Laki-laki Pemain Futsal yang Pintar

317 13 8
                                    

Aku bertemu dengannya untuk yang pertama saat sekolahku mengadakan kompetisi futsal. Waktu itu, aku tidak terlalu mempedulikannya karena aku sendiri tidak mempunyai alasan untuk memperhatikannya. Dia hanya satu dari sekian pemain futsal yang ditunjuk sekolah sebagai perwakilan.

Baru lima hari setelah pertandingan itu, tanpa sengaja aku melihatnya tengah berdiri di antara anak-anak OSP (Olimpiade Sains Provinsi) yang sedang berkumpul di depan ruang wakil kepala sekolah. Kupikir dia anak dari jalur prestasi olahraga yang rata-rata nilainya tidak semuanya bagus, mungkin ada juga yang bagus, tapi dalam kasus yang kuamati sejauh aku menginjak sekolah ini, prestasi mereka lebih diperhitungkan.

Dan kuakui, aku sedikit terkejut mengetahui hal itu.

"Yang mana, La?" Mendengar itu, kepalaku lantas menoleh ke arah sumber suara. "Yang berkumis tipis itu?" Menyadari baru saja dipergoki menatap laki-laki itu, aku tersenyum masam.

"Kuakui, dia semakin manis dengan kumis tipis," kata Saras, orang yang tadi memergokiku. Entahlah, bagiku kalimat Saras barusan terdengar disengaja untuk menyudutkanku.

"Kau salah paham, Ras."

Saras justru terkekeh mendengar penuturanku.

Lantas aku segera menambahkan, "Aku serius." Berharap penekananku kali ini mampu membuatnya berhenti memikirkan yang tidak-tidak, itu pun kalau Saras memang melakukan itu.

"Menghindar sama dengan menyembunyikan." Lalu dia tertawa semakin kencang.

Aku menatap gadis itu seraya membuang napas panjang. Lebih baik diam, daripada menjelaskan kebenaran tapi dianggap melakukan kebohongan.

Setelah tawa Saras mereda, dia kembali bersuara, "Yakin tidak ingin mengetahui hal lebih?" Dan kali ini Saras masih saja menggodaku.

"Ras, please."

Dan lagi, tawa Saras kembali pecah.

Setelah itu, aku meninggalkannya dengan alasan berniat ke kemar mandi. Untung saja, Saras tidak lagi menggodaku karena berusaha menghindar, walaupun pada nyatanya seperti itu.

Benar, waktu itu aku menyesal.

Saat ini aku sedang mengaduk jus jeruk sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. Lalu melirik jam dinding untuk menghitung berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menunggu makanan. Sudah sepuluh menit, tapi teman-temanku belum juga datang.

Aku pun mengedarkan pandangan lagi, mencari kesibukan dengan mencari pemandangan --yang sebenarnya tidak akan kudapatkan di tengah suasana ramainya kantin. Namun nyatanya aku mendapatkannya di sini. Laki-laki itu.

Dia berada di tiga meja di depanku. Melihatnya dalam jarak beberapa meter membuatku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sekarang aku sependapat dengan Saras, di mataku kumis tipisnya menjadi pemanis saat bibirnya bergerak.

Tanpa sadar, bibirku membentuk senyum. Di hatiku terasa ada sesuatu yang hangat menjalar di setiap sudutnya. Entah apa penyebabnya, tapi aku ingin tetap seperti ini.

Dia menghadap ke arahku dan aku memperhatikannya diam-diam tanpa sepengetahuannya.

Kali ini sayangnya aku tidak bisa melakukannya lama karena teman-temanku terlihat berjalan ke arahku.

"Kenapa kalian lama sekali?" sambutku ketika mereka baru meletakkan nampan berisi makanan yang kami pesan.

"Sama-sama," balas Fera yang sepertinya malas menanggapi protes dariku.

"Terima kasih." Aku meringis saat mengucapkan itu.

"Kantin Biru ramai dari biasanya, La. Hari ini ada menu baru di sana." Lula mencoba menengahi.

