Padang Ilalang yang Hilang

7 3 3
                                    

Padang Ilalang yang Hilang

Prito Windiarto*

Hah.....hah.....hah..... Aku tersengal kelelahan, kuseka keringat di dahi dengan sapu tangan kumal. Di sebelah kananku Jhoni sedang mengibas-ngibaskan daun karet ketubuhnya, di kiriku Herman menyandar pada pohon karet besar sambil meregangkan kaki dan tangannya.

"Aduh capek euy!" keluhku memecah keheningan.

"Sama," seru Jhoni dan Herman bersamaan.

"Untung karungnya udah penuh ya, aku udah gak kuat lagi nih, punyamu udah penuh belum?" tanyaku pada Herman.

"Udah dong," jawabnya.

"Aku juga." Herman menyela.

"Ya udah deh kita istirahat disini dulu, oh ya nasi timbelnya mana?" desakku pada Herman yang kali ini mendapat giliran membawa nasi timbel.

"Eng ing eng, sim salabim ada kadabra, ini dia!" Herman mengeluarkan nasi timbel dan lauknya, ikan asin goreng.

***

Seperti biasa, setiap hari ahad pagi kami bertiga biasa menyusuri area perkebunan karet milik PT Perkebunan Negara (PT PN IX) mengambil rumput untuk ternak kami, membantu meringankan beban orang tua. Setelah karung penuh terisi kami biasa berteduh di bawah pohon karet besar dan rindang ini. Di hadapan kami terbentang perkebunan karet yang luas, di kanan kiri rerumputan tumbuh dengan subur, hijau, pakan empuk ternak kami.

Selepas makan, entah kenana tiba-tiba Herman menanyai kami.

"Tang, Jhon kemarin di sekolah kita kan belajar tentang tumbuhan, e..h nomong-ngomong kamu suka tumbuhan apa Jhon?"

"E..h kalau aku sih suka pohon kaktus, aku suka akan hidupnya yang keras pantang menyerah, bayangkan sobat ia mau hidup di padang yang gersang, panas dan kering. Kamu sendiri Man?" Jhoni balik bertanya pada Herman.

"Kalau aku suka bunga mawar, mawar tuh indah banget, apalagi kalau berbunga haru.....m sekali."

"Huh... kaya cewek aja," ejek kami serempak.

"Biarin, EGP gitu lho!" Kilah Herman.

"Kamu?" Tanya Herman menunjuk kearahku.

"Kalau aku suka rerumputan dan ilalang, lihatlah kawan rerumputan dan ilalang di depan kita! Mereka hidup tak terurus, terabaikan, bahkan banyak orang yang ingin mengenyahkannya. Tapi ternyata mereka masih memberi guna bagi kita, menjadi santapan lezat ternak kita. Mereka mengajarkan bahwa sekecil apapun kita, seremeh apapun kehidupan kita, kita mesti memberikan manfaat pada yang lainnya, ecamkan itu kawan !" ucapku lantang bak pujangga melantun sabda cinta.

"Ceileh, kaya Rendra," puji Herman yang melankolis

"Chairil Anwar kalee.........." Ledek Jhoni dengan intonasi lee... yang panjang, membuat kami terpingkal mendengar suaranya yang cempreng itu.

"Bintang, Jhoni", panggil Herman yang kini berdiri seperti menteri yang akan memberi instruksi.

"Aku suka tempat ini, sungguh. Di sini seakan aku berada di surga-Nya, menghirup udara yang segar, melihat pemandangan yang indah, mendengarkan nyanyian burung yang merdu, mentadaburi ayat kauniyahNya dan belajar untuk bertahan, hidup pada rerumputan, ilalang yang selalu memberi walau tak pernah dihargai" ucapnya seperti Taufiq Ismail membaca puisi.

"Kalian sendiri?" tanyanya.

Aku dan Jhoni mengangguk saja. Tanpa bertanyapun sebenarnya ia tahu kami menyukai tempat ini, sungguh. Kami suka padang ilalang ini. Padang ilalang tempat bekerja sekaligus tempat bermain kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Padang Ilalang yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang