. Aku turuti saja dia, ya ... tidak ada salahnya 'kan kalau aku membiasakan diri dengan semua ini? Mengingat hari ini adalah minggu kedua aku bersekolah di sekolah pada umumnya.

"Lo mau pesan apa, Ja?" tanya Dinda saat kami sudah di pintu kantin.

"Samain aja sama lo," jawabku sambil tersenyum.

"Ya udah, deh," katanya, "Lo cari tempat duduk aja, mumpung masih sepi kantinnya."

Aku mengangguk.

Kantin ini luas. Ada banyak meja bulat dengan empat kursi di tempat ini, dan aku memilih yang di pojok. Beberapa menit kemudian, Dinda datang dengan nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua botol air mineral.

Aku membantunya meletakan nampan karena kulihat Dinda kewalahan. "Kenapa pilih yang pojok, sih?" tanyanya. "Kan masih banyak yang kosong di tengah."

"Gak apa-apa," jawabku. "Eh iya, Din, nanti kalo udah selesai makan anterin gue ke perpustakaan, ya?"

"Ngapain?"

Aku menaburkan sedikit bubuk lada ke makananku. "Gue cuma mau liat aja, tempatnya bagus apa enggak."

"Bagi gue, semua perpus gak ada yang bagus. Ngebosenin," ucapnya.

Aku terkekeh. "Itu karena lo jarang ke perpustakaan dan gak suka buku."

"Ya iyalah, gue masih normal kali. Gue 'kan sukanya cowok, bukan buku," guraunya.

"Berarti gue gak normal, dong?"

Dia mengangkat kedua bahunya. "Bukan gue yang bilang, ya."

Aku sedang menikmati makananku saat seorang kakak kelas yang tidak kutahu namanya menghampiri kami. Dia tersenyum manis dan kubalas senyum juga.

"Hai, lo anak baru, ya?" sapanya kepadaku.

Aku mengangguk.

"Kenalin, gue Azila." Padahal aku 'kan tidak bertanya namanya. "Lo?"

Aku tersenyum lagi. "Saya Senja, Kak," jawabku dengan sopan.

"Oke, Senja, gue kapten cheer di sini." Aku juga tidak bertanya itu. Serius.

Karena bingung ingin balas apa, aku hanya diam. Jangan salahkan aku, kalau dia kikuk sekarang. "Gue mau nawarin lo buat masuk tim cheer," lanjutnya.


"Gimana, ya, Kak? Saya gak tertarik sama yang kayak gitu," kataku jujur.

Dia memperhatikanku dari atas ke bawah. "Yah, padahal kalo gue liat, lo itu orangnya cocok, lho, jadi anak cheer. Oke, deh, nanti kalo lo berubah pikiran, pulang sekolah ke lapangan basket aja, ya."

"Iya, Kak."

Aku adalah Senja. Senja mana mungkin tertarik dengan kegiatan-kegiatan seperti itu. Pemandu sorak? Terima kasih sebanyak-banyaknya dari lubuk hatiku yang terdalam. Berlebihan? Memang. Tapi itulah yang kurasakan.

***

Dering bel pulang sekolah akhirnya terdengar. Senangnya aku. Setelah Pak Santo meninggalkan kelas, aku langsung menarik tangan Dinda. Tujuanku saat ini adalah perpustakaan. Ya ... tadi aku tidak jadi ke perpustakaan.

Maaf jika aku kasar. Tapi aku bingung, apa guru-guru di SMA Bakti Nusa ini tidak punya tangan? Bu Ratna, guru fisika yang mengajar kelas sebelas, yang selalu kelimpungan dalam segala hal, istirahat tadi tiba-tiba saja memintaku dan Dinda untuk membawakan tas tentangnya ke ruang guru. Memang, sih, itu hal biasa. Dan yang luar biasa adalah beliau 'memanfaatkan' aku dan Dinda untuk mengoreksi jawaban ulangan fisika kelas XI IPA-1 minggu lalu. Terpaksa aku mengurungkan niatku untuk ke perpustakaan tadi.


Apa aku harus bertanya; ini guruku, bagaimana gurumu?

Oke, cukup. Untuk Bu Ratna, maaf saya membicarakan tentang Ibu di sini. Hehehe ....

Saat ini, aku sedang melihat-lihat buku sastra yang ada di perpus sekolah. Sepertinya, memang tempat ini jarang dikunjungi. Terbukti saat aku mengecek daftar pinjaman di bagian belakang sampul buku-buku itu, hanya ada beberapa nama yang tertera. Dari buku yang satu berganti yang lainnya, hampir semua seperti itu.

Namun, ada satu nama yang membuatku tertarik. Nama yang ada di setiap daftar pinjaman buku sastra di sini. Nama yang sama dengan nama yang tertera di salah satu kertas ulangan yang diperiksa olehku siang tadi. Nama yang dicoret angka satu-nol-nol dengan tinta biru di sampingnya oleh Bu Ratna. Dengan tulisan seperti ceker ayam, nama itu mendapatkan nilai terbaik di antara yang lainnya.

Edgar S. Gardian.

Seketika, aku teringat dengan Kak Azila, pemimpin pemandu sorak. Aku memang tidak tertarik dengan kegiatan itu, tapi aku harus menemuinya.

***

Note:

Cerita ini di setiap bagiannya emang saya buat pendek-pendek. Biar saya gak kebingungan nantinya. Takutnya kayak cerita TransformirAbel (udah saya hapus ceritanya).

Oh iya! Maaf saya menelantarkan TransformirAbel. Serius, saya mentok di cerita itu. Dengan saya yang pusing mikirin cerita gak jelas itu, ide membuat cerita ini datang gak dijemput dan sampe sekarang gak pulang-pulang. Kayak jelangkung yee... wkwk
Saya gak berani janji untuk ngelarin cerita ini, tapi saya usahain. Doain saya dapet hidayah biar nih cerita selesai:P

Istrinya Shawn Mendes

Bila Senja Rindu SinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang