"Wah, gambar bangunanmu makin lama makin keren." Kataku pada Dimas.
"Ah, masa'? Biasa aja kok." Kata Dimas merendah.
Saat itu, ketika sang mentari masih semangat bekerja, aku dan Dimas tengah santai ketika pelajaran sekolah telah usai. Ketika semua orang sedang berjalan pulang menuju rumahnya masing-masing, kami biasanya selalu menggambar dan setelah itu kembali pulang bersama-sama. Namaku Rei. Aku adalah sahabatnya Dimas. Aku tidak begitu pintar dalam urusan menggambar. Gambaranku semakin lama semakin tidak begitu berkembang. Sementara itu, Dimas semakin lama semakin pesat kemajuan gambarnya. Walaupun begitu, aku senang Dimas begitu berkembang dalam keahlian menggambarnya. Semenjak ia menjuarai lomba menggambar komik di tingkat provinsi dan nasional, aku juga terinspirasi untuk menjadi dirinya, menjadi orang yang ahli dalam menggambar.
Dulu, aku memiliki hobi menggambar, namun aku tidak melanjutkannya lagi hingga SMP. Namun, setelah aku bertemu Dimas sebagai sahabat di SMA, bakatku yang terpendam kembali menjulang keluar. Dimas mengajariku menggambar, dan aku begitu senang karena aku mendapat ilmu berharga darinya. Aku terharu padanya.
Dimas menutup buku gambarnya dan memasukkannya ke ransel hitamnya, begitupula aku. Kemudian, Dimas mengeluarkan kunci motornya yang berkilauan itu.
"Rei, makan ke warteg yuk. Aku lapar."
"Eh? Tapi aku udah kenyang, dim." Kataku padanya.
"Ya gak apa-apa. Temenin aja aku." Kata Dimas
"Ya sudah. Aku minum saja deh."
Dimas mengangguk senang atas jawabanku. Kemudian kami bersama pergi menuju ke parkiran motor yang letaknya berada di sebelah tenggara dari kelas kami. Tak lama kemudian, kami berdua menemukan motornya yang sedang tertidur pulas di parkiran. Dimas memasukkan kunci motornya dan mulai memanaskan mesinnya yang mati suri sebelumnya. Setelah Dimas memundurkan motornya, aku duduk di belakang badannya yang sedikit besar dariku. Lalu, kami berangkat bersama-sama menuju tempat tujuan.
Di perjalanan, aku melihat berbagai macam kegiatan di jalan raya. Ada yang sedang jalan kaki, berjualan di warung kecil, para pengamen mencari uang, dan masih banyak lagi. Kala waktu itu matahari begitu teriknya, mataku silau terkena pantulan cahayanya. Dimas masih semangat mengendarai motornya, dan aku cukup duduk manis di belakang sahabatku. Setelah kami tiba, Dimas memarkirkan motornya tepat di depan warteg. Aku turun dan masuk duluan ke warteg tersebut dan duduk di kursi kayu yang begitu nyaman. Tak lama kemudian, Dimas pun datang dan duduk di depanku.
"Gimana? Udah mesan?"
"Belum. Panggilin dong."
Dimas memanggil pelayan dari kejauhan, dan tampaklah seorang lelaki berbaju agak lusuh dengan kain lap berada di bahu kirinya. Kemudian lelaki itu bertanya kepada kami.
"Ya, mau pesan apa?"
"Saya nasi campur sama lauknya ikan, ya. Kamu, Rei?"
"Saya jus wortel saja." Kataku pada pelayan itu.
Setelah itu, lelaki itu pergi meninggalkan kami berdua dan mempersiapkan pesanan kami. Aku memperbaiki posisi kacamataku. Aku melihat Dimas membuka mulutnya untuk memulai pembicaraan.
"Rei, gak terasa ya, kita udah tiga tahun di SMA. Bentar lagi mau melanjutkan kuliah. Oh, ya, kamu punya impian gak?"
Pertanyaan Dimas sepertinya begitu dalam bagiku, namun aku masih bisa menjawabnya.
YOU ARE READING
Lembar-Lembar Impian
Short StoryNamaku Rei. Aku adalah sahabatnya Dimas. Aku tidak begitu pintar dalam urusan menggambar. Gambaranku semakin lama semakin tidak begitu berkembang. Sementara itu, Dimas semakin lama semakin pesat kemajuan gambarnya. Walaupun begitu, aku senang Dimas...