Debu-debu beterbangan, lalu hinggap di setiap rongga dan guratan permukiman, saat kau memasuki desa ini lagi. Warna desa seakan sengaja dilukis oleh bulir-bulir tanah cokelat kehitam-hitaman; rumah-rumah yang beratap seng dan daun rumbiya, pepohonan dan rerumputan menjelma corak kecokelatan yang legam.
Sejauh mata memandang, yang terlihat olehmu hanya kekusaman. Juga hawa yang gerah karena tak banyak lagi hutan yang melindungi desa ini dari pancaran sang surya secara langsung. Dan jika hujan tiba, jalanan di desa ini akan berubah bak kubangan kerbau, karena tentu saja tanpa aspal. Hanya tanah yang menjadi lumpur.
Lebih parah dari sebelumnya, saat pertama kali desa ini kau tinggalkan untuk menyandang gelar mahasiswa. Empat tahun kuliah dan memasuki dunia kerja hingga tahun kedua. Meskipun kau tetap sadar, bahwa ini tanah kelahiranmu, masa kecil dan remajamu.
Tidak tersisa lagi jejakmu di sini, selain tapak-tapak masa lalu. Rumah satu-satunya peninggalan orang tuamu, telah kau jual untuk biaya merantau dan kuliah beberapa tahun yang lalu.
Desa ini kini senyap.
Dari pelabuhan, kau menuju ke rumah Mulyadi, teman karibmu sejak kecil. Hanya rumah dia yang paling dekat dengan pelabuhan. Sedangkan Amat, Rahman, Syairi, Anang, Riah, Ipit, Sitah, teman masa sekolahmu dulu, jika kau memaksa ingin menatap kembali wajah-wajah ceria masa lalu itu, kau harus menempuh jarak berkilo-kilo meter menuju rumah mereka, memasuki perkebunan kelapa sawit dan karet yang luasnya beratus-ratus hektar.
Dari mulut Mulyadi juga kau tahu, bahwa setelah desa ini ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan tambang batubara, teman-temanmu itu menggantungkan hidup mereka di perusahaan-perusahan kelapa sawit dan tinggal di barak-barak yang terletak di dalam perkebunan tempat mereka bekerja. Kau tersenyum cuka mendengarnya.
Tapi kau bersyukur, saat tiba di sini Mulyadi tengah berada di rumah. Jika kau kurang mujur, mungkin saat ini ia tengah berada di ladang bersama istri dan kedua anaknya. Setidaknya kau bisa bernostalgia bersamanya.
Kau menolak saat Mulyadi menawarkan diri menemanimu untuk mengunjungi makam ibumu. Ibumu disemayamkan di dekat masjid desa. Kau pikir, tak perlu tukang ojek untuk menuju pemakaman itu, karena hanya berjarak kurang lebih enam ratus meter, setidaknya kau akan lebih meresapi desa ini lagi dengan langkah kakimu, menyiumi setiap aroma sudut tanah kelahiran, meski sengaknya sungguh tak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu.
Sesampainya di pemakaman yang pagarnya juga terlumuri oleh debu, kau membersihkan rerumputan yang juga menjelma cokelat kehitam-hitaman yang menutupi makam ibumu itu setelah bertahun-tahun lamanya tak pernah kau tengok.
"Ipul datang, Ma!" katamu, setelah gundukan pusara itu dapat terjangkau oleh bola matamu.
Kau pegangi nisannya yang terbuat dari kayu ulin itu, tulisannya sudah tidak dapat terbaca lagi. Melihat gundukan yang mekipun tidak sempurna lagi bentuknya itu, kau seakan melihat wajah dan senyum mendiang ibumu yang amat kau rindukan selama bertahun-tahun lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIARAH DEBU
Short Story"Asep banyak memakai lokalitas Kotabaru sebagai latar ceritanya. Berbeda dengan sastrawan lainnya, dia melihat Kotabaru bukan hanya pantainya yang indah, gunung bamega, atau Siring Lautnya. Asep justru bicara tentang orang-orangnya, termasuk Suku Ba...