"Saranghae."
Satu kata ajaib itu cukup membuat senyum Seira mengembang lebar. Ia tersipu sambil menepuk-nepuk kedua pipinya yang menghangat. Pipinya bersemu merah. Tangannya beralih dari keyboard komputer ke gagang cangkir keramik kopi mocca-nya, lalu membasahi kerongkongannya yang mendadak kering dengan meneguk kopinya tiga tegukan. Diletakkannya lagi cangkir putih itu ke tempat semula dan kembali fokus ke layar monitor.
Kata ajaib yang muncul di kotak chat laman facebooknya itu selalu berhasil membuat hatinya berdebar dan rasanya tak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan dengan mendapat ucapan cinta dari orang yang dicintainya. Rasanya sangat luar biasa. Semburat jingga di sisi timur menggambarkan suasana hatinya saat ini. Ribuan sakura bermekaran mengisi setiap ruang di hatinya yang kosong. Tangan Seira bergerak cepat.
"Na do saranghae," balasnya dalam hangul.
Sepuluh detik kemudian ia mendapat balasan. "Aku bahagia kau selalu membalas perasaanku. Kapan kau akan ke sini? Korea sudah memasuki musim gugur, dan di sini benar-benar indah, Seira. Aku yakin kau akan jatuh cinta seperti kau jatuh cinta kepadaku."
Senyum Seira bertambah lebar. Ia menutup mulutnya, tertawa bahagia saat melirik ke arah buku kecil dengan sampul hijau yang terselip dua lembar kertas panjang berwarna putih di dalamnya.
"Sebentar lagi," gumam Seira sendiri. "Ini akan menjadi kejutan untukmu dariku."
Seira ingin segera membalas ketika bunyi gagang pintu kamar yang dibuka terdengar dari arah belakang. Ia cepat menoleh, lalu segera meraih mouse dan menutup laman facebook miliknya.
"Ibu," sapanya tergeragap ketika Balkis, wanita berkerudung lebar itu sudah berdiri di belakangnya.
Balkis tersenyum, memegang kedua bahu Seira dari arah belakang. "Apa yang sedang kamu lakukan, Seira?" tanyanya lembut.
"Chatting sama teman di facebook, Bu, sekaligus browsing menyusun itinerary Seira untuk beberapa bulan ke depan selama di Korea," jawabnya tak sepenuhnya berbohong.
"Terus gimana? Sudah selesai kamu susun?"
"Belum, Bu. Untuk sementara hanya garis besarnya saja, detailnya akan Seira selesaikan ketika nanti sudah tiba di sana. Ibu tahu terlalu banyak tempat menarik yang sayang bila dilewatkan? Jadi Seira harus menyusunnya dengan hati-hati. Waktu tiga bulan harus benar-benar Seira manfaatkan untuk menjelajah seluruh pelosok negeri ginseng itu untuk mencari inspirasi naskah yang akan Seira tulis." Seira bersemangat.
Sementara Balkis menepuk-nepuk pelan bahu Seira dan mendesah pelan. "Tapi kamu harus tetap jaga kesehatan, ya, Seira? Jangan sampai program residensi penulis yang kamu ikuti membuatmu jatuh sakit hingga kamu tidak bisa beraktivitas. Kamu harus selalu jaga kesehatan dengan baik ya, Seira. Korea jauh lho dari Indonesia, Ibu tidak bisa berada di sisi kamu kalau kamu tiba-tiba sakit."
Seira tersenyum tipis menangkap nada cemas dalam suara itu. Ia mengangkat tangan kanannya dan menempelkan telapak tangannya ke punggung tangan kiri Balkis yang memegang bahu kirinya. "Tenang, Bu," gumamnya berusaha menghilangkan kecemasan itu. "Seira pastikan akan selalu fit setiap hari. Seira bawa bekal vitamin yang cukup. Jadi jangan cemas. Oke?"
Balkis menghela napas panjang. "Janji, ya, bahwa Seira tidak akan sakit?"
"Ya, Bu. Seira janji. Percaya sama Seira!"
Untuk beberapa saat Balkis tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk, tersenyum ke-Ibuan. "Baiklah, Ibu percaya."
"Makasih, Bu. Seira sayang Ibu."
Senyum Balkis mengembang tipis diiringi anggukan singkat. "Kamu jadi berangkat sore ini, kan? Sudah packing? Barang-barang yang Ibu siapkan sudah kamu masukkan semua ke dalam koper belum?"
"Jadi, Bu." Seira meraih buku kecil dengan sampul hijau di samping keyboard dan mengacungkannya singkat. "Ini sudah dapat paspor, visa, dan tiket pesawatnya. Dan..." Seira menunjuk ke arah koper besar di atas tempat tidur. "...itu barang bawaan Seira. Semuanya sudah lengkap. Barang-barang yang Ibu siapkan sudah Seira masukkan ke sana," tambahnya. "Nanti sore Seira akan berangkat dari sini ke Jakarta, terus malamnya langsung berangkat dari Jakarta ke Korea. Ibu bisa mengantar Seira ke bandara sore ini, kan?"
"Tentu saja. Ibu dan adik-adikmu akan mengantarmu ke bandara." Balkis meremas bahu Seira singkat, lalu berjalan ke kasur dan duduk bersimpuh di sana, membuka koper serta memeriksa semua barang bawaan Seira. "Kamu yakin tidak ada barang yang ketinggalan, Seira?" tanyanya sambil mengerutkan kening memindai isi koper.
"Seira rasa tidak ada, Bu." Seira bangkit dari kursi meja belajarnya, menyusul Balkis dan duduk di depannya.
"Jaket tebalmu gimana? Sudah kamu masukkan ke dalam sini, kan? Di sana sedang musim gugur lho. Suhu udaranya pasti dingin. Syalmu tidak ketinggalan, kan? Perlengkapan mandi? Ada. Obat-obatan? Ada. Kopi instan? Abon? Mie instan? Bumbu-bumbu masakan instan? Ada. Sambal buat makan? Ada. Ibu sangat yakin di Korea tidak ada orang jual sambal kesukaanmu ini," katanya tersenyum, mengacungkan toples kaca sambal racikannya kepada Seira.
Seira balas tersenyum. Masih terdengar nada cemas dalam suara Ibunya yang coba ditutup-tutupi. "Seira pasti akan merindukan masakan Ibu," gumam Seira menekuk wajah.
Balkis pun berdecak ringan dan mengerling. "Karena itu kamu perlu bawa sambal ini dan bumbu-bumbu instan ini," sahutnya cepat. "Setidaknya sambal ini akan membuatmu tetap selera makan, dan kamu bisa masak sendiri kalau lidahmu tidak cocok dengan masakan di sana." Balkis lalu memasukkan kembali toples sambal ke dalam koper. "Oh ya, laptop dan kameramu tidak lupa kamu bawa, kan?"
"Tentu tidak akan lupa, Bu. Semuanya sudah lengkap, dan sudah Seira masukkan ke dalam ransel. Jangan khawatir, Seira bisa pastikan tidak ada barang yang ketinggalan."
Balkis mengangguk singkat—percaya, lalu tampak menghela napas sesaat, kemudian sedetik kemudian mengoceh lagi. "Terus uang untuk biaya hidupmu di sana bagaimana? Cukup? Kamu yakin tidak butuh dari Ibu? Ibu akan siapkan kalau kamu mau."
"Tidak perlu, Bu. Perjalanan Seira ini gratis. Semua biaya ditanggung Komite Buku Nasional dan Kemendikbud. Mulai dari tiket pesawat pulang-pergi domestik dan internasional, biaya pengurusan visa juga, bahkan asuransi perjalanan dan uang saku, Seira akan dapat tiap bulan. Jadi Ibu jangan khawatir. Lagi pula, tabungan Seira lebih dari cukup untuk biaya hidup tiga bulan di sana."
Balkis tampak menimbang-nimbang jawaban Seira sesaat, kembali ragu, lalu akhirnya mengangguk lagi. "Baiklah. Kalau begitu Ibu tidak perlu khawatir. Kamu harus jaga diri baik-baik selama tiga bulan di sana, ya, Seira? Jangan lupa makan yang teratur. Tidur juga harus cukup. Kasih kabar ke Indonesia tiap hari. Jangan lupa untuk selalu menelepon. Oke?"
"Siap, Bu. Itu akan Seira lakukan."
Balkis tersenyum samar, menyingkirkan koper dari hadapannya, lalu memeluk Seira erat. "Ibu pasti akan merindukanmu," ucapnya lirih sambil membelai lembut rambut hitam panjang Seira.
"Seira juga pasti akan merindukan Ibu. Seira sayang Ibu."
"Ibu juga sayang Seira."
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Trip
Lãng mạnHai... this's my first time menuliskan karya saya di wattpad. Entah kenapa saya tiba-tiba punya keinginan untuk berbagi cerita di sini, salah satu alasan yang mungkin adalah karena tiga naskah saya yang sudah diACC penerbit mayor belum rilis. Jadi...