16 September 2016

472 9 7
                                    

Malam ini kau memintaku untuk menemanimu. Seperti biasa, kau mengajakku mengunjungi coffee shop yang suasananya sesuai dengan suasana hatimu. Aku pun bersiap, merapikan diriku agar bisa tampil sebaik mungkin di hadapanmu.

Senyum itu terkembang di wajahmu. Rona merah tipis menghiasi pipimu. Mau tak mau, aku pun ikut tersenyum. Senang melihatmu lebih baik dari hari kemarin.

Selagi kau menyeimbangkan kemudi agar kita tetap berjalan pada jalur yang seharusnya, aku mencuri lihat wajahmu dari samping. Wajah itu, wajah pria yang mengisi hatiku selama empat tahun terakhir. Tidak banyak perubahan yang kulihat selain raut wajahmu yang semakin tegas. Kau tetap sama seperti dulu, pria yang mengisi hatiku sejak empat tahun yang lalu.

"Psikologku bilang aku bukan tipe pria yang disukai wanita." kau mulai bercerita. "Aku sulit mengontrol emosi, aku tidak suka bersosialisasi, aku egosentris. What a mess."

Aku mengambil jeda untuk mencerna pernyataanmu sekaligus menyusun tanggapan yang akan aku sampaikan padamu.

"Kau tahu, tidak ada pria yang ideal yang memiliki semua itu."

"Tapi itu hal yang fatal, Ti." kau menyanggah ucapanku, seperti yang biasanya kau lakukan setiap kali aku memberi tanggapan atas pernyataanmu. "Bagaimana mungkin seorang wanita akan menyukai sifatku yang seperti ini?"

Alih-alih menjawab pertanyaanmu, aku lebih memilih untuk mengambil jeda sejenak, lalu mengalihkan topik obrolan kita ke hal-hal yang ringan, seperti kau yang harus fokus pada jalanan di depanmu atau aku yang baru saja berbaikan dengan temanku. Jika saja aku mengatakan apa yang sesungguhnya ada di pikiranku, malam ini mungkin akan menjadi malam terakhir bagiku untuk bisa bertemu denganmu. Aku memilih untuk melindungi egoku, menghindari perasaan sakit hati yang mungkin timbul jika kukatakan bahwa aku masih mencintaimu.

"Ngomong-ngomong, kau harus percaya takdir Tuhan. Jodohmu sudah ditentukan oleh-Nya." akhirnya aku menyampaikan sebagian pemikiranku.

Kau mendecih pelan. "Psikologmu yang berkata begitu?"

"Ya."

"Agamis sekali."

"Biasa lah, psikolog kampus." aku mengendikkan bahu dan menggelengkan kepalaku sedikit. "Kau membayar dua ratus ribu ke rumah sakit untuk setiap sesi pertemuan, sedangkan aku tidak membayar sama sekali. What did you expect?"

Kau tertawa. Mau tak mau aku juga.

Kau membawaku ke coffee shop yang belum pernah kau kunjungi. Kau senang karena tempat yang kita kunjungi ternyata buka 24 jam dan cenderung sepi. Tempat yang cocok untuk menghabiskan waktu di malam hari, katamu.

"Mungkin aku orang yang kurang bersyukur." kau mulai bercerita. "Jadi, aku menemui seorang gadis cantik di Tinder, umurnya sama dengan kita. Calon dokter."

Oh.

"Dia tinggal di kota lain. Aku jadi kesulitan untuk menemuinya sampai sekarang."

Aku tidak peduli.

"Aku nyaman dengannya. Aku bahkan sudah bercerita banyak hal padanya. Kami berencana untuk bertemu akhir tahun ini."

Lalu, keheningan menghampiri kita yang sedang duduk berhadapan dengan dibatasi meja persegi dengan dua cangkir kopi dan dua donat yang masih hangat di atasnya. Aku sadar kau menginginkan tanggapan, jadi aku langsung memutar otak untuk membalas kata-katamu tanpa menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya.

"Ah, begitu." aku tersenyum tipis-sangat tipis. "Lalu, apa masalahnya?"

"Jarak." kau mengendikkan bahu. "Aku tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh. Aku butuh kekasih yang bisa menemaniku setiap hari."

Aku tertohok. Perasaanku tiba-tiba bercampur aduk. Berusaha berpikir positif, aku berpikir bahwa kau mungkin rabun dekat.

Ya, kau pasti rabun dekat.

"Jadi, ya, tetap saja. Sekarang aku malah mencari gadis lain." kau tertawa. "Aku kembali menggunakan Tinder."

Aku hanya tertawa sekadarnya untuk menanggapi ucapanmu, lalu kembali memainkan telepon genggamku yang tiba-tiba terlihat lebih menarik.

Tiba-tiba saja aku dipenuhi perasaan kalut, takut kehilanganmu yang beberapa bulan terakhir kembali mengisi hari-hariku. Terlebih lagi kau tidak pernah melihatku sebagai wanita-atau mungkin kau melihatku sebagai, ehm, objek?-dan aku tidak pernah, mungkin tidak akan pernah menjadi satu dari sekian banyak pilihanmu. Ketenangan tiba-tiba saja menguap dari tubuhku sampai-sampai aku tidak merasakan kantuk, bahkan setelah aku telentang di atas ranjangku saat jarum jam sudah menunjuk angka lima.

Kau membalas pesanku pukul enam lewat tiga puluh menit pagi ini. Menurut ceritamu semalam, kau akan membalas pesan wanita itu sesaat setelah kau bangun. Aku harap aku menjadi yang pertama kali ini-atau yang kedua pun tak masalah buatku. Yang pasti, aku patut berterimakasih kepada Tuhan karena tidak menarikmu dariku hari ini.

Pada akhirnya, pagi ini aku bisa tidur walau hanya satu jam tiga puluh menit. Setidaknya, itu lebih dari cukup mengingat jantung dan paru-paruku masih bekerja lebih cepat dari biasanya. Setelah mengumpulkan energi, aku segera bergegas untuk bersiap-siap mengikuti kuliah yang dijadwalkan siang hari ini.

Ah, terkadang aku merasa bodoh. Semua ini sungguh drama, tapi hanya aku yang merasakannya.

MonodramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang