Satu

3 0 0
                                    

“Gimana ya, Nyak? Gue udah suka banget sama si Rere. Tiap hari dia makin keliatan cantik banget dimata gue. Iya nggak sih?” Raka masih belum berhenti ngoceh tentang Rere(inceran dia yang sekarang). Setiap detik, dia semakin semangat menceritakan ‘Rere’-nya dan mengulang 2 hingga 3 kali kalimat yang sama. Btw, itu kalimat terakhir yang udah dia ulangin ke-empat kalinya.

“Kaaa, tolong dongg. Kamu kalo emang benci banget sama Bahasa Indonesia, bisa kan tinggalin aku sendiri aja buat ngelarin tugas ini? Aku nggak bisa fokus nih nyelesain syairnya. Besok udah harus dikumpul dan aku belum bikin satu bait pun.” Akhirnya aku berhasil memberhentikan celotehannya. Hening.

“Nyaakk.. Maaf dong. Jangan marah yaa..? Gue beliin martabak deh ini. Oke? Pergi duluu Nyanyak!” Raka mengacak puncak kepala gue sebelum dirinya beranjak pergi.

Aku belum cerita ya? Jadi, dia itu Raka. Rakarantara Putra Adrian. Temanku dari zaman TK sampai sekarang ini. Aku nggak akan pernah lupa gimana bisa akhirnya kami saling kenal. Dulu saat hari pertama masuk TK, dia mendatangiku ketika jam istirahat, dan duduk didepanku memandangi kotak bekalku yang penuh berisikan salad waktu itu.

Kalau memang tidak suka, biar aku saja yang menghabiskannya.” Katanya waktu itu. Dan saat dia mengatakan itu, barulah aku tersadar ternyata ada seseorang yang daritadi duduk didepanku. “Aku nggak suka. Tapi, kalau Mama tau aku nggak ngabisin bekal, akhir pekan nanti pasti aku nggak jadi diajak ke toko buku.” “Sini, aku bantu habisin. Kamu aneh banget nggak suka sayuran. Enak tau.” Jawabnya sembari langsung merebut kotak bekalku. Padahal jelas-jelas dialah makhluk aneh itu. Bagaimana bisa ada orang yang dengan semangatnya melahap habis semua benda hijau itu!? Mengerikan!

Sejak insiden itu, Raka tidak pernah absen untuk mengunjungiku saat jam istirahat, hanya untuk mendapat limpahan sayur-sayuran dariku. Raka bilang, Mamanya bukanlah tipe Ibu yang bisa memasak berbagai macam masakan lengkap untuk dibawa sebagai bekal untuk Raka. Jadi ya, bisa dibilang sampai tamat SD, Raka selalu setia membantuku menghabiskan sayur yang ada dibekalku. Aku cuman suka bayam. Jadi, saat Mamaku memasak bayam, maka Raka yang harus mengalah.

Dan sejak saat itulah, kami mulai dekat. Aku cukup mengenalnya, karena ya selama 10 tahun ini kami selalu sekelas dan sudah dekat dengan keluarga masing-masing. Tapi aku tak yakin, apakah kelas 11 dan 12 nanti masih bisa sekelas dengannya apa tidak. Secara, Raka sangat ingin menjadi seorang mechanical engineer, sedangkan aku hanya ingin tenggelam dalam kata dan penciptaan karakter. Sesuatu yang membutuhkan imajinasi.

“Hoyy! Ngelamun aja! Emang udah dapet inspirasi?” tiba-tiba Raka menepuk pelan pundakku dari belakang. Ah, ternyata dia sudah pulang.
“Martabaknya mana?” jawabku tak menjawab pertanyaannya.
Raka menggoyang-goyangkan sebuah kotak yang dibungkus plastik dihadapanku. “Supaya ibu Penulis bisa dapat pencerahan yang dahsyat.” Aku tidak memperdulikan Raka lagi. Ntahlah, martabak ini sungguh sangat sayang jika dibiarkan mendingin, barang hanya untuk menanggapi Raka sedetikpun.

“Nyak.”
“Hmm?” aku nggak bisa ngomong Ka. Ini lagi ada martabak.
“Aneh deh. Lo tau si Geva kan?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Masa nggak tau sih? Setau gue dia itu sering banget loh jadi objek gosip cewek-cewek sekolah kita.”
“Aku baru tau ternyata kamu suka gosip bareng anak cewek.”
“Kampret. Ya kagak lah!”
Aku mendelikkan bahuku. Nggak urus, Ka. Nggak bisa banget sih kamu liat orang lagi enak gini makan martabak?