"Iya, aku minta maaf. Lagipula tidak masalah--

--kalau kalian lebih lama lagi," lanjutku dalam hati. Sesaat aku mencuri pandang ke arah laki-laki itu.

"Katanya tidak masalah, tapi kenapa tadi protes." Fera kembali bersuara, kali ini seperti gumaman yang sengaja dikeraskan.

"Aku bisa mendengarmu."

"Aku memang sengaja."

"Kalau kalian ingin bertengkar, pergi sana. Aku ingin makan dengan tenang," pungkas Lula sesaat setelah memukulkan sendoknya ke meja dengan geram.

Setelah itu tidak ada lagi yang bersuara.

Kini semuanya sibuk menghabiskan makanan masing-masing. Begitu juga dengan laki-laki itu.

Oh, bahkan sekarang aku mulai mengamatinya.

Setelah dipikir-pikir, laki-laki itu hampir sama dengan tokoh fiksi yang ada di novel remaja. Pintar dalam pelajaran dan olahraga, walaupun dia tidak masuk dalam jajaran most wanted sekolah karena ketampanannya. Tapi menurutku, dia mempunyai cara berbeda untuk membuat orang lain melihatnya.

"La!"

"E-eh? Ada apa?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Lula justru mengabaikanku, "Mungkin kau benar, Fer." Lula berbicara dengan Fera, "Mala sudah mempunyai dunia sendiri."

Sekarang aku sadar, laki-laki itu telah menarik perhatianku cukup besar.

Semua rasa ingin tahuku semakin besar dari hari ke hari. Terhitung satu minggu sejak aku melihatnya di kantin. Namun aku tidak mau terburu-buru, bahkan aku belum mengungkapkan apa yang kurasakan selama ini kepada kedua temanku, Fera dan Lula.

Jadi yang bisa kulakukan sejauh ini hanya mengamatinya diam-diam saat di kantin, belum lebih. Walaupun hanya hal itu yang bisa kulakukan, aku tetap senang. Karena aku menemukan beberapa hal baru tentangnya. Seperti makanan dan minuman favoritnya yang selalu ia pesan saat makan siang, teman-temannya yang selalu ada di sekitarnya, kebiasaannya yang selalu mengusap hidung, dan bagaimana ia tertawa -selalu sukses membuatku susah payah menahan senyum.

Pernah aku membayangkan suatu hal yang menggelikan. Dalam bayanganku, aku menjadi tokoh perempuan yang ada di novel remaja yang pernah ku baca dan di akhir kisahnya aku akan disatukan dengan tokoh laki-laki yang dalam hal ini laki-laki itu.

Jujur saja, aku pernah menginkan hal itu terjadi padaku.

Aku menghelas napas panjang. Menguapkan senyum yang tiba-tiba muncul agar tidak dianggap gila oleh orang-orang yang tanpa sengaja melihatku.

Tidak terasa, kakiku sekarang sudah menginjak trotoar halte. Aku pun duduk di kursi panjang sembari menunggu bisku datang. Baru saja aku akan mengambil ponsel ketika tiba-tiba telingaku menangkap suara deru motor yang tidak asing. Ya, satu hal lain yang kutahu tentang laki-laki itu, dia biasa menaiki motor besar ke sekolah.

Seperti biasa, aku terpaku olehnya. Tapi kali ini ada alasan tambahan kenapa aku melakukannya. Pertama, dia terlihat bahagia dari biasanya. Kedua, ada seorang perempuan yang mengisi kursi belakang motor yang biasanya kosong. Sepertinya perempuan itu kekasihnya.

Detik selanjutnya aku ingin tertawa, tapi aku tidak bisa.

Akan lucu jika aku mengatakan kejadian barusan adalah hambatan sebelum kedua tokoh utama dipersatukan, karena nyatanya kehidupan berbeda dengan cerita rekaan.

September 2016

Laki-laki Pemain Futsal yang PintarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang