One Shot

12 0 0
                                    

Cermin lebar telah berada di depanku. Perlahan kusisir rambut sepundak agar tak banyak helai yang berjatuhan. Kedua teman kamarku sudah mengisyaratkan untuk segera mengunci kamar hotel, bergegas untuk segera naik ke bus masing-masing. Dengan percaya diri aku keluar, sambil membenarkan ikatan rambut kuturuni tangga hingga sampai ke tempat sarapan.

                Antrian penduduk lapar sudah panjang, untung aku sudah berada dekat dengan tempat piring dan sendok ditata. Pagi ini menu makanan lumayan membuat kenyang, segelas teh hangat juga terasa enak tak seperti makan malam di sela perjalanan berangkat kemarin. Pantai sudah menunggu, meskipun orang-orang sering menyebutku “selalu sendiri” tapi aku tetap menyukai baju yang sedang kukenakan. Warnanya oranye, ada bagian putih dibagian badannya yang bertuliskan salah satu daerah keraton di Jawa Tengah. Dengan bawahan levis gelap setapak kuangkatkan kaki menaiki tangga bis yang lumayan sempit.

                Awalnya pandanganku tertuju pada kursi bis dimana aku biasa duduk sebelum akhirnya aku berpapasan dengan kaos jingga. Mataku seolah berbinar, dan seulas senyum tergaris memperlihatkan gigi-gigiku yang tak serata gigi standar masuk akademi polisi. Ya, kami tak sengaja memakai pakaian berwarna senada. Ia hanya tertawa renyah sejenak, mendengarkan pernyataanku yang hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

          Beberapa kesempatan aku gunakan untuk modus, misalkan mengungkit topik yang ia suka, berlagak tidur untuk bisa menempelkan kakiku ke kakinya yang entah kenapa rasanya hangat sekali, atau mengganggunya saat mendengarkan lagu dengan earphone. Aku bersyukur mendapat tempat duduk di dekatnya, rasanya lebih nyaman dari pada kasur hotel kelas president suite sekalipun.

Perjalanan hari ini sangat panjang, hingga tiba saatnya destinasi terakhir untuk mengunjungi Pantai Kuta. Kata orang aku adalah orang yang mudah berbaur dengan yang lainnya. Tapi aku bukan orang yang mudah ikut dengan “komplotan” yang ada di sekitarku. Jadi hubungannya adalah, selama perjalanan dan kunjungan di setiap tempat, tidak ada yang langkahnya beriringan denganku. Nyatanya aku baru sadar saat dia memanggil dan mengajakku duduk disampingnya bersama yang lain, menanyakan mengapa sedari tadi aku hanya sendirian. Ya, kali ini langit juga sedang sehati denganku dan dia, menggugah rasa ingin minum jeruk anget sambil memandang guratan senja yang sayangnya terhalang mendung. Walaupun akhirnya kami hanya bisa bermain kartu dengan beralaskan pasir.

Aku bersyukur pelangi memiliki warna jingga, bukan toska. Yah, walaupun tidak ada hubungannya setidaknya pelangi itu hasil keindahan dari hal sederhana. Layaknya tawa dan usapan tangannya pada rambutku. Tapi perasaanku mengatakan, cerita ini akan berakhir sama dengan cerita sebelumnya. Hanya warna baju kami yang sama, tak ada yang lainnya. Mungkin harusnya rasa ini tak ada, ikut terbenam dengan penyinar semesta.

Terbukti, hujan yang tak kunjung reda menuntunku mendengar celotehan spontan. Aku tak pernah dilihatnya, ditoleh pun tidak. Melainkan ada krayon kesukannya, namun bermerk berbeda. Berada di tumpukan atas sehingga aku tak bisa membacanya karena aku berada di tumpukan paling bawah. Telah bertambah lapisan hati dari intinya, menyusahkan pemotong untuk menguliti. Namun bekas sayatan berada dimana-mana, tak berasa namun ada.

(26 Februari 2016)

WarmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang