Chapter 1

201 12 0
                                    

Haii kalian para reader ku :*. Enjoy reading my story. Don't forget to vote or comment.
Mulmed yang diatas dianggep Alea aja yak 😂

-----

Ctar!

Ctar!

"Rasakan itu! Dasar anak tak tau diuntung! Sudah banyak uang yang kukeluarkan untuk menghidupimu. Tapi apa balasanmu? Dasar anak haram!!!" ucap sang ibu dengan mengangkat sebuah cambuk yang ujungnyapun melekat darah.

Ctarr!

"Ampun ibuu.. Amm.. Pun.." lirih sang gadis yang telah jatuh  tersungkur. Tubuhnya berdarah dan gemetar. Tak tahan akan perbuatan ibunya.

Ctarr!

"Ampun Katamu?!!! Setelah Aku Membesarkanmu Dengan Rasa Malu Kau Bilang Ampun?!! Akan Kuajarkan Padamu Arti Menurut Pada Orang Tua!!" amarah sang ibu  begitu puncaknya. Tanpa belas kasihan sang ibu menyiksa anaknya yang masih berumur 10 tahun dengan kejamnya. Seakan tak mengingat betapa sulitnya mempertahankan. Seakan tak mengingat tubuh lemah dihadapannya kini adalah darah dagingnya sendiri.

Ctarr!!

"Mulai sekarang bila kau tak menurut padaku. Akan ku berikan pelajaran yang lebih dari ini!!!" usai mengatakan itu, sang ibu pergi tanpa menolong Alea. Ya! Namanya Alea hanya Alea. Ia tak tahu nama panjangnya. Hanya Alea yang ia ketahui.

Alea bangun dengan tertatih. Meringis sakit, merasakan sekujur tubuhnya yang penuh dengan luka. Dia memang sudah terbiasa. Gadis berumur 10 tahun itu bahkan sudah bekerja untuk membayar sekolahnya. Untungnya biaya sekolah dasar hanya membayar beberapa tuntutan saja. Ia bahkan tak mempunyai teman. Teman-temanya malah mengolok-oloknya dengan sebutan anak haram atau apalah itu. Pada awalnya ia menangis dan berlari menuju ibunya. Tapi apa yang ia dapatkan? Ia disiksa, tak diberi makan, tak diberi kasih sayang. Dulu, dia menangis setiap malam. Mengadukan penderitaannya pada sang bulan. Menumbuhkan rasa benci yang teramat pada semua orang.
Bukankah dunia ini memang
kejam?

"Ayo non bangun. Nanti biar bibi obatin non Alea." dirumah itu memang ada beberapa pembantu juga satpam. Mereka memang tahu apa yang terjadi pada gadis kecil tersebut. Tapi, apa yang  mau mereka perbuat? Diam. Bukannya mereka tidak perduli dengan nasib malang yang terjadi pada gadis tersebut. Tapi nyonya mereka yang kejam mengancam akan membunuh sanak keluarga mereka membuat mereka tak bisa melakukan apa apa. Hanya bisa mendo'akan Alea agar selalu dalam lindungan-Nya dan kelak dapat merasakan kebahagiaan. Tak ada yang tahu jalan takdir Tuhan bukan?

"Sakit bik. Hikss. Hikss.. Ii.. Ibu.. Sang..ngat.. Kejj.. Jamm.. Padaku" Alea kecil hanya menangis. Membuat seluruh pekerja dirumah itu ikut merasakan penderitaan Alea kecil. Bahkan bik Sukma yang akan mengobati Alea ikut menangis.

"Bik Sukma nggak usah nangis. Alea gapapa" kata Alea yang terlihat tegar meski hatinya begitu sakit.

"Bibik nggak nangis kok non. Bibik tadi kelilipan waktu mau kesini. Sini non Alea biar bibik obatin sakitnya. Nanti bibik masakin nasi goreng telur dadar kesukaan non Alea. Biar besok jadi kuat terus bisa berangkat sekolah." ucap bik Sukma menahan pedih. Kalaupun diperbolehkan Ia sebenarnya ingin mengadopsi Alea sejak dulu. Alea gadis yang baik, penurut, pandai, begitu juga dengan rupanya, sangat cantik diusianya yang 10 tahun. Ia pernah ditawari sebagai bintang model baju anak kecil ternama. Tapi, ia menolaknya dengan alasan fokus pada sekolah. Bukan karena ia tak mau, semua itu karena ibunya. Ia takut akan membuat kemarahan ibunya memuncak yang berujung sakit pada sekujur tubuhnya. Ia ingin bahagia, sama seperti teman-temannya.

Ia hanya meringis, saat obat-obatan itu mengenai kulitnya. Tak ada tangisan, karena ia sudah lelah menangis. Ia akan bangkit. Menunjukkan pada ibunya bahwa ia akan menjadi orang yang sukses. Ia memulai membuat dinding kokoh pada jiwa dan raganya. Tak ada tangisan bahkan senyuman.

-----

Keesokan harinya, Alea berangkat sekolah pukul 6.00. Memang masih pagi untuk anak seumurannya. Tapi ia juga mengejar waktu karena ia berangkat sekolah dengan jalan kaki.

"Ini non makan siangnya, jangan lupa dimakan. Hati-hati ya non" ucap Bik Sukma seraya menyerahkan sebuah kotak makan yang berisi nasi goreng telur dadar kesukaannya.

"Makasih Bik" ucap Alea seraya berjalan keluar rumah. Sebenarnya satpam rumah itu juga ingin mengantarkan Alea. Tapi Alea tahu, itu akan membuat sulit kehidupan orang lain.

Alea berjalan dengan wajah datar. Gadis sekecil itu sudah membuat tameng dingin untuk dirinya. Dia hanya takut untuk mempercayai seseorang.

Berjalan ke gerbang dengan masih berwajah datar membuat siswa-siswi di sekolah dasar itu enggan berteman dengannya. Alea sudah biasa sendiri, ia mungkin merasa tak punya teman. Tapi, ada satu siswi kelasnya yang sangat perhatian padanya. Bahkan bila Alea sedang dibully, maka yang menjadi penyelamatnya adalah Dian. Namanya Dian Saraswati. Murid sederhana dari kalangan bawah itu merasa kasihan bila melihat Alea dalam kesulitan. Ia selalu membantu Alea bila gadis itu mendapat masalah. Awalnya, Alea tidak mengindahkan keberadaan Dian karena ia menganggap Dian hanya kasihan padanya. Namun lambat laun, karena ketulusan anak kecil yang polos itu membuat Alea membuka sedikit perasaannya pada Dian. Bukan karena suka, tetapi lebih ke nyamannya mempunyai sedikit teman yang tulus dibanding punya banyak teman yang bermuka dua.

"Alea. Apakah kamu sudah mengerjakan PR matematika yang diajar Bu Khusni kemarin?" tanya Dian ketika Alea sudah duduk dalam bangkunya. Alea hanya mengangguk dan memperlihatkan pekerjaannya.

"Bolehkah aku meminta tolong? Tolong ajarkan aku yang nomor 5 ini. Aku bingung dengan caranya." pintanya menatap Alea dengan wajah polosnya. Alea memang anak yang pandai. Ia selalu mendapat juara kelas dan mendapat pujian dari gurunya.

Alea hanya mengangguk dan mulai menjelaskan kepada sahabatnya. Seiring berlalunya waktu, setelah pulang sekolah dan berpisah dengan Dian. Alea bergegas menuju sebuah toko koran.

"Kau datang rupanya. Apakah kau mau membantuku berjualan koran lagi?" tanya seorang pria paruh baya yang ditangannya terdapat sejumlah koran. Alea hanya mengangguk, hari ini ia begitu tak banyak bicara.

"Apakah kau sudah makan?" tanya pak Sardi. Alea mengangguk sambil tersenyum setelah mengganti seragamnya dengan pakaian yang sederhana.

"Ya sudah ini untukmu. Selamat berjuang nak!" ucap pak Sardi memberi semangat pada gadis kecil itu.

Seperti biasa dia menjual koran di persimpangan lampu merah.

Tanpa ia sadari seorang wanita paruh baya melihatnya dengan seksama.

"Apakah kau melihat anak itu Son?" tanya wanita paruh baya itu yang bernama Wina.

"Iya nyonya" jawab sang supir.

"Kenapa jaman sekarang gadis sekecil itu sudah merasakan beratnya dunia kejam ini?" Wina merasa iba melihat Alea dengan keringat dan kaki kecilnya sedari tadi mondar-mandir dari mobil satu kemobil yang lain. Dengan senyum yang tak pernah redup meski sakit diseluruh badannya akibat cambukan ibunya kemarin masih terasa begitu menyakitkan.

Wina yang terlalu memperhatikan Alea tanpa sadar melihat bagian bawah telinga Alea yang terdapat tanda lahir. Wina terkaget dan segera memfoto anak itu.

"Jalan Son!" suruhnya pada Soni, sopir keluarganya.

"Baik nyonya."

Entah apa yang terjadi selanjutnya. Tak ada yang tau.

-----

Gimana sama cerita ini? Kalo bagus vote ya. Coment juga boleh. Nerima kritik dan saran kok. Asal kritik sarannya masih batas wajar.

Jangan lupa vote ataupun comentnya ya. Cerita ini sedikit banyak sama dengan nasib orang yang kukenal. Dia sangat tegar, sabar, dan untuk itu kujadikan inspirasi pada ceritaku ini. Dia membolehkan meski ada banyak yang tak sama.

Okeh. Vote dan coment kalian itu syarat untuk next cerita ini. Apresiasi itu penting. Oke. See you!

Just My Little Love For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang