Romansa Atas Kapal

780 68 6
                                    

Romansa Atas Kapal

Seorang gadis dengan rambut gelap yang diikat kuncir kuda, tampak mendesah putus asa, saat melihat kamar terakhir di atas kapal besar yang dia naiki telah diambil orang lain.

"Tidur di dek lagi dah," gumamnya cemberut, kemudian berbalik dan mencari tempat strategis untuk duduk dan juga tidur selama dua hari satu malam. Sebelum tiba di tempat tujuan.

Aaliya. Sejak terdaftar sebagai mahasiswi di sebuah Universitas di Makassar tahun lalu, gadis berusia delapan belas tahun itu telah membiasakan diri untuk menjadi penumpang kelas ekonomi di kapal cepat. Alasan Aaliya memilih transportasi jalur laut untuk bolak-balik antara kota kelahiran dan kota rantauannya, adalah karena transportasi jalur laut tersebut murah-meriah. Dan harga tiketnya sangat cocok dengan kantung mahasiswi perantau dari keluarga sederhana seperti dia.

Hanya saja di hari keberangkatan, Aaliya mesti menguatkan hati untuk berdesak-desakan dengan para penumpang lain agar bisa naik ke kapal. Berhati-hati dari para copet dan pencuri yang berkeliaran. Dan kalau tidak dapat kamar, dia harus rela tidur di dek kapal beralaskan lantai dan berbantalkan ransel, bersama para penumpang lain yang juga tidak mendapatkan kamar.

Dengan lelah Liya, sapaan akrab Aaliya, berjalan menghampiri sebuah bangku panjang di dek, yang menurutnya bisa menjadi tempat tidur nyaman selama perjalanan menuju Makasar. Bangku itu juga letaknya tak jauh dari sebuah kamar, yang Liya lihat sudah diisi beberapa turis asing tadi. Gadis itu berharap semoga kota Labuhan Bajo yang menjadi tujuan para turis asing di kamar itu. Liya hafal betul, sebelum sampai di Makasar, kapal yang dia tumpangi akan berlabuh selama setengah hari di Labuhan Bajo.

***

"Aku nggak dapat tiket pesawat. Kami pulangnya pake kapal laut."
Seorang lelaki tampan berusia sekitar sepuluh tahun di atas Liya, tampak menggandeng seorang bocah berambut ikal menggemaskan. Mereka berdua berhenti lalu ikut duduk di bangku panjang tempat Liya beristirahat.

"Kemungkinan lusa baru kami nyampe di Makasar," laki-laki tampan itu memijat pelipisnya frustrasi.

Sepertinya sedang kesal dengan kecerewetan lawan bicaranya di seberang. Walau samar, karena jarak duduk yang lumayan dekat, Liya bisa mendengar bahwa orang yang sedang telpon-telponan dengan lelaki ganteng di sampingnya, bisa berbicara cepat dalam satu tarikan napas.

Dia tersenyum kecil memikirkan, ternyata orang cerewet seperti itu tidak hanya ada di dunia fiksi ataupun film. Tapi juga di dunia nyata.

Diperhatikannya lagi si laki-laki ganteng yang duduk di sampingnya, dan juga bocah berambut ikal menggemaskan yang duduk di pangkuan lelaki tersebut. Awalnya Liya kira kalau mereka ayah dan anak, tapi setelah diperhatikan lagi, keduanya sangat berbeda dari segi tampang maupun fisik.

Jika si lelaki tampan, yang sampai sekarang masih sibuk dengan ponselnya memiliki fisik oke, badan tegap, tinggi ala atlet basket, muka yang Asia banget. Kulit putih, hidung mancung, bibir yang menggoda untuk dicaplok, garis rahang tegas, dan mata hitam tajam. Maka si anak yang ada di pangkuannya, memiliki tampang yang agak kebule-bulean. Rambut gelap ikal, kulit putih bersih, dan mata biru yang berkilat ceria.

"Mungkin istrinya bule," Liya masih terus memikirkan tentang ikatan darah dua laki-laki di samping.

"Tante. Daritadi kok ngeliatin saya sama Om Enggar terus? Naksir ya?" si anak kecil yang anteng di pangkuan 'Om Enggar' itu dengan tengilnya menggoda Liya.

Beruntung si Om masih sibuk dengan ponselnya, jadi tidak mendengar perkataan bocah yang dia pangku.
Liya hanya bisa meringis malu mendengar godaan bocah tersebut.

"Keponakannya toh?"

Mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Liya mencoba mengalihkan perhatian dari dua orang di sebelahnya dengan menyibukan diri, mengirim sms pada keluarga, mengabarkan bahwa kapal yang dia tumpangi sudah berangkat meninggalkan pelabuhan.

Romansa Atas KapalWhere stories live. Discover now