“Dia tadi nge-Whatsapp gue, Nyak. Gue kira diajakin main futsal gitu atau apa kan ya.  Ehh.. Nggak taunya bukan Nyak.” Oh, c’mon? Kamu nggak pernah banget ya kayaknya kehabisan topik bicara, Ka?
“Aku nggak peduli, Ka.”
“Masalahnya dia nanya nomor lo, Nyak.”
“Trus kamu kasih?”
“Ya iyalah. Gapapa kan ya? Soalnya dia bilang, kalo gue nggak ngasih, berarti gue sama lo itu ada apa-apanya, atau gue suka sama elo, dan gue dicap tipikal cowok yang pecemburuan. Ya jelas nggak banget kan ya, Nyak. Yaudah langsung gue kasih. Sekalian alamat rumah lo juga.”
“Kamu kok asal sembarangan ngasih si, Kaaaa. Cewek-cewek yang nanyain nomor kamu aja aku nggak langsung kasih, minta izin dulu sama kamu. Bahkan nih, pas Valentine kemarin, aku dapat banyak banget kado ya dari fans-fans kamu semua karna mereka nggak tau alamat rumah kamu dan kamu nggak muncul-muncul di sekolah. Ih nyebelin banget!”
“Ya kan gue nggak pernah bilang kalau lo harus minta izin ke gue buat kasih nomor gue ke yang minta. Eh bentar.. Lo tadi bilang gue dapet banyak kado? Tapi kok nggak ada satupun sih kado yang gue dapet?”
“Nggak tau. Jawab aja sendiri. Udah ah, aku pulang aja. PR ini aku aja yang selesain. Toh, ada atau enggak adanya kamu juga nggak ngaruh apa-apa sama hasilnya nanti. Titip salam buat Tante sama Om kalau udah pulang.” tanpa menunggu jawaban dari Raka gue langsung merapihkan semua barang-barang gue dan pulang.

Sebenarnya, bukan karena Raka ngasih nomorku ke so-called Geva makanya aku kesal terhadapnya. Tapi, karena alasannya itulah yang membuatku tak karuan begini. Yang aku tahu, Raka nggak pernah bohong dan selalu jujur atas semua jawabannya. Tadi itu kayak Raka akhirnya ngejawab sebuah pertanyaan yang selalu tersembunyi dalam benakku dan belum pernah aku ungkapkan. Memang dasar sifat manusia, selalu menginginkan lebih daripada batas normal. Ternyata, memang sesakit ini rasanya.
***

“Renia, lo dipanggil ke ruang OSIS tuh.” Tiba-tiba ada Siska mencolekku saat aku tengah pura-pura menyibukkan diri membaca novel ini.
“Heh?” aku membalas dengan tatapan heran. Kalau kata Raka, tatapan heranku ini nyebelin banget. Iya, soalnya alisku akan naik satu dengan sempurna, dan Raka tidak bisa melakukannya. Dia bilang naikin satu alis itu suatu anugerah yang keren banget. Sayangnya, bukan dia yang dapet.
“Kaga tau ada apaan. Lo sih, daritadi dicariin malah nongkrong di sini. Udah gih, pergi. Kali aja ada info penting.”

Akhirnya aku menutup novel yang belum kuselesaikan itu lalu menyimpannya disalah satu rak paling sudut di lantai perpustakaan ini. Supaya nggak dipinjem orang lain, hehe. Soalnya aku lupa bawa Kartu Perpus.

Sesungguhnya, aku paling males kalau harus jalan ke Rosis. Tempatnya jauh banget sih. Apalagi kalau dari perpus. Panas pula sekarang. Tapi, kok sepi ya? Huh. Coba cek kedalem dulu aja kali ya?
Cklek. Kosong.

Aku udah hampir mau meninggalkan ruangan ini begitu mendengar seseorang berlari kecil keluar dari ruangan Ketua OSIS sambil memanggil namaku.

“Renia?”
Aku menoleh. Aku merasa belum pernah kenal sama orang ini. Simbol kelasnya sih warna ungu. Berarti kelas 12. Pantes. Kakak kelas toh. “Iya, saya? Maaf, kakak siapa ya? Ini nggak jadi ada rapat ketua kelas ya?”
Setelah berdiri berhadapan denganku, dia tertawa kecil. “Geavanggara Arkawijaya. Hehe. Siapa emang yang bilang ada rapat?”

Aduh. Siapa tadi namanya? Aku lupa.. Dan, iya ya? Kayaknya sih emang si Siska tadi nggak ada bilang mau ada rapat.. Nah lho, Nya..

“Lo kemarin gue telpon kok nggak ngangkat? Di SMS juga nggak dibalas?” tanyanya.

Whoah whoah. Siapa sih ini orang? Baru juga ketemu udah bikin drama ‘cowok yang mulai takut ditinggal ceweknya’? Eh iya.. Aku juga baru nyadar.. Dari kemarin aku nggak ada megang hape. Jangan-jangan ketinggalan dirumah Raka? Hhhh

“Maaf kak. Hape saya kayaknya ketinggalan dirumah teman. Kok kakak bisa telpon saya? Rasanya baru ketemu hari ini...”

“Iya, gue minta nomor lo dari temen lo itu. Si Raka.”

Oh. Jadi ini, yang namanya si Geva? Yang digosipin anak-anak cewek?

“Nanti siang gue tunggu diparkiran kiri ya. Nggak usah minta jemput atau nebeng Raka.” Setelah berkata seperti itu, dia pergi, menghilang dalam sekejap dari pandanganku. Meninggalkanku dalam kebingungan.

Tapi, ada yang ketinggalan. Itu.. senyumannya dia. Kenapa masih bertahan dipikiranku ya? Sampai-sampai materi yang disampaikan Pak Sud tidak dapat tempat diotakku dan berlalu menguap begitu saja. Nya, are you okay?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 17, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The ScientistWhere stories live. Discover now