Prolog
Tidak ada semburat senja sore ini, langit jingga yang biasanya hadir menemani sore kini berganti warna abu-abu kelam yang nampak seram dengan bergumpal-gumpal namun terasa indah jika kita mencoba menyelami makna yang terdapat di dalamnya. Ribuan nikmat Tuhan yang tak mungkin sanggup dihitung oleh manusia salah satunya ada dalam peristiwa ini. Hujan... sebuah nikmat yang indah bagi seseorang yang berarti buat gue di sana.
Gue masih di gedung tinggi ini dengan segelas kopi di tangan menatap alam luar yang terbatasi lempengan bening mudah pecah. Mata gue menerawang jauh menggambar paras manisnya di langit kelabu sana, gue tersenyum... itu yang akan selalu gue lakuin jika gue inget dia. Pesona dia selalu saja buat hati gue berbunga-bunga, mata indahnya yang berhias kacamata selalu gue ingat, pipi chubby yang tidak terlalu putih itu selalu terngiang, caranya berbicara, tersenyum, merenung dan ah!! Gue pikir gue selalu inget dengan baik segala hal tentang dia.
“Rein?”
Seseorang di depan pintu ruangan gue yang terbuka manggil gue, gue menoleh kearah dia mengernyitkan dahi seolah berkata ‘ada apa?’.
“Udah sore, lo nggak balik?” Kini dia berjalan kearah gue, berdiri sejajar disamping gue memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Ntar ah, belum abis” gue menunjukkan kopi, dia langsung mengangguk paham.
“Dia mau balik kan besok? Tambah tembem nggak ya tuh pipi? Kangen gue sama kecerewetannya dia” dari binar matanya gue tahu lelaki di samping gue ini memiliki rasa yang sama seperti yang gue punya, rasa yang sama-sama dipendam cukup lama, rasa pada seorang wanita yang sama, rasa penuh sorot rindu dan cinta.
“Bukannya sekarang ada Reva? Jadi tolong hilangin sorot kaya gitu!”
“Hahaha... cemburu lo nggak usah dijelasin segamblang itu kali bro, santai aja...”dia tertawa menepuk-nepuk bahu gue cukup keras, membuat kopi gue berguncang, badannya ini memang lebih kecil dari badan gue, tapi kekuatannya cukup besar.
“Rein, denger! Di sini.... masih ada rasa itu...” dia menepuk pelan tapi bertenaga tepat di dadanya, seolah dia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tentu saja gue nggak terima, tapi sebelum gue menyela dia kembali berbicara.
“Ssstt... dengerin gue ngomong dulu, cinta untuk Nayla memang masih ada dan akan selalu ada, gue selalu bertanya-tanya bukankah itu Cuma cinta monyet? Tapi kenapa rasa itu masih ada? Tapi, setelah Reva datang ke hidup gue, gue jadi sadar satu hal, cinta gue ke Nayla emang nggak bisa di hapus dan akan selalu ada untuk gue simpan di sudut hati gue yang terdalam sebagai sebuah kenangan masa lalu, dan sisi hati gue yang lain terisi penuh oleh Reva, cewek kalem yang ngebuat gue sadar akan semua itu” panas di hati gue menguap seiring dengan kata-katanya yang terlihat mantap, sekarang sorot mata dan rasa itu terlihat begitu nyata, tapi sayangnya bukan untuk sebuah nama yang sama.
“Jadi di sini gue pemenang?” gue menyeruput habis kopi dengan penuh semangat dan kepuasan, mengembalikan cangkirnya ke meja kaca dekat laptop yang masih menyala.
“Bah! Mimpi saja kau bung! Bahkan pertarungan yang sebenarnya saja belum dimulai”
“Ah lo gitu banget sama gue, seenggaknya lo aminin gitu ucapan gue supaya jadi nyata”.
“Ah entahlah... gue masih belum rela kalo Nayla sama lo”
“Sialan lo!” gue tonjok tuh bahu, meski pelan tapi cukup bertenanga, membuat dia meringis sebentar dan kembali melanjutkan tawanya. Ck... bocah ini benar-benar suka sekali bercanda.
“Yon?”
“Hm...”
“Besok jemput dia di bandara ya?”
“Ha?”
“Gue mau bikin kejutan”
“Lo yang bilang ke Reva ya?”
“Sip, udah balik sana lo!” gue ngedorong dia keluar, cukup sulit untuk memindahkan manusia satu ini, dasar benar-benar menyebalkan masih sama seperti 10 tahun lalu. Ah.... mengingat 10 tahun lalu, apakah Nayla juga masih sama?.
Nayla...
Gue rindu sama lo
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN DI JANUARI
Teen FictionCewek cowok temenan itu bohong kalo nggak pernah ada rasa pengin lebih dari sekedar temen. Gue ngalamin hal itu ke lo. Tapi, gue bingung mau ngomong darimana?. Mungkin ini udah biasa banget kalo gue bilang ini friendzone tapi satu hal yang ngebuat...