BIDADARI BIDADARI SURGA

2.9K 24 7
                                    

BIDADARI BIDADARI SURGA
 
TERE LIYE
Penulis Novel Best Seller
Hafalan Shalat Delisa & Moga Bunda Disayang Allah
 
1
EMPAT PENJURU
"PULANGLAH.  Sakit  kakak  kalian  semakin  parah.  Dokter  bilang  mungkin  minggu  depan,
mungkin  besok  pagi,  boleh  jadi  pula  nanti  malam.  Benar-benar  tidak  ada  waktu  lagi.  Anak
anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
Wajah keriput nan tua itu menghela nafas.
Sekali. Dua kali. Lebih panjang. Lebih berat. Membaca pesan itu entah untuk berapa kali
lagi.  Pelan  menyeka  pipinya  yang  berlinang,  juga  lembut  menyeka  dahi  putri  sulungnya,
wanita berwajah pucat yang terbaring lemah di hadapannya. Mengangguk. Berbisik lembut: 
"Ijinkan, Mamak mengirimkannya, Lais.... Mamak mohon...."
Pagi indah datang di lembah itu.
Cahaya matahari mengambang di antara kabut.
Embun  menggelayut  di  dedaunan  strawberry.  Buahnya  yang  beranjak  ranum  nan
memerah.  Hamparan  perkebunan  strawberry  terlihat  indah  terbungkus  selimut  putih  sejauh
mata memandang.
Satu bilur air  mata akhirnya  ikut menetes dari wanita  berwajah redup  yang terbaring tak
berdaya  di  atas  tempat  tidur.  Mereka  berdua  bersitatap  satu  sama  lain,  lamat-lamat.  Lima
belas  detik  senyap.  Hanya  desau  angin  lembah  menelisik  daun  jendela.  Ya  Allah,  sungguh
sejak  kecil  ia  menyimpan  semuanya  sendirian.  Sungguh.  Demi  adik-adiknya.  Demi
kehidupan mereka yang lebih baik. Ia rela melakukannya. Tapi, sepertinya semua sudah usai.
Waktunya sudah selesai. Tidak lama lagi.
Sudah saatnya mereka tahu. Sudah saatnya....
Perempuan  berwajah  pucat  di  atas  ranjang  berusaha  tersenyum,  dengan  sisa-sisa  tenaga.
Sedikit terbatuk, bercak darah merah mengalir dari sela bibir bersama dahak. Bernafas sesak.
Semakin kesakitan. Namun sekarang muka tirusnya mengembang oleh sebuah penerimaan. Ia
perlahan mengangguk.
Tangan  tua  itu  demi  melihat  anggukan  putri  sulungnya,  tanpa  menunggu  lagi  gemetar
menekan tombol ok. Message transmitted.
Maka! Dalam hitungan seperjuta kedipan mata.
Melesat Berpilin. Berputar.
Seketika  saat  tombol  ok  itu  ditekan,  jika  mata  bisa  melihatnya,  bak  komet,  bagai  anak
panah,  macam rudal  berkecepatan tinggi, 203 karakter SMS itu  berubah  menjadi data  binari
0-1-0-1!  Menderu  tak-tertahankan  menuju  tower  BTS  (base  transmitter  station)  terdekat.
Sepersekian  detik  lagi  lantas  dilontarkan  sekuat  tenaga  menuju  satelit  Palapa  C-2  ratusan
kilometer  di  atas  sana,  berputar  dalam  sistem  pembagian  wilayah  yang  rumit,  bergabung
dengan  jutaan  pesan,  suara,  streaming  gambar,  dan  data  lainnya  dari  berbagai  sudut  muka
bumi (yang  hebatnya tak satupun tertukar-tukar), lantas sebelum  mata sempat berkedip  lagi,
pesan tersebut sudah dilontarkan kembali ke muka bumi! Pecah menjadi empat.
Bagai  meteor  yang  terbelah,  pecahan  itu  berpendar-pendar  sejuta  warna  menghujam  ke
empat penjuru dunia.
Empat nomor telepon genggam!
Tak  peduli  di  manapun  itu  berada.  Tak  peduli  sedang  apapun  pemiliknya.  Kabar  itu
segera terkirimkan. Melesat mencari empat nomor telepon genggam yang dituju.
www.rajaebookgratis.com
Pulanglah  anak-anakku!  Untuk  pertama  dan  sekaligus  untuk  terakhir  kalinya,  kakak
kalian membutuhkan kalian —
    
2
BULAN YANG TERBELAH
"HADIRIN  yang  kami  hormati,  tiba  saatnya  kita  mengundang  ke  atas  panggung,  seseorang
yang  sudah  kita  tunggu-tunggu  sejak  tadi.  Seseorang  yang  seolah-olah  akan  —maaf  —
membuat lima profesor sebelumnya terasa membosankan dan membuat mengantuk—"
Tertawa. Ruangan besar itu buncah oleh tawa.
".... Banyak sekali catatan hebat yang dimilikinya, tapi anehnya, meski banyak, sekarang kita
sama sekali tak perlu menyebut satupun. Ah, bukan karena akan merepotkan membaca daftar
super-panjang  itu,  tapi  buat  apa  lagi,  semua  sudah  hafal,  bukan?  Jadi  buat  siapapun  di
ruangan  besar  ini,  siapapun  di  antara  lima  ratus  peserta  Simposium  Fisika  Intemasional  ini
yang tidak mengenal sosoknya. Yang, oh, betapa malangnya peserta itu—" Tertawa lagi.
"Buat peserta malang itu, saya akan memperkenalkan pembicara utama simposium kita hanya
dengan memperlihatkan cover sebuah majalah: Science!" Dengan sedikit dramatis, moderator
simposium fisika itu sengaja mengangkat tinggi-tinggi majatah yang dimaksud.
"Inilah  jurnal  ilmu-pengetahuan terkemuka di dunia. Yang  memiliki reputasi paling hebat di
antara sejenisnya. Lihatlah edisi bulan ini, edisi terbaru! Terpaksa menurunkan laporan tidak
lazim,  utuh  sebanyak  49  halaman,  hmm,  itu  bisa  dibilang  hampir  seperempat  tebal  majalah
ini.... Kenapa saya sebut tidak lazim? Karena laporan ini sungguh tak biasa bagi banyak ahli
fisika yang kebanyakan sekuler. Apalagi untuk konsumsi publik di negara-negara Barat sana.
Judul  penelitiannya  adalah:  'Pembuktian  Tak  Terbantahkan  Bulan  Yang  Pernah  Terbelah'.
Kepala-kepala menyeruak. Berebut ingin melihat lebih jelas.
"Penelitian yang amat mengesankan, mengingat hari ini, ketika kehidupan sudah begitu tidak-pedulinya  dengan  fakta-fakta  dalam  agama,  pembicara  utama  kita  siang  ini  justru  datang
dengan  sepuluh  bukti  bahwa  bulan  memang  pernah  terbelah  1.400  tahun  silam  dalam  hasil
penelitian  mutakhirnya.  Bukan  main.  Lengkap  tak  terbantahkan,  sebagai  salah  satu  mukjijat
Nabi  penutup  jaman.  Benar-benar  terbelah  dua  seperti  kalian  sedang  membelah  semangka,
bukan  penampakan  sihir,  apalagi  ilusi  mata  seperti  yang  dituduhkan  dan  dipahami  banyak
orang  sejak  dulu.  Lantas  setelah  dibelah,  dua  potongan  bulan  tersebut  disatukan  kembali,
seperti  bulan  yang  biasa  kita  lihat  sekarang.  Itu  benar-benar  pernah  terjadi!"  Moderator  itu
berhenti  sejenak.  Membiarkan  ruangan  besar  dipenuhi  sensasi  yang  diinginkannya.
Terpesona. Ingin tahu. Rasa kagum Sejenis itulah.
"Well,  meski  kalau  dipikir-pikir  sebenarnya  pembuktian  hebat  atas  bulan  yang  pernah
terbelah  itu  tidak  terlalu  mengejutkan  kita,  bukan?  Hanya  soal  waktu  dia  akan
membuktikannya.  Mengingat  profesor  muda  kita  adalah  orang  pertama  di  negeri  ini  yang
berkali-kali  menulis di  jurnal  paling prestisius dunia  itu.  Mendapat pengakuan dari  berbagai
institusi  penelitian  dunia,  dan  selalu  konsisten  berusaha  membuktikan  berbagai  transkripsi
dan sejarah religius dari sisi ilmiahnya...."
Muka-muka  yang  memadati  ruang  konvensi  besar  itu  terlihat  semakin  bercahaya  oleh
antusiasme.  Seperti  anak  kecil  yang  dijanjikan  mainan  baru.  Atau  seperti  anak  kecil  yang
melihat penuh rasa ingin tahu toples penuh gula-gula. Menunggu tak sabaran moderator yang
terus  ngoceh  tentang  fakta  yang  sebenamya  mereka  sudah  tahu  semua.  Termasuk  jurnal  itu.
Tadi pagi dibagikan gratis ke seluruh peserta.
"....  Namanya  terdaftar  dalam  100  peneliti  fisika  paling  berbakat  di  dunia.  Dan  tidak
berlebihan  jika  mantan koleganya di Princenton University  berandai-andai dia akan  menjadi
salah-satu  kandidat  kuat  penerima  nobel  fisika  beberapa  tahun  ke  depan.  Jadi  buat  peserta
yang  tidak  sempat  mengenalnya  secara  langsung,  hari  ini  setelah  enam  bulan  berusaha
menculiknya  dari  jadwal  laboratorium  yang  tidak  masuk-akal,  dari  berbagai  penelitian  yang
www.rajaebookgratis.com
serius,  sistematis  dan  kaku...  hari  ini  dengan  bangga  kami  hadirkan  sosok  yang  sebaliknya
memiliki wajah dan kepribadian santun menyenangkan ini...." Gadis moderator itu tersenyum
lebar,  terlihat  amat  senang  membuat  seluruh  peserta  simposium  menunggu  tak  sabaran
kalimat-kalimat perkenalannya. Menikmati posisinya sebagai 'penguasa' jadwal acara.
"Ah-ya, soal wajah dan kepribadian yang santun menyenangkan? Kalian tahu, yang menarik
ternyata bukan hanya wajah profesor ini yang terlihat santun menyenangkan. Well, di tengah
kesibukannya  sebagai  peneliti,  pakar,  dan  apalah  namanya  yang  serba  serius  dan  menuntut
banyak  waktu  itu,  profesor  muda  kita  tetap  hidup  dengan  segala  romantisme  bersama
keluarga  kecilnya.  Lihatlah,  hari  ini  dia  datang  dengan  istrinya  yang  terlihat  cantik,  selamat
siang  Nyonya!"  Muka-muka  tertoleh.  Penuh  rasa  ingin  tahu.  Mereka  belum  pernah  melihat
istri  sang  Profesor,  meski  dengan  begitu  banyak  publisitas  selama  ini.  Tersenyum.  Wanita
cantik  berkerudung  yang  duduk  di  sebelah  sang  Profesor,  baris  kedua  dari  depan  itu  ikut
balas  tersenyum,  layar  LCD  raksasa  di  depan  plenary  hall  menayangkan  paras  cantiknya.
Mengangguk anggun. Sedikit bersemu merah.
"Ada  yang  berminat  mendengar  kisah  indah  pertemuan  mereka?"  Moderator  menyeringai
lebar.
Hampir  seluruh peserta simposium  meski tertarik,  menggdeng. Mereka  jauh-jauh datang
dari  berbagai  universitas  ternama  ke  ruangan  besar  itu  jelas-jelas  ingin  mendengarkan
paparan mutakhir temuan fisika, bukan celoteh moderator.
"Baiklah  karena  kalian  memaksa,  maka  dengan  senang  hati  saya  akan  menceritakan  bagian
tersebut..."
Wajah-wajah terlipat. Gumam keberatan.
"Keluarga yang hebat meski tidak menyukai publisitas...."
"Masa  kecil  yang  penuh  perjuangan...  kalian  tahu,  Profesor  kita  sudah  membuat  kincir  air
setinggi lima meter saat ia masih kanak-kanak...."
"....  Perkenalan  di  kontes  fisika,  terpesona  oleh  kecantikan  remaja...  Profesor  kita  mengejar
hingga ke Bandara, haha...."
Lima menit berlalu, peserta simposium mulai jengkel
".... Perkebunan strawberry yang indah...." 
".... Masa kecil yang begitu mengesankan...."
Satu-dua peserta sengaja mulai berdehem (lebih keras).
".... Baik, baik." Akhirnya gadis di podium menyadari ruangan mulai gerah, tersenyum lebar
tidak-sensitif,  "Karena  saya  pikir  kalian  sedikit  mulai  tak-sabaran  mendengar  perkenalan
yang  sebenarnya  amat  penting  dari  saya,  baiklah,  hadirin,  berikan  sambutan  yang  paling
meriah,  inilah  salah-satu  profesor  fisika  termuda,  ternama,  yang  pernah  ada  di  negeri  ini,
profesor kebanggaan kita, Profesor Da-li-mun-te!"
Tepuk-tangan bak dikomando menggema bagai dengung lebah. 
Pemuda berumur 37 tahun itu tersenyum lebar. 
Melepas genggaman mesra, berbisik lembut ke istrinya.  Berdiri. Lantas melangkah sigap
menuju  podium.  Dengan  langkah  panjang-panjang.  Rambutnya  tersisir  rapi  mengkilat.
Matanya  tajam  memandang,  Rahangnya  kokoh.  Eskpresi  wajahnya  meski  santun
menyenangkan  seperti  yang  dibilang  moderator  cerewet  itu,  sebenamya  terlihat  keras
mengiris, sisa gurat masa kecil yang tidak selalu beruntung.
Hari ini Profesor Dalimunte mengenakan kemeja krem. Rapi seperti biasa. Meski 'gelang
karet' gaya anak  muda di tangan kanan  membuatnya terlihat  lebih kasual, untuk tidak  bilang
sebenarnya  sedikit  tidak  matching  dengan  busana  rapinya.  Gelang  itu  macam  gelang  karet
yang bertulisan 'solidarity forever', 'united for all', 'long live friendship', yang sedang trend di
anak muda.
Itu  gelang  pemberian  Intan,  putri  sulungnya  yang  berumur  sembilan  tahun.  Bertuliskan,
'Safe  The  Planet!'  Minggu-minggu  ini,  Intan  menjadi  ketua  panitia  'Earth  Day'  di  sekolah.
www.rajaebookgratis.com
Memaksa  siapa  saja  mengenakan  gelang  itu.  Satu  gelang  bernilai  sumbangan  5.000  perak.
Nanti  uangnya  buatbeli  tong  sampah  yang  bakal  dikirim  ke  daerah-daerah  korban  bencana
alam. Makanya Intan sibuk benar berpromosi. Termasuk ke Eyang Lainuri (malah seminggu
lalu  mengirimkan  selusin gelang ke perkebunan strawberry  buat tukang-tukang kebun);  buat
apa  coba  di  pedalaman  indah  nan  sederhana  itu  penduduknya  pakai  gelang?  Ah,  Intan
memang keras kepala soal proyek "Safe The Planet" -nya, lihatlah satu gelang juga terpasang
rapi di leher hamster belang miliknya, meski yang bayar lima ribu perak, ya Ummi.
Profesor  Dalimunte  memperbaiki  speaker  di  atas  podium.  Pelan  mengetuk-ngetuknya.
Berdehem. Tepukan mereda. Peserta konvensi perlahan duduk kembali. Menatap antusias ke
depan.
"Baik,  pertama-tama,  terima-kasih  atas  perkenalan  yang  hebat,  panjang,  dan
superlengkapnya.  Meski  saya  pikir  kau  agak  berlebihan  dengan  menceritakan  bagian
romantisme pertemuan itu, Anne!" 
Dalimunte menganggukan kepala kepada moderator, tersenyum, 
"Tapi terima kasih atas sentuhan keluarganya: profesor muda kita tetap hidup dengan segala
romantisme bersama keluarga kecilnya.... Anne, setidaknya dengan kalimat terakhir  itu, kau
membuatku terlihat sedikit  lebih  manusiawi. Bukan seperti daftar penelitian  yang kulakukan
sepanjang  tahun:  sistematis,  serius,  dan  kaku.  Ya,  profesor  fisika  juga  manusia  biasa,
bukan—"
Tertawa. 
Ruangan besar itu ramai oleh tawa.
"Hadirin,  sebelumnya  maafkan  saya  untuk  dua  hal...."  Profesor  Dalimunte  mengusap
wajahnya yang sedikit berkeringat, 
"Pertama  karena  saya  hanya  punya  waktu  lima  belas  menit  untuk  memenuhi  segala
keingintahuan  kalian.  Saya  harap  itu  cukup  setelah  hampir  enam  bulan  kalian  menunggu
kesempatan ini. Kalian tahu, ada banyak pekerjaan di laboratorium, belum lagi dengan segala
tenggat waktunya. Di samping itu, kalian tahu persis, saya tidak terlalu menikmati dikelilingi
puluhan  wartawan  dengan  kameranya.  Semua  popularitas  ini....  Jadi  ijinkanlah  saya  untuk
memulai langsung topik kita hari ini—"
Wajah-wajah  terlihat  semakin  antusias.  Tangan-tangan  wibuk  menggenggam  pulpen
bersiap  mencatat.  Takut  benar  ada  fakta  terucap  yang  terselip  di  ingatan  dan  lalai  di  catat
takut benar terlihat sebagai orang paling bodoh dalam ruangan simposium fisika internasional
tersebut. Ini lima belas menit yang penting.
"....  Seperti  yang  telah  kalian  baca  di  jurnal  tersebut  bulan  dibelah  dua  sudah  menjadi  fakta
religius  ratusan  tahun  silam.  Salah-satu  mukjijat  Nabi  penutup  jaman.  Ada  banyak
perdebatan, ada banyak penelitian yang justru mencoba membuktikan kalau itu semua keliru.
Ternyata  tidak.  Keajaiban  itu  memang  pernah  terjadi!  —  Bagaimana  mungkin  ada  satu
potongan  translasi  religius  yang  keliru?  Kitab  suci  keliru?  Hadist  yang  salah?  Sungguh
lelucon yang tidak lucu. Itu tidak mungkin terjadi!" 
Profesor  Dalimunte  dengan  muka  serius  menunjuk  slide  gambar  bulan  terbelah  dua  di
layar LCD raksasa depan ruangan.
"Tapi  seperti  yang saya  bilang tadi, untuk kedua  kalinya  maafkan  saya, karena  hari  ini  saya
memutuskan  untuk  tidak  membicarakan  penelitian  yang  sudah  dimuat  dengan  baik  oleh
jurnal  populer  yang  selama  ini  sekuler  dan  diskriminatif,  'Science'.  Kalian  bisa  membaca
sendiri  seluruh  buktinya di  majalah tersebut, dan  jika  masih ada pertanyaan, kolega dan staf
saya di laboratorium dengan senang hati membalas e-mail pertanyaan, pesan, ajakan diskusi,
atau  apapun  dari  kalian....Hari  ini  sesuai  kesepakatan  dengan  panitia  simposium  lima  menit
setiba  saya  di  sini,  saya  akan  menyajikan  pembuktian  fakta  religius  penting  lainnya.  Bukan
tentang bulan, tapi isu yang lebih besar. Lebih mendesak untuk disampaikan. Perubahan topik
ini  sebenarnya  kabar  baik  bagi  kalian,  karena  kalian  akan  menjadi  orang  pertama  yang
www.rajaebookgratis.com
mendengarkan  progress  penelitian  terbaru  kami:  Badai  Ekktromagnetik  Antar  Galaksi
menjelang hari kiamat...."
Slide  bergerak  cepat.  Sekarang  memunculkan  sebuah  translasi  kitab  suci.  Wajah-wajah
dalam  ruang  besar  nampaknya  tidak  terlalu  keberatan  dengan  perubahan  topik  yang
mendadak tersebut. Buru-buru mencoret judul catatan di atas kertas.
Profesor Dalimunte tersenyum lebar menatap sekitar dengan rileks. Lima ratus undangan.
Lima  ratus  ahli  fisika  dari  berbagai  penjuru  dunia.  Meski  tidak  terlalu  menyukai  publisitas,
dia  amat  terlatih  untuk  urusan  mengendalikan  massa  seperti  ini.  Dulu  dia  belajar  dari  guru
terbaiknya.
"Pernahkah  dari  kita  bertanya  tentang  detail  kabar  tanda-tanda  hari  akhir?  Hari  kiamat?
Membacanya?  Mendengamya?  Pasti  pernah.  Dan  setidaknya  bagi  siapapun  yang  masih
mempercayai  janji  hari  akhir  tersebut,  maka  tidak  peduli  dari  kitab  suci  agama  manapun,
berita-berita  tersebut  boleh  dibilang  mirip  satu  sama  lain...  Ahya,  maaf,  saya  tidak  akan
membahas soal mirip tidaknya, itu urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar mereka yang
menjelaskan  kalau  sebenarnya  kabar  tersebut  bersumber  dari  satu  muasal.  Penelitian  fisika
terbaru kami hanya bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"
"Salah  satu  berita  yang  membuat  kita  tercengang  adalah  kabar  peperangan  besar,  yang
dikenal  beberapa  agama  lain  dengan  sebutan  Armageddon.  Pertempuran  hebat.  Penyerbuan.
Penguasaan  wilayah....  Menarik.  Amat  menarik.  Karena  salah  satu  diantara  kita  mungkin
pernah  melipat  dahi,  bagaimana  mungkin  begitu  banyak  sumber  dalam  berbagai  riwayat
sahih  terpercaya  justru  menyebutkan  peperangan  besar  itu  akan  dilakukan  dengan  pedang,
dengan  tangan?  Jika  kalian  berkesempatan  membaca,  maka  akan  menemukan  berbagai
translasi  religius  menulis  begitu.  Pertempuran  satu  lawan  satu....  Nah,  pertanyaan  bodohnya
adalah:  lantas di  mana teknologi nuklir hari  ini?  Di  mana senjata pemusnah  massal? Satelit?
Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi  semua  yang  pemah  mendengar  cerita  tentang  tanda-tanda  akhir  jaman,  bukankah
seolah-olah  masa  itu kembali ke  masa-masa pertempuran konvensional? Berita tentang ulat-ulat  yang  dikirimkan  dari  langit?  Keluarnya  dua  pasukan  jahat  yang  menghabiskan  seluruh
air  sungai  yang  mereka  lewati?  Pepohonan  yang  menyembunyikan  bangsa  Yahudi—  maaf
jika ini terlalu detail—" 
Dalimunte  tersenyum,  tapi  heberapa  peserta  simposium  yang  datang  dari  sekutu  negara
bersangkutan  tidak  terlalu  berkeberatan  dengan  kalimat  itu,  lebih  asyik  melihat  layar  LCD
raksasa di depan.
"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal senjata-senjata pemusnah
massal.  Nuklir  misalnya!  Ingat  kasus  Nagasaki  dan  Hiroshima,  perang  dunia  ke-2.  Dua  kali
tembak,  selesai  sudah!  Bagaimana  mungkin  di  akhir  jaman  nanti  orang-orang  seolah  lupa
menggunakan  teknologi  hebat  itu?  Apalagi  hari  kiamat  mungkin  baru  terjadi  ratusan  tahun,
atau ribuan tahun  lagi.  Kita tidak  bisa  membayangkan akan  secanggih  apa teknologi senjata
saat  itu?  Jadi  jika  benar-benar  terjadi  Armageddon,  apa  susahnya  melepas  dua  tiga  rudal
berhulu  nuklir  jutaan  kiloton  ke  daerah  musuh?  Selesai  sudah.  Atau  jangan-jangan  dua  tiga
ratus  tahun  ke  depan  manusia  malah  sudah  bisa  membuat  koloni  pertama  di  Mars!  Jangan-jangan maksud peperangan tersebut adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan
Ma'juj  yang  dikurung  di  suatu  tempat  oleh  Dzulkarnen  itu,  yang  hingga  hari  ini  kita  tidak
tahu di mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari planet lain. Masuk akal bukan—"
"Tetapi  ternyata  tidak.  Terlepas  dari  bagaimana  menafsirkan  berbagai  translasi  religius  ini,
sepertinya  kemungkinan-kemungkinan  yang  saya  sebutkan  tadi  amat  berlebihan,  sejauh  ini
belum  ada  buktinya.  Kabar  peperangan  besar  tersebut  sepertinya  memang  akan  sesederhana
itu.  Benar-benar  sesederhana  itu.  Saya  menyimpulkan  demikian:  sesederhana  itu...  Maka,
pertanyaannya  jika  semua  teknologi  senjata  tadi  tidak  digunakan  saat  pertempuran  akhir
jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang telah diakumulasi beratus-ratus tahun oleh
www.rajaebookgratis.com
manusia? Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah
ketika  hari  kiamat  tiba,  peradaban  manusia  justru  sedang  kembali  ke  titik  apaadanya?"
Dalimunte diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan  melihatnya  membanjiri  peserta  simposium  dengan  berbagai  pertanyaan,
entah  lima  ratus  peserta  itu  mengerti  atau  tidak.  Terus  menyajikan  dengan  cepat  berbagai
slide,  termasuk  pertanda  dari  berbagai  kitab  suci  lainnya.  Beberapa  peserta  simposium  yang
tidak  terlalu  mengerti  transkripsi  religius  yang  terpampang  di  layar  raksasa  LCD  menandai
besar-besar  catatannya  (berjanji  dalam  hati:  nanti  akan  dicari  tahu  penjelasannya).  Sama
seperti dengan beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak mengerti
tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science' sebelumnya. 
Ruangan besar simposium  fisika  itu lengang, hanya suara pulpen  menggores kertas yang
terdengar.
"Apakah  seolah-olah  kemajuan  ilmu  pengetahuan  seperti  siklus  naik  turun?  Hadirin,
jawabannya  adalah:  Ya!  Jika  kita  ibaratkan,  maka  peradaban  manusia  persis  seperti  roda.
Terus  berrputar.  Naik  turun.  Mengikuti  siklusnya.  Ada  suatu  masa,  ketika  kemajuan  ilmu
pengetahuan  mencapai  puncaknya,  manusia  menguasai  teknologi-teknologi  hebat,  lantas
entah  oleh  apa,  mungkin  karena  peperangan,  bencana  alam,  atau  karena  entahlah,  di  masa-masa  berikutnya  kembali  meluncur  ke  titik  terendahnya....  Jika  kita  ingin  berpikir  sejenak,
siapa  bilang  ribuan  tahun  silam  manusia  masih  primitif?  Masih  boddoh?  Tidak  mengenal
teknologi telepon selular? Internet? Penerbangan ke bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada  fakta religius  yang tertulis  indah di kitab  suci: Salah seorang
sahabat Nabi Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin yang mengenalnya dengan nama
itu.  Saya  garis  bawahi,  saat  itu,  seorang  manusia,  pernah  bisa  memindahkan  dalam  sekejap
sepotong  kursi  dari  satu  titik  ke  titik  lainnya  yang  berjarak  ratusan  kilometer  sebelum  mata
sempat  berkedip!  Seorang  manusia.  Spektakuler!  Anda  tidak  akan  pernah  menemukan
kemampuan teknologi sehebat itu hari  ini!  Belum. Kita  yang amat bangga dengan kemajuan
peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun itu wahana dan
caranya, kecuali di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah ketinggalan kaki, tangan, atau
telinga—" Dalimunte menyeringai.
Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
"....  Kita  sejauh  ini  hanya  bisa  bangga  dengan  kode  binari.  Transfer  data.  Jaringan
telekomunikasi.  Internet  dan  sebagainya,  Tapi  tidak  untuk  teknologi  memindahkan  fisik
sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi
Sulaiman tersebut setelah ribuan tahun berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada penjelasannya
dan  kita  sekadar  mempercayai  kalau  itu  kondisi  luar  biasa.  Karomah.  Keajaiban.  Bukankah
kepercayaan  itu  sebuah  rasionalitas  ilmiah?  Seperti  halnya  bulan  yang  terbelah.  Tentu  saja
ada penjelasan  masuk akal  atas transfer  fisik kursi tersebut, harus ada penjelasan  ilmiahnya,
kita  saja  yang  belum  tahu.  Atau  mungkin  tidak  akan  pemah  tahu.  Nah,  masalahnya  kenapa
kita  tidak  mewarisi  penjelasan  penting  tersebut?  Jawabannya,  mungkin  saja  karena
peradaban,  kemajuan  teknologi  itu  persis  seperti  siklus  naik  turun.  Masa-masa  silam,  masa-masa  itu,  manusia  pernah  menguasai  berbagai  teknologi  hebat  tersebut,  malah  mungkin
pernah  memiliki  rumus  sederhana  seperti  rumus  phytagoras  untuk  menjelaskan  bagaimana
memindahkan  kursi  ke  tempat  lain.  A  kuadrat  sama  dengan  B  kuadrat  plus  C  kuadrat.  Tapi
entah  oleh  apa  ilmu  pengetahuan  itu  kemudian  musnah.  Seperti  roda  yang  berputar,
peradaban  manusia  kembali  lagi  ke  titik  terendahnya....Analog  dengan  hal  itu,  dan  akan
dibuktikan dengan serangkaian penelitian  ilmiah  kami,  jadi sama sekali tidak  mengherankan
jika  saat  dunia  menjelang  masa  senjanya,  kita  juga  akan  kehilangan  senjata-senjata  hebat
yang  ada  sekarang  dalam  pertempuran  besar  itu.  Dan  dunia  kembali  ke  peperangan  dengan
tangan,  dengan  pedang.  Peperangan  konvensional.  Itu  benar-benar  masuk  akal.  Itu  sesuai
dengan  kabar  dari  berbagai  translasi  religius  ini....Maka  pertanyaan  pentingnya  sekarang
www.rajaebookgratis.com
adalah:  oleh  apa?  Oleh  apa  kita  akan  kehilangan  ilmu  pengetahuan  dan  berbagai  teknologi
canggih  tersebut?  Kemana  menguapnya  akumulasi  ilmu  pengetahuan  yang  hebat  itu?  Inilah
poin  terpenting  penelitian  Badai  Etektromagnetik  Antar  Galaksi  yang  akan  menghantam
planet  ini  sebelum  hari  kiamat.  Yang  membuat  berbagai  peralatan  elektronik,  listrik,  dan
kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte  sengaja  berhenti  mendadak.  Sejenak.  Tersenyum.  Meraih  gelas  besar  di
hadapannya. Meminum seteguk - dua teguk. Membasahi kerongkongannya. Membiarkan rasa
haus ingin tahu menggantung di langit-langit ruangan.
Tapi  entah  kenapa,  saat  semua  peserta  bersiap  menunggu  gagasan  hebat,  jawaban  atas
pertanyaan  itu,  menunggu  penjelasan  apa  yang  akan  disampaikan  profesor  muda  di  depan
mereka.  Saat  Dalimunte  telah  meletakkan  kembali  gelasnya.  Kembali  menunjuk  slide  yang
terpampang  di  layar  LCD  raksasa.  Bersiap  menjelaskan  progress  penelitiannya.  Dalimunte
malah  mendadak  terdiam.  Pelan  menurunkan  kembali  tangannya  yang  memegang  pointer
layar LCD.
Telepon genggam di saku celananya mendadak bergetar.
"Maaf, sebentar—" 
Dalimunte  tersenyum  tanggung  ke  peserta  simposium.  Siapa?  Menelan  ludah.  Ini  ganjil
sekali.  Dia  punya  dua  telepon  genggam.  Satu  untuk  urusan  kampus,  lab  dan  lain-lain,  yang
lazimnya dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk urusan keluarga,
yang  selalu  stand-by  apapun  alasannya.  Hanya  ada  enam  orang  yang  tahu  nomor  telepon
genggam urusan keluarganya. Siapa?
Keliru.  Bukan  dari  siapa  tepatnya  pertanyaan  Dalimunte  barusan.  Namun:  ada  apa?  Apa
yang sedang terjadi? Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas.
Sedikit  terburu-buru  meraih  telepon  genggam.  SMS.  Kenapa  harus  dengan  SMS?  Jika
penting  bukankah  bisa  langsung  menelepon?  Itu berarti  Mamak  Lainuri  yang  mengirimkan.
Mamak  tak  pandai  benar  berbicara  lewat  HP,  selalu  merasa  aneh.  Setetah  terdiam  sejenak
menatap  layar  HP,  Dalimunte  gemetar  menekan  tombol  open.  SMS  itu  terbuka.  Gagap
membaca  kalimatnya.  Menggigit  bibir.  Menyeka  dahi  yang  berkeringat.  Terdiam  lagi  satu
detik.  Dua  detik.  Lima  detik.  Lantas  dengan  suara  amat  lemah  berkata  pendek  di  depan
speaker. 
"Maaf. Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium itu riuh. 
Seketika.
Gaduh.  Seruan-seruan  kecewa.  Dalimunte  sudah  turun  dari  podium.  Tidak  peduli  kalau
Anne,  si  moderator  yang  cerewet  buru-buru  bangkit  dari  kursinya,  mendekat,  coba  bertanya
apa  yang  sedang  terjadi.  Tidak  peduli  beberapa  koleganya  juga  ikut  mendekat,  ingin  tahu.
Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz kamera wartawan yang sejak tadi rakus
membungkus tubuhnya. Tidak peduli. Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam
tangan  istrinya  yang  berkerudung  biru.  Berbisik  dengan  suara  bergetar.  Lantas  melangkah
keluar dari ruangan. Bergegas.
Meninggalkan  berlarik  tanya  dari  lima  ratus  peserta  simposium  internasional  fisika  itu.
Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?
 
3
TITIPAN KAOS BOLA
PESAWAT  AIRBUS  3320  milik  maskapai  penerbangan  Italiano  Sky  itu  melesat  membelah
pesisir Eropa. Malam  hari. Pukul 19.30 di  sini. Speaker di pesawat  memperdengarkan  suara
merdu sang pramugari yang lembut menyapa penumpang:
"...  Signore  e  signori,  Vaereo  atterera  tra  5  minuti  all'aeroporto  di  Roma.  Si  prega  di
allaciare di cinture di skurezza... Informiamo i signori pesseggeri che e tra Giacarta e Roma
www.rajaebookgratis.com
vi sono sette ore di differenza. Senior & Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara
Roma lima menit lagi. Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu Jakarta dan
Roma—"
"Bangun, Ikanuri!" Wibisana menyikut lengan adiknya.
Ikanuri menguap, menggosok matanya, "Sudah sampai?"
Wibisana mengangguk.
Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka
kecil di dahi. Bedanya, yang satu baretnya di sebelah kanan, yang satu di sebelah kiri. Selain
itu,  nyaris  99,99%  mirip,  termasuk  tinggi,  lebar  dan  bentuk  perawakan  tubuh.  Jadi  seperti
sepasang  kembar  kalau  mereka  berdiri  berjajar.  Padahal  mereka  sedikit  pun  tidak  kembar,
apalagi  kembar  identik.  Mereka  berdua  hanya  lahir  di  tahun  yang  sama,  terpisahkan  sebelas
bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33 tahun. Menariknya,
meski  Ikanuri  lebih  muda,  dia  lebih  dominan  dalam  urusan  apapun  dibanding  Wibisana.
Makanya orang-orang justru berpikir Ikanuri-lah yang menjadi kakak.
"Kau  mimpi  apa?"  Wibisana  tertawa  melihat  wajah  Ikanuri  yang  mengernyit,  berusaha
mengusap-usap matanya yang sedikit merah.
"Biasa!  Mimpi  dikejar-kejar  Kak  Lais  pakai  sapu  lidi!  Sialan,  kali  ini  ia  berhasil  memukul
pantatku! Sakit sekali — " 
Ikanuri menjawab seadanya, nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut tertawa.
Demi  mendengar  celetukan  adiknya,  Wibisana  tertawa  lebih  lebar.  Bagian  itu  kenangan
masa  kecil  favorit  mereka,  olok-olok  masa  lalu  yang  menyenangkan  untuk  diingat,  meski
telah  berkali-kali  diingatnya.  Nyengir  lebar.  Sementara  Ikanuri  sudah  sibuk  merapikan
kemeja  biru  yang  dikenakannya.  Membungkuk  memasang  tali  sepatu.  Tadi  sengaja  dilepas,
agar  bisa  rileks  tidur  di  kursi  penerbangan  kelas  ekonomi,  yang  tempat  duduknya  ekstra
sempit buat penerbangan jarak jauh.
"Ini  apa?"  Wibisana  mendorong  pelan  laptop  di  atas  tatakan  meja,  ikut  membungkuk,
mengambil  kertas  yang  tidak  sengaja  jatuh  dari  saku  kemeja  Ikanuri  saat  memasang  tali
sepatu.
"Oo itu —, biasa titipan Juwita! Kau bacalah!"
"Papa, questi sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur Colloseum, 4. Miniatur
Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola Totti, 7, Kaos bola Materazzi, 8. Kaos
bola  Zidane," 
Wibisana tertawa kecil lagi,  menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu, 
"Haha,  bagaimana  mungkin  'sigung kecil'  itu tidak tahu kalau  Zidane  sudah tidak  main  bola
lagi di Juventus? Lagipula Zidane sudah lama pindah ke liga Spanyol, bukan? Sudah pensiun
pula sejak piala dunia. Tidak adalah kaosnya di sini—"
"Mana  pula  anak  itu  akan  peduli,"  Ikanuri  menerima  kertas  pesanan  tersebut  dari  Wibisana,
melipatnya. 
"Kau  tahu,  Juwita  seminggu  terakhir  sengaja  benar  membuka  buku  pintarnya  tentang  Italia.
Mendaftar semua pesanan ini. Entahlah, sempat atau tidak membeli semuanya, apalagi kaos -kaos  bola  ini.  Buat  apa  coba  Juwita  titip  kaos  bola,  jelas-jelas  ia  anak  perempuan,  kan?
Titipannya  kali  ini  benar-benar  akan  merepotkan.  Mungkin  tidak  semua  akan  bisa
kubelikan..."
"Kalau  begitu,  bersiap-siaplah  melihat  wajah  sok  merajuknya  saat  kau  nanti  pulang!"
Wibisana nyengir lebar, 
"Anak  itu  memang  pintar  membuat  orang  lain  susah....  Pandai  menipu.  Jago  pura-pura
merajuk. Haha, mirip benar dengan tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
Ikanuri  mengusap  rambut.  Ikutan  nyengir.  Bergumam  dalam  hati,  Wibisana  pasti  juga
mengantongi  daftar  puluhan  pesanan  yang  sama  dari  Delima,  anaknya.  Bukankah  kemarin
Juwita bilang, ia mengirimkan daftar pesanannya ke Delima lewat email. Anak-anak mereka
www.rajaebookgratis.com
yang berumur enam tahun itu mirip benar ayahnya masing-masing. Kompak urusan beginian,
meski  sering  sekali  justru  sibuk  bertengkar  saat  sedang  bermain  bersama.  Sebenarnya
perangai Delima-Juwita  memang copy-paste perangai ayah-ayah  mereka  berdua waktu kecil
dulu.
Pesawat  Boeing  kapasitas  dua  ratus  penumpang  itu  bersiap  meluncur  ke  landasan
bandara. Gemerlap lampu kota Roma terlihat indah dari bingkai jendela. Menawan. Wibisana
melipat laptopnya.
"Kau sudah selesaikan revisi presentasinya?"
Wibisana mengangguk mantap, 
"Kali  ini,  petinggi  pabrik  itu  tidak  akan  menolak....  Kita  akan  memberikan  lebih  banyak
keuntungan dibandingkan perusahaan dari China itu!"
Ikanuri  mengangguk  kecil.  Memasukkan  kertas  pesanan  gadis  kecilnya  ke  saku.
Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan bisnis yang penting. Pembicaraan besok pagi di
salah satu kedai kopi elit dekat Piazza de Palozzo akan menentukan rencana ekspansi pabrik
kecil milik mereka. Sebenarnya dibandingkan pesaing raksasa industri China itu mereka tidak
ada  apa-apanya.  Pabrik  butut  itu  tak  lebih  dari  bengkel  modifikasi  mobil.  Mereka  hanya
punya modal nekad. Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri segala.
Ah, sejak kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel. Keras kepala. Di samping
tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat
galak melotot sambil memegang sapu lidi, memarahi mereka.
Sejak  kecil  Ikanuri  dan  Wibisana  sudah  kompak.  Kakak-beradik  yang  selalu  bisa  saling
mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-sama. Menyelesikan tender hak
pembuatan  sasis  salah-satu  mobil  balap  tersohor  produksi  Italia.  Seperti  biasa,  pesaing
mereka (juga pesaing pengusaha-pengusaha  lokal  lainnya), datang dari  negeri Panda, China.
Mereka  sejak  kecil  selalu  berdua.  Tidak  terpisahkan.  Sekarang  saja  rumah  mereka
berseberangan  jalan.  Dengan  istri  dan  satu  gadis  kecil  usia  enam  tahun  masing-masing.
Delima  dan  Juwita.  Bahkan,  percaya  atau  tidak,  Ikanuri  dan  Wibisana  menikah  di  hari,
tempat, dan penghulu yang sama. Delima dan Juwita juga lahir di hari yang sama. Jadi meski
tidak kembar secara biologis, Ikanuri dan Wibisana lebih dari 'kembar'.
Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo itu mendarat dengan mulus di landasan.
Penumpang  yang  seratus  persen  sudah  terjaga  bergegas  menurunkan  tas-tas  dari  bagasi.
Bersiap  turun  setelah  penerbangan  belasan  jam.  Menggerak-gerakkan  badan.  Berusaha
mengusir pegal.
"Biar  aku  saja  yang  menghubungi  mereka!"  Ikanuri  yang  melihat  Wibisana  mengeluarkan
HP-nya,  ikut  mengeluarkan  dua  telepon  genggam  miliknya.  Satu  untuk  urusan  bisnis.  Satu
untuk  urusan  keluarga.  Dua-duanya  dikeluarkan.  Perlahan  menekan  tombol  ON.
Menyalakannya.  Tadi  saat  keberangkatan,  galak  sekali  pramugari  pesawat  menyuruh
penumpang mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang bebal bin bandel soal
beginian.  Mereka  lupa,  maskapai  yang  mereka  naiki  bukan  maskapai  domestik  kelas
kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan penerbangan.
"Mereka  berjanji  menjemput  di  bandara,  bukan?"  Wibisana  duduk  kembali,  membiarkan
penumpang lain bergegas turun duluan.
"Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu pasti akan menjemput kita. Kalau tidak, paling sial kita
nyasar lagi di negeri orang, haha," 
Ikanuri  tertawa,  menunggu  dua  telepon  genggamnya  booting.  Dua  detik  berlalu.  Lantas
menekan phonebook.
Tetapi sebelum dia melakukannya, HP untuk urusan keluarganya keburu bergetar duluan.
SMS.  Juga  bergetar  di  saat  bersamaan  HP  milik  Wibisana.  Itu  juga  HP  urusan  keluarga.
Siapa?  Ikanuri  dan  Wibisana  menelan  ludah.  Saling  bersitatap  satu  sama  lain.  Siapa  yang
www.rajaebookgratis.com
mengirimkan  SMS?  Hanya  ada  enam  orang  yang  tahu  nomor  itu,  dan  mereka  berdua
diantaranya.
Keliru.  Bukan  dari  siapa  pertanyaan  tepatnya  Ikanuri  dan  Wibisana  barusan.  Tapi  lebih
tepat: ada apa?  Apa  yang terjadi?  Wajah  mereka  berdua  mendadak  mengeras, cemas, SMS?
Ini  pasti  Mamak  Lainuri.  Yang  lain  pasti  selalu  menelepon  jika  ada  urusan  penting.
Bukankah  seumur-umur  Mamak  tidak  pernah  mengirimkan  SMS.  Menggunakan  HP-nya
saja, Mamak tak mahir benar. Jika Mamak yang kirim, ini pasti penting sekali.
Tangan  Ikanuri  dan  Wibisana  sedikit  terburu-buru  menekan  tombol  open.  Gagap
membaca  kalimat-kalimatnya.  Menggigit  bibir.  Terdiam.  Lantas  bersitatap  lemah  satu  sama
lain lagi. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Senyap. Berdiri diam di antara sibuknya gerakan
198  penumpang  beranjak  turun.  Dan  seperti  sontak  diperintahkan,  mereka  berbarengan
melangkah  mendekati  pramugari.  Mendorong-dorong  penumpang  lain.  Bersikutan.  Lupa
sudah  dengan  koper-koper.  Lupa  sudah  dengan  janji  pertemuan  bisnis  yang  penting,  besok
pagi. Lupa dengan segalanya.
Ikanuri terbata berkata: "Il Volo.. per Jakarta.. C'e un volo per Jakarta questa sera?"
Apa ada…penerbangan kembali ke Jakarta... malam ini juga?
 
4
PENGUASA ANGKASA
DUA PULUH RIBU kilometer dari langit malam kota Roma yang cemerlang oleh cahaya. Di
sini, pagi justru sedang beranjak meninggi. Pukul 06.00. Udara berkabut. Putih membungkus
puncak  Semeru.  Pemandangan  luas  menghampar  begitu  memesona.  Tebaran  halimun  yang
indah.  Empat  gunung  di  sekitarnya  terlihat  menjulang  tinggi,  mengesankan  melihatnya.
Berbaris.  Gunung  Bromo.  Tengger.  Merbabu.  Seperti  serdadu.  Uap  mengepul  dari  kawah
Semeru.  Angin  mendesing  lembut.  Samudera  Indonesia  memperelok  landsekap,  terlihat
terbentang nun jauh di sana. Membiru. Sungguh pemandangan yang hebat.
Tangan  yang  memegang  teropong  binokuler  berkekuatan  zoom  25  kali  itu  sedikit
gemetar. Brrr.... Dingin. Suhu  menjejak 4 derajat  celcius di atas sini, ketinggian 3150  meter
dpl  (di  atas  permukaan  laut).  Jaket  tebal  yang  membungkus,  topi  lebar,  slayer  besar  tak
membantu  banyak.  Hanya  karena  terbiasa  dan  antusiasme  tak  terbilanglah  yang  membuat
gadis  berumur  34  tahun  itu  tetap  bertahan  dari  tadi  shubuh  persis  di  tubir  kawah  Semeru.
Mukanya  seolah  tidak  peduli  dengan  dinginnya  pagi,  malah  menyeringai  oleh  senyum
senang.  Mata  hitam  indahnya  bercahaya.  Wajah  cantik  itu  amat  bersemangat.  Rambut
panjangnya menjuntai, mengelepak pelan oleh deru angin pagi.... 
Ia  sudah  lama  menunggu  kesempatan  ini.  Dingin  dan  sukarnya  trek  terjal  pegunungan
bukan  masalah.  Ia  menguasai  medan  sulit  seperti  ini  sejak  kedl.  Dulu,  sejak  ingusan,  ia
belajar langsung dari jagonya.
"Arah pukul dua belas! Arah pukul dua belas!" Gadis itu tiba-tiba berseru tertahan.
"Mana? Di mana?"
"Lima  belas  meter  dari  bibir  kawah.  Dinding  dekat  batu  cokelat!  Batu  cokelat,  bukan  yang
hitam." Gadis itu berbisik antusias ke teman-teman di belakangnya, berusaha mengendalikan
volume suaranya.
"Mana?  Di  mana?"  Dua  rekannya,  cowok-cewek,  dengan  usia  tidak  beda,  dengan  pakaian
sama  tebalnya  bertanya  lagi  sambil  beringsut  mendekat.  Mengarahkan  binokuler  masing-masing ke arah yang ditunjuk gadis satunya barusan.
"Batu besar arah jam dua belas! Batu besar cokelat—" 
"Batu besar? Cokelat?"
"PKAAAK!" Lenguh suara nyaring itu sempurna sudah memecah hening puncak Semeru.
Bagai menguak kabut. Bagai membelah halimun. Membuat wajah-wajah sontak tertoleh,
mendongak.
www.rajaebookgratis.com
"PKAAAK!" Sekali lagi membuncah pagi. 
"Terbang! Ada yang terbang." 
"Di mana? Di mana?"
"Arah pukul delapan. Di atas. Di atas, sebelah kiri!" 
Gadis  yang  duduk  paling  depan,  yang  membungkuk  di  tubir  kawah  Semeru  itu  berseru
semakin tertahan. Wajahnya semakin antusias. Berbinar-binar senang. Binokuler ditangannya
bergerak gesit. Rambut panjangnya  bergerak anggun. Zoom  in. Teropong  model canggih  itu
berdesing oleh perintah auto focus.
Persis  di  atas  mereka,  seekor  burung  alap-alap  kawah  gunung,  dengan  bentang  sayap
berukuran  45  cm,  bagai  pesawat  falcon,  mungkin  juga  F-14  menderu  melesat.  Bukan  main.
Sempurna  seperti  sedang  menyibak  gumpalan  putih  kabut.  Bicara  soal  kecepatan  dan
manuver terbang, sumpah tidak ada yang mengalahkan Peregrin, inilah sang penguasa kawah
gunung.  Bukan  elang.  Bukan  garuda.  Bukan  pula  Rajawali.  Tapi  alap-alap  (kawah).
Merekalah penguasa langit  sejati. Burung yang hidup di tempat tertinggi di dunia. Di tempat
paling  eksotis  di  seluruh  muka  bumi.  Yang  mampu  terbang  hingga  ke  ketinggian  pesawat
terbang.
"PKAAAK!"  Alap-alap  kawah  itu  terbang  melesat  seolah  hendak  menghujam  ke  dinding
dekat gumpalan batu cokelat. Sarangnya!
Tiga  orang  yang  mengawasi  dari  sisi  lereng  seberangnya  melotot  melalui  binokuler.
Sungguh, pemandangan yang menakjubkan.
Gerakan  tubuh  alap-alap  kawah  itu  persis  bagai  pesawat  tempur  yang  menyerbu.  Dan
sedetik sebelum tubuhnya seakan-akan hendak menghantam dinding kawah, sayapnya terlipat
ke  belakang.  Begitu  anggun,  begitu  mulus,  kecepatannya  berkurang  dalam  hitungan
sepersekian  detik.  Lantas  bagai  seorang  ballerina  sejati,  sekejap,  sudah  mendarat  sempurna.
Perfecto!
Gadis  yang  duduk  di  depan  menggigit  bibir.  Terpesona.  Menghela  nafas.  Sungguh
pertunjukan  atraksi  alam  yang  spektakuler.  Binokulernya  mendesing.  Mode:  full  zoom  in.
Sekarang ia bisa melihat bulu leher Peregrin yang kemerah-merahan seperti menatapnya dari
jarak sedepa saja.
Kuku-kuku  kaki  tajam  induk  alap-alap  kawah  itu  menggenggam  mangsa  yang  baru
didapatnya pagi ini. Tiga ekor anaknya menyembul dari dalam sarang. Ber-pkak, pkak lemah,
meski riang. Paruh yang terjulur. Warna emas itu. Positif! Tidak salah lagi!
"Ya Allah! Itu jelas-jelas Peregrin varian baru! Jenis baru.... Ini, ini berarti Gold Level untuk
bantuan  penelitian  kita.  Thanks,  God!  Akhirnya.  Akhirnya!  Seratus  ribu  dollar  Amerika
untuk konservasi mereka...." 
Gadis yang duduk paling depan itu tertawa lebar, melepas teropong binokuler dari wajahnya.
Terlihat  amat  senang.  Lega.  Menghempaskan  pantatnya  ke  bebatuan.  Dua  temannya  ikut
mengangguk-angguk  beberapa  detik  kemudian.  Sepakat  soal  varian  baru  tersebut  setelah
melihatnya lebih jelas dengan binokuler masing-masing. Ikut tertawa lega.
Yashinta  nama  gadis  itu.  Team  leader  kelompok  penelitian  kecil  burung  dan  mamalia
endemik.  Selain  peneliti  dari  lembaga  penelitian  dan  konservasi  nasional  di  Bogor,  ia  juga
koresponden  foto  National  Geographic.  Mengumpulkan  foto-foto  alam  yang  indah  dan
insightfull untuk majalah  itu. Pagi  ini,  setelah  berkutat seminggu di puncak Semeru,  mereka
akhirnya  berhasil  menemukan  sarang  burung  langka  tersebut.  Awal  yang  baik  dari  riset
berbulan-bulan ke depan untuk memetakan perangai dan tingkah-laku alap-alap kawah varian
baru. Proyek konservasi jangka panjang.
Yashinta  meraih  kamera  SLR  di  tas  pinggangnya.  Senyum  riang  itu  tak  kunjung  lepas
dari wajah memerahnya. Ini akan jadi foto yang hebat, desisnya senang. Bisa jadi photo cover
majalah.  Membuka  lensa  kamera.  Bersiap  mengambil  foto  induk  Peregrin  yang  sedang
memberi  sarapan  tiga  anaknya.  Saat  itulah,  saat  Yashinta  sibuk  mengarahkan  lensa  600/6.4
www.rajaebookgratis.com
mm, lensa dengan kemampuan merekam tahi lalat di pipi soseorang dari jarak seratus meter,
telepon genggam satelit yang ada disaku celana gunungnya mendadak berdengking-dengking.
Kedua temannya menoleh. 
"Ssst!"  Menyeringai  mengingatkan.  Mana  boleh  bersuara  saat  mereka  mengamati  burung.
Lihatlah, meski jarak mereka nyaris lima puluh meter dengan sarang alap-alap kawah, induk
burung itu mendadak menoleh. Terganggu.
Yashinta nyengir, maaf, buru-buru meraih HP-nya.
Yang  berdengking  adalah  HP  satelit  urusan  keluarga,  yang  selalu  ia  bawa  kemanapun
pergi.  Tiba-tiba  jantung  gadis  itu  berdetak  lebih  kencang.  Dari  siapa?  Ah-bukan,  bukan  itu
pertanyaan  tepatnya,  tapi  ada  apa?  Apa  yang  terjadi?  S-M-S?  Itu  pasti  Mamak.  Bukankah
Mamak  tidak  pernah  menggunakan  HP-nya?      Tidak    pernah    terbiasa?      Yang    lain    pasti
selalu menelepon. Kenapa pagi ini tiba-tiba Mamak mengirimkan SMS? Sedikit terburu-buru
Yashinta menekan tombol oke.
Terbata membaca pesan 203 karakter tersebut.
Seketika,  hilang  sudah  senyum  riang  itu.  Seketika  hilang  sudah  wajah  menggemaskan
kemerahan  terbakar  cahaya  matahari  pagi  di  puncak  Semeru  itu.  Yashinta  dengan  tangan
bergetar  menurunkan  kamera  canggih  SLR-nya.  Menelan  ludah,  menyeka  dahi,  lantas
berbisik lemah, 
"Aku harus pulang! Aku harus pulang!"
Senyap.  Gumpalan  kabut  yang  membungkus  puncak  Semeru  mendadak  membungkus
sepi.  Yashinta  sudah  bergegas  turun  dari  tubir  kawah.  Sambil  jalan,  sembarangan
memasukkan  peralatan  ke  dalam  ransel.  Tidak  peduli  tatapan  terperangah  dua  temannya.
Tidak  peduli  dua  ekor  Peregrin  lainnya  dengan  anggun  terbang  mendekat  ke  sarang  di  batu
cokelat.  Tidak  peduli.  Apalagi  pemandangan  hebat  dari  puncak  gunung  tertinggi  di  Pulau
Jawa itu. Yashinta berlarian menuruni  lereng  terjal. Pulang. 
Ia harus segera pulang!
Itu  pasti  Kak  Laisa!  Itu  pasti  Kak  Laisa!  Yashinta  menyeka  matanya  yang  mendadak
basah,  sambil  terisak  menangis,  meluncur  menuruni  cadas  bebatuan  secepat  kakinya  bisa.
Bergegas....
 
5
AKU HARUS PULANG, SEKARANG!
"ADUH,  Intan lagi sibuk, Mi!" Gadis kecil itu menyeringai sebal. Merasa terganggu.
"Intan harus pulang, sayang...."
"Kan bisa tunggu bentar, lagi tanggung, Bentar lagi juga bel!"
"Sekarang,  Intan!  Tadi  Ummi  sudah  bicara  sama  Headmaster  Miss  Elly!  Intan  boleh  ijin
selama diperlukan— "
"Yee, Ummi, Intan kan lagi ngurus Safe The Planet! Mana lagi seru-serunya. Besok kan Intan
mau  keliling  bawa-bawa  gelang  karet  ke  Pasar  Induk  bareng  teman-teman....  Mana  boleh
Intan ijin sekolah...." 
Gadis kecil yang gigi atasnya sedang tanggal satu itu malas memberesi tas, penggaris, crayon,
kertas gambar, buku-buku, pensil di atas mejanya. Sengaja melakukannya pelan-pelan.
Teman-teman kelasnya sibuk menoleh, menonton.
Dalimunte yang berdiri di belakang, tersenyum mengangguk. Berusaha membuat nyaman
teman-teman  Intan,  meski  apa  daya  ekspresi  mukanya  jadi  terlihat  aneh.  Mereka  baru  saja
tiba di sekolah alam itu. Menjemput putri mereka persis di tengah pelajaran melukis—favorit
Intan. Rusuh sejenak bicara dengan kepala sekolah. Menjelaskan. Headmaster Miss Elly yang
apa  daya  nge-fans  berat  sama  Profesor  Dalimunte,  jangankan  soal  sepenting  ini,  soal  Intan
pilek sedikit saja langsung boleh ijin tiga hari, mengangguk. Tidak masalah.
"Memangnya kita mau kemana sih, Mi? Mendadak benar!" 
www.rajaebookgratis.com
Gadis  kecil  berumur  sembilan  tahun  itu  memasukkan  crayon  biru  terakhirnya  ke  dalam
tas.  Menoleh  ke  wajah  Ummi  yang  seperti  tidak  sabaran  ikut  membantu  berberes-beres.
Padahal  sejak  setahun  terakhir  mana  pernah  coba  Ummi  bantu-bantu  beres  kamarnya,  Intan
kan sudah besar, bisa sendiri.
"Perkebunan strawberry!" Dalimunte yang menjawab, pendek.
"EYANG LAINURI?" Mata hitam gadis kecil itu membulat.
Dalimunte mengangguk, mengusap lehernya.
"HORE!!"  Intan  mendadak  malah  semangat  menyeret  tas  sekolahnya  yang  berat  itu.  Wajah
malasnya  tadi  langsung  sirna.  Ia  malah  tidak  perlu  ditunggu  lagi,  langsung  maju  ke  depan.
Membawa kanvas lukisnya. Pamitan ke Miss Ani, guru kelas 5-nya (dua tahun terakhir Intan
loncat  kelas  dua  kali).  Lantas,  tanpa  diminta  memimpin  berjalan  di  depan  Dalimunte  dan
Ummi sambil melambaikan tangan ke teman-temannya.
"Eh, sebentar-"
"Apa sayang?" Langkah Ummi ikut terhenti.
"Gelang  karetnya  kelupaan!  Intan  kan  mesti  bawa  gelang  karet  buat  Eyang!  Biar  paman-paman yang ngurus kebun bisa pake gelang, biar mereka pakai dua gelang setiap tangannya!"
Ia nyengir, tertawa kecil, senang atas idenya. 
Berhenti sejenak.
Mendekati teman-temannya yang masih sibuk menonton.
Dalimunte  untuk  ke  sekian  kalinya  melirik  jam  di  pergelangan  tangan.  Mendesah.
Semoga belum terlambat.
 
"Come on, why nan avete due posti per noi? Any flight, questo e molto importante!" 
Wajah Ikanuri terlihat memelas.
Dulu Ikanuri jagonya soal menipu orang lain dengan wajah sok memelas. Kak Laisa yang
suka  mengejar-ngejarnya  dengan  sapu  lidi,  berkali-kali  tertipu  soal  ini.  Sok  memelas  sakit
(malas sekolah). Sok memelas sakit (malas bantu Mamak Lainuri). Sok memelas sakit (malas
ngurus  kebun).  Sakitnya  si  bisa  macam-macam.  Sakit  kaki-lah.  Sakit  tangan.  Bisul.  Bahkan
panu pun bisa jadi alasan Ikanuri.
"Mi  displace,  tutti  i  voli  dall'italia  sono  pieni  da  una  settimana  fa!  Questa  settimana  c'e  la
finale  di  Champions  League!.  Maaf,  penerbangan  kemanapun  dari  Italia  sudah  penuh  sejak
seminggu lalu! Minggu ini final Liga Champion, Senior! Seluruh jadwal penerbangan penuh
dari Roma!"
"Ayolah!  Bagaimana  mungkin  kalian  tidak  punya  dua  kursi  untuk  kami?  Di  kelas  apapun.
Penerbangan apapun. Ini penting sekali! Dua tiket saja!"
"Senior tidak mengeri. Ini final Liga Champion—" 
"Solo due biglietti?"
"Questa e la finale di Calcio—"
"Sepak  bola  sialan!  Kenapa  pula  semua  orang  sibuk  menonton  22  orang  berebut  satu  bola!
Kenapa mereka tidak dikasih 22 bola juga saja!" 
Ikanuri  memotong  kalimat  gadis  itu,  meremas  rambutnya.  Memaki.  Teringat  kaos  bola 
titipan putrinya.
Ini  juga  gaya  favorit  Ikanuri  waktu  kecil  dulu  kalau  menipu  guru  di  kelas  (ketahuan
bolos).  Atau  ketahuan  mencuri  uang  di  kelpeh  plastik  Mamak  Lainuri.  Sok  bego  tidak
mengerti.  Ah,  tapi  sekarang  ekspresi  itu  benar-benar  jujur.  Lagipula  sejak  puluhan  tahun
silam,  Ikanuri  sudah  insyaf.  Kapok.  Mengerti  benar  maksud  Kak  Laisa  yang  suka  berteriak,
'kerja keras!', 'kerja keras!', 'kerja keras!'
"Bisa tolong cek jadwal penerbangan maskapai lainnya, please?" 
www.rajaebookgratis.com
Wibisana  yang  berdiri  agak  dibelakang  Ikanuri  menyibak  maju  ke  depan.  Berusaha
tersenyum  ke  gadis  penjaga  loket  biro  perjalanan  di  Bandara  Roma  yang  sejak  tadi  berkali-kali tersenyum tanggung menghadapi seruan-seruan Ikanuri.
"Percuma,  Senior,  Benar-benar  full.  Anda  lihat  rombongan  di  sana!  Rombongan  kedutaan
negara  Anda.  Mereka  hari  ini  juga  ingin  ke  Jakarta.  Tidak  ada  lagi  tiket  tersisa.  Tidak  buat
mereka.  Juga  tidak  buat,  Senior.  Maaf—"  Gadis  penjaga  itu  mencoba  ikut  bersimpati.
Menunjuk  lima  orang  yang  bergerombol  diruang  tunggu.  Wibisana  dan  Ikanuri  menelan
ludah.
"Jadi apa yang harus kami lakukan?" Ikanuri bertanya putus-asa.
Gadis itu diam sejenak. Mengetikkan sesuatu.
"Kalau  Senior  mau,  saya  bisa  melakukan  reservasi  penerbangan  dari  bandara  lain...."
Menekan-nekan keyboard komputernya.
Wajah Ikanuri sedikit cerah oleh kemungkinan baik tersebut.
"Dari mana? Verona? Milan? Tidak masalah. Asal hari ini juga—"
"Maaf, bukan dari Italia, Senior. Tadi sudah saya bilang, malam ini digelar pertandingan final
Liga Champion di Roma, ditambah pula ini musim kunjungan ke Vatikan, Sakramen Agung.
Jadi seluruh penerbangan ke kota-kota di Italia penuh. Juga negara-negara di sekitar. Vienna,
Austria juga penuh. Hm.... Paling dekat.... Ergh, dari Paris, Perancis! Mau??" 
Perancis? 
Rona kabar baik itu seketika padam.
 
6
BERANG – BERANG YANG LUCU
"YASH! BERHENTI SEBENTAR, YASH!!" 
Dua rekan Yashinta patah-patah menuruni bebatuan gunung ketinggian 3000 meter dpl.
Yashinta  tidak  menoleh.  Mata,  tangan,  kakinya  konsentrasi  penuh  menjejak  trek  yang
sempit dan berbahaya.
"YASH, TUNGGU — " Terus menuruni bebatuan.
"Yash, kan tidak semua orang seatletis kamu naik-turun gunung! Kalau keseleo. Benar-benar
celaka, tahu!" 
Tersengal-sengal.
Yashinta,  gadis  berambut  panjang  itu  demi  mendengar  seruan  dengan  intonasi  setengah
memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan langkahnya, menoleh. Berpegangan ke salah
satu batu besar. Jurang terjal, menganga di kiri kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi 
lalai sedetik saja, mahal sekali harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya
turun  dari  gunung  jauh  lebih  berbahaya  dibandingkan  naiknya—  apalagi  dengan  stamina
yang terkuras habis waktu mendakinya.
"Ada apa, sih?" 
Teman  cowoknya  bertanya  setelah  berhasil  mendekat.    Satu  kata,  satu  tarikan  nafas.  Hosh,
Hosh,  Hosh.  Uap  mengepul  dari  mulut.  Kedua  rekannya  membungkuk  memegangi  perut.
Capai. Gila, mereka lima belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop dari puncak
Semeru.
"Aku harus pulang!"
"Iya, kami tahu kau harus pulang, tapi ada apa?"
Yashinta tidak menjawab, ia malah menurunkan ranselnya. Mengeluarkan botol 500 mili
minuman  berion,  pengganti  keringat.  Melemparkannya  ke  dua  rekannya  yang  masih
tersengal.
"Trims, Yash." Masih tersengal.
Lengang  sejenak.  Yashinta  (yang  sedikitpun  tidak  tersengal)  memperbaiki  posisi
peralatan  di  ransel  berukuran  semi  carrier-nya.  Mengencangkan  syal  di  leher.  Angin  pagi
www.rajaebookgratis.com
bertiup  pelan.  Terasa  begitu  menyenangkan.  Membelai  anak  rambut.  Menelisik  di  sela-sela
kuping. Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun.
Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu. Sama persis. 
Lembah itu....
Rasa  haru  itu  menelisik  lagi  hatinya.  Mengiris  membusai  perih  di  mata.  Yashinta
mengusap ujung-ujung  matanya,  Ya  Allah, apa  yang sebenarnya terjadi?  Berpilin.  Berputar.
Terlemparkan. Dua puluh lima tahun silam.
Kenangan-kenangan itu kembali sudah.
Di  sini  juga  angin  selalu  bertiup  menyenangkan.  Tidak  pagi.  Tidak  siang.  Tidak  juga
malam.  Tapi  sepanjang  hari,  sepanjang  malam.  Angin  selalu  berhembus  lembut  membelai
anak-anak rambut.
"Masih jauh, Kak?"
Kaki-kaki  kecil  itu  menjejak  air  anak  Mingai  setinggi  mata-kaki.  Kecipak-kecipak.  Sungai
yang jernih. Di tengah hutan ini ada puluhan cabang anak sungai kecil seperti ini.
"Masih—"  Tubuh  gendut  dan  gempal  yang  lima  belas  senti  lebih  tinggi  dibandingkan  anak
kecil  di  belakangnya  menjawab  pendek.  Burung-burung  berhamburan  dengan  suara  ramai
saat dua anak itu membelah jalanan setapak rimba.
"Seberapa jauh lagi? Lima menit? Sepuluh menit?" 
kecipak-kecipak. Bebatuan licin menyembul dari permukaan sungai.
"Masih jauh! Dan kau jangan sampai terpeleset, YASH!"
Suara  nyanyian  puluhan  burung  memenuhi  langit-langit  hutan.  Cahaya  pagi  menerobos
sela  dedaunan,  menerabas  sela-sela  putihnya  kabut.  Membuatnya  seperti  mengambang.
Bahkan  seolah-olah  kalian  bisa  menangkap  berkas  cahaya  itu.  Mereka  sejak  setengah  jam
lalu  menelusuri  hutan.  Tangkas  yang  satunya,  yang  berjalan  di  depan,  berjalan  sambil
menebas ujung-ujung semak belukar yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.
    Kedua anak perempuan itu sebenarnya berbeda umur cukup jauh. Yang besar sudah sekitar
enam  belas  tahun,  yang  kecil  baru  enam  tahun.  Tapi  karena  perawakan  yang  lebih  besar
sepertinya tidak akan tumbuh  normal, sebaliknya  yang  lebih kecil tumbuh  lebih cepat, maka
mereka seperti berbeda umur dua-tiga tahun saja.
    Mereka  lahir  disebuah  lembah  indah  yang  sempurna  dikepung  hutan  belantara.  Terpencil
dari  manapun.  Dua  jam  perjalanan  dari  kota  kecamatan  terdekat.  Namanya,  Lembah
Lahambay.  Persis  di  tengah-tengah  bukit  barisan  yang  membentang  membelah  pulau.
Deretan gunung-gunung kecil. Ada sebelas puncak gunung setinggi 1.500-2.000 meter dpl di
kawasan lembah itu.
Terselip  disana-sini,  ada  sekitar  empat  perkampungan  radius  sepuluh  kilo  di  Lembah
Lahambay.  Berjauhan  satu  sama  lain.  Paling  dekat  terpisah  satu  kilometer.  Satu
perkampungan  paling  banyak  terdiri  dari  30-40  rumah  panggung.  Perkampungan  mereka
terletak  paling  tepi,  paling  bawah,  berbatasan  langsung  dengan  hutan  rimba.  Tapi  meski
disekitar  kampung  banyak  terdapat  sungai,  celakanya  posisi  kampung  itu  tetap  lebih  tinggi
dari manapun. Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas setinggi
lima meter, yang membuat kampung itu seperti sempurna terpisah dari rimba.
Untuk menuruni dinding cadasnya saja sudah sulit bukan main. Maka tidak seperti desa-desa  yang  lazimnya  dekat  dengan  hutan  (yang  otomatis  berarti  dekat  dengan  sungai),  disini
penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka
hanya  berharap  pada  siklus  kebaikan  langit.  Selebihnya  bekerja  mencari  rotan,  damar,
kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku
di kota kecamatan.
"Masih  jauh,  Kak?  Lima  menit?  Sepuluh  menit?"  Gadis  kecil  yang  berumur  enam  tahun
bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di rambut.
" Masih!" 
www.rajaebookgratis.com
Laisa  nama kakaknya, kali  ini  menjawab dengan nada  sebal. Itu pertanyaan  yang ke dua
puluh  sepanjang  perjalanan  mereka.  Adiknya  selalu  saja  suka  bertanya.  Berulangkali,  Tidak
bosan-bosannya. Malah pakai "menit-menitan" segala. Bisa sabar dikit kenapa!
Lembah  Lahambay  selalu  terbungkus  kabut  di  pagi  hari,  ketika  kehidupan  di  rumah-rumah  mulai  menyeruak  sejak  kumandang  adzan  shubuh  dari  surau.  Asap  putih  mengepul
dari dapur. Melukis langit-langit lembah. Pertanda kehidupan sudah dimulai.
Satu-satunya  akses  dari  kota  kecamatan  ke  lembah  itu  hanyalah  jalan  bebatuan  selebar
tiga meter. Di desa atas, satu kilometer dari kampung mereka, yang penduduknya lebih maju
dan  lebih  berada, ada dua  mobil  starwagoon tua yang  sering  bolak-balik ke kota kecamatan.
Terkentut-kentut  membawa  hasil  kebun,  hutan,  atau  apa  saja  penduduk  lembah  tersebut,
melewati  jalanan  buruk.  Naik  turun.  Di  desa  atas  juga  ada  sekolah  dasar,  meski  seadanya.
Bagaimana tidak seadanya? Hanya ada satu guru untuk semua kelas. Kelas? Itu bahasa yang
lebih  halus  untuk  menyebut  bangunan  jelek  beratap  seng  karatan,  berdinding  anyaman
bambu, berlantai semen pecah-pecah.
Mereka  terbiasa  dengan  semua  keterbatasan.  Terbiasa  dengan  kehidupan  terpencil.  Jadi
wajar  sajalah  melihat  dua  anak  perempuan  merambah  hutan  di  pagi  buta.  Pemandangan
lumrah  di  lembah  ini!  Anak-anaknya  tumbuh  dan  akrab  dengan  kehidupan  sekitar.  Tadi
selepas shalat shubuh jamaah, persis saat perkampungan masih gelap, selepas belajar mengaji
Juz'amma dengan Mamak, Kak Laisa akhirnya bilang akan menemani Yashinta pergi melihat
berang-berang. Kabar  yang  membuat Yashinta  langsung  berseru riang tak henti selama  lima
menit. Bergegas melepas mukena kumalnya.
Sebulan  lalu  saat  Kak  Laisa  membantu  Mamak  mengumpulkan  damar  jauh  di  tengah
hutan.  Kak  Laisa  tidak  sengaja  menemukan  tebat  (bendungan)  yang  dibuat  berang-berang.
Hebatnya  di  sana  ada  lima  ekor  anak  berang-berang  yang  sedang  berenang.  Lucu  sekali
melihatnya.  Meski  kemudian  Kak  Laisa  benar-benar  menyesal  menceritakan  apa  yang
dilihatnya  kepada  Yashinta,  apalagi  dengan  menambahinya  dengan  kalimat:  lucu  sekali
melihatnya.
Menceritakan itu ke Yashinta sama saja dengan mengundang masalah. Maka tak kunjung
henti setiap malam Yashinta merajuk ingin ke sana. Menarik-narik baju gombyor Kak Laisa.
Jengkel.  Atau  mungkin  pula  akhirnya  lelah  dengan  bujukan  adiknya,  pagi  ini  Laisa
memutuskan mengajak Yashinta untuk melihat langsung. Waktu paling baik melihat berang-berang adalah pagi hari. Semakin  pagi semakin baik.
"Hati-hati, Lais! Jaga adikmu!" 
Mamak Lainuri berkata tajam dari bingkai pintu. Itu pesan Mamak tadi sebelum berangkat.
"Yash, kan sudah besar, Mak! Tidak perlu dijaga!" 
Yashinta  yang  justru  menjawab,  sambil  nyengir. Memasang sepatu bot butut miliknya. Juga
caping anyaman di kepala.
"Apa sih serunya lihat berang-berang? Gitu-gitu saja! Mana ada coba lucunya" 
Satu kepala anak lelaki menyembul dari belakang Mamak. Mukanya terlihat jahil.
"Iya, apa coba lucunya!" 
Satu  lagi  kepala  anak  lelaki  menyusul.  Wajah  mereka  berdua  mirip  benar.  Kompak  seperti
biasa, menyeringai nakal ke arah Yashinta.
"Biarin! Pokoknya lucu!" 
Yashinta cemberut, tidak mempedulikan kedua kakaknya.
"Yang  keren  tuh  lihat  Harimau.  Kemarin  aku  dan  Ikanuri  sempat  lihat  satu  di  atas  Gunung
Kendeng—"
"Ah-ya,  harimau.  Benar.  Itu  baru  lucu.  Malah  anak-anknya  ada  enam,  Yash.  Lebih  banyak.
Lucu-lucu banget— "
"Iya, Kak? Harimau beneran?" 
www.rajaebookgratis.com
Gerakan tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat.
Bertanya ingin-tahu.
" Wibisana! Ikanuri!"
Mamak Lainuri mendesis. Menyuruh dua sigung nakal itu diam.
Kedua  anak  lelaki  itu  kompak  tertawa.  Nyengir.  Jangan  pernah  cerita  sesuatu  ke
Yashinta.  Adik  terkecil  mereka  benar-benar  tipikal  anak  yang  suka  penasaran.  Ingin  tahu
segalanya.  Tentu  saja  mereka  tadi  hanya  bergurau.  Seperti  biasa  mudah  sekali  menggoda
Yashinta.  Tapi  Mamak  Lainuri  tidak  suka  gurauan  mereka.  Tidak  pantas  menjadikan
'harimau' sebagai bahan bergurau.
"Lais berangkat, Mak. Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam.  Jaga  adikmu.  Dan  pulang  segera,  Lais.  Hari  ini  banyak  pekerjaan  di
ladang!"
Gadis tanggung  berumur enam  belas tahun  itu  mengangguk. Sigap  melangkah  menuruni
anak  tangga.  Yushinta  langsung  ngintil  mengikuti.  Lihatlah,  meski  baru  enam  tahun,
Yashinta benar, ia sudah cukup besar untuk urusan ini. Tangkas menjejak rumput yang masih
berbilur  kristal  embun.  Tubuhnya  meski  terlihat  kecil  dan  ringkih,  tidak  kalah  atletisnya
dibanding Kak Laisa yang gendut dan gempal.
Hutan, semakin lama semakin lebat.
Hiruk-pikuk  burung  memenuhi  atas  kepala  semakin  ramai.  Seperti  orkestra.  Ada  yang
berdengking, berkicau, bernyanyi, bahkan ada yang seperti ngoceh tanpa henti. Itu burung si
penggosip.  Sibuk  bicara,  meski  tidak  penting.  Dengking  uwa  (semacam  monyet)  dari
kejauhan  menimpali.  Kuak suara ayam  hutan. Nyamuk  besar-besar berdesing di  atas kepala.
Sarang  laba-laba.  Mereka  sudah  berjalan  hampir  satu  jam.  Menyusuri  jalan  setapak  yang
kadang ada, kadang hilang di tengah hutan.
"Masih jauh, Kak?" 
Kak Laisa tidak menjawab.
"Masih jauh, Kak?"
"Ssst—" Kak Laisa menghentikan langkahnya.
Yashinta yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak, memegang lengan Kak
Laisa  dari  belakang.  Ingin  tahu.  Menyeruak  ke  depan.  Tapi  Kak  Laisa  malah  menahan
kepalanya.  Mendelik  menyuruhnya  tetap  di  belakang.  Dan  tentu  saja  memberi  kode:  jangan
berisik. Mereka sejak lima belas menit tadi sudah turun dari jalan setapak, menyusuri sungai
kecil berbatu-batu itu.
Kak Laisa melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak perlu dijelaskan
dua  kali,  ikut  melakukannya.  Menghilangkan  suara  kecipak  kaki  di  atas  air.  Lima  belas
meter.  Kak  Laisa  melangkah  mengendap-endap  menaiki  tepi  sungai.  Yashinta  tanpa  banyak
bicara  ikut.  Kalau  sudah  begini,  berang-berang  itu  pasti  sudah  dekat,  deh.  Yashinta  nyengir
lebar. Juga ikut mendekam di balik sebatang pohon besar, di belakang Kak Laisa.
"Di depan sana—" Kak Laisa berbisik. 
Wajah  Yashinta  sudah  merah  saking  antusiasnya.  Ia  melapas  caping  anyamannya
(kepalanya  gerah)  lantas  merangkak  mengintip  dari  balik  batang  besar  itu.  Mana?  Mana?
Mana? Suara getas ranting patah terdengar. Kak Laisa meucubit lengannya. 
"Jangan berisik!" Mendesis.
Yashinta  manyun  sebentar.  Kan  tidak  sengaja.  Merangkak  lebih  hati-hati.  Memperhatikan
tempat  yang  ditunjuk  Kak  Laisa.  Memang  ada  bendungan  tiga-lima  meter  di  depan  mereka.
Bendungan  dari  batang  roboh  yang  persis  melintang  di  tengah  sungai.  Yang  sekarang
dipenuhi dedaunan, ranting-ranting, dan tanah liat.
Mana  anak  berang-berangnya?  Yang  ada  hanya  dua  ekor  burung  Meninting.  Sibuk
bercengkerama  di  atas  bebatuan.  Loncat-loncat.  Mengembangkan  sayap  indah  hitam
bergaris-garis putih milik mereka. Saling menggoda.
www.rajaebookgratis.com
Saat  Yashinta  siap  mengeluh  ke  Kak  Laisa  sekali  lagi.  Bertanya  man-na  anak  berang-berangnya.  Pelan  terdengar  suara  kecipak  dari  pohon  roboh  di  tengah-tengah  bendungan.
Splash—
Aih! Mata Yashinta langsung melotot. Membesar.
Splash. Splash. Splash—
Yashinta berseru tertahan.  Sekali lagi dicubit Kak Laisa.
Untung  seruan  itu  tidak  terlalu  keras.  Jadi  tidak  ada  yang  terganggu.  Gadis  kecil  itu
mendekap  sendiri  mulutnya.  Menyeringai  cemberut,  menoleh  ke  arah  Kak  Laisa  yang
nyengir galak.
Splash—
Itu  suara  berang-berang  ke  lima  yang  meluncur  ke  dalam  kolam  bendungan  buatan
mereka. Bukan  main,  lima  anak  berang-berang  itu  meluncur anggun. Naik turun. Kepalanya
celap-celup.  Satu-dua  jahil  mengejar  ikan-ikan  kecil  yang  banyak  berkeliaran  di  sela-sela
mereka.  Celap-celup.  Sungai  itu  jernih.  Jadi  Yashinta  bisa  melihat  hingga  ke  bebatuan
dasarnya. Dua ekor kepiting yang tadi nangkring di pinggir kolam sungai segera menyingkir.
Juga  menyingkir  sekumpulan  udang  yang  sedang  berjemur  di  bonggol  kayu.  Menyisakan
burung  Meninting  yang  terus  cuek  berloncatan  da  atas  batu,  tidak  peduli  dengan  lima  anak
berang-berang. Mulut Yashinta terbuka. Terpesona.
Kak Ikanuri dan Kak Wibisana salah seratus persen, deh! Kata siapa anak berang-berang
tidak  lucu?  Yashinta  sekarang  saking  gemasnya  malah  sudah  merangkak  keluar  dari  balik
batang,  ingin  melihat  lebih  dekat.  Laisa  hendak  menarik  tasnya,  mencegah.  Tapi  demi
melihat  ekspresi  muka  Yashinta  yang  begitu  sumringah,  urung.  Ia  tidak  ingin  menganggu
kesenangan  adiknya.  Akhirnya  hanya  tersenyum  tipis,  membiarkan.  Itu  sungguh  senyum
pertamanya sepanjang pagi  ini, atau  juga sepanjang  minggu  ini  sejak Yashinta  menyebalkan
selalu merajuk minta diantar.
Ah, Kak Laisa memang jarang tersenyum.
Berang-berang  itu  terus  berkejaran  di  beningnya  air  kolam.  Uap  mengepul  dari  inang
sungai.  Suara  lenguh  uwa  terdengar  dari  kejauhan.  Kicau  ramai  burung-burung,  Matahari
pagi semakin terik. Permainan cahayanya dari sela dedaunan yang memantul di beningnya air
bendungan  terlihat  memesona.  Pagi  yang  indah.  Benar-benar  pagi  yang  indah  di  Lembah
Lahambay.  Menyaksikan  sendiri  lima  anak  berang-berang  berenang,  saling  bercengkerama,
persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya dari jarak sepelemparan batu saja.
Itu sungguh hanya ada dalam mimpi berjuta orang....
 
Ada apa?
Yashinta  menyeka  matanya  yang  basah.  Menatap  datar  kedua  temannya  yang  nafasnya
sudah  kembali  normal.  Dingin  angin  pagi  menyergap  lereng  Gunung  Semeru.  Cahaya  yang
menembus  kabut  terlihat  menawan.  Yashinta  menarik  nafas  pelan.  Ia  tidak  tahu  apa  yang
telah  terjadi.  Tepatnya  belum.  Yang  ia  tahu,  ia  harus  pulang  segera.  SMS  itu  amat
mencemaskan.
Terlebih  tiba-tiba  semuanya  terasa  ganjil.  Sesak.  Kenangan  itu  kembali  bagai  tontonan
audio-visual  dari  layar  teve  LCD  sejuta  pixels.  Begitu  nyata.  Begitu  dekat.  Seolah  ia  bisa
menyentuhnya. Menyentuh wajah Kak Laisa yang pagi itu tersenyum tipis....
"Ada apa, Yash?" Teman ceweknya bertanya lagi.
"Aku  harus  pulang!"  Yashinta  menjawab  pendek,  menaikkan  kembali  ransel  ke  pundaknya.
Meneruskan langkah.
Bergegas.
 
 
www.rajaebookgratis.com
7
ITU BENAR-BENAR JAUH LEBIH PENTING
"RIO... RIO...." Intan, gadis kecil berumur sembilan tahun itu berseru-seru. Sibuk. Naik turun
tangga.  Melongok  ke  balik  kursi,  meja,  ranjang,  lemari,  apa  saja.  Lari  keluar,  mencari  di 
halaman.
"Rio... Rio.... Aduh, kemana, sih?" Intan balik lagi ke dalam rumah. Berlarian menaiki tangga
lagi. Kuncir rambutnya yang berpita biru bergoyang.
Dalimunte mengusap wajah. Melirik jam di pergelangan tabgan untuk ke sekian kali. Satu
jam  lagi,  pesawat  yang  sudah  dipesan  staf  lab-nya,  take-off.  Kalau  mereka  terlambat,  maka
baru  besok ada penerbangan  yang  sama. Tidak  banyak  jadwal penerbangan ke kota provinsi
itu.  Kota  itu  terhitung  terpencil  jika  dilihat  dari  sisi  jumlah  penumpang  angkutan  udara.
Maskapai itu saja harus disubsidi pemerintah daerah setempat agar bisa terus beroperasi.
Ummi, juga sama seperti Intan, ikut sibuk membantu. Mencari hamster belang putrinya.
"Ditinggal saja ya, sayang—" Ummi membujuk.
"Yee, mana boleh. Wak Laisa kan suka banget sama hamster belang Intan, nanti pasti ditanya
kalau nggak dibawa!"
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa. 
"Ditinggal saja ya, Wak Laisa tidak akan nanya, kok—" 
"Nggak  bisa.  Lagian  kalau  ditinggal  yang  kasih  makan  belang  siapa,  Mi?  Rio....  Rio....
Sembunyi di mana, sih?" 
Intan  terus  berseru-seru  sambil  menarik  selimut  tempat  tidurnya.  Biasanya  si  belang  suka
tiduran di bawah ranjang. 
Tidak ada.
Menyeringai. Eh, bukankah tadi ia juga sudah periksa tempat ini.
"Nanti Ummi titip tetangga sebelah buat ngurus, ya?" 
"Nggak mau!" 
Intan melotot. Keras kepala. Demi melihat ekspresi  itu,  Ummi  menghela  nafas,  kehabisan 
kalimat berikutnya.
Beruntung  sebelum  seisi  rumah  diobrak-abrik  Intan,  hamster  belang  itu  dengan  cueknya
nongol  di  dapur.  Berlenggak-lenggok  bak  model.  Sibuk  menyeka-nyeka  mulutnya.  Tanpa
ampun, langsung disambar Intan. Gadis keril itu berlarian berteriak, 
"UMMI, ABI, HAMSTER-NYA SUDAH DAPAT!"
Mobil  sport  keluaran  terbaru  itu  melesat  keluar  dari  gerbang  rumah  setelah  Intan  duduk
manis  di  kursi  belakang.  Dalimunte  mencengkeram  setirnya  erat-erat.  Sayang,  baru  tiba  di
tikungan depan komplek perumahan, Ummi berseru tertahan, 
"Tas Ummi! Tas tangan Ummi tertinggal!" Dalimunte mendesis sebal. 
"Ada kartu ATM, credit card, kartu identitas, semuanya di sana! Harus diambil, Bi!" 
Ummi  setengah  membujuk,  setengah  memaksa.  Mobil  sport  itu  berbalik  arah  lagi.  Rusuh
sejenak mencari tas tangan Ummi (yang sebenarnya tergeletak di meja ruang depan).
Lima  belas  menit,  mobil  sport  itu  kembali  meluncur  keluar.  Baru  tiba  di  jalan  besar,
giliran Intan yang berseru panik, 
"Tas sekolah Intan, tas sekolah Intan ketinggalan, Bi!"
Dalimunte benar-benar mendesis sebal. 
"Harus  diambil,  Bi!  Kan  di  tas  ada  gelang  karet  'Safe  The  Plane'  Intan,  please….please...."
Mobil  sport  itu  berbalik  arah  lagi.  Kali  ini  tidak  sulit  menemukannya,  karena  kaki  Intan
tersangkut tas sekolahnya sendiri persis mau masuk rumah.
Sepuluh  menit,  mobil  sport itu kembali  meluncur  keluar. Dan kali  ini Dalimunte benar -benar  mendesis  mengkal.  Saat  tiba  di  gerbang  tol,  dia  baru  menyadari  laptop  miliknya
tertinggal.  Seluruh  hidupnya  ada  di  situ,  hasil  penelitian,  nomor  kontak,  agenda,  bahkan
catatan  kesehariannya.  Dengan  muka  mengeras,  dia  terpaksa  memutar  kembali  setir.  Maka
www.rajaebookgratis.com
setengah  jam  kemudian  saat  mobil  sport  itu  benar-benar  berada  di  atas  jalan  tol  menuju
bandara, yang tersisa hanya wajah merah bin bete Dalimunte.
"Bi, janga marah, ya! Kan yang terakhir tertinggal laptop Abi...." 
Intan nyengir sambil memeluk hamster belangnya. Menahan tawa. Ummi menyeringai kecil,
tersenyum tanggung melihat ekspresi wajah putrinya. Dalimunte hanya berdehem tanggung.
"Abi,  sih,  pakai  terburu-buru  berangkatnya....  Lihat,  tuh,  sandal  Abi  malah  ketukar-tukar."
Intan  mendekap  mulut. Ummi  yang  justru tidak kuasa  menahan tawa  melihat kaki  suaminya
yang  menginjak  pedal  gas  dan  kopling.  Intan  benar.  Warna-warni  (mana  suaminya  masih
pake kaos kaki segala).
    Dalimunte  akhirnya  ikutan  nyengir.  Manyun.  Tertawa  kecil.  Meski  sekejap  kemudian
melirik lagi jam di pergelangan tangannya.
Lima belas menit lagi pesawat itu take-off.
 
"Si,  si..  What?  NO!  Assolutamente  no!  like  i  told  you,  siamo  arivati  a  Roma  half  hour  fa,
Albertino...  saya  mendengar  suara  Anda,  Albertino...  APA?  Tidak!  Tentu  saja  tidak.  Sesuai
janji kami sudah tiba di Roma setengah jam lalu, Albertino—"
"Teng-tong-teng-tong....I passeggeri del treno Eurostar (diretto a Paris dslle ore 10.00) sono
pregati di recarsi velocemente al binario 9...." 
Roma  Termini  (stasiun  kereta  api  pusat)  itu  meski  terhitung  sepi,  karena  orang-orang
sibuk  menonton  pertandingan  final  sepak  bola,  tapi  tetap  berisik  oleh  suara  teng-tong-teng
speaker pengumuman.
"Tidak.  Tidak  bisa,  Albertino.  Tidak  bisa.  Kami  harus  segera  kembali  ke  Jakarta.  Sekarang
juga.  Pagi  ini  juga.  Ya!  Ya!  Pertemuan  itu  batal  —Hallo?  Kau  mendengarnya,  Albertino?
BATAL!"  Belepotan  Ikanuri  menjelaskan  lewat  telepon  genggamnya.  Satu  karena  dia
bersama  Wibisana  sedang  terburu-buru  membawa  ranselnya  mencari  peron  nomor  9.  Dua
karena  bahasa  Italianya  jauh  dari  lancar,  campur-campur.  Campur  Inggris,  malah  kadang
campur bahasa Indonesia.
"Albertino,  Anda  tidak  mengerti.  Saya  harus  kembali  sekarang  juga  ke  Jakarta.  Kau  masih
menunggu  di  bandara?  BANDARA?  Tidak.  Kami  sekarang  di  stasiun  kereta  Roma!  Apa?
Bukan  bandara, kami  sekarang ada di stasiun kereta! Roma Termini. Tidak. Ya  Allah, tentu
saja kami tidak naik kereta dari Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"
"Teng-tong-teng-tong....  Panggilan  terakhir  untuk  penumpang  Kereta  Lokal  Chievo3000.
Harap segera menuju peron nomor 7...."
"Kau  dengar?  Tidak  usah  ditunggu.  Kami  harus  pulang  malam  ini  juga  ke  Jakarta,  kau
dengar? Ya? Ya?  Albertino, pertemuan besok batal! Batal! BATAL!  Kau dengar?  Apa?  Ah,
sialan—" Ikanuri memaki.
Wibisana yang berlari-lari kecil di sampingnya menoleh.
"Sinyalnya terputus—" Ikanuri menelan ludah.
"Tung-tong-teng-tong....  Kereta  ekspres  menuju  Swiss  Benin  nomor  12  dibatalkan  karena
alasan  cuaca  buruk.  Badan  metereologi  meramalkan  akan  turun  hujan  lebat  di  selatan  Swis.
Kemungkinan  longsor.  Penumpang  bisa  melapor  ke  loket  penjualan  tiket  kami  untuk  full-refund,  atau  meminta  klaim  kamar  hotel  jika  memutuskan  untuk  menunggu  kereta  besok
pagi. Seluruh staf dan manajemen Trenitalia, dengan rendah  hati meminta maaf..."
"Ini semua gara-gara sepak-bola sialan itu, bah!" 
Ikanuri bersungut-sungut. Menyeret kopernya.
"Andaikata Kak Laisa ada di sini, kau pasti sudah dipukulnya dengan sapu lidi berkali-kali!"
Wibisana  menarik  nafas  pendek,  memperlamban  langkah  kaki,  papan  elektronik  yang
bertuliskan  angka  9  (peron  tujuan  Paris,  Perancis  lewat  Pegunungan  Alpen,  Swiss)  sudah  di
depan  mereka. Mencoba untuk  lebih rileks.  Ada  gunanya  juga setelah  setengah  jam terakhir
terburu-buru, mereka tidak terlalu terlambat, masih ada waktu lima menit lagi.
www.rajaebookgratis.com
Tadi  keluar  dari  Bandara  Roma  amat  terburu-buru.  Meneriaki  taksi  terburu-buru.
Memaksa  sopir  taksi  (yang  keturunan  India  itu)  untuk  terburu-buru,  ngebut  menuju  stasiun
kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis setengah jam lagi Final Piala Champion di Stadion
Olimpico,  penduduk  kota  Roma  sudah  dari  tadi  duduk  manis  di  stadion  atau  depan  teve
masing-masing.  Sialnya,  meski  lengang,  di  mana-mana  ada  konsentrasi  massa  yang  bersiap
nonton  bareng  lewat  layar  teve  raksasa.  Mending  nontonnya  di  lapangan,  ini  justru  digelar
persis di tengah-tengah perempatan jalan.
Benarlah  adigum  itu,  bagi  penduduk  Roma,  sepak  bola  sudah  jadi  agama.  Jadi,  terpaksa
taksi  berputar-putar  mencari  jalan  yang  perempatannya  tidak  vorbodden.  Itu  sama  saja
menyisir seperempat kota Roma dengan kecepatan tak kurang 70 mil per-jam.
"Aca, aca, ini lewat mana, hei?" 
Sopir India itu juga ikutan panik dengan teriakan-teriakan Ikanuri.
Setelah  berpikir  lima  belas  detik  di  depan  gadis  penunggu  counter  biro  perjalanan,
Wibisana  akhirnya  memutuskan  untuk  segera  ke  Paris.  Itulah  pilihan  terbaik  yang  ada.
Memutuskan  ke  Paris  dengan  menumpang  kereta  ekspres  lintas  negara,  Eurostar.  Soal
perjalanan  menggunakan  kereta  api,  benua  Eropa  nomor  satu.  Di  sini,  untuk  mengililingi
Eropa,  kalian  cukup  menumpang  kereta  lintas  negara.  Kabin  kereta  yang  nyaman,  bisa
sekalian jadi hotel tempat beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot melewati
pemeriksaan  paspor  dan  visa  setiap  kali  melintasi  perbatasan.  Ke  sanalah,  Ikanuri  dan
Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.
"Dipukul Kak Laisa berkali-kali? Maksudmu?" 
Ikanuri  balik  bertanya,  sedikit  bingung  dengan  kalimat  kakaknya  barusan.  Wajahnya  masih
tegang sejak dari bandara tadi.
Wibisana tertawa kecil, berusaha lebih santai, 
"Kau sudah tiga kali memaki setengah jam terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa tahu, itu
berarti sembilan kali pukulan sapu lidi —" Ikanuri nyengir. Mengerti kalau Wibisana sedang
bergurau  soal  masa  kecil  dulu.  Terus  melangkah.  Mereka  akhirnya  tiba  di  depan  pintu
gerbong kereta. Lampu peron berpendar-pendar menawan.
"Tiketnya, Senior—"
Wibisana menyerahkan tiket ke penjaga.
"Paspor dan Visanya, Senior—"
Ikanuri   menarik   travel-binder.   Tidak   banyak   cakap menyerahkan dokumen perjalanan,
meski  tadi  sebenarnya  di  pintu  gerbang  stasiun  juga  sudah  diperlihatkan  kepada  petugas
imigrasi.
"Indonesia, Senior? Ah, saya tahu Pulau Bali. Cantik, bukan?"
Wibisana dan Ikanuri mengangguk. Malas bicara.
"Jika  sempat  suatu  saat  saya  hendak  ke  sana,  berlibur,  menghabiskan  masa  pensiun....  Wah,
kalian  jauh-jauh  dari  Indonesia,  tapi  tidak  untuk  menyaksikan  pertandingan  final  Liga
Champion  Juventus-Manchester United, Senior?" Penjaga itu berbasa-basi.
Ikanuri kali ini benar-benar menggeleng tidak peduli.
"Ah  saya  mengerti,  tim  sepakbola  negara  Anda  tidak  terlalu  bagus,  tidak  menarik  untuk
ditonton, tapi di sini beda, senior...."
Ikanuri mendesis sebal; buruan periksa tiketnya.
"Selamat  menikmati Eurostar, Senior. Semoga nyaman. Asal kalian tahu, gara-gara final  itu,
malam  ini  kami  hanya  punya  tujuh  penumpang….  Kecuali  jadwal  kereta  setelah  selesai
pertandingan; nah yang itu baru full-booked!" Penjaga itu tertawa lebar, mengembalikan tiket
ke Wibisana.
Pintu otomatis kereta berdesis terbuka nyaris tanpa suara.
Ikanuri dan  Wibisana tak terlalu  mendengarkan tawa riang penjaga  itu, sudah  membawa
koper masuk. Melangkah di sepanjang lorong. Mencari nomor kabin mereka. Melihat interior
www.rajaebookgratis.com
kereta,  mereka  segera  menyadari,  setidaknya  kereta  ini  lebih  dari  cukup  untuk  beristirahat
setelah  penerbangan  belasan  jam.  Menurut  gadis  penjaga  counter  tadi,  butuh  waktu
setidaknya  dua  belas  jam  untuk  tiba  di  Paris,  Perancis.  Melewati  setidaknya  dua  ibukota
negara-negara  eksotis  Eropa.  Andai  saja  situasinya  lebih  baik,  mungkin  ini  bisa  jadi
perjalanan  hebat,  bisa  menjadi  trip  perayaan  atas  suksesnya  kesepakatan  bisnis  dengan
produsen mobil balap itu.
Ikanuri  menghela  nafas,  teringat  telepon  yang  terputus  barusan,  pelan  melemparkan
kopernya  ke  kursi.  Wibisana  menutup  pintu  kabin.  Juga  memikirkan  hal  yang  sama.  Tapi
lupakan! Lupakan soal pertemuan di Piaza de Palozzo besok pagi. Lupakan soal kesepakatan
bisnis  itu,  meski  mereka  butuh  bertahun-tahun  untuk  mendapatkan  kesempatan  tersebut.  Itu
bisa  diurus  nanti-nanti,  jika  masih  sempat.  Jika  produsen  itu  belum  keburu  memilih  partner
bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah Lahambay jauh lebih penting.
Itu benar-benar jauh lebih penting.
 
8
KAU ANAK LELAKI
ANAK KECIL berumur dua belas tahun itu sedang sibuk menyusun balok-balok   bambu   di
pinggir  sungai  yang  mengalir  deras.  Mukanya  serius.  Mulutnya  sedikit  terbuka.  Kepalanya
terus  berpikir.  Sekali,  dua  kali,  tiga  kali,  berkali-kali,  dia  menyusun  ulang  balok-balok  itu.
Jatuh,  disusun  kembali.  Gesit.  Terampil  tangannya  mengikatkan  tali  rotan.  Memukul  ujung
bambu  dengan  batu  agar  melesak  lebih  dalam  ke  tepi  sungai.  Cahaya  matahari  pagi  yang
meninggi menyinari Wajahnya.
Herhenti  sejenak.  Menyeka  keringat.  Lantas  beranjak  ke  tepi  sungai.  Mengambil  kincir
yang  tersandar  di  cadas  batu  setinggi  lima  meter.  Kincir  dari  batang  bambu  itu  benar-benar
seadanya.  Jauh  dari  kokoh.  Tapi  itulah  usaha  terbaiknya.  Sudah  seminggu  terakhir  dia
sembunyi-sembunyi  membuatnya.  Selepas  pulang  sekolah.  Selepas  membantu  Mamak
Lainuri dan Kak Laisa di ladang. Kapan saja ada waktu luang. Dia akan berlari ke tubir cadas
sungai. Mengerjakan proyek rahasianya jadi bagaimanalah akan kokoh dan baik bentuknya.
Kakinya  sedikit  bergetar  membawa  kincir  yang  lumayan  besar  untuk  anak  dua  belas
tahun seumurannya. Arus air sungai yang deras membuatnya semakin sulit melangkah. Hati-hati kincir itu diletakkan di atas susunan balok bambu. Anak itu menghela nafas lega. Tinggal
memperbaiki  posisinya.  Akhirnya  satu  kincir  terpasang  sudah.  Celananya  basah.  Bajunya
juga  basah.  Sedikit  belepotan  tanah  liat  cadas  sungai.  Dia  melangkah  ke  pinggir  sungai.
Tersenyum senang melihat pekerjaannya. Kincir itu mulai bergerak pelan mengikuti arus air.
Dan  bumbung  kosong  bambu  yang  dibuat  sedemikian  rupa  mulai  berputar,  mengalirkan  air
sungai  ke  atas.  Tumpah  saat  tiba  di  putaran  tertingginya.  Berhasil!  Anak  kecil  itu
menyeringai  lebar.  Masih  perlu  setidaknya  empat  kincir  lagi  hingga  akhirnya  tiba  di  atas
cadas sana, pagi ini dia harus menyelesaikan dua di antaranya. Dengan demikian, setidaknya
dia  bisa  membuktikan air-air  ini  bisa dibawa ke atas dengan  lima kincir  bersambung. Bukan
dengan  kincir  raksasa  yang  selama  ini  selalu  dianggap  solusi  terbaiknya.  Dia  beranjak
memasang pondasi balok-balok bambu berikutnya di dinding cadas.
Kali  ini  jauh  lebih  sulit.  Cadas  itu  keras  untuk  dihantam  meski  dengan  ujung  bambu
runcing  sekalipun.  Berkali-kali  ujung  bambunya  penyok.  Terpaksa  dipampas  lagi  dengan
golok.  Setengah  jam  berlalu,  pondasi  sederhana  di  dinding  cadas  sungai  itu  akhirnya  jadi.
Kali  ini  benar-benar  lebih  sulit  memasangkan  kincir  kedua  yang  tersandar  di  dinding  cadas.
Berat.  Tidak  mudah  mengangkatnya.  Tidak  kehabisan  akal,  anak  kecil  itu  mengambil  tali
rotan  yang  telah  disiapkannya.  Menyangkutkan  ujung-ujungnya  di  salah  satu  pohon  besar
lima meter di atas cadas. Lantas pelan-pelan menarik kincir itu ke atas.
Matahari  sudah  benar-benar  tinggi  ketika  ia  berhasil  meletakkan  kincir  itu  di  pondasi
dinding  cadas.  Bajunya  penuh  oleh  licak  lumpur.  Berhenti  sejenak.  Sekali  lagi  tersenyum
www.rajaebookgratis.com
riang  melihat  pekerjaannya.  Lantas  melangkah  ke  sungai  yang  mengalir  jernih.  Berusaha
membersihkan muka dan tubuh yang kotor. Saat itulah, saat dia sekalian menyelam di sungai
sedalam pinggang  itu, saat asyik  menikmati sejuknya arus deras  sungai, terdengar gemerisik
dedaunan diinjak dari jalan setapak mulut rimba. Mengangkat kepala.
"DALIMUNTE! APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?" 
Tanpa tedeng aling-aling teriakan itu meluncur, menyergap.
Dalimunte,  nama  anak  kecil  berumur  dua  belas  tahun  itu  seketika  gagap.  Kak  Laisa
bersama  Yashinta,  muncul  dari  gerbang  jalan  setapak  hutan  belantara,  turun  ke  anak  sungai
yang mengalir deras.
"BUKANNYA kau seharusnya ada di sekolah, Dali? Apa yang kau lakukan di sini?" 
Kak  Laisa  mendesis galak,  melangkah  mendekat. Seram  benar  melihat tampangnya. Bahkan
Yashinta  yang  sepanjang  perjalanan  pulang  tadi  hatinya  berbunga-bunga,  ikut-ikutan  takut
mendengar seruan Kuk Laisa. Berdiri mengkerut di belakang Kak Laisa.
"Ee,ee, Dalimunte sakit, Kak!" Anak lelaki itu menyeringai, terdesak, sembarang mengarang.
Meniru kelakuan dua adik  lelakinya  yang  memang jago ngarang kalau sudah ketahuan salah
begini.
"BOHONG! Sakit apa?" Kak Laisa melotot. Semakin dekat.
"Errgh, pilek...."
"Bagus sekali! Pilek, pilek tapi kau main air!" 
Kak Laisa menukas tajam, tangkas menyambar ranting yang kebetulan hanyut di dekat kaki-kaki mereka, dan tentu saja ranting itu gunanya buat menunjuk-nunjuk dada Dalimunte.
"Sejak kapan kau berani bolos sekolah, hah?" 
Kak Laisa menghardik.
Dalimunte  mencicit  Aduh,  dia  pikir  Kak  Laisa  dan  Yashinta  bakal  lama  lihat  berang-berangnya.  Dia  pikir  akan  cukup  waktu  mengerjakan  kincir-kincir  ini  sebelum  Kak  Laisa
kembali.  Ternyata  perhitungannya  keliru.  Dia  memang  sudah  tak  sabar  menunggu  waktu
senggang  menyelesaikan  pekerjaan  yang  sudah  direncanakan  dan  dikerjakannya  berbulan-bulan.  Mumpung  Kak  Laisa  pagi  ini  tidak  ada  di  rumah  untuk  mengawasi.  Makanya
memutuskan  bolos  sekolah.  Selama  ini  sedikitpun  tidak  tersedia  waktu  yang  cukup  untuk
menyelesaikan kincir-kincirnya. Lepas sekolah dia langsung keladang. Hari ahad juga begitu,
sepanjang hari harus ke ladang. Padahal pertemuan di Balai Desa dilakukan besok pagi.
"Kalau kau bolos, berarti Ikanuri dan Wibisana juga bolos!" 
Kak Laisa bertanya menyelidik, menusuk dadanya lebih keras.
Dalimunte  meringis.  Soal  itu  tidak  usah  ditanya  lagi,  meski  ada  Kak  Laisa  sekalipun
Ikanuri  dan  Wibisana  rajin  bolos,  apalagi  jika  Kak  Laisa  tidak  ada.  Lebih  berani  melawan.
Tadi pagi sih mereka bertiga pamitan ke Mamak, memakai seragam, menuju sekolah di desa
atas. Tapi  baru  tiba  di  pertigaan  jalan  bebatuan  selebar  tiga  meter  itu,  Ikanuri  dan  Wibisana
sudah kabur duluan, naik starwagoon tua yang kebetulan lewat ke kota kecamatan. Dalimunte
sebenamya jauh lebih nurut. Dia meski terkadang bosan sekolah, tapi tidak pernah membolos.
Tadi  pagi  saja,  butuh  waktu  sepuluh  menit  di  pertigaan  itu  hingga  akhirnya  dia  berani
memutuskan untuk ikut membolos. Menyelesaikan kincir airnya.
"Apa yang kau kerjakan di sini? JAWAB!" 
Kak Laisa menghardik  lagi. Lebih kencang. Mengkal karena yang diteriaki sejak tadi malah
menunduk bengong.
Dalimunte hanya diam.  Menelan ludah. Tetap menunduk.
"APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?"
Dalimunte membisu.
"KAU  ANAK  LELAKI  DALIMUNTE!  Anak  lelaki  harus  sekolah.  Akan  jadi  apa  kau  jika
tidak  sekolah?  Pencari  kumbang  di  hutan  sana  seperti  orang  lain  di  kampung  ini?  Penyadap
damar?  Kau  mau  menghabiskan  seluruh  masa  depanmu  di  kampung  ini?  Setiap  tahun
www.rajaebookgratis.com
berladang  dan  berharap  hujan  turun  teratur?  Setiap  tahun  berladang  hanya  untuk  cukup
makan! Kau mau setiap tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang
ladang? Hah, mau jadi apa kau, Dalimunte?"
Yashinta  yang  berdiri  di  belakang  Kak  Laisa  ikut  tertunduk.  Hilang  sudah  semua
kesenangannya  setelah  melihat  anak  berang-berang.  Yashinta  memainkan  caping
anyamannya  pelan-pelan.  Menggigit  bibir.  Kalau  Kak  Ikanuri  dan  Kak  Wibisana  yang
dimarahi,  Yashinta  tidak  terlalu  sedih.  Mereka  memang  bandel.  Tapi  kalau  Kak  Dalimunte
yang dimarahi?  Kan,  Kak Dalimunte selalu  baik. Membantu Mamak. Membantu Kak Laisa.
Suka  membuatkan  Yashinta  mainan.  Yashinta  ingin  menyela,  membujuk  Kak  Laisa  agar
berhenti, tapi melihat muka Kak Laisa yang merah padam macam kumbang membuat niatnya
urung.
"Kau  tahu!  Mamak  setiap  hari  ke  ladang!  Setiap  sore  ke  hutan  mencari  damar!
Mengumpulkan  uang  sepeser  demi  sepeser  agar  kalian  bisa  sekolah!  Lantas  apa  yang  kau
berikan sebagai rasa terima kasih? BOLOS SEKOLAH!! BERMAIN AIR??"
Dalimunte  tertunduk  dalam-dalam.  Menyeka  matanya  yang  tiba-tiba  panas,  berair.  Dali
tidak sedang bermain air, Kak Lais. Sungguh —
"KAU  BENAR-BENAR  TIDAK  TAHU  MALU!  MAU  JADI  APA  KAU  KALAU  BESAR
NANTI??"
Tidak.  Kak  Lais  keliru.  Dali  mengerti  benar.  Mamak  sudah  bekerja  keras  demi  mereka.
Mengerti benar Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kanak-kanak dan remajanya agar bisa
membantu  Mamak  setiap  hari  tanpa  lelah  demi  adik-adiknya  sekolah.  Dalimunte  menyeka
matanya. Menangis, rusukan ranting  Kak Laisa di dada terasa sakit sekali, tapi  hatinya  lebih
sakit  lagi.  Sungguh  dia  tidak  bolos  demi  sesuatu  yang  percuma.  Dia  tidak  sedang  main  air.
Tapi dia tidak bisa menjelaskannya.
"KAU DENGAR KATAKU?!" Dalimunte terisak, mengangguk.
"PULANG!  PULANG  SANA!!"  Kak  Laisa  keras  memukul  lengan  Dalimunte  dengan
ranting. Yang dipukul menyeka hidungnya yang kedat. Sakit. Tangannya terasa pedas, perih.
Tapi hatinya tertusuk lebih sakit. Dia tahu. Tentu saja dia tahu, Dalimunte melangkah pelan,
menyusuri inang sungai.
Kak  Laisa  sekarang  menatap  tajam  Yashinta.  Tanpa  perlu  di  teriaki  dua  kali,  Yashinta
buru-buru  melangkah,  mengikuti  Dalimunte  dari  belakang.  Menuju  tepi  sungai.  Menaiki
tangga  dari  kayu  setinggi  lima  meter  itu.  Kampung  mereka  terpisah  dari  hutan  oleh  cadas
setinggi  lima  meter  itu. Tiba di  hamparan semak  belukar,  berjalan tiga ratus  meter  lagi  baru
akan  tiba  di  perkampungan.  Atap  seng  yang  sudah  karatan  dari  rumah-rumaah  panggung
penduduk  terlihat  berbaris.  Seadanya.  Yang  paling  ujung,  yang  paling  tua,  dan  yang  paling
kecil, itulah rumah mereka.
"Sakit, Kak?" 
Yashinta  yang  berjalan  dibelakang  Dalimunte  berbisik  pelan,  berusaha  mensejajari  langkah
kakaknya. Kak Laisa berjalan sepuluh meter di belakang mereka. Masih mengawasi galak.
Dalimunte hanya mengangguk. Matahari semakin terik. Dikejauhan suara elang mengitari
rimba terdengar gagah. Satu bunga rumput terbang, hinggap di dahi Yashinta—
"Nanti Yashinta kasih minyak urut—" 
Yashinta berbisik pelan, mengambil bunga rumput di dahinya. Dalimunte mengangguk lagi.
Senyap.  Angin  lembah  membuat  ujung-ujung  semak  bergoyang.  Terasa  menyenangkan.
Caping anyaman Yashinta bergerak-gerak.
"Anak berang-berangnya ketemu?"
Dalimunte bertanya pelan.
Giliran Yashinta yang mengangguk.
"Lucu?"
Yashinta mengangkat dua jempolnya, 
www.rajaebookgratis.com
"Top banget, deh!"
Dalimunte  tersenyum  tipis,  meski  kemudian  meringis  lagi,  lengannya  yang  tadi  dipukul
terasa perih. Mereka terus berjalan  menyusuri  jalan setapak, tanpa bercakap-cakap  lagi.  Kak
lisa terus melotot di belakang.
Matahari hampir tiba di puncaknya. Terik membakar lembah.
Ah,  meski  belum  satupun  yang  menyadarinya,  hari  ini  garis  kehidupan  masa  depan
mereka  yang  cemerlang  sudah  dimulai.  Hari  ini,  garis  kehidupan  sederhana  dan  apa  adanya
milik  mereka  mulai  menjejak  masa-masa  depan  yang  gemilang.  Anak-anak  terbaik  dari
Lembah Lahambay. Anak-anak yang mengukir indahnya perjuangan hidup, Yashinta dengan
berang-berangnya,  Dalimunte  dengan  kincr  airnya.  Ikanuri  dan  Wibisana,  entah  dengan
apanya. Dan Kak Laisa dengan segala pengorbanannya.
Lihatlah,  meski  Dalimunte  tidak  sempat  menyaksikannya  sendiri,  kincir  airnya  ternyata
sempurna  bekerja.  Air  itu  perlahan  bergerak  naik.  Dari  kincir  pertama.  Naik  terus  ke  atas,
berputar  seiring  arus  air  sungai  memutarnya.  Tumpah.  Langsung  disambar  kincir  air  yang
kedua.  Kincir  air  yang  kedua  itu  lantas  bergerak  pelan.  Berkereketan.  Pondasinya  bergetar.
Tapi pelan mulai berputar, air itu naik lagi, berputar terus.
Tumpah....
Masih butuh tiga kincir air lainnya di cadas itu.
 
"Bi, kenapa Abi tiba-tiba jadi pendiam?" Intan menarik ujung kemeja Dalimunte, 
"Sakit gigi, yee?" Nyengir lebar.
Dalimunte  mengusap  wajahnya.  Tersadarkan  dari  kenangan.  Menatap  keluar  jendela
pesawat.  Hamparan  awan  menggumpal  putih  nremenuhi  sekeliling.  Mereka  berada  di
ketinggian 30.000 kaki.
"Abi masib marah gara-gara hamster Intan, ya?"
Dalimunte   perlahan   menggeleng,   lembut   mengusap kuncir rambut putrinya. Tersenyum.
Tentu  saja  tidak.  Hamster  belang  itu  sekarang  pasti  mendekam  gelisah  di  ruang  kargo
pesawat. Dulu, putrinya suka sekali  menyelundupkan  hamster dalam  saku  bajunya. Lolos di
pintu  pemeriksaan.  Maka  hebohlah  pesawat  itu  saat  hamster  belangnya  ternyata  menyelinap
turun, lantas  masuk ke salah satu kotak makanan  yang dibawa pramugari untuk penumpang.
Loncat. Berlarian di dalam pesawat yang sedang terbang persis di atas lautan.
"Kamu sekarang bawa gelang karetnya, sayang?" 
Dalimunte  merubah  posisi  duduknya,  bertanya  lembut.  Ah,  seharusnya  dia  bisa  lebih  rileks
sekarang, mereka sudah duduk nyaman di atas pesawat.
"Bawa. Memangnya kenapa, Bi?"
"Abi minta satu lagi—"
Intan  tertawa,  mengambil  tas  sekolah  di  bawah  kakinya,  mengeluarkan  satu  gelang.
Menjulurkan gelang itu. Dalimunte hendak mengambil dari tangan putrinya. Tapi Intan tidak
melepaskan gelangnya.
"Abi bayar dulu lima ribu!"
Dalimunte tertawa kecil, mengeduk saku celananya, kosong.
"Minta sama, Ummi!"
Ummi ikut tertawa, mengeluarkan tas tangannya.
Seharusnya  perjalanan  ini  menyenangkan.  Mereka  hampir  setiap  dua  bulan  sekali
berkunjung  ke  perkebunan  strawberry  Mamak  Lainuri.  Dan  itu  selalu  menjadi  perjalanan
yang menyenangkan. Berkumpul bersama yang lain. Apalagi Intan, menikmati benar menjadi
kakak-kakak  bagi  Juwita  dan  Delima  (maksudnya  menikmati  merintah-merintah  mereka).
Menikmati  masakan  Wak  Laisa.  Berjalan  keliling  kebun  bersama  Eyang  Lainuri,  atau  yang
lebih seru Iagi, ikut Tante Yashinta melihat berang-berang di pagi buta.
www.rajaebookgratis.com
Tadi  mereka  amat  terlambat  datang  di  bandara.  Seharusnya  pesawat  itu  sudah  take-off
lima  belas  menit  lalu.  Tapi  kolega  peneliti  Dalimunte  yang  mengerti  situasinya  berbaik  hati
menelepon kantor pusat maskapai penerbangan tersebut dari lab. Hari ini, pakar fisika ngetop
seperti Profesor Dalimunte sudah seperti selebritis saja, apalagi salah satu petinggi maskapai
itu  sama  persis  dengan  Headmaster  Miss  Elly,  fans  berat  Profesor  Dalimunte,  maka  mereka
berbaik  hati  menunda  penerbangan.  Toh,  penumpang  lain  tidak  berkeberatan  setelah  tahu
yang naik ke pesawat terakhir adalah Profesor Dalimunte.
"Eh,  Ummi  sudah  telepon  Eyang  Lainuri  kalau  kita  mau  datang?  Biar  Eyang  masak  yang
banyak. Masakan kesukaan Intan: rebung bakar!" 
Intan nyengir. 
Teringat sesuatu.
Ummi tersenyum simpul, bagi putrinya kunjungan ini mungkin tidak jauh berbeda dengan
kunjungan-kunjungan sebelumnya. Mengangguk.
"Tapi mengapa mendadak benar, Mi?" 
"Mendadak apanya?"
"Kita  pulang!  Kenapa  mendadak  benar?  Orang  kalau  mau  hujan  saja  ada  guntur-geledeknya..."
"Wak Laisa sakit, sayang—" 
Dalimunte yang menjawab, setelah menghela nafas. Cepat atau lambat Intan akan tahu.
"Sakit? Mana bisa Wak Laisa sakit?" 
Mata Intan membesar, sedikit pun tidak percaya. Kan, Wak Laisa tuh terlihat tambun. Gemuk
meski  gempal.  Mana  bisa  sakit?  Lah,  Abi  saja  tidak  kuat  gendong  Intan  naik  tangga  kayu
cadas sungai. Hanya Wak Laisa yang kuat gendong. Jadi mana bisa sakit?
"Bukannya sebulan lalu Wak Laisa sehat walafiat, Bi?" 
Intan menggaruk rambutnya. Sok berpikir. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja.
Dalimunte menatap datar wajah putrinya yang amat ingin tahu. Itulah yang Abi juga tidak
mengerti,  sayang.  Sebulan  lalu  Wak  Laisa  memang  terlihat  sehat.  Hanya  sedikit  pucat.  Soal
pucat, sudah sejak dulu Kak Laisa memang sedikit pucat. Tapi ia masih sibuk bekerja. Sibuk
dengan  keseharian.  Tidak  pernah  mengeluh,  bahkan  sejak  mereka  masih  kecil  dulu.  Tidak
pernah  sakit.  Kak  Laisa  selalu  sigap  dan  disiplin  menghadapi  rutinitasnya.  Jadi  mana
mungkin  Kak  Laisa  sakit?  Tapi  SMS  dari  Mamak  Lainuri  pasti  serius.  Benar-benar  serius.
Dalimunte menelan ludah, mengusap lembut rambut putrinya.
Dokter  bilang  mungkin  minggu  depan,  mungkin  besok  pagi,  boleh  jadi  pula  nanti
malam.... 
Bagaimana mungkin kalimat itu tidak serius?
 
9
CRAYON 12 WARNA
ANGIN MALAM bertiup lembut.
Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu.
    Malam  beranjak  datang.  Rumah  panggung  kecil  itu  akhirnya  lengang,  setelah  sejak
maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya suara burung hantu dari kejauhan
yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang
menunjukkan berjuta formasinya. Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih
banyak lagi rasi yang tidak memiliki nama.
Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut.
Kak  Laisa  setiba  di  rumah  panggung  langsung  menyiapkan  bekal  makanan  seadanya,
kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama Dalimunte —yang tetap lebih banyak
berdiam diri setelah dimarahi di sungai tadi,  menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak
ke  ladang…  Kata  Mamak  ia  masih  terlalu  kecil.  Ladang  itu  tidak  jauh  hanya  satu  kilo  dari
www.rajaebookgratis.com
kampung.  Seperti  tetangga  lainnya,  Mamak  bertanam  padi.  Musim  ini  kabar  baik,  hujan
datang  teratur.  Maksudnya,  saat  nugal  (masa  tanam)  hujan  turun,  saat  akan  panen  seperti
sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal
panen karena busuk.
Menjelang  ashar  Mamak  Lainuri,  Kak  Laisa  dan  Kak  Dalimunte  pulang.  Biasanya
Mamak  langsung  ke  hutan,  menghabiskan  dua  jam  sebelum  maghrib  mencari  damar,  rotan,
atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian
tadi  siang,  jadi  wajah  Mamak  terlihat  marah  sepanjang  sore.  Mamak  sebenarnya  tidak  suka
marah.  Lebih  banyak  berdiam  diri.  Melotot,  dan  anak-anaknya  langsung  mengerti.
Bagaimanalah  Mamak  akan  sempat  marah?  Mamak  sudah  terlanjur  lelah  dengan  jadwal
harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula aren, menyiapkan keperluan
ladang.  Lantas  berangkat  ke  ladang.  Nanti,  baru  lepas  isya,  setelah  anak-anaknya  tidur  baru
bisa istirahat. Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah.
Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan
Wibisana  sekaligus  bolos  sekolah,  kasus  bolos  itu  sudah  biasa.  Sudah  bebal  dua  sigung  itu
diceramahi Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah.
Selama ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah.
Pulang  sebelum  lembah  gelap.  Tapi  apa  yang  dilakukan  mereka  seharian  ini?  Mereka  baru
pulang  setelah  yang  lain  selesai  shalat  maghrib.  Ikanuri  dan  Wibisana,  berani  sekali  ikut
menumpang  mobil  starwagoon  tua  ke  kota  kecamatan,  membantu  tauke  desa  atas  menjual
sayur-mayur di sana.
Mereka  pulang  sambil  tersenyum  lebar  membawa  bungkusan  dari  kota,  upah  kerja
seharian,  tapi  Mamak  tidak  peduli.  Terlanjur  marah.  Maka  kena  omellah  Ikanuri  dan
Wibisana.  Tentang  mau  jadi  apa  mereka?  Sekolah!  Sekolah  jauh  lebih  penting  daripada
bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah
itu  menyenangkan?  Hanya  karena  menyadari  adzan  isya  akan  segera  berkumandang  dari
suraulah omelan Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib!
lantas  makan  bersama  di  hamparan  tikar.  Lebih  banyak  berdiam  diri.  Padahal  Kak  Laisa
masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak
cukup membantu suasana.
Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di surau; dan kali ini
dua  sigung  nakal  itu  menurut  barulah  ruang  tengah  rumah  panggung  itu  terasa  lebih  lega.
Lampu  canting  besar  di  dinding  kerlap-kerlip.  Ikanuri  dan  Wibisana  belajar  di  atas  tikar
pandan. Membaca, entah benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi.
Mereka sekali dua saling  berbisik pelan, 
"...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..." 
"...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...". 
Terdiam saat Mamak menoleh. 
"...lewat jalan itu lebih cepat..."
Yashinta  asyik  menggambar  berang-berangnya  tadi  pagi.  Dalimunte  entah  mengerjakan
apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan Mamak duduk di sebelah
Yashinta, menganyam topi pesanan.
Malam beranjak matang.
"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?" 
Yashinta  mendadak  menghentikan  gerakan  tangannya,  menoleh  ke  Kak  Laisa.  Ia  teringat
kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik,
"Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?"
Yashinta  bertanya  sekali  lagi,  ragu-ragu.  Ah,  kalau  ia  sekolah,  Mamak  dan  Kak  Laisa  pasti
lebih repot lagi mencari uangnya.
www.rajaebookgratis.com
"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini Yashinta masuk sekolah!" 
Mamak Lainuri yang menjawab.
Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak mengangguk selintas, tetap
konsentrasi  menganyam.  Yashinta  sudah  tersenyum  riang.  Tadi  kan,  Kak  Laisa  bilang  anak
lelaki  harus  sekolah.  Kalau  anak  perempuan?  Lihat,  Kak  Laisa  kan  anak  perempuan.
Makanya  ia  tidak  sekolah.  Yashinta  berpikiran  pendek.  Jadi  dipikirkan  sepanjang  hari.  Ia
tidak tahu kalau sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar
adik-adiknya bisa sekolah.
Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah.
Biasanya, kalau bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana otomatis akan nyeletuk
sama seperti tadi pagi, 
"Memangnya asyik sekolah?" 
Tapi karena  mereka  berdua  malam  ini  lagi  alim,  mereka  hanya  sibuk  belajar,  berbisik-bisik.
Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?" 
Yashinta  menghentikan  gerakan  tangannya  lagi.  Menyeringai  sambil  menyodorkan  kertas
gambarnya,
Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta menyeringai senang,
kan  jarang-jarang  Kak  Laisa  tersenyum.  Mamak  Lainuri  juga  beranjak  mendekat  melihat
gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta  memang  berbakat  melukis. Meski  hanya dengan
pensil,  gambarnya  tetap  bagus.  Lima  berang-berang  itu  terlihat  begitu  nyata.  Andai  saja  ia
bisa membelikan putri bungsunya crayon  warna.  Mamak menghela nafas pelan, meneruskan
menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.
Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius kembali lagi ke buku.
Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah membuat apa.
    Sejurus,  Yashinta  menguap.  Beranjak  membereskan  pensil  dan  kertas  gambar.  Sudah
hampir  pukul  21.00.  Saatnya  tidur.  Hanya  ada  satu  kamar  di  rumah  panggung  itu.  Mamak,
Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan
Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya, Ikanuri lupa —" 
Entah  kenapa  Ikanuri  tiba-tiba  bangkit  dari  belajarnya.  Semua  menoleh.  Langkah  Yashinta
tertahan.
Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke
Yashinta.
"Buat, Yashinta!"
" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap.
"Buka saja—" 
Ikanuri nyengir.
Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali,  membuka  ikatan kantung plastik kecil. Sekejap
terdiam  memegang  kotak  berwarna  itu.  Seperti  tidak  percaya.  Satu  detik.  Dua  detik.  Lantas
berseru senang sekali.
"CRAYON 12 WARNA—" 
Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya. 
"TERIMAKASIH, KAK!"
Ah,  malam  itu,  di  tengah  sejuknya  angin  malam  menilisik  lubang.-lubang  dinding.  Di
tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak Lainuri setelah seharian
bekerja,  setelah  sepanjang  malam  mengkal  melihat  ulah  anak  lelakinya,  akhirnya  bisa
tersenyum lebar. Juga  Kak Laisa....
 
www.rajaebookgratis.com
"Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"
Dalimunte  yang  mendorong  koper  sepanjang  lorong  garbarata  pesawat  mengangguk
pelan. Ummi berjalan di belakang.
Asyik.  Asyik.  Kalau  begitu  ia  bisa  lihat-lihat  kamera  keren  Tante  Yashinta.  Lihat-lihat
foto yang  indah. Dulu waktu Intan  masih kecil, Tante Yashinta  yang suka  ngajarin  melukis.
Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah.
"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?" 
Dalimunte  mengangguk  lagi.  Teringat  sesuatu.  Urusan  ini  benar-benar  membuatnya  tak
sempat  berpikir  panjang.  Bagaimana  mungkin  dia  belum  menghubungi  mereka  satu  pun?
Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa
yang  sedang  dilakukan  adik-adiknya.  Juga  kabar  Kak  Laisa  dan  Mamak  Lainuri  di
perkebunan  strawberry.  Dalimunte  mengeluarkan  HP  dari  sakunya.  Antrian  penumpang
keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.
"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!" 
Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia  bisa  memaksa  mereka  berdua  memakai empat gelang
karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan Oom Ikanuri
dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan.
Dulu  pernah  hamster  belang  Intan  disembunyikan  di  tong  belakang  perkebunan.  Untung
ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama
Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain
Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut
atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun
strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung.
Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang begini sejak tadi dari
sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling
juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin minuman itu.
    
10
PERTEMUAN DI BALAI KAMPUNG
PAGI BERIKUTNYA datang lagi.
Wak  Burhan  mengumandangkan  adzan  shubuh.  Meski  sudah  sepuh,  suara  Wak  Burhan
yang  tanpa  speaker  dari  surau  terdengar  menggema  di  perkampungan  bawah  Lembah
Lahambay.  Dalimunte  terkantuk-kantuk  menarik  sarung  adik-adiknya.  Kerlip  lampu  canting
semakin lemah, minyak tanahnya hampir habis.
"Bangun Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya  menggeliat  sebal.  Menarik bantal. Lantas menutupkannya   ke  
kepala.  Dalimunte  menggosok-gosok  mata,  sedikit  terhuyung  berdiri.  Pagi  ini  penting
baginya.  Sebenarnya  juga  bagi  seluruh  penduduk  kampung.      Seperti    kesepakatan    minggu 
lalu,    bakal      ada  pertemuan  rutin  tahunan  di  balai  kampung.  Membicarakan  soal  panen
ladang-ladang  mereka,  perbaikan  jalan  bebatuan  selebar  tiga  meter  itu,  perselisihan  antar
tetangga  (jika  ada),  perambah  hutan  dari  luar  lembah  yang  semakin  sering  masuk,    hal-hal
kecil.  Dulu,  waktu  Babak  masih  ada,  Babak-lah  jadi  wakil  di  pertemuan,  mereka  bersama-sama datang ke balai kampung. Asyik menyimak pembicaraan.
Dalimunte  menguap sekali  lagi,  melangkah  mengambil kopiah. Mamak sejak  jam empat
tadi  sudah  sibuk  di  dapur,  masak  air  enau,  Ditemani  Kak  Laisa.  Brr...  dingin.  Musim
kemarau,  dinginnya  semakin  terasa  menusuk  tulang.  Tapi  Dalimunte  semangat  shalat  di
surau. Teringat ada hal penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia
nekad bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara  kokok  ayam  hutan  terdengar  dari  kejauhan.  Juga  lenguh  pagi  uwa.  Beberapa
tetangga  membawa  obor  bambu  menuju  surau.  Jalanan  kampung  masih  gelap.  Obor  itu
www.rajaebookgratis.com
sekalian  juga  penerangan  di  surau.  Tidak  banyak  peserta  shalat  shubuh,  paling  berbilang
enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte.
Sekembali  dari  surau,  Ikanuri  dan  Wibisana  masih  tertidur,  saling  membelakangi
punggung,  dengan  kaki-kaki  menyilang.  Dalimunte  nyengir  melihat  posisi  aneh  itu,  malas
membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja.
Siapapun  di  lembah  itu  tahu  persis,  di  sekolah  Dalimunte  dikenal  sebagai  anak  yang
paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte
(meski  untuk  yang  ini  tidak  semua  penduduk  lembah  tahu),  dia  suka  sekali  mengutak-atik
sesuatu.  Diam-diam  melakukannya  di  sela-sela  membantu  Mamak  di  ladang,  Apa  saja.
Menciptakan  alat-alat  yang  aneh.  Seperti  keranjang  aneh  penangkap  udang,  alat  panjang
penyadap damar, dan sebagainya.
Ahad  pagi,  hari  ini  sekolah  libur.  Selepas  Kak  Laisa  meneriaki  Ikanuri  dan  Wibisana
bangun  agar  shalat  shubuh,  sesudah  sarapan  nasi  goreng,  benar-benar  hanya  nasi  yang
digoreng  plus  potongan  cabai  dan  bawang  merah,  mereka  beramai-ramai  berangkat  ke  balai
kampung. Pertemuan rutin warga kampung.
"Kakak bawa apa, sih?" 
Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte.
"Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun—" 
Ikanuri dan Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka jahil
merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte.
Dalimunte tidak mempedulikan.
Balai  kampung  itu  sudah  ramai  saat  mereka  tiba.  Pertemuan  sengaja  dilakukan  sepagi
mungkin,  biar  selepas  acara,  mereka  masih  sempat  bekerja  di  ladang.  Kursi-kursi  bambu
berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh pemuda kampung.
Wak   Burhan,   sesepuh   kampung   berdehem,   setelah memastikan semua warga hadir,
mengetukkan  palu  dari  bonggol  bambu,  segera  memulai  pertemuan.  Warga  kampung  diam
memperhatikan.  Pertama,  mereka  membicarakan  soal  kesepakatan  lumbung  kampung.
Berapa kaleng yang harus disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala
atau  per-hasil  panen.  Lima  belas  menit  penuh  seruan-seruan.  Usul-usul.  Kalimat-kalimat
keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi. Setuju. Beres.
Mamak  Lainuri  menyeka  dahi.  Meski  lima  kaleng  itu  benar-benar  akan  mengurangi
penghasilan  ladang  mereka  yang  tidak  luas,  cadangan  padi  selalu  penting.  Dua  tahun  silam
saat  ladang  mereka  terkena  hama  belalang,  lumbung  kampung  memastikan  perut  anak-anaknya  tetap  kenyang.  Setidaknya  panen  kali  ini  semoga  masih  ada  sisa  buat  membeli
seragam sekolah buat Yashinta.
Lebih  banyak  lagi  waktu  dihabiskan  untuk  membahas  soal  perambah  hutan  dari  daerah
lain,  Seruan-seruan  marah  makin  ramai.  Memaki.  Mengancam.  Wak  Burhan,  yang  masih
terhitung  saudara  Mamak  Lainuri  (dan  juga  warga  kampung  lainnya)  menengahi.  Sepakat
melaporkan soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay
itu  adalah  kawasan  taman  nasional.  Daerah  konservasi.  Hanya  lokasi-lokasi  tertentu  yang
dibolehkan  diolah,  meski  penduduk  setempat  sendiri  kadang  juga  melanggarnya  dengan
menangkapi  uwa, kukang, atau binatang dilindungi  lainnya. Tapi perlakuan perambah  hutan
itu  memang  mencemaskan,  mereka  tega  membawa  senso  (gergaji  mesin)  besar,  dan  tanpa
ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa.
Perbaikan  jalan  bebatuan  tiga  meter  itu  diputuskan  hanya  dalam  hitungan  menit.
Keputusannya  adalah:  Menunggu.  Menunggu  pemerintah  kota  berbaik  hati  sajalah.  Mereka
sudah  terlalu  repot  dengan  kehidupan  sehari-hari  untuk  ditambahi  memperbaiki  jalan
sepanjang  duapuluh  kilometer  itu.  Lagipula  desa-desa  sekitar  mereka  juga  menolak
memperbaikinya,  agar  perambah  hutan  tidak  semakin  sembarangan  masuk  membawa  truk-truk yang akan mengangkuti kayu gelondongan hasil jarahan.
www.rajaebookgratis.com
Membicarakan  perselisihan  batas  ladang,  sepakat  memberikan  tanda  baru  untuk  setiap
batas  kebun.  Jadwal  pengajian  mingguan.  Gotong-royong  perbaikan  tangga  kayu  di  cadas
setinggi  lima  meter  sungai.  Sumbangan  rutin  buat  acara  besar  (Maulid,  Isra  Mi'raj).  Dan
beberapa masalah kecil lainnya.
"Masih ada yang ingin dibicarakan?" 
Dua jam berlalu sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung.
Lengang sejenak.
"Masih ada?" 
Wak Burhan bertanya sekali lagi.
Sepertinya  sudah  selesai.  Tidak  ada  lagi  yang  hendak  melaporkan  sesuatu.  Wak  Burhan
tersenyum,  meraih  pentungan  dari  bongkol  bambu,  bersiap  menutup  pertemuan.  Saat  itulah,
saat  penduduk  kampung  menggeliat  santai  karena  pertemuan  sudah  selesai,  saat  mereka
beranjak  merapikan baju  yang terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya
ragu-ragu, tapi karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil
menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi,
Muka-muka tertoleh.
Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai?
Mamak  Lainuri  mengernyitkan  dahi.  Kak  Laisa  yang  merasa  ganjil,  menyikut  bahu
Dalimunte  yang  duduk  di  sebelahnya.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  sejak  tadi  hanya  jahil
tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti cengirannya. Hanya
mata Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu.
"Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?" 
Wak  Burhan  meletakkan  palu  bonggol  kayunya.  Tersenyum  tipis.  Itu  janggal  sekali,
pertemuan tahunan  itu  meski diikuti oleh  seluruh  penduduk kampung, hanya pria dewasalah
yang bicara. Sisanya menonton.
"Ergh, eee, iya Wak...." 
Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya.
"Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte?" 
Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia mengenal sekali anak
Lainuri  yang  satu  ini.  Rajin  shalat  berjamaah  di  surau.  Masih  anak-anak.  Tapi  siapa  bilang
dia  masih  anak  ingusan  umur  dua  belas  tahun.  Sejak  Babak  mereka  meninggal,  anak-anak
Lainuri tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.
"Ergh, sebentar—" 
Dalimunte  dengan  tangan  sedikit  bergetar  membawa  kertas-kertasnya  ke  depan.  Saking
gugupnya, beberapa kertas berjatuhan. Dalimunte patah-patah mengumpulkannya.
Mamak  Lainuri  masih  mengernyitkan  dahi.  Kak  Laisa  menatap  lebih  bingung.  Buat  apa
kertas-kertas itu? Penduduk lain menunggu.
"Ee, maaf kalau, maaf kalau—" 
Dalimunte mengusap dahinya.
"Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!" 
Wak Burhan mengangguk mantap padanya.
Dalimunte  menelan  ludah.  Menatap  Kak  Laisa,  menatap  Mamak  Lainuri.  Menatap
Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya. Lihatlah, adiknya
dengan  bola  mata  membulat  penuh  rasa  ingin  tahu  balas  menatapnya.  Ekspresi  yang  sama
seperti  setiap  kali  Yashinta  diajak  melihat  anggrek  hutan  raksasa.  Atau  melihat  pohon  salak
hutan. Atau melihat sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan
Dalimunte  yang  tiba-tiba  berdiri  di  tengah  balai  kampung.  Yashinta  hanya  ingin  tahu.
Baiklah,  Dalimunte  menekuk  ibu  jari  kakinya,  ini  semua  mudah.  Tersenyum  penuh
penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta.
Maka meluncurlah penjelasan itu—
www.rajaebookgratis.com
"HALLO! HALLO! PROFESOR—" 
Ikanuri  terdengar  berteriak  di  seberang  sana.  Meningkahi  berisiknya  suara  krsk  telepon
genggam.
"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon. Hallo? Hallo? Ya,
kau  dengar?  Aku  sejak  tadi  menelepon  kau.  Tidak  ada  sinyal,  Dali.  Sama  sekali  tidak  ada.
Akhirnya  justru  kau  yang  menghubungi  sekarang.  Bah,  sejak  kapan  kau  memattkan  HP
urusan keluarga?"
"Tadi di pesawat—"
"Apa? Hallo? Oo, pesawat—
Kau sudah di mana?"
Sinyal  sambungan  langsung  internasional  itu  payah,  putus-putus.  Dengan  jeda  waktu
bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang
sana. Juga sebaliknya.
"Kami  persis  di  pegunungan  Alpen,  Swiss.  Ya  ampun,  ini  benar-benar  sialan  semua  urusan
ini—
Ada  longsor  yang  menimbun  jalan  kereta!  SWISS.  Kami  di  SWISS,  bukan  ITALIA,
PROFESOR.  Hallo?  Hallo?  Tidak.  Kami  tidak  berangkat  dari  Roma.  Sepakbola  sialan  ini
membuat  semua  penerbangan  dari  kota-kota  di  Italia  penuh  hingga  dua  hari  ke  depan.
Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS—"
Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak.  Tidak.  Kami  akan  terbang  dari  Paris,  Dalimunte.  Dengan  penerbangan  besok  pagi,
jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang
longsor.  Tanahnya  memenuhi  jalanan  kereta.  Apa?  Sialan.  SUARANYA  PUTUS-PUTUS,
DALIMUNTE!  APA?  Oo-Juwita,  Delima,  dan  Ummi  mereka  sudah  dalam  perjalanan  ke
sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?" 
Ikanuri entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara  di  sini,  sambil  menelepon,  Dalimunte  melangkah  cepat  menuju  lobi  depan
bandara.  Mobil  jemputan  perkebunan  strawberry  sudah  menunggu  sejak  tiga  jam  lalu.
Perjalanan  Jakarta  menuju  ibukota  provinsi  ini  hanya  butuh  satu  jam.  Tujuh  jam  berikutnya
dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan
yang  menantang.  Terpaksa  tiga  kali  ganti  kendaraan.  Satu  kali  menumpang  bus  ke  kota
kabupaten.  Satu  kali  lagi  menumpang  angkutan  pedesaan  terbuka  menuju  kota  kecamatan.
Terakhir  naik  starwagoon  tua  itu  menuju  perkampungan.  Sekarang  tidak  lagi,  sejak
perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh
lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!" 
Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras, 
"Aku  sudah  hampir  sepuluh  kali  menghubungi  telepon  genggam  satelit  Yashinta.  Tidak  ada
sinyal.  APA?  HALLO?  TIDAK  TAHU!  Aku  tidak  tahu!  Tentu  saja  ia  baik-baik  saja,
Dalimunte—"
Kedua kakak-beradik  itu (satu di Italia, satu di sini)  mengernyit  berbarengan. Dalimunte
melipat  dahinya  lebih  lebal,  terlihat  amat  cemas.  Dia  juga  sudah  tiga  kali  mengontak  HP
Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada sinyal.
"Mematikan  HP?  Tidak  mungkin  ia  sudah  di  pesawat,  bukan?  Apa?  Oo  Terakhir  aku
ditelepon Yashinta tadi  malam. Ia  menginap di punggung  lereng Semeru.  Apa? Tentu tidak,
Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua
kali  lebih  atletis  dibandingkan  Kak  Laisa,  apalagi  dibandingkan  kau!  DIA  AKAN  BAIK-BAIK SAJA, DALIMUNTE!"
Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu.
Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
www.rajaebookgratis.com
"Kau sudah menelepon Mamak di kampung?" 
Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan
merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
"Baik.  Baik.  Jika  kau  tiba  tujuh  jam  lagi  bilang  Mamak,  aku  dan  Wibisana  akan  berusaha
segera  tiba  di  sana,  Dalimunte.  Ya  ampun,  apa  yang  sering  kubilang  dulu?  Kau  seharusnya
sudah  menemukan  alat  agar  kami  bisa  pindah  kemana  saja  dalam  sekejap,  Profesor.  Bukan
hanya  mengurus  soal  bulan  yang terbelah,  itu kan sudah  jelas pasti  benar, Mamak dulu  juga
sudah  bilang  itu  benar  dalam  cerita-ceritanya  lepas  Shubuh,  tak  perlu  kau  buktikan—"
Ikanuri mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang.  Dalimunte  mengusap  wajahnya  sekali  lagi.  Terdiam.  Bukan  karena  gurauan
Ikanuri  soal  penelitiannya.  Wibisana  dan  Ikanuri  berdua  memang  sejak  kecil  kompak  sudah
suka  mengganggu  'penelitian-penelitiannya'.  Menyembunyikan  alat-alatnya.  Dalimunte
terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas.
"Abi, jadi naik nggak?" 
Intan  berseru  memanggil  dari  dalam  mobil.  Putrinya  sudah  duduk  rapi  memeluk  si  belang.
Sopir perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu.
Dalimunte  menghela  nafas.  Ya  Allah,  bertambah  satu  lagi  hal  mencemaskan.  Yashinta!
Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus
cek GPS (global positioning system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja
mati,  apalagi  GPS-nya.  Itu  satu  paket  dengan  gagdet  canggih  Yashinta.  Dalimunte  setelah
menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil.
Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.
 
11
LIMA KINCIR ANGIN
"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?" 
Salah  seorang  pemuda  bertanya,  memecah  lengang  setelah  Dalimunte  selesai  menunjukkan
gambar-gambarnya.
Dalimunte mengangguk mantap.
"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?" 
Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.
Dalimunte  mengangguk  sekali  lagi.  Bahkan  kincir-kincir  itu  bisa  sekalian  digunakan
sebagai pembangkit listrik.
"Itu  lima  meter  tingginya,  Dalimunte!  Sebesar  apa  kincir  yang  harus  kita  buat  agar  bisa
mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu." 
Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.
"Tidak besar. Tidak besar!"   Dalimunte   menjawab cepat. Setelah   lima   menit menjelaskan  
kertas-kertasnya  dengan  terbata-bata,  meski  masih  gugup,  dia  jauh  lebih  tenang  sekarang,
"Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"
"Mustahil!   Itu   tidak   mudah   dilakukan—"   
Pemuda yang lainnya menimpali, memotong, 
"Bagaimana  kau  akan  memastikan  kincir-kincir  itu  bisa  bergerak  bersamaan?  Menyusunnya
agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"
"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."
"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga
kelas enam di sini selain kau...."
Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.
"Lantas bagaimana pula kau akan  memastikan air  itu bisa dialirkan  sejauh satu kilometer ke
ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan pipa-pipa—"
www.rajaebookgratis.com
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel
pemutar! Mana cukup uang kas kampung...." 
Mengeluh.
"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah
membuatnya," 
Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan.
"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas—" 
Dalimunte  mencoba  meningkahi  keramaian  setelah  terdiam  sebentar,  dia  tidak  menyangka
akan  ada  banyak  pertanyaan,  seruan  ragu-ragu  semacam  ini.  Sepanjang  pagi  tadi  dia  hanya
memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —
"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?" 
Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu.
Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu
itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah
roboh  duluan  tidak  cukup  kokoh  dihantam  arus  deras  sungai.  Dalimunte  mulai  ragu  dengan
idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin
ramai terdengar.
Dalimunte  menelan  ludah.  Tertunduk.  Sia-sia.  Idenya  akan  mubazir.  Tidak  ada  yang
menanggapinya  serius.  Persis  seperti  selama  ini,  penduduk  kampung  seolah  sudah  pasrah
dengan  takdir  cadas  lima  meter  itu.  Mereka  toh  dulu  sudah  berkali-kali  membuat  kincir  air
raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk,
menelan ludah.
"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!" 
Seseorang  tiba-tiba  berseru.  Berseru  dengan  suara  lantang  sekali.  Membuat  dengung  lebah
terdiam. Seketika.
Dalimunte menoleh. Gerakan  tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu. 
Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya. 
"Kita  bisa  melakukannya.  Apa  susahnya  membuat  kincir-kincir  itu.  Jika  Dalimunte  bisa
membuat  dua  dengan  bambu  seadanya,  kita  bisa  membuatnya  yang  lebih  bagus,  lebih
kokoh." 
Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.
Mata-mata  sekarang  memandang  Kak  Laisa.  Gadis  tanggung  berumur  enam  belas  tahun
itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua
dan  lebih  besar  darinya.  Kak  Laisa  terlihat  begitu  yakin  dengan  setiap  kalimatnya.  Sama
sekali tidak terlihat gugup.
"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— " 
Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.
"Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—" 
Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.
"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar
itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu
terlalu tinggi!" 
Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian  tidak  mendengarkan  dengan  baik  kalau  begitu.  LIMA  KINCIR  AIR.  Dalimunte
bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"
"Tidak  ada.  Tidak  ada  yang  menjamin  itu  akan  berhasil.  Benar!  Itu  akan  membuang-buang
tenaga  jika  gagal!  Tapi  jika  berhasil?  Kita  sudah  bertahun-tahun  hanya  menggantungkan
nasib  ladang  kita,  hidup  kita,  kampung  kita,  dari  kebaikan  hujan.  Sudah  saatnya  kita
www.rajaebookgratis.com
membuat  irigasi  sendiri  untuk  ladang-ladang  itu.  Berpuluh-puluh  tahun  sejak  kincir  raksasa
itu  gagal  dibuat  tidak  ada  lagi  yang  memikirkan  bagaimana  caranya  mengangkat  air  sungai
dari  bawah  cadas.  Tidak  ada  salahnya  mencoba  kincir-kincir  air  itu.  Lima  kincir  bertingkat.
Itu  masuk  akal.  Semasuk  akalnya  seperti  kita  berharap  benih  di  ladang  tumbuh  saat  musim
penghujan! —" 
Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.
Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan
perambah  hutan  tadi.  Seruan-seruan  ragu-ragu,  seruan-seruan  sangsi,  meski  sekarang
anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.
"Tidak ada salahnya, bukan?" 
Laisa menatap sekitar. 
"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?"
Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" 
Kak  Laisa  berseru  dari  tengah-tengah  balai  kampung,  menghentikan  dengung  lebah  untuk
kedua kalinya. Menatap tajam.
Muka-muka  masih  saling  bersitatap  satu-sama-lain.  Sedetik.  Dua  detik.  Dalimunte
menggigit  bibir.  Sia-sia.  Urusan  ini  tidak  selancar  yang  dibayangkannya.  Ide  lima  kincir  air
itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat
amat yakin dengan idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?" 
Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi. 
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.
Yashinta  yang  pertama  kali  mengangkat  tangannya,  takut-takut  (entah  ia  mengerti  atau
tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa.
Orang-orang  menoleh.  Wak  Burhan  menyusul,  ikut  megangkat  tangan  dengan  mantap,
sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu
kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu.
Kak  Laisa  tertawa  lebar.  Menyikut  bahu  Dalimunte  yang  berdiri  di  sampingnya.
Anggukan  dan  seruan  'kenapa  tidak'  sekarang  ramai  keluar  dari  mulut  penduduk.  Mereka
akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega.
Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir
air  tersebut,  tapi  semua  orang  tahu,  karena  Kak  Laisa-lah  ide  itu  akhirnya  dikerjakan.  Hari
itulah,  Dalimunte  belajar  satu  hal:  bagaimana  bicara  yang  baik  di  hadapan  orang  banyak.
Belajar  langsung  dari  Kak  Laisa  yang  entah  bagaimana  caranya  menguasai  benar  hal
tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang.
Dalimunte  mungkin  tidak  akan  pernah  tahu.  Tidak  pernah!  Kak  Laisa  sama  gugupnya
seperti  dia,  sama  gentarnya  bicara  di  tengah-tengah  balai  kampung  itu.  Tetapi  Kak  Laisa
tidak  akan  pernah  membiarkan  adik-adiknya  kecewa.  Tidak  akan  pernah  membiarkan
adiknya  merasa  malu.  Jika  harus  ada  yang  kecewa  dan  malu,  itu  adalah  ia.  Bukan  adik-adiknya. Bagi Laisa, sejak  babak pergi,  hidupnya  amat sederhana. Adik-adiknya  berhak atas
masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa
Dalimunte  bolos  sekolah  kemarin.  Maka  demi  rasa  sesal  telah  memukul  lengan  Dalimunte,
keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu
tenang.  Dan  tidak  hanya  hari  itu  Laisa  melakukannya.  Sungguh  tidak.  Ia  melakukannya
berkali-kali sepanjang umurnya.
Demi keempat adik-adiknya.
 
www.rajaebookgratis.com
12
BAGI MEREKA URUSAN INI SEDERHANA
"DALIMUNTE sudah di mana?"
"Sudah  naik  mobil  jemputan  perkebunan  strawberry,  bersama  Kak  Cie  Hui  dan  Intan."
Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan.
Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan.
Di depan Sana  belasan  lampu sorot berkekuatan ribuan watt  menerangi  lokasi  longsoran
tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian
dan  pasukan  militer  Swiss  dari  kota  terdekat  tiba  di  lokasi.  Membawa  alat-alat  berat  untuk
membersihkan  tanah  liat  yang  menumpuk  sepanjang  lima  belas  meter.  Mereka  terbilang
taktis  dan  gesit.  Ada  sekitar  dua  peleton  pasukan  di  sana.  Tapi  hujan  yang  turun  semakin
deras,  membuat  pekerjaan  semakin  sulit.  Apalagi,  baru  saja  bersih  lima  meter,  tebing  itu
longsor lagi. Lebih banyak.
"Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior, sebaiknya kalian segera
masuk kembali ke gerbong, please?" 
Gadis berambut pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam
pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa.
Ikanuri menoleh, mendesis sebal.
"epiu confortevole dentro— " 
Gadis itu membujuk lagi.
"Sebentar Lagi—" 
Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia pula).
Gadis itu mengernyit, tidak mengerti.
Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa
tidur,  meski  kabin  itu  amat  lega  dan  nyaman.  Saat  sedang  berusaha  menelepon  Yashinta,
Mamak  Lainuri,  dan  Dalimunte  kereta  tiba-tiba  berhenti.  Aneh.  Kereta  itu  kereta  express,
mana  boleh  berhenti  sembarangan  macam  kereta  di  Indonesia.  Ada  apa?  Ikanuri  dan
Wibisana  beranjak  keluar  dari  kabin.  Segera  mencari  tahu.  Dan  segera  pula  menyumpah-nyumpah (Ikanuri) saat tahu masalahnya.
Karena  sebal,  Ikanuri  dan  Wibisana  memutuskan  turun  dari  kereta,  ingin  melihat
langsung pekerjaan pembersihan rel.  Masinis  berbaik  hati  meminjami dua  jaket hujan  besar.
Malam  ini,  kereta  hanya  berpenumpang  tujuh  orang.  Penumpang  yang  lain  sibuk  tidur  di
kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu
nyaris nol derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus-Manchester  United  dari  teve  mungilnya.  Kejadian  ini  berkah  baginya,  dia  jelas  tidak  boleh
menonton saat menjalankan kereta.
"Kau sudah telepon Yashinta lagi? Tersambung?"
Wibisana mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung.
"Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan?" 
Ikanuri  mendengus  jengkel.  Menatap  putus  asa  puluhan  petugas  kepolisian  dan  pasukan
militer  yang  seliweran  membersihkan  rel  kereta.  Lihatlah,  dinding  tebing  itu  longsor  lagi
setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan lumpur di atas rel.
Bisa  tidak  sih  mereka  berpikir  jenius  seperti  Dalimunte!  sepuluh  persen  saja  dari  otak
hebat  Dalimunte.  Dinding  tebing  itu  harusnya  di  tahan  dulu.  Diberikan  konstruksi  penahan,
atau  entahlah  yang  penting  bisa  mencegah  longsoran  baru.  Baru  dibersihkan  rel  keretanya.
Kalau begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga
mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.
"Juwita dan Sekar sudah tiba di mana?" 
Ikanuri bertanya.
www.rajaebookgratis.com
"Lima  menit   lalu    mereka    bilang   sudah  di     bandara,  menunggu  jadwal penerbangan dua
jam  lagi."  Wibisana menjawab.
"Semoga kita bukan yang terakhir tiba." 
"Tentu tidak, Ikanuri—"
"Semoga kita tidak datang terlambat." 
Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan tertahan.
Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik, 
"Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri.  Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa akan
baik-baik saja...."
Hujan turun semakin deras. Badai semakin kencang.
 
Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota provinsi, giliran
Jasmine,  istri  Ikanuri,  Wulan,  istri  Wibisana,  beserta  anak-anak  mereka,  Juwita  dan  Delima 
tiba  di  sana.  Repot  sekali  Juwita  dan  Delima  mendorong  sepeda  BMX  mereka  keluar  dari
lobi kedatangan bandara.
Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal usia enam tahun itu
justru  kompak  memaksa  membawa  sepeda  BMX  spesialis  trek  gunung  masing-masing,
"NGGAK  MAU!  Juwita  harus  bawa  sepeda!  Kan,  asyik  buat  keliling  kebun  strawberry
bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!" 
Karena  rumah  mereka  berseberangan  halaman,  maka  jika  yang  satu  membawa  sepeda,
otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah.
Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri tunggal  mereka  membawanya.  Jadi terlihat sedikit  mencolok saat dua anak perempuan
berumur enam tahun itu mendorong sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara.
"Mi, Kak Intan sudah sampai, belum?" Delima bertanya,
"Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan—"
Wulan, Ummi Delima  memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan  menelepon
Cie Hui, Ummi Intan.
"Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak?" 
Juwita yang bertanya ke Umminya.
"Tidak  tahu,  sayang.  Yang  Ummi  tahu  Kak  Intan  pasti  bawa  gelang  'Safe  The  Planet'-nya"
Jasmine,  Ummi  Juwita  tertawa  kecil.  Membantu  memotong  tali  rafia.  Perkebun  strawberry
mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil.
Dua  gadis  kecil  itu  menyeringai,  bersitatap  satu  sama  lain,  idih,  pasti  Kak  Intan  maksa-maksa  lagi  makai  gelang  itu.  Perasaan  baru  dua  minggu  lalu  mereka  dikirimi  satu  kotak.
Disuruh-suruh  jual  ke  teman-teman  di  sekolah.  Ditanyain  tiap  hari  lewat  telepon  dan  email.
Orang mereka berharapnya kak Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun
strawberry  bareng  Eyang  atau  Wawak.  Siapa  pula  yang  mau  dipaksa-paksa  pakai  gelang
karet norak itu.
"Mi, Tante Yashinta sudah di mana?"
"Nggak tahu, sayang—"
"Tante Yashinta juga pulang, kan?"
"Nggak tahu. Harusnya iya—"
"Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"
"Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai—"
"Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi?" 
"Nggak tahu, Delima—"   
Ummi melotot, ia sibuk membantu  sopir  mengikat sepeda,  Delima justru  sibuk bertanya.
"Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih!" 
Delima nyengir, sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya.
www.rajaebookgratis.com
Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai
Ikanuri  dan  Wibisana  waktu  kecil.  Bedanya,  mereka  lebih  jago  bicaranya,  ngeles.  Terlatih.
Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah.
Setengah  jam  berlalu,  mobil  kedua  melesat  menuju  perkampungan  Lembah  Lahambay.
Melewati  hampir  tiga  ratus  kilo  perjalanan.  Kota-kota  kabupaten.  Kota-kota  kecamatan.
Pedesaan.  Hutan-hutan  lebat.  Semak-belukar.  Pohon  bambu.  Perkebunan  kelapa  sawit.
Perkebunan  karet.  Padang  rumput  meranggas.  Naik  turun  lembah.  Melingkari  bukit  barisan.
Sungai-sungai  yang  meliuk.  Persawahan.  Menyaksikan  monyet  yang  berani  bergelantungan
di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.
Itu  semua  sebenarnya  pemandangan  yang  menarik,  sayang  tidak  untuk  situasi  saat  ini.
Juwita  dan  Delima  pun  sejak  separuh  perjalanan  akhirnya  lebih  banyak  tertidur.  Lelah
bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan
Wawak  Laisa  pas  makan  malam,  padahal  percuma  juga  mereka  rebutan  sekarang,  toh  Kak
Intan biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu.
Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat. 
Bagi mereka, urusan ini sederhana.
 
13
KAU BUKAN KAKAK KAMI
OMELAN  MAMAK  LAINURI  malam  itu  hanya  mempan  seminggu.  Ikanuri  dan  Wibisana
memang  rajin  sekolah,  sok  rajin  belajar,  shalat  di  surau,  lancar  ngajinya,  tidak  banyak
bertingkah,  patuh  dengan  Kak  Laisa  selama  seminggu  terakhir.  Namun  lepas  satu  pekan,
tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah malah.
Ahad  berikutnya,  seperti  kesepakatan  pekan  lalu,  penduduk  kampung  bergotong-royong
membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte. 
      Lelaki  dewasa,  mulai  dari  orang  tua  hingga  pemuda  tanggung,  setengah  hari
menghabiskan  waktu  di  hutan,  menebang  belasan  batang  bambu  besar-besar,  setidaknya  tak
kurang  satu  jengkal  diameternya.  Setengah  hari  lagi  dihabiskan  untuk  memotong-motong,
mengikatnya  dengan  tali  rotan,  memakunya  dengan  pasak  besi.  Wak  Burhan  dua  hari  lalu
juga  memutuskan  menggunakan  uang  kas  warga  kampung,  membelinya  di  kota  kecamatan,
beserta semen dan keperluan pondasi lainnya.
Sementara   ibu-ibu   dan   gadis   tanggung   membantu meyiapkan kue-kue kecil macam
serabi, putri salju,  juga teh panas. Beserta pula  makan siang. Meski  seadanya, hanya dengan
sayur  terong  dan  sambal  terasi,  tapi  setelah  lelah  bergotong-royong  seperti  ini,  makan
sepiring  nasi  yang  masih  mengepul  terasa  nikmat  nian  walau  tanpa  lauk.  Apalagi  mereka
mengerjakan kincir air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas
bebatuan sambil menyantap makan siang.
Jika sudah sampai sejauh  ini,  maka tak ada  lagi  yang sibuk  bertanya apa semuanya akan
berhasil.  Apa  salahnya  mencoba  (lagi).  Maka  sesiang  itu,  Dalimunte  sibuk  membentangkan
kertas-kertas  miliknya,  sibuk  menjelaskan  bagan  konstruksi  yang  telah  dibuatnya.
Sebenarnya ganjil sekali melihatnya, lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan
lelaki  dewasa  lainnya.  Wajah-wajah  yang  mengangguk-angguk  mendengarkan
penjelasannya, tidak banyak bicara.
Ahad  ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah  itu  berkumpul di pinggir  sungai.
Semua  bekerja,  membantu.  Tak  terkecuali  Yashinta,  ia  membantu  mengangkut  bebatuan
dengan  keranjang  rotan,  bakal  pondasi  kincir.  Anak-anak  kecil  lainnya  juga  sibuk
mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipa-pipa'. Jika pun tidak ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai
sambil  bermain-main.  Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu sama
lain bertengkar).
www.rajaebookgratis.com
"Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana?" Mamak bertanya pelan.
"Ee..  bukannya  tadi  ada  di  sana,  Mak?"  Laisa  menoleh,  menyeka  dahinya,  melepas  gagang
pelepah  nyiur,  uap  mengepul  dari  dandang  besar  penanak  nasi,  menunjuk  kelompok  anak
lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa.
"Tidak ada, Lais"
"Ee, tadi ada di sana, Mak...."
"Benar-benar  sigung  bebal!  Kemana  pula  mereka  pergi  ketika  semua  sedang  sibuk  bekerja.
Bikin malu keluarga saja!" 
Mamak Lainuri mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala.
Laisa  menelan  ludah.  Mengangguk  dalam  hati.  Kemana  pula  Ikanuri  dan  Wibisana
sekarang.  Lihatlah,  semua  penduduk  kampung  berkumpul  di  sini,  bergotong-royong,  dan
mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas
Yashinta  sedang  tertawa  bersama  teman  sepantarannya,  ada  satu  yang  terpeleset  di  air  saat
membawa  keranjang  pasir,  basah  kuyup.  Di  sisi  lain,  Dalimunte  masih  sibuk  menunjuk-nunjuk  kincir  air  yang  mulai  berbentuk.  Tidak  ada  Ikanuri  dan  Wibisana.  Juga  tidak  ada  di
antara anak-anak lainnya.
"Apa perlu Lais cari, Mak?"
Mamak Lainuri berpikir cepat, 
"Nanti.  Lepas  dzuhur  kalau  tidak  kelihatan  juga  ekornya,  kau  cari  mereka.  Dasar  tak  tahu
malu.  Tidak  pernah  ada  di  keluarga  kita  yang  berpangku  tangan  saat  orang  lain  sibuk
bekerja—" Mamak mengomel tertahan.
"Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi, Mak!"
Muka  Mamak  mendadak  memerah.  Sebal.  Kemungkinan  itu  benar-benar  membuat
Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin minggu lalu.
"Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil sesuatu—" 
Laisa  menelan  ludah.  Menyesal  kemungkinan  soal  starwagoon  itu.  Mencoba  membuat
Mamak  lebih  nyaman.  Percuma.  Kalimat  itu  keliru,  kalau  dengan  Laisa  saja  mereka  berdua
enggan  menurut,  apalagi  dengan  Dalimunte.  Mana  mau  mereka  disuruh-suruh  begitu.  Dan
jelas Laisa keliru kalau membayangkan urusan kali ini sesederhana itu.
    Menjelang dzuhur, dua kincir air  selesai. Dengan pasak  besi,  bebatan  batang rotan, kincir
bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum senang,
juga  yang  lain.  Sejauh  ini  rancangan  Dalimunte  hanya  keliru  satu  hal,  jumlah  potongan
bambu  yang  dibutuhkan.  Beberapa  lelaki  dewasa  terpaksa  masuk  lagi  ke  hutan,  mengambil
belasan bambu berikutnya.
"Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga—" 
Laisa berbisik ke Mamak.
Muka  Mamak  yang  sedang  membawa  piring-piring  plastik  kentara  sekali  jengkel.
Sementara  penduduk  kampung  berkumpul  di  pinggir  sungai,  duduk  membuat  kelompok-kelompok  di  atas  bebatuan.  Wak  Burhan  menyuruh  mereka  makan  siang.  Istirahat  hingga
satu jam ke depan. Beberapa selepas makan beranjak ke surau. Shalat dzhuhur.
"Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu kemari—" 
Mamak  menahan  marah.  Bagaimana  pula  ia  tak  marah,  tadi  salah  satu  tetangga  sebelah
rumah  sempat  bertanya  di  mana  Ikanuri  dan  Wibisana.  Pertanyaan  itu  tidak  serius,  hanya
bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang? Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis,
mengangguk. Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali.
Laisa  tidak  perlu  diperintah  dua  kali,  segera  bergegas  meletakkan  ceret  air  yang
digunakannya  untuk  mengisi  gelas-gelas.  Melepas  kain  celemek  butut.  Lantas  beranjak
menyeberangi  sungai.  Ia  sama  sekali  tidak  punya  ide  di  mana  Ikanuri  dan  Wibisana  berada.
Meski  begitu,  tempat  yang  pertama  kali  harus  diperiksa  adalah  rumah.  Siapa  tahu  mereka
berdua sedang tidur mendengkur di bale bambu.
www.rajaebookgratis.com
Tidak  ada.  Laisa  tidak  menemukan  Ikanuri  dan  Wibisana  saat  tiba  di  rumah  sepuluh
menit  kemudian.  Mungkin  mereka  bermain-main  di  desa  atas.  Laisa  menyeka  keringat  di
leher.  Matahari  siang,  terik  membakar  lembah.  Dari  surau,  Wak  Burhan  mengumandangkan
adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata
kembali  ke  pinggir  sungai  itu  tanpa  Ikanuri  dan  Wibisana.  Maka  tubuh  gemuk  dan  gempal
Laisa beranjak menuruni anak tangga rumah panggung.
Percuma. Satu  jam  berlalu. Ikanuri dan  Wibisana  tidak ada di desa atas. Starwagoon tua
itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang mengucur
semakin deras,  satu kilo  berjalan,  sia-sia. Memutuskan untuk  memeriksa tempat kedua anak
itu  suka  bermain-main.  Tidak  ada.  Mereka  tidak  ada  di  Curug  Cuak  (air  terjun).  Tidak  ada
juga  di  jembatan  gantung  desa  satunya  lagi.  Tidak  ada  di  tempat  biasa  mereka  mancing.
Tidak ada.
Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah pukul tiga. Laisa
dan  penduduk  kampung  terlatih  sekali  membaca  jam  dari  gerakan  matahari  dan  bayangan
pepohonan.  Di  pinggir  sungai,  penduduk  kampung  sudah  sejak  tadi  meneruskan  pekerjaan.
Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik,
ia  akan  kembali  ke  sana  sambil  menyelusuri  jalan  yang  berbeda  dari  berangkatnya  tadi.
Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak  itu tiduran di  pondok rumbia  ladang
padi mereka.
Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu membantu banyak di
tengah  terik  matahari  awal  musim  kemarau.  Kebun  penduduk  terlihat  menguning.  Batang
padi  merekah  oleh  bilur-bilur  buahnya  yang  montok.  Sebulan  lagi  mereka  panen  bersama.
Penduduk  kampung  lembah  itu  umumnya  berladang.  Jika  sudah  dua-tiga  kali  mereka
menanam  padi,  biasanya  diganti  dengan  kopi  atau  lada.  Atau  diseling  dengan  jagung  dan
sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan.
Setengah  jam  lagi  berlalu.  Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  ada  di  pondok  rumbia  ladang
mereka.  Laisa  mendengus  sebal.  Meneruskan  langkah  kaki.  Harapan  satu-satunya,  dua  anak
nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa
mulai  putus  asa,  tanpa  sengaja  sudut  matanya  yang  terlatih  menangkap  gerakan  dedaunan
pohon  mangga  kebun  Wak  Burhan,  di  kejauhan  lembah.  Tidak  lazim.  Angin  tidak  akan
membuat  cabangnya  bergoyang  sedemikian  rupa.  Dan  tidak  ada  uwa  atau  monyet  yang
sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai "tembok besar" membuat kampung
mereka seolah terpisah dari hutan rimba.
Laisa  mendekat.  Menyelidik.  Menatap  tajam  pohon  mangga  yang  sedang  ranum-ranumnya  berbuah.  Daunnya  yang  rimbun  seperti  dipenuhi  benjol-benjol  buah  yang  besar-besar.  Dahan  pohon  itu  bergoyang-goyang  lagi.  Laisa  melangkah  semakin  cepat.  Tinggal
sepelemparan  batu,  tinggal  lima  belas  meter,  akhirnya  ia  bisa  melihat  bayangan  yang
membuat pohon itu bergerak.
"Cepat, Ikanuri—" Berbisik tertahan. 
"Sebentar." Suara itu ikut tertahan. 
"Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun..." 
"Sebentar, celanaku tersangkut—"
GEDEBUK!
Ikanuri  yang  bergegas  turun  dari  pohon  mangga  malah  terjatuh,  kehilangan  keseimbang
saat buru-buru,  menimpa  Wibisana  yang sudah turun duluan. Tidak tinggi  benar, hanya satu
meter, karena mereka sudah tiba di dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal
total.  Ikanuri  yang  sibuk  mengaduh  selama  lima  detik,  memberikan  waktu  yang  cukup  bagi
Laisa untuk mengenali siapa.
"IKANURI! WIBISANA!" 
www.rajaebookgratis.com
Persis  seperti  radio  yang  tiba-tiba  disetel  kencang-kencang.  Laisa  berseru  galak.  Berlari
mendekat. 
Ikanuri  dan  Wibisana  tersedak.  Menatap  jerih  Kak  Laisa  yang  mendekat.  Berusaha
menyembunyikan bukti kejahatan
"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?" 
"Ergh,  ee,  kita  sedang  memeriksa  pohon  mangga  Wak  Burhan,  benar  begitu  kan,  Wibi?—"
Ikanuri  menjawab  cepat,  khas  Ikanuri,  seadanya  bin  ngarang,  dengan  wajah  sama  sekali
merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah begonya ikut mengangguk, 
"Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu—" 
"DIAM!!"
"Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh—" 
"DIAM!!  Kalian  benar-benar  tak  tahu  malu!  Semua  orang  bekerja  di  cadas  sungai,  kalian
justru di sini. MENCURI MANGGA!" 
Kak  Laisa  semakin  galak,  semakin  dekat,  tangannya  cepat  mematahkan  salah  satu  ujung
dahan semak  belukar.
Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut mundur. Laisa
semakin  dekat.  Tertahan,  gerakan  Ikanuri  dan  Wibisana  tertahan  pohon  mangga  di
belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah sempurna ke dada mereka berdua.
"Katakan apa ini? Apa yang kau lihat?" 
Kak  Laisa  menunjuk  dua-tiga  buah  mangga  hampir  ranum  yang  tergeletak  di  ujung  kaki
mereka. Terjatuh dari saku celana.
"Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi?"
"Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan—"
Kak Laisa benar-benar jengkel.
"Berani  sekali  kalian  mencurinya.  BERANI  SEKALI  Tidak  ada  di  keluarga  kita  yang
menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA." 
Kak Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri.
Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah
kebal dipukul Kak Laisa.
"Apa  yang  kalian  lakukan  sepanjang  siang?  Main-main  di  Curug  Cuak?  Lantas  pulang
mencuri  mangga  Wak Burhan Tidak tahu  malu.  Apa  yang  akan dibilang  Wak  Burhan kalau
dia tahu! APA COBA!?"
Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam.
"Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU JADI APA??" Kak
Laisa mendesis.
"Kalau  Mamak  tahu  kalian  mencuri  lagi,  kalian  pasti  dihukum  tidak  boleh  masuk  rumah
malam ini. Kalau Mama tahu...." 
Kak  Laisa  menelan  ludah,  berusaha  mengendalikan  diri.  Kalau  Mamak  tahu  Ikanuri  dan
Wibisana ternyata justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan
jadi marah besar.
"Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang—"   
Laisa melotot, menatap galak. Memberikan perintah.
Ikanuri dan Wibisana tetap bungkam seribu bahasa.
"AYO, PULANG!"
Tusukan  ujung  dahan  itu  semakin  kencang,  Ikanuri  meringis,  tapi  dia  tetap  tidak  beranjak
berdiri.
"PULANG KATAKU! SEKARANG!!"
"TIDAK MAU!" 
Ikanuri entah apa  yang  sedang ada di kepalanya,  tiba-tiba  berteriak tidak kalah kencangnya.
Melawan. Menepis kasar ujung dahan di dadanya.
www.rajaebookgratis.com
"APA KAU BILANG? AYO, PULANG!"
"TIDAK MAU!" Ikanuri melotot.
Dua  ekor  burung  pipit  terbang  rendah  di  bawah  pohon  mangga  itu.  Mendesing  menjauh
mendengar keributan.
"Kami  tidak  mau  pulang.  Tidak  mau.  Kau  bukan  Kakak  kami,  kenapa  pula  kami  harus
menurut!" 
Ikanuri mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras.
Kalimat  itu  benar-benar  membungkam  waktu.  Selaksa  senyap  di  bawah  pohon  mangga.
Seekor  elang  melenguh  di  atas  sana,  suaranya  seperti  dibatukan  udara.  Terdiam.  Laisa
sempurna membeku.
"A-pa.... A-pa yang kau katakan?"
"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut" 
Ikanuri  mengatakannya  sekali  lagi.  Lebih  lantang.  Lebih  kencang.  Beranjak  berdiri,  malah.
Melawan semakin berani.
"LIHAT!  Kulit kau  hitam. Tidak seperti kami,  yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti
kami,  lurus.  Kau  tidak  seperti  kami,  tidak  seperti  Dalimunte  dan  Yashinta.  KAU  BUKAN
KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"
Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang yang
sama.  Berdebum.  Membuat  lubang  besar  itu  menganga  lebar-lebar,  hitam  pekat.  Laisa
terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya.
Apa  ia  sungguh  tak  salah  dengar?  Laisa  gemetar.  Tangannya  yang  mencengkeram  ranting
bergetar, terlepas.
"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?" 
Ikanuri tanpa rasa iba bertanya bengis.
Laisa  menelan  ludah.Matanyat  iba-tiba  berair.  Ya  Allah,  aku  mohon,  jangan  pernah,
jangan  pernah  buat  aku  menangis  di  depan  adik-adikku.  jangan  pernah!  Itu  akan  membuat
mereka  kehilangan  teladan.  Laisa  meremas  pahanya  kencang-kencang.  Berusaha
mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di tubuhnya.
"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN!" 
Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.
"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata.
"Kau bukan kakak kami!"
"Hentikan  Ikanuri,  atau  kau  kuadukan  pada  Mamak,  dan  kalian  akan  dihukum  tidak  boleh
masuk rumah selama seminggu," 
Laisa berkata dengan suara bergetar. Menahan tangis.
"Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan Ikanuri—"
"Pendek! Pendek!"
"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "
"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!" 
Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai
penuh  kemenangan,  disusul  oleh  Wibisana  (yang  tertunduk  dalam-dalam,  sedikit  merasa
ganjil dengan teriakan kasar Ikanuri).
Laisa  sudah  jatuh  terduduk.  Sempurna  jatuh  terduduk.  Menatap  punggung  adik-adiknya
yang menghilang dari balik semak belukar.
Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik.
Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap
wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena
toh  selama  ini  Ikanuri  selalu  berani  melawan.  Tapi  karena  itu  benar!  Ya  Allah,  apa  yang
www.rajaebookgratis.com
dikatakan  adiknya  benar  sekali.  Ia  bukan  siapa-siapa  bagi  mereka.  Ia  bukan  Kakak  mereka.
Seluruh penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka.
Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar.
Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.
Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super
tinggi.  Maximum  speed.  Masinisnya  berusaha  membayar  dua  jam  waktu  yang  terbuang  di
pegunungan  Alpen.  Setelah  untuk  ketiga  kalinya  tebing  itu  longsor  lagi  saat  dibersihkan,
beberapa  insinyur  dari  dewan    terdekat  akhirnya  tiba  di  lokasi  dengan  helikopter,  mereka
memberikan  saran  konstruksi  darurat  untuk  menahan  laju  longsoran  berikutnya.  Satu  jam
berlalu,  sejak  dinding  seadanya  dipasang,  kereta  ekspress  itu  bisa  kembali  melesat  menuju
Paris. Menjejak batangan baja relnya.
Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti.
Jalan kereta  yang  meliuk  melangkahi pegunungan sudah  lama digantikan oleh  hamparan
tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah
tertinggal  di  belakang,  Sepuluh  menit  lagi  Eurostar  akan  tiba  di  perbatasan  tanah  bekas
kekuasaan  Kaisar  Louis,  Perancis.  Wibisana  memutuskan  tidur.  Lelah.  Membiarkan  Ikanuri
yang sejak kereta berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat
gelap.  Hanya  sesekali  cahaya  lampu  yang  berasal  dari  rumah  pedesaan  kecil  pedalaman
Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah.
Mengembalikan semua kenangan.
Wibisana  menggeliat, merubah posisi tidurnya.  Kabin  itu  luas. Lazimnya diisi  berempat,
karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya. Tapi Ikanuri
tidak tidur,  ia tidak  bisa tidur sejak kereta  jalan  lagi,  ia  justru sedang sibuk  menyeka ujung-ujung matanya.
Ikanuri terisak pelan. Tertahan.
Menatap kosong keluar melewati jendela kereta.
Kunang-kunang—
Ya  Allah,  dia  jahat  sekali.  Jahat!  Dua  puluh  lima  tahun  silam.  Seperempat  abad  lalu.
Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat
itu.  Wajah  Kak  Laisa  yang  seperti  tak  percaya  mendengar  dia  mengatakan  kalimat-kalimat
menusuk  itu.  Ikanuri  tersedan.  Lihatlah,  wajah  Kak  Laisa  sekarang  seperti  mengukir
sempurna  di    bayangan    jendela    kereta.  Wajahnya    yang    tersenyum,  wajahnya  yang  selalu
melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua....
Ikanuri  tersungkur.  Tergugu.  Dia  benar-benar  tidak  tahan  lagi  Menangis  terisak.  Ya
Allah,  jika  ada  yang  bertanya  siapa  yang  paling  penting  dalam  hidupnya....  Jika  ada  yang
bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.
 
14
PENGUASA GUNUNG KENDENG
CELAKA.  Benar-benar  celaka.  Kesibukan  penduduk  Lembah  Lahambay  hari  itu  ternyata
tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24 jam.
Menjelang  maghrib  setelah  dipotong  istirahat  shalat  ashar,  lima  kincir  air  itu  sudah
berderet  rapi  di  dinding  cadas  sungai.  Lubang-lubang  pondasi  sudah  dituangi  cor  semen.
Belum  terpasang.  Meski  pondasinya  sudah  siap,  lima  kincir  itu  baru  akan  dipasang  minggu
depan, jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering.
Wak  Burhan,  para  orang  tua,  pemuda  dewasa,  menyeringai  lega  melihat  pekerjaan
mereka.  Lembah  mulai  remang,  Wak  Burhan  menghentikan  gotong-royong.  Cukup  untuk
ahad  ini.  Kesibukan  di  pinggir  sungai  itu  memang  berhenti  ketika  mereka  beramai-ramai
beranjak pulang. Mandi. Berganti pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat.
Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelum-sebelumnya.
www.rajaebookgratis.com
Laisa  setelah  hampir  setengah  jam  menangis  di  bawah  pohon  mangga  beranjak  kembali
ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha senormal mungkin saat bilang ke
Mamak  kalau  Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  mau  nurut.  Mereka  bermain-main  di  ladang,  dan
justru  lari  menghindar  saat  disuruh  pulang.  Mamak  mengomel,  berjanji  dalam  hati  akan
menghukum dua sigung itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak.
Senja mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya duduk-duduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama teman-temannya.
Tetapi  keliru.  Laisa  yang  berpikir  Ikanuri  dan  Wibisana  setelah  pergi  meninggalkan
dirinya  akan  kembali  ke  rumah  itu  keliru.  Juga  Mamak  yang  sudah  berencana  membuat
aturan  main  baru  di  rumah  saat  mengomel  nanti  malam.  Keliru,  Ikanuri  dan  Wibisana
ternyata  tidak  pulang-pulang.  Juga  saat  mereka  sudah  bersiap-siap  shalat  berjamaah.  Dua
sigung itu tetap tidak kelihatan batang hidungnya.
Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan itu mulai tumbuh.
Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan yang masih terbuka. Kemana pula
dua anak nakalnya pergi?
Adzan  isya.  Lepas  shalat  isya.  Lembah  sempurna  gelap.  Dan  sedikit  pun  tidak  kelihatan
tanda-tanda  batang  hidung  Ikanuri  dan  Wibisana.  Mamak  semakin  cemas.  Menatap  siluet
hutan rimba dengan nafas bergetar.
Pukul 19.30. Tegang sekali.
Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah.
Sejengkel  apapun  ia  dengan  Ikanuri  dan  Wibisana,  dawai  kecemasannya  sudah
berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak
Burhan.  Kak  Laisa,  yang  meski  hatinya  masih  bagai  buah  tersayat-sayat  sejak  kejadian  tadi
sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.
"Belum pulang bagaimana, Lainuri?"
"Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!"
Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.
"Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya.
"Sejak tadi siang—"
"Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?" 
Wak Burhan menyambar obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak.
"Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—" 
Laisa menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran itu. Tidak
ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.
"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas.
"Belum, Wak—"
"Sekarang sudah hampir setengah sembilan," 
Wak Burhan menyimak gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana, 
"Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan."
Mamak menelan ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.
"Apa yang harus kulakukan, Bang?"
Wak  Burhan  bergumam.  Seperti  membaca  mantra  sajalah.  Berhitung  dengan  cepat.
Lantas berseru cepat.
"LAIS, BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh kumpul
di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya. 
"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!"
Ini serius. Serius sekali. Semua orang  juga tahu, kampung  mereka  berada di dekat hutan
rimba. Di seberang cadas sungai, di  hutan rimba sana,  malam-malam  begini ada sejuta mara
bahaya  mengintai.  Pemuda  dewasa  saja  berpikir  dua  kali  kalau  harus  mencari  kumbang
www.rajaebookgratis.com
masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas
sungai. Itupun harus berombongan.
Dua anak kecil?
Laisa  tidak  perlu  diteriaki  dua  kali.  Dengan  tangan  gemetar,  ikut  merasakan  ketegangan
yang  segera  meninggi,  langsung  berlari  menuruni  anak  tangga.  Semoga  adik-adiknya  tidak
kenapa-napa.  Semoga  mereka  hanya  bermain  di  desa  atas,  memutuskan  untuk  tidak  mau
pulang.  Atau  entah  pergi  ke  manalah.  Semoga  mereka...  Ya  Allah,  kenangan  masa  lalu  itu
serentak  menyergapnya.  Ya  Allah!  Wajah  robek  tak  berbentuk.  Tubuh  tercabik-cabik
bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat sekali.
Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya.
Hanya  dalam  waktu  lima  belas  detik.  Beduk  masjid  melenguh  kencang.  Kentongan
bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu. Semua penduduk kampung
keluar.  Hilang  sudah  lelah  tadi  siang.  Disingkirkan  jauh-jauh.  Benar-benar  rusuh.  Mereka
mengenali  ramai  bunyi  kentongan  itu.  Terakhir  terdengar  dipukul  delapan  tahun  silam.
Mereka berkumpul di balai kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak.
Apa  saja  senjata  yang  bisa  dibawa.  Wajah-wajah  cemas.  Tegang.  Balai  kampung  ramai
kembali.
Wak  Burhan  berdiri  di  tengah-tengah  balai  kampung,  Kerlip  cahaya  obor  membasuh
wajah tuanya. Umur  Wak Burhan  sudah  berbilang tujuh puluh, tapi dia  masih gagah. Masih
tegap  sekali.  Dalam  situasi  serius  seperti  ini,  kedut  wajahnya  terlihat  amat  mengesankan.
Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan
padanya.
"Dua  orang  mencari  ke  desa  atas.  Dua  orang  mencari  ke  desa  seberang.  Kau  dan  teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...." 
Wak Burhan membagi kelompok-kelompok dengan cepat.
"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung Kendeng, semua kembali ke
sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan juga, seluruh rombongan akan dipecah dua,
kita harus menyusuri hutan rimba. Kita harus melakukannya—"
Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.
Sekejap. Pencarian  itu dimulai.  Mamak Lainuri sudah sejak tadi  hanya terduduk di kursi
bambu.  Dipegangi  oleh  ibu-ibu  lainnya.  Mamak  semaput.  Wajahnya  pucat  oleh  perasaan
gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas
di  depannya.  Wak  Burhan  yang  waktu  itu  lebih  muda,  juga  dengan  cepat  memberikan
perintah. Orang-orang yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan
hasilnya?
Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi.
Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak.
Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk tertunduk di dekatnya,
gentar.  Yashinta  memeluk  lutut.  Bahkan  ia  masih  terlalu  kecil  untuk  ingat  banyak  kejadian.
Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" 
Laisa mengangguk pelan ke arah Dalimunte. 
Cahaya  obor  rombongan  pencari  yang  bergerak  terlihat  mulai  menjauh.  Ada  yang
menaiki  lembah,  ke  desa  atas.  Menyeberangi  ladang-ladang.  Ke  kiri.  Ke  kanan.  Kerlap-kerlip.  Meski  nyaris  separuh  penduduk  kampung  mencari  Ikanuri  dan  Wibisana,  balai
kampung  tetap  ramai.  Seluruh  penduduk  membawa  anggota  keluarganya  ke  sini.  Tidak  ada
yang  ingin  meninggalkan anak-anaknya di rumah  setelah  mengerti  maksud  bunyi kentongan
tadi.  Mereka  bermalam  di  balai  kampung  bersama-sama.  Di  atas  kursi-kursi  bambu  Saling
bersitatap ketakutan.
www.rajaebookgratis.com
Laisa  menggigit  bibir.  Mengusap  wajahnya  berkali-kali.  Gelisah  melihat  sekitar.  Ia
sungguh  cemas.  Ini  pasti  gara-gara  ia  tadi  siang  mengancam  adik-adiknya.  Ya  Allah…  Ini
semua  salahnya.  Mereka  pasti  enggan  pulang  gara-gara  dibilang  akan  dihukum  tidak  boleh
masuk  rumah,  harus  tidur  di  bale  bambu,  bawah  rumah.  Apakah  ia  harus  menceritakan
pertengkarannya  ke  Mamak?  Tidak.  Itu tidak  perlu,  dan  jelas  tidak  bisa  dilakukannya.  Tapi
kalau  terjadi  kenapa-napa  dengan  Ikanuri  dan  Wibisana?  Ya  Allah,  semoga  tidak.  Semoga
mereka hanya bermalam di desa atas.
Gemerlap  bintang  di  atas  entah  kenapa  pelan  mulai  diselimuti  gumpalan  awan  hitam.
Seperti  menambah  tinggi  tingkat  kecemasan.  Hening.  Mencekam.  Sudah  pukul  22.00.
Lembah  itu  mulai  hening.  Suara  jangkrik  berderik  pelan  mereda.  Uhu  burung  hantu.
melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak matang. Satu jam berlalu.
Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor.
Hasilnya kosong—
Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu.
"Hati-hati... Tetap dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—" 
Wak  Burhan  berkata  dengan  intonasi  suara  tegas  tanpa  kompromi.  Kelompak  lelaki  dewasa
yang sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk
"Saat pijar matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat membungkus
lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai dapat. Periksa seluruh semak
belukar, jangan sampai ada yang tertinggal. Pastikan kalian mengenali bercak darah...."
Mamak  Lainuri  yang  sudah  siuman  mengeluh  tertahan.  Kalimat  Wak  Burhan,  kalimat
terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang masih hidup. Bercak darah….
"Hati-hati,  jangan  sampai  ada  yang  terpisah  dari  rombongan.  Sang  siluman  mungkin  masih
mencari korban berikutnya...."
Balai  kampung  itu  terdiam.  Seruan-seruan  terhenti.  Menelan  ludah.  Nama  itu  akhirnya
tersebutkan  sudah.  Sang  Siluman.  Laisa  sudah  menggigil  ketakutan.  Wak  Burhan
memberikan  instruksi  dua-tiga  kalimat  lagi.  Lantas  dua  rombongan  bergerak  meninggalkan
bangunan.  Rombongan  membawa  obor  itu  menghilang  di  tengah  gelapnya  hutan  rimba
seberang cadas lima belas menit kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?" 
Dalimunte  bertanya  mencicit.  Cemas.  Dari  tadi  ia  tidak  bisa  memejamkan  mata.  Tegang.
Sementara Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu balai
kampung.
Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak   kuasa mengangguk.
Delapan tahun... delapan tahun silam.
Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan
persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan
rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah
tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan
harimau Gunung  Kendeng.  Waktu  itu umurnya  baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan
Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.
Hari itu, babak mereka pergi —
Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari kumbang bersama dua
temannya  ke  hutan  rimba  seberang  cadas,  tidak  jauh.  Tapi  entah  apa  pasalnya,  rombongan
mereka  terpisah.  Dua  temannya  panik.  Pulang,  segera  melapor.  Tidak  ada  yang  mengerti,
bagaimana  mungkin  mayat Babak  justru ditemukan  jauh sekali dari cadas  sungai. Masuk ke
dalam hutan rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu?
Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana?
Seruan-seruan ganjil terdengar,
www.rajaebookgratis.com
Semua  orang  tahu  tentang  pemikat  sang  siluman,  penguasa  Gunung  Kendeng.  Membuat
siapa  saja  yang  berani  merambah  wilayahnya  di  malam  hari  akan  tersesat  di  dalam  hutan.
Hanya  berputar-putar  saja  di  satu  titik,  lantas  tanpa  disadarinya  sudah  masuk  ke  dalam
perangkap sang siluman.
Sudah  delapan  tahun  berlalu  kejadian  mengenaskan  itu  tidak  terjadi  lagi  di  lembah
mereka.  Dulu,  waktu  Laisa  masih  kecil,  ia  dua  kali  melihat  kejadian  serupa.  Salah  satu
penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam hari, besoknya ditemukan sudah
dengan  tubuh  tercabik-cabik.  Orang  dewasa  di  kampung  itu  mengerti  benar,  kalau  Ikamuri
dan Wibisana sampai berani masuk ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan
berakhir sama—
Juga  Wak  Burhan.  Siapa  yang  akan  lupa  lima  belas  tahun  silam  saat  anak  tunggal  Wak
Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan paginya, hanyut di sungai
deras  dengan  wajah  berbilur  cakaran.  Yang  membuat  Wak  Burhan  tinggal  sendirian  hingga
hari ini, karena istrinya sudah kapan tahun meninggal.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja—" 
Dalimunte pelan menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya.
Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali tidak mendengarkan
pertanyaan  Dalimunte.  Kenangan  buruk  itu  membungkus  kepalanya.  Kemana  adik-.adiknya
malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana? Kemana, ya Allah....
Dan  entah  mengapa  akhirnya  kesadaran  itu  ditanamkan  di  kepalanya.  Laisa  mendadak
ingat  sesuatu.  Ia  ingat  pernah  mendengar  pembicaraan  Ikanuri  dan  Wibisana  beberapa  hari
lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu. Laisa tahu di  mana  harus  mencari adiknya.
Mukanya menyeringai oleh buncah cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.
"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak kemana?
Pertanyaan      Dalimunte      barusan      menyadarkan      Laisa  tujuan  sebenarnya  Ikanuri  dan
Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru  menyadari adiknya  dulu. 
"Jalan pintas  terdekat  menuju  kota kecamatan sebenarnya melalui Gunung Kaideng. Hanya
delapan kilo jika melewati gunung itu...."
Ikanuri dan Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua sigung
nakal itu menyadarinya atau tidak.
"Aku ikut—"
"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta—"
"Aku ikut!" 
Dalimunte  menjawab  tegas.  Cepat  berlari  ke  dalam  rumah.  Suara  kakinya  membuat  lantai
rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia sudah keluar lagi, membawa tombak panjang
peninggalan Babak.
"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini—" 
Tegas  sekali  Dalimunte  berkata.  Wajahnya  dipenuhi  ekspresi  penghargaan.  Keberanian?
Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung  Kendeng. Tapi, sumpah, Dali
tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah wajah Kak Lais, wajah yang
selalu  berani  dalam  hidupnya,  demi  adik-adik  mereka.  Wajah  yang  selalu  melindungi.
Melihat wajah itu, Dali tidak akan pernah takut lagi.
Laisa  menelan  ludah.  Wajah  tegang  itu  dibasuh  cahaya  obor  yang  dibawanya.  Kerlap-kerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas mengangguk. Tak apalah. Tak apalah
adiknya  ikut.  Ya  Allah,  sekali  ini  tolong  baiklah  dengan  kami,  tolong....  Laisa  menggigit
bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti langkah Dalimunte.
Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya. Ia tahu di mana adiknya berada
malam  ini.  Mereka  berdua  pasti  memutuskan  kabur  dari  rumah,  pergi  ke  kota  kecamatan.
Jalan  pintas.  Ia  tahu,  hanya  Ikanuri  dan  Wibisani  yang  menganggap  wanti-wanti  tentang
www.rajaebookgratis.com
harimau Gunung Kendeng itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu.
Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri.  Melihat kakaknya berlari
pulang ke rumah  mengambil obor dan golok, dengan cepat  mengikuti. Mamak Lainuri  yang
masih  semaput tidak  bisa  bicara  hanya  menatap  kosong  mereka  berdua.  Tidak  ada  warga  di
balai  kampung  yang  bisa  mencegah.  Terlalu  penat  setelah  kerja  seharian.  Penat  dengan
segenap kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu menuruni
cadas sungai. Menyeberangi sungai.
Masuk ke gerbang hutan rimba.
Pukul  02.00.  Empat  jam  berlalu.  Rombongan  lelaki    penduduk  kampung  terus  menyisir
rimba  belantara.  Karena  mereka  harus  memastikan  setiap  semak-belukar  bersih  ditelusuri,
pergerakan  mereka  lamban.  Berteriak-teriak  memanggil.  Suara  itu  membuat  diam  binatang
hutan. Kosong. Sejauh ini kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan
anak- anaknya. Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak, terganggu.
Langit semakin kelam.
Gerakan  Laisa  dan  Dalimunte  jauh  lebih  cepat.  Karena  mereka  langsung  menuju  satu
titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan, pepohonan semakin lebat. Golok di
tangan Laisa tangkas memotong semak belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua
jam  lalu  jalan  setapak  yang  biasa  digunakan  penduduk  mencari  damar,  rotan,  menghilang.
Mereka harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya. Jarang
sekali  ada  penduduk  yang  merambah  hingga  ke  atas  gunung.  Jalan    setapak  hanya  ada  di 
tempat-tempat  biasa  merek  menyadap  damar,  mencari  rotan,  menangkap  kumbang,  dan
sebagainya.
Pukul  02.30,  Laisa  berhenti  sejenak.  Memperhatikan  semak  di  depannya.  Jantungnya
berdetak amat kencang. Seketika.
"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan.
Laisa  menelan  ludah,  mendekatkan  obor  ke  ujung  dahan  salah  satu  pohon  kecil.  Patah.
Khas  sekali.  Itu  bukan  karena  uwa,  bukan  karena  binatang  liar.  Tapi  dipatahkan  oleh
manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana baru saja melewati gunung ini....
Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil, meski janji itu
bagai  embun  yang  segera  sirna  oleh  cahaya  matahari  pagi,  ia  harus  buru-buru.  Menyusul
Ikanuri  dan  Wibisana.  Semoga  belum  terlambat.  Semoga  adik-adiknya  belum  kenapa-napa.
Semoga belum.... Golok di tangan Laisa galak  membabat ujung-ujung  semak di depan  yang
menghalanginya. Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar
itu  membungkus  segenap  ketakutan.  Adik-adiknya,  dimanapun  saat  ini  dua  sigung  nakal  itu
berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya.
Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.
 
15
KAKAK TIDAK AKAN TERLAMBAT
GERBANG perbatasan Perancis.
Juga Melesat. Eurostar melesat dengan kecepatan tinggi
" Apa yang sedang kau pikirkan, Ikanuri?"
"Tidak. Tidak apa-apa...."
Senyap sejenak.
Hanya deru roda kereta menghujam batangan baja.
"Kau barusan menangis?"
"Tidak!"
"Kau menangis — "
"TIDAK. Aku tidak menangis—" Jawaban itu serak.
www.rajaebookgratis.com
Hening lagi. Desau suara pendingin kabin terdengar pelan.
Cahaya  lampu  rumah-rumah  pinggiran  Perancis  terlihat.  Lebih  banyak  lagi  perkebunan
anggur. Di luar Sana masih gelap. Wibisana menatap datar wajah adiknya.
"Aku hanya takut. Takut terlambat tiba—" 
Ikanuri berkata pelan. Tertunduk menatap keluar jendela. Berusaha menyeka matanya.
Wibisana menelan ludah. Menepuk lembut bahu Ikanuri.
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak akan...."
Ikanuri hanya diam. Berusaha mengendalikan dirinya.
"Kau tahu, kenapa?" Wibisana tersenyum getir.
Ikanuri  menoleh.  Susah  sekali  menyembunyikan  perasaan  hati.  Susah.  Sejak  tadi,  sejak
seluruh  kenangan  itu  buncah  kembali  memenuhi  memori  kepalanya,  semua  terasa  sesak.
Matanya berkaca-kaca lagi. Sejak tadi dia menangis, malah tanpa sengaja membuat Wibisana
terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa berpura-pura lagi. Mengenang semua itu membuatnya
benar-  benar  tersentuh.  Biarlah.  Biarlah  Wibisana  melihatnya  menangis.  Maka  Ikanuri
tergugu menyeka pipinya.
Wibisana  menelan  ludah,  terdiam  sejenak...  Menatap  wajah  sendu  Ikanuri  lamat-lamat,
lantas mengulang pertanyaan itu dengan segenap perasaan, 
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri.... Kau tahu, kenapa?"
Ikanuri menggeleng, pelan.
"Ka-re-na.... Karena  Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak
Laisa tidak pernah sedetik pun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita... Kak Laisa tidak
pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya... Ya Allah...." 
Suara Wibisana terputus. 
Menggantung di langit-langit kabin. Hilang ditelan suaranya sendiri yang bergetar, Wibisana
ikut tertunduk.
Ikanuri menyeka matanya. Terisak lebih kencang.
Kereta ekspress Eurostar itu terus melesat menuju Paris!
Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.
 
Karena  malam  itu  sempuma  sudah  Laisa  menunaikan  janjinya.  Tepat  waktu.  Tak
terlambat sedetik pun. Selepas dari pohon mangga Wak Burhan, usai bertengkar dengan Kak
Laisa, Ikanuri dan Wibisana memang akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah. Mereka
berpikir  pendek:  Kak  Laisa  pasti  mengadu  ke  Mamak  tentang  mencuri  mangga.  Kak  Laisa
pasti  juga  mengadu  kalau  mereka  sudah  menghinanya  soal  bukan  kakak  kami  itu.  Jadi
mereka pasti disuruh tidur di bale bambu bawah rumah. Bisa jadi dihukum selama seminggu.
Tidur di luar selama seminggu itu sama saje dengan mengusir mereka. Sekalian, kalau begitu
lebih baik mereka kabur saja.
Mereka tidak  ingin kabur ke desa  atas. Pasti  segera ketahuan. Setelah  berdebat sebentar,
Ikanuri dan Wibisana memutuskan kabur ke kota kecamatan. Ada dua puluh kilo jika mereka
harus berjalan lewat jalan batu lebar tiga meter itu. Artinya mungkin baru besok siang tiba di
sana. Terlalu  lambat,  masih  bisa disusul oleh starwgoon  yang  berangkat pagi-pagi  buta, dan
pelarian  mereka  diketahui.  Maka  tanpa  berpikir  panjang,  Ikanuri  dan  Wibisana  mengambil
jalan  pintas.  Gunung  Kendeng.  Mereka  tahu  jalan  pintas  itu  dari  percakapan  orang-orang,
pemburu, di kota kecamatan dua minggu lalu.
Berangkatlah dua kakak-adik nakal itu. Agak sedikit lambat, memutari desa, karena tidak
mungkin  melewati  pinggiran  sungai  tempat  orang-orang  sedang  bekerja  membuat  kincir.
Pukul  20.00,  saat  pertama  kali  Mamak  berlari  ke  rumah  Wak  Burhan,  mereka  berdua  baru
setengah  jam  perjalanan  dari  gerbang  masuk  ke  dalam  hutan  rimba.  Melangkah  pasti.
Bintang-gemintang  dan  bulan  malam    tiga-belas    membuat  perjalanan  mereka  mudah
dilakukan, meski tanpa bantuan obor dan golok.
www.rajaebookgratis.com
Pukul 22.00 saat rombongan pencari mulai masuk ke hutan rimba, masalah mereka mulai
serius.  Awan  mendung  yang  menutupi  langit  membuat  rimba  gelap  seketika.  Hanya  kerlip
kunang-kunang, tapi itu tidak membantu banyak. Apalagi tidak ada lagi jalan setapak. Tanpa
golok,  mereka  hanya  menyibak  dan  mematahkan  semak-belukar  dengan  tangan  untuk
memudahkan  langkah. Sekali dua  beristirahat. Bersitatap satu sama  lain. Semakin  masuk ke
dalam,  mereka  berdua  semakin  menyadari  ini  semua  keliru.  Benar-benar  keliru.  Mereka
terlalu menganggap sepele banyak hal. Menggampangkan masalah. Salah perhitungan.
Pukul  24.00  saat  Laisa  dan  Dalimunte  menyusul,  Ikanuri  dan  Wibisana  benar-benar
dalam  masalah. Mereka  masih  jauh dari kota kecamatan,  jangankan kota kecamatan, puncak
Gunung  Kendeng  pun  belum  terlihat.  Mereka  tertahan  di  punggung  Gunung  Kendeng.
Ikanuri  dan  Wibisana  tersesat.  Dua  anak  kecil  yang  meski  amat  ringan  menganggap  semua
perkataan  orang,  jelas-jelas  masih  anak  kecil,  mulai  mengkerut  ketakutan  saat  menyadari
setiap  lima  belas  menit  mereka  berjalan,  mereka  sempurna  kembali  lagi  ke  titik  semula.
Berputar-putar.
Begitu-begitu saja.
Ikanuri  mulai  mengeluh.  Wibisana  mengusap  dahinya  yang  berkeringat.  Ini  semua
menakutkan....  Dan,  hei,  bukankah  mereka  pernah  (sebenarnya  sering)  mendengar  kisah
tentang  harimau  Gunung  Kendeng  yang  dulu  setiap  tahun  mencari  tumbal?  Hei,  bukankah
Babak  juga  salah  satu  dari  tumbal  itu.  Cemas.  Ikanuri  dan  Wibisana  tersengal.  Berjalan
semakin  cepat.  Percuma.  Kembali  lagi  ke  titik  semula.  Hei,  bukankah  ini  pertanda  sang
siluman mengeluarkan jerat pamungkasnya?
Pukul 02.00, sempurna  sudah keduanya  mengkerut takut. Setelah  hampir dua  jam  hanya
bolak-balik  di  tempat  yang  sama,  mereka  memutuskan  untuk  bertahan  di  Sana.  Menunggu
besok,  ketika  cahaya  matahari  memudahkan  menentukan  arah.  Wajah  mereka  pucat  oleh
perasaan  gentar,  cemas.  Tubuh  mereka  mulai  gemetar.  Sedikit  saja  suara  gerakan  di  sekitar,
cukup  sudah  untak  membuat  jantung  mereka  berdetak  lebih  kencang.  Ikanuri  dan  Wibisana
berdiri  saling  membelakangi  punggung.  Mematahkan  batang  semak  belukar  yang  besar,
berusaha mempersenjatai diri.
Saat itu, Laisa dan Dalimunte sudah dekat sekali.
Tetapi  pukul  02.30  mendadak  hutan  di  sekitar  mereka  lengang.  SEMPURNA
LENGANG.  Seperti  ada  yang  jahil  menekan  mati  tombol  volume  derik  jangkrik  dan
serangga lainnya.
Ikanuri  dan  Wibisana  saling  menoleh.  Bersitatap  dengan  cahaya  mata  redup.  Ganjil
sekali.  Suasana  hutan  yang  mendadak  lengang  terasa  amat  ganjil.  Bahkan  angin  pun  seolah
takut berdesau.  Langit gelap, pekat. Awan hitam menutupi berjuta bintang dan bulan. Hanya
nafas cepat mereka yang menderu.
Apa yang sedang terjadi? Ada apa?
Wahai,  kalian  seharusnya  lima  kali  lebih  takut  saat  di  sekitar  kalian  mendadak  senyap,
hening.  Bukan  takut  saat  mendadak  ada  suara  teriakan  atau  cekikikan.  Wahai,  senyap  yang
datang  tiba-tiba,  itu  berarti  pertanda  ada  maut  besar  yang  mengintai.  Pertanda  kehadiran
kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan itu benar.
Saat itulah, lima  belas detik kemudian, suara gerung pelan  itu terdengar menggantung di
langit-langit  hutan rimba.  Awalnya pelan, semakin  lama semakin  mengeras. Gerungan  maut
sang siluman.
"RRRRR-"
Ikanuri dan Wibisana seperti sudah mati rasa. Berdiri kaku. Terkencing-kencing.
"RRRRR-"
Mata-mata itu terlihat menakutkan dari balik semak. Cemerlang. 
Mengerikan.  Semakin  mendekat.  Semak  belukar  itu  pelan  bergoyang,  lantas  tersibak.
Tiga  harimau  dewasa  sebesar  anak  sapi  mendekat.  Berkilauan  kuning  legam  dengan  loreng
www.rajaebookgratis.com
hitam.  Ikanuri  dan  Wibisana  membeku  sudah.  Tidak  bisa  menggerakkan  tubuh  lagi.
Menggigil.
Satu detik. Satu meter lebih dekat.
"RRRRR-"
Lima detik. Tinggal lima meter.
Sepuluh detik. Tiga ekor harimau itu berhitung dengan situasi, mengukur bagaimana cara
terbaik  menerkam  Ikanuri  dan  Wibisana.  Waktu  benar-benar  berjalan  lambat,  untuk  tidak
bilang seperti terhenti. Aroma kematian menggantung pekat di langit-langit hutan.
Hanya soal kapan— 
Hanya soal detik—
Saat  Ikanuri  dan  Wibisana  hampir  jatuh  pingsan,  ketakutan.  Saat  harimau  terbesar  yang
berada paling dekat bersiap meloncat. Saat itulah Kak Laisa menunaikan janjinya.
"TIDAK! TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan tubuh harimau terbesar itu terhenti.
"TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN MEREKA!" 
Kak Laisa, entah apa  yang ada di kepalanya,  yang sedetik  baru tiba di  sana,  sedetik terpana
menyaksikan  pemandangan  di  depannya,  tanpa  berpikir  panjang,  seperseribu  detik  langsung
loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya terlihat begitu tegang. Ia
sungguh  gentar.  Ia  sungguh  ketakutan.  Siapa  pula  yang  tidak  akan  jerih  melihat  tiga  ekor
harimau dari jarak dua meter tanpa penghalang? Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa menyeruak, nekad masuk ke  kematian.
Mengacung-acungkan obornya ke depan.
Tiga  harimau  itu  mundur  satu  langkah.  Menahan  terkaman.  Sedikit  jerih  melihat  obor
Laisa. Ekor mereka bergerak. Berhitung dengan situasi baru.
"RRRRR-"
Harimau  -harimau  itu  menggerung  lagi.  Amat  menakutkan.  Tubuh  mereka  yang  hampir
sebesar anak sapi itu terlihat lebih jelas, tertimpa cahaya obor Kak Laisa. Kerlap-kelip. Kulit
yang tebal, mengkilat. Wajah, taring, cambang, sungguh menakutkan.
"Puyang tidak boleh memakan mereka... Laisa mohon. tidak boleh—" 
Kak Laisa mencicit, berkali-kali mengibas-ngibaskan obornya.
"RRRR-"
"Pergilah Ikanuri, Wibisana. Pergi dari sini! PERGI!" 
Kak  Laisa  mendorong  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  pucat  pasi  di  belakangnya.  Sementara
wajah Kak Laisa terus bersitatap dengan harimau-harimau itu. Menjaga segala kemungkinan.
Gerungan  terdengar  semakin  keras.  Tiga  harimau  itu  mengambil  posisi  baru.  Tidak
masalah. Empat mangsa lebih baik dari dua.
"Dali, bawa adik-adikmu lari.... LARI!!" 
Kak  Laisa  berseru panik. Situasinya  semakin  mencekam. Harimau-harimau kembali  bersiap.
Dalimunte yang menatap ketakutan dari balik semak mendecit.
"Dali, CEPAT! Bawa adik-adikmu lari!" 
Kak Laisa membentak. Suaranya parau. Panik. Mereka tidak punya waktu lagi.
Gemetar  Dalimunte  masuk  ke  dalam  lingkaran,  patah-patah  menarik  tubuh  membeku
Ikanuri  dan  Wibisana  ke  luar.  Laisa  terus  menatap  tiga  ekor  harimau  itu.  Menelan  ludah.
Mencoba menahan mereka dengan obor yang teracung.
"RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, bilang Mamak, Lais pergi—
"RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, maafkan Lais—" 
Kak  Laisa  berkata  dengan  suara  semakin  serak.  Ia  tahu,  malam  ini  harimau-harimau  ini
membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang menggantikan adik-adiknya.... Ia tahu, 
www.rajaebookgratis.com
waktunya  sudah  selesai.  Biarlah  begitu.  Biar  ia  yang  menahan  mereka  sementara  adik-adiknya berlari....
Suara gerungan itu tiba di puncaknya.
Kepala-kepala menakutkan itu terangkat siap menerkam.
Laisa    dengan  mata  bercahaya,    buncah    oleh    air  mata  menatap  ke  depan.  Menunggu.
Bersiap.  Sementara  Dalimunte  yang  sedikit  pun  tidak  mengerti  apa  yang  sedang  dilakukan
Kak  Laisa,  tunggang  langgang  menarik  tubuh  Ikanuri  yang  sempat  terjatuh,  mereka  harus
kabur sesegera mungkin dari situ.
Seperseribu detik berlalu. Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang
bersitatap  dengan  mata  Laisa,  tiba-tiba  bergoyang.  Harimau  itu  menggerung  keras.  Laisa
menggigit bibir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia sudah siap.
Tapi  hei,  kenapa?  Kenapa  belum  ada  satu  pun  harimau  yang  menerkamnya?  Dua  detik.
Tetap begitu. Tiga detik? Tidak ada yang bergerak. Wahai, apa yang telah terjadi?
Keajaiban  itu!  Hanya  kuasa  Allah  yang  tahu  apa  yang  sesungguhnya  sedang  terjadi
malam  itu,  sang  siluman  entah  oleh  kekuatan  apa  mendadak  mengurungkan  niatnya
menerkam  tubuh  pasrah  Laisa.  Lima  detik  berlalu,  harimau  terbesar  setelah  sekali  lagi
menggerung  lebih  keras,  perlahan  melangkah  mundur.  Memberikan  perintah,  memutar
tuhuhnya.
Pergi. Dua harimau lainnya mengikuti.
Dalimunte  yang  terjerambab  di  semak  belukar  setelah  berlari  sepuluh  langkah  bersama
adik-adiknya menatap kosong tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di atas tubuh-tubuh mereka yang terjerambab.
Begitu saja—
Lima detik. Lima belas detik.
Senyap. Hening.
 
16
SEJUTA KUNANG-KUNANG
BAGI penduduk di lembah itu, legenda tentang harimau Gunung Kendeng selalu diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mungkin dulu sengaja dibuat begitu agar penduduk
kampung  tidak  berani  merambah  wilayah  berbahaya  tersebut.  Cerita  itu  juga  dikisahkan  ke
anak-anak agar  mereka tidak sejahil dan  segampang Ikanuri dan  Wibisana  yang  bebal  justru
melintasi sarang harimau. Atau setidaknya membuat anak-anak yang susah disuruh tidur dan
banyak merengek segera beranjak naik ke atas dipan.
Alkisah,  di  lembah  dan  gunung  itu,  ratusan  tahun  silam  bangsa  harimau  dan  manusia
hidup  damai  berdampingan.  Penduduk  lembah  tidak  mengganggu  mereka,  harimau  juga
sebaliknya.  Itu  perjanjian  tak  tertulis  para  leluhur.  Hingga  pada  suatu  ketika,  masa-masa
berdamai itu berakhir oleh sebuah kejadian. Salah seorang penduduk kampung yang berburu
di dalam hutan tidak sengaja masuk ke wilayah terlarang. Entah apa pasal, pemburu itu malah
menombak  seekor  anak  harimau.  Maka  rusaklah  perjanjian  tersebut.  Kelompok  harimau
meminta  ganti  rugi.  Nyawa  ditukar  nyawa.  Tapi  penduduk  kampung  menolak.  Mereka
menolak menyerahkan pemuda yang melakukan kesalahan tersebut.
Kelompok harimau gunung memutuskan balas dendam. Maka terjadilah pertikaian. Lebih
banyak  lagi  harimau  yang  mati  terbunuh.  Suatu  malam,  sekelompok  harimau  yang  tersisa
mengambil  belasan  anak-anak  kecil  dari  kampung  secara  diam-diam  sebagai  ganti-rugi.
Bertahun-tahun  tidak  ada  yang  tahu  ke  mana  anak-anak  itu  menghilang.  Sebagian  bilang
mereka  berubah  jadi  harimau.  Sebagian  yang  lain  bilang  dijadikan  tumbal.  Yang  pasti  sejak
hari itu, manusia dan harimau di lembah dan gunung terus saling menyerang.
Atas  kejadian  itu,  harimau  kemudian  disebut  sang  siluman,  karena  mencuri  sembunyi-sembunyi  anak  kecil.  Sejak  hari  itu  juga,  kata-kata  puyang  (atau  kakek)  disematkan  kepada
www.rajaebookgratis.com
harimau.  Karena  legenda  itu  mewariskan  pemahaman  bahwa  harimau  yang  ada  di  puncak
gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri.
Sejak  delapan  tahun  silam,  populasi  harimau  di  Gunung  Kendeng  sebenamya  semakin
terdesak.  Perambah  hutan  membuat  mereka  mulai  tersingkir.  Belum  lagi  harga  kulit  dan
taring  mereka  yang  mahal.  Harimau  Gunung  Kendeng,  diburu  oleh  kelompok-kelompok
pemburu  profesional  dari  kota  provinsi.  Dengan  bedil.  Perangkap  besi.  Legenda  itu  tinggal
cerita  belaka.  Tinggal  sebutan,  nama-nama.  Tidak  ada  penduduk  yang  menganggapnya
serius.  Masih  disampaikan  kepada  anak-anak  hanya  agar  mereka  mengerti  kalau  gunung  itu
berbahaya.  Tapi  meskipun  begitu,  semua  penduduk  mengerti  benar  berapa  pun  jumlahnya
sekarang harimau tetaplah binatang berbahaya.
Setengah jam berlalu dari kejadian hebat itu....
Setelah  sepotong  lereng  gunung  tempat tiga  harimau  tadi  bersiap  menerkam  Ikanuri  dan
Wibisana  kembali  ramai  oleh  derik  jangkrik,  ramai  kembali  oleh  serangga  malam,  Laisa
menuntun adik-adiknya, pulang. Obor sudah padam. Tidak sengaja padam saat kejadian seru
tadi.  Tombak  Dalimunte  juga  entah  tercecer  di  mana.  Terjatuh.  Tidak  ada  yang  sempat
memikirkannya.  Mereka  berjalan  pelan.  Beriringan.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  mulai  bisa
bernafas  normal  melangkah  tertunduk  di  depan.  Sementara  masih  banyak  sekali  pertanyaan
yang menyesaki kepala Dalimunte.
Laisa  tidak  banyak  bicara.  Ujung  tangannya  masih  berkedut  sekali  dua.  Kakinya  masih
sering  gemetar  menopang  tubuh.  Sisa  perasaan  gentarnya  tadi  saat  tiga  harimau  itu  bersiap
menerkam. Tapi karena  ia  ingin  buru-buru pulang, agar Mamak tak terlalu  lama  menunggu,
tak  terlalu  lama  menanggung  cemas,  Laisa  meneguhkan  hati,  membujuk  kakinya  agar
berjalan senormal mungkin.
Menjelang larik jingga muncul di ufuk sana, menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat
Wak  Burhan  dan  penduduk  kampung  masih  sibuk  dan  mulai  putus  asa  mencari  Ikanuri  dan
Wibisana, mereka tiba di gerbang hutan seberang dinding
Kerlip kunang-kunang lebih ramai di sini. 
Terbang berkelompok. Beranjak pulang ke sarang.
Langkah Laisa terhenti. Menatap cahaya mereka yang indah.
"Ikanuri, Wibisana, Dalimunte...." 
Berkata pelan. Langkah adik-adiknya di depan ikut terhenti. 
"Lihatlah! Kunang-kunang yang indah—" Ikanuri dan Wibisana mengangkat kepalanya.
"Suatu hari nanti...."  Kak Laisa terdiam  sebentar,  ia tersenyum amat tulus sambil  menatap
wajah  adik-adiknya  di  remang  semburat  merah  langit,  wajahnya  sungguh  kontras  dengan
mereka, ia berkulit hitam, sementara adik-adiknya putih, ia berambut gimbal, sementara adik-adiknya lurus, 
"Suatu  hari  nanti,  sungguh  kalian  akan  melihat  berjuta  kerlip  cahaya  lampu  yang  jauh  lebih
indah di luar sana, di luar lembah kita...
Satu kunang-kunang berdesing di depan mereka.
Kepala Dalimunte tertunduk.
"Ikanuri,  Wibisana,  suatu  saat  nanti  kalian  akan  melihat  betapa  hebatnya  kehidupan  ini....
Betapa  indahnya  kehidupan  di  luar  sana.  Kalian  akan  memiliki  kesempatan  itu,  yakinlah....
Kakak berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua ini terwujud...."
Dalimunte menyeka ingusnya.
"Tapi  sebelum  hari  itu  tiba,  sebelum  masanya  datang,  dengarkan  Kakak,  kalian  harus  rajin
sekolah,  rajin  belajar,  dan  bekerja  keras.  Bukan  karena  hanya  demi  Mamak  yang  sepanjang
hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian
harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan
yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...."
Dalimunte sudah menangis pelan.
www.rajaebookgratis.com
"Kelak kalian akan melihat kerlip cahaya yang lebih indah...."
Dalimunte sudah terisak.
Dia mengerti. Amat mengerti segalanya—
 
Juga di sini Ikanuri juga benar-benar menangis. 
Lihatlah! Menara Eiffel terlihat cemerlang. Penghujung tahun begini.
Menara  Eiffel  bagai  pohon  natal  raksasa.  Kerlip  berjuta  lampu  kota  Paris  yang  tersaput
selimut salju putih tak mau kalah, terlihat begitu mempesona. Seperti sejuta kunang-kunang.
Menyeruak berpendar-pendar.
Ikanuri  mendekap  wajahnya.    Umurnya  sekarang  tiga  puluh  enam.  Wibisana  tiga  puluh
tujuh.  Kejadian  itu  lebih  seperempat  abad  silam  berlalu.  Ya  Allah,  Kak  Laisa,  Kak  Laisa
tidak  pernah  datang  terlambat  untuk  mereka.  Tidak  sedikit  pun.  Seperti  kalimat  Kak  Laisa
pagi itu, Kak Laisa menunaikan seluruh janjinya. Tidak ingkar sekalipun. Tidak pernah....
Kereta  eskpress  Eurostar  itu  melesat  membelah  indahnya  kota  Paris.  Semburat  merah
muncul  di  angkasa.  Pagi  datang  menjelang.  Membuat  gemeriap  lampu  kota  yang  belum
dimatikan terlihat begitu menawan. Kabut pagi menambahinya. Syahdu.
"Sudahlah, Ikanuri—" Wibisana mendekap bahu adiknya.
"Kau tahu.... Kau tahu, waktu itu aku mengatakan Kak Laisa bukan kakak kita. Kau tahu itu!"
Ikanuri  tersedak.  Mendekap  wajahnya.  Dia  tidak  bisa  menahan  lagi  perasaan  itu.  Dan
melihatnya tertunduk menangis sungguh menyedihkan. Wahai, kalian akan lebih terharu saat
melihat  seseorang  yang  selama  dikenal  nakal,  tukang  jahil,  bebal,  atau  apalah  tiba-tiba
menangis. 
Sungguh.
"Kak Laisa tidak pernah marah dengan itu, Ikanuri." 
Wibisana mengusap bahu adiknya.
Ikanuri justru tersedan lebih keras. Itu benar sekali. Kak Laisa tidak pernah marah soal itu
sedikitpun.  Tidak  pernah.  Bahkan  Kak  Laisa  tidak  pernah  mengungkit-ungkitnya  lagi.  Ya
Allah,  karena  itulah  dia  merasa  bersalah  sekali.  Menyesalinya  sepanjang  hidup.  Dua  puluh
lima  tahun  berlalu,  ketika  takdir  kehidupan  yang  lebih  baik  menjemput  keluarga  sederhana
mereka  di  Lembah  Lahambay,  bahkan  dia  tidak  pernah  meminta  maaf  soal  itu.  Meski  Kak
Laisa sebenarnya sudah memaafkan detik itu juga di bawah pohon mangga tersebut. Tapi dia
selama  ini  tidak  pernah  merasa  harus  meminta  maaf.  Bagainiana  jika  mereka  terlambat  dan
tidak ada waktu lagi?
"Tolong.... Tolong sambungkan sekali Iagi ke Mamak—" 
Ikanuri menyeka matanya. Berusaha mengendalikan diri.
Wibisana  mengerti.  Mengambil  HP  di  saku.  Pelan  menekan  nomor  HP  Mamak  Lainuri.
Tadi  berkali-kali  mereka  menelepon  ke  perkebunan  strawberry,  kata  Mamak,  Kak  Laisa
masih  tertidur  (atau  begitulah  yang  dokter  bilang).  Mereka  tidak  ingin  membangunkan  Kak
Laisa. Biarlah mereka akan menelepon lagi.
Suara tunggu itu bernyanyi satu kali. Dua kali.
"Assalammualaikum...." Suara renta Mamak terdengar.
"Waalaikumussalam..." 
Wibisana  menelan  ludah  suaranya  bergetar,  berusaha  tersenyum.  Tangannya  yang  satu  lagi
masih mendekap bahu Ikanuri, menenangkan.
"Kak Lais sudah bangun, Mak?—"
"Sudah. Sebentar, anakku — "
Senyap.  Suara  Mamak  yang  bertanya  pada  dokter  terdengar  samar-samar.  Handsfree.
Dokter mengaktifkan handsfree, agar Kak Laisa bisa bicara meski sambil terbaring,
"Silahkan, Pak Wibisana, Pak Ikanuri, kalian bisa bicara sekarang, tapi jangan lama-lama, Ibu
Laisa masih dalam kondisi kritis. Silahkan,—" Dokter berkata dari seberang.
www.rajaebookgratis.com
Ikanuri dan Wibisana justru terdiam. Menelan ludah.
"Kak Lais—" Bergetar.
"I-ka-nu-ri?" Terbatuk. 
"Itu kau di sana, Ikanuri?—" Samar suara Kak Lais terdengar dari speaker telepon genggam.
Ikanuri seketika kehabisan kata-katanya, kecuali tangis.
Benar-benar kecuali tangis.
Satu minggu berlalu. Hari ini seluruh kampung bersuka-cita. Sejak shubuh mereka sudah
berkumpul  di  pinggir  cadas.  Beramai-ramai,  bergotong-royong  memasang  kincir-kincir  di
atas  pondasinya.  Benar,  Perhitungan  Dalimunte  sejauh  ini  tepat.  Saat  ikatannya  dilepas,
kincir  pertama  yang  terbenam  di  air  sungai  berderak  mulai  berputar  mengikuti  arus,  sambil
membawa air di ujung-ujung bumbungnya. Naik. Terus naik. Lantas tumpah persis di puncak
kincir. Mengisi bumbung bambu kincir kedua. Kincir kedua pelan, mulai ikut berputar.
"NAIK!  NAIK!  NAIK!"  Penduduk  kampung  berseru-seru.  Wajah  mereka  tegang.  Meski
seringai  yakin  mulai  terpancar  di  sana-sini.  Kincir  mereka  kokoh,  pondasinya  kuat.  Tidak
akan  ada  yang  salah.  Susunannya  tepat,  konstruksinya  baik.  Percuma  mereka  punya  jagoan
pintar macam Dalimunte.
Kincir  air  kedua  sedikit  bergetar  membawa  air  terus  berputar.  Naik  ke  atas.  Tumpah.
Mengisi bumbung kincir ketiga.
"NAIK!  NAIK!  NAIK!"  Seruan  penduduk kampung semakin meriah. Satu-dua anak kecil
malah  bertepuk-tangan.  Macam  nonton  kumedi  putar  di  kota  kecamatan.  Wak  Burhan  yang
berdiri  di  depan  kerumunan  melepas  topi  anyaman  rotan.  Menyeka  keringat  di  dahi,
pertanyaan  terbesarnya  adalah  apa  cukup  kekuatan  air-air  yang  terus  mengalir  ke  atas  itu
untuk  memutar  lima  kincir  air?  Dulu  saat  mereka  membuat  kincir  raksasa,  masalah
terbesamya air deras sungai tidak cukup kuat memutarnya.
Tapi  kincir  air  yang  ketiga  justru  berputar  lebih  cepat.  Dalimunte  sudah  menghitung
kemungkinan  itu.  Membuat  kincir-kincir  tersebut  proporsional  mengecil  hingga  ke  atas.
Menyusunnya  dengan  posisi  lebih  condong,  lebih  mudah  digerakkan.  Dia  juga  membuat
klahar bantalan pemutarnya jauh lebih licin dengan gemuk yang dibeli Wak Burhan dari kota
kecamatan.
"NAIK! NAIK! NAIK!"
Kincir keempat bergerak meyakinkan.
"NAIK! NAIK! NAIK!" 
Seruan semakin ramai. Yang membuat penduduk semakin yakin, sejauh ini air itu sudah naik
empat meter, tinggal satu meter lagi. Tinggal satu kincir lagi.
Kincir  kelima  berderak  sebentar.  Pondasinya  di  dinding  cadas  bergetar.  Membuat  nafas
tertahan. Bumbung bambu pertamanya menerima tumpahan air dari kincir keempat. Penuh.
Lantas pelan, mulai ikut berputar.
Dan  akhirnya,  air  dari  bumbungnya  tumpah  persis  di  atas  cadas  setinggi  lima  meter.
Pinggir sungai itu buncah sudah oleh tawa-gembira. Seruan-seruan senang. Tepuk-tangan 
"Bah! Apa kubilang! Kita pasti berhasil!" Beberapa pemuda saling memukul lengan, tertawa. 
"Benar! Kita pasti berhasil!" 
"Bukan main, kau hebat Dali!" 
Yang lain mengangkat tubuh kecil Dalimunte. Mengaraknya ke tengah sungai. Tertawa lebih
keras.
"CBYUR!"Terjatuh.Terpeleset  bebatuan.Pemuda-pemuda  itu  basah  kuyup.  Juga  Dalimunte.
Tertawa lebih lebar.
Wak Burhan menghembuskan nafas lega. Engkau sungguh baik ya, Rabb. Menatap wajah
Dalimunte  yang  tertawa-tawa,  bangkit  dari  air  sungai  sedalam  pinggang.  Menatap  wajah
Lainuri yang berdiri bersama ibu-ibu kampung lainnya. Wajah Lainuri yang tersenyum lebar.
www.rajaebookgratis.com
Menatap  wajah  Laisa  yang  tersenyum  lebih  lebar.  Wajah  Yashinta  yang  berdiri  dengan
teman-teman sepantarannya. Ikut berteriak-teriak riang meski mereka tidak mengerti benar.
Menatap wajah Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung bebal itu bersama anak-anak tanggung
lainnya ikut melompat ke inang sungai, ikut menyirami Dalimunte dengan air. Tertawa-tawa.
Benar-benar melupakan kejadian heboh seminggu lalu. Pagi ini, kabar baik memenuhi langit-langit  lembah.  Engkau  sungguh  pemurah,  Rabb.  Wak  Burhan  memasang  topinya.  Berteriak
menyuruh mereka mulai bekerja. Hari ini mereka harus menyelesaikan sambungan pipa-pipa
bambu  sepanjang  satu  kilo.  Dengan  begitu,  ladang-ladang  mereka  mulai  bisa  diairi.  Dengan
begitu,  lepas  panen  bulan  depan,  mereka  langsung  bisa  mengolah  tanah  lagi.  Tidak  perlu
menunggu musim penghujan, Sekarang, nasib mereka berada di tangan mereka sendiri.
Tujuh  puluh  tahun  tinggal  di  kampung  itu,  tidak  pernah  Wak  Burhan  merasakan
antusiasme  hidup  yang  begitu  hebat.  Meski  baru  seminggu  lalu  dia  seperti  kembali  melihat
hantu masa  lalunya. Tapi  itu tidak terjadi.  Kecemasan kembali terulangnya kejadian delapan
tahun  silam  tidak  terbukti.  Saat  mereka  benar-benar  putus-asa,  mulai  berangsur  pulang
setelah  lelah  menelusuri  hutan  rimba,  saat  bersiap  melaporkan  kejadian  itu  ke  polisi  di  kota
kecamatan,  saat  tiba  di  balai  kampung,  Ikanuri  dan  Wibisana  justru  ditemukan  sudah
berbaring kelelahan, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha memberikan minum.
Laisa  dan  Dalimunte  terbata  menceritakan  apa  yang  terjadi.  Satu  patah,  dua  kali  helaan
nafas.  Mereka  juga  lelah.  Naik  turun  Gunung  Kendeng  bukan  urusan  mudah,  apalagi  dalam
situasi  buruk  seperti  itu.  Maka  cerita  mereka  hingga  kapanpun,  mungkin  tak  akan  pernah
terlupakan.  Mungkin  berpuluh-puluh  tahun  ke  depan  tetap  dikenang  penduduk  kampung.
Tidak  ada  yang  tahu  apa  yang  terjadi,  kenapa  tiga  harimau  itu  urung  menerkam  Laisa.  Satu
dua  bilang  mungkin  harimau  itu  sudah  kenyang,  habis  memangsa  babi  liar.  Satu  dua  bilang
harimau itu mungkin takut dengan obor api. Satu dua berseru, mungkin harimau itu lagi sakit
gigi. Semakin dibicarakan, semakin ngaco seruan-seruan penduduk.
Malah  ada  yang  menduga  mungkin  karena  Laisa  mewarisi  Jurus  Pesirah,  ilmu  silat
mengendalikan  harimau  yang  konon  dulu  pernah  dikuasai  leluhur  mereka.  Atau  mungkin
pula  harimau  itu  takut  melihat  mata  melotot  Laisa,  bukankah  minggu  lalu  saat  Laisa  galak
berseru-seru  soal  ide  lima  kincir  di  balai,  pemuda  kampung  saja  jerih  melihatnya,  nah,
apalagi harimau itu. Entahlah. Laisa tidak banyak berkomentar, ia hanya bilang ia juga takut
malam  itu,  tapi  apalagi  yang  harus  dilakukannya?  Ia  tidak  punya  pilihan  selain  melindungi
adik adiknya. Tidak sempat berpikir panjang.
Hanya  Dalimunte  yang  bisa  memberikan  penjelasan  lebih  masuk  akal.  Itu  pun  setelah
Dalimunte sudah sekolah di kota provinsi,  mulai tenggelam dengan kecintaannya atas  buku-buku.  Kata  Dalimunte  pada  suatu  kesempatan  saat  mereka  berkumpul,  berdasarkan  buku-buku  yang  dibacanya,  binatang  meski  tidak  memiliki  akal-pikiran  tapi  mereka  memiliki
insting, naluri. Perasaan. Mereka bisa menyayangi anak-anaknya, melindungi sarangnya, tahu
kerabatnya  sedang  dalam  bahaya,  sakit,  dan  sebagainya.  Sehingga  mereka,  meski  tidak
seintens  manusia  dalam  menerjemahkan  perasaannya,  dalam  kondisi  tertentu,  bisa  mengerti
binatang  lain,  bisa  mengerti  komunikasi  perasaan  dengan  mahkluk  yang  tidak  sejenis
dengannya.
Itulah  yang  terjadi  malam  itu.  Harimau  yang  paling  besar,  yang  paling  menakutkan,
meski  selintas,  meski  sekejap,  dari  tatapan  matanya  ke  Kak  Laisa,  ia  akhirnya  tahu  betapa
Kak  Laisa  mencintai  adik-adiknya.  Betapa  Kak  Laisa  siap  mengorbankan  hidupnya  demi
adik-adiknya.  Harimau  itu  mengerti.  Lantas  memutuskan  pergi.  Itu  penjelasan  Dalimunte
kepada  Intan  yang  beranjak  sekolah  dan  sibuk  bertanya  saat  mereka  berkumpul  bersama
mengenang kejadian  itu di perkebunan  strawberry. Dan  itu  lebih dari cukup untuk  membuat
Intan, Juwita, dan Delima terdiam, lantas menatap terpesona pada Wak Laisa.
Menjelang  senja,  saat  matahari  bersiap  menghujam  di  balik  puncak  Gunung  Kendeng,
pipa-pipa  bambu  sudah  tersambung  rapi.  Diperlukan  76  batang  bambu  untuk  mencapai
www.rajaebookgratis.com
ladang.  Seperti  tarian  ular,  air  bening  yang  mengalir  melewati  pipa  bambu  membasahi
ladang-ladang mereka. Bukan main, ini semua benar-benar kabar baik.
Wak  Burhan  setelah  puas  menatap  air  tumpah  membanjiri  ladang-ladang  mereka,
beranjak  mengajak penduduk kampung pulang. Lembah  mulai remang. Saatnya  beristirahat.
Esok  masih  panjang,  masih  banyak  pekerjaan  yang  harus  dilakukan.  Dan  malam  ini,
perjalanan  panjang  itu  telah  dimulai  dengan  perasaan  lega.  Menyenangkan.  Hanya  Ikanuri
dan Wibisana yang merasa ganjil selepas pulang dari ladang. Karena tadi siang Wak Burhan
menyuruh  mereka  memetik  habis  buah  mangga  di  ladangnya.  Membagi-bagikannya  ke
penduduk kampung yang sedang gotong-royong.
"Sayang,  yang  besar-besar  minggu  lalu  rontok  dimakan  kelelawar  harusnya  itu  jatah
Yashinta—" Wak Burhan tersenyum memberikan sekantong buah mangga ke Yashinta.
Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik, merasa bersalah—
 
17
YASIN YANG DIBACAKAN
MOBIL KIJANG itu pelan masuk ke halaman rumah.
Rumput  yang terpotong rapi  menghampar bagai  beludru. Pohon duku, jeruk, durian, dan
kakao  yang  dibonsai  berbaris  rapi.  Minggu-minggu  ini  buahnya  masih  terlalu  muda  untuk
dipetik,  tapi  melihatnya  sudah  cukup  menyenangkan.  Rumah  panggung  itu  terlihat  terang.
Belasan lampu neon bersinar lembut. Ramai. Beberapa penduduk terlihat duduk berkerumun
di kursi bambu yang tersusun di depannya. Juga di teras. Mereka serempak berdiri saat mobil
jemputan kebun strawberry itu mulai memasuki halaman rumah.
Tidak.  Tentu  saja  itu  bukan  rumah  panggung  paling  kecil,  paling  reot,  paling  jelek  di
ujung  lembah.  Itu  masih  rumah  yang  lama,  masih  di  lokasi  yang  sama,  tapi  sekarang  sudah
bertambah tiga kali lipat ukurannya, sudah berdiri kokoh, beratap genteng. Meski masih sama
dinding  kayunya,  sudah  berdiri  asri.  Halamannya  yang  sejak  dari  dulu  sudah  luas,  sekarang
dipenuhi  bebungaan  dan  pohon-pohon  bonsai.  Rumah  panggung  itu  juga  terlihat  modern
dengan instalasi listrik dan rangkaian ornamen kaca warna-warni.
Kampung  itu  sejak  dua  puluh  tahun  silam  pelan  tapi  pasti  memang  berubah  jadi  lebih
baik. Lebih maju. Hari ini, seluruh rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan
sanitasi  dan  halaman  yang  rapi.  Jika  kalian  sempat  datang  ke  sana,  kalian  seperti  melihat
deretan bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu tentu termasuk rumah
tua Mamak Lainuri.
Tidak  ada  lagi  hamparan  semak  belukar.  Juga  ladang-ladang  padi  tadah  hujan  di  sekitar
kampung.  Apalagi  kebun  mangga  Wak  Burhan.  Yang  ada,  sejak  memasuki  lembah  radius
dua  kilo  meter,  hanya  perkebunan  strawberry  yang  membentang  luas.  Hijau  sepanjang  mata
memandang. Buah  merah  yang  beranjak ranum terlihat mengundang, bergelantungan,  meski
senja  yang  beranjak  malam  membuat  remang  sekitar.  Kebun-kebun  itu  separuhnya  milik
penduduk  kampung,  yang  bentuk  dan  susunannya  dibuat  sedemikian  rupa  agar  sama  seperti
separuh lainnya, milik Kak Laisa. 
Berbaris. Polybag pohon strawberry terlihat seperti lajur-lajur tentara yang berbaris rapi.
Jalan  setapak  yang  sudah    diaspal  melingkari  kebun-kebun.  Memudahkan  untuk
mengangkut  buah  strawberry  saat  panen  tiba.  Juga  menjadi  trek  mengasyikkan,  naik  turun
lembah  mengelilingi  perkebunan.      Satu  bangunan  besar  terlihat  di  tengah  hamparan  hijau
perkebunan.  Itu  gua  penyimpanan  sementara  sebelum  buah  strawbeery  dibawa  ke  kota
provinsi.  Lampu-lampu  bangunannya  bersinar  redup.  Malam  ini,  lima  truk  milik  gudang
berjejer, besok pagi-truk itu berangkat ke pusat pengalengan.
Orang-orang  yang  tadi  duduk  di  kursi  bambu  beranjak  mendekat.  Mengerubungi  mobil
jemputan perkebunan. Dalimunte membuka pintu mobil. Melangkah turun.
"Akhirnya kau tiba, Dali —" Orang-orang berseru, memeluknya.
www.rajaebookgratis.com
Dalimunte  menelan  ludah.  Menatap  wajah-wajah  bersimpati  itu.  Balas  memeluk.  Dia
mengenalinya.  Amat  mengenal.  Mereka  adalah  tetangga-tetangga  kampung.  Satu  dua
terhitung  teman  sepermainan  masa  kecil.  Mereka  seperti  sedang  bersiap.  Bukan.  Bukan
bersiap menyambutnya. Bersiap untuk urusan lain. Dalimunte sekali lagi menelan ludah
"Ayo, kalian jangan menghalangi Dali, biarkan dia masuk—"
Seorang lelaki  setengah  baya  berkata tegas, menyeringai,  menyuruh kerumunan  menyingkir.
Itu Bang Jogar, pemuda yang paling banyak bertanya soal urusan lima kincir air dulu di balai
kampung.  Umurnya  sekarang  lima  puluh.  Kepala  kampung  (jika  lembah  indah  itu  masih
layak  disebut  kampung).  Wak  Burhan  sudah  meninggal  sepuluh  tahun  silam.  Bang  Jogar
dipilih  dengan  suara  bulat  oleh  penduduk  menjadi  penerus.  Kerumunan  tetangga  menyibak.
Memberikan jalan.
"Ayo, Dali. Mamak Lainuri sudah menunggu kau dari tadi—" Dalimunte mengangguk,   
"Apa Kak Laisa baik-baik-baik saja?"
"Aku tidak tahu, Dali. Dokter lebih tahu urusan itu  kan tahu, abang-abangmu ini di kampung
mana  pernah  sekolah  hingga  kelas  enam  kecuali  kau  dan  anak-anak  kami  sekarang,"  Bang
Jogar tertawa, bergurau, mencoba menghibur  Dalimunte yang cemas.
"Tapi terakhir kali aku atas, lima menit lalu, Laisa sudah siuman. Kata Mamak Lainuri, Laisa
sempat bicara dengan Ikanuri dan Wibisana lewat telepun, Hei! Kalian bantulah  koper-koper
Dalimunte dari mobil. Jangan macam anak  uwa, sibuk menonton saja. Atau seperti kubilang
tadi, ikut mengaji yasin di surau sana!—" 
Bang Jogar meneriaki pemuda-pemuda tanggung di kursi bambu,
Cie Hui, istri Daiimunte membantu Intan, yang baru bangun tidur, turun dari mobil. Intan
menggendong ransel  sekolahnya,  menyeka  anak rambut dari kening. Tadi sempat tertidur di
mobil.  Dibangunkan  Abi  persis  masuk  areal  perkebunan  strawberry.  Si  belang  sudah  loncat
saat  pintu  mobil  dibuka.  Hamster  itu  amat  familiar  dengan  areal  perkebunan.  Setiap  dua
bulan  mereka  pulang,  si  belang  selalu  ikut.  Malah  menurut  Oom  Ikanuri,  si  belang  punya
pacar  hamster  liar  lembah.  Ah,  pasti  Oom  Ikanuri  ngibul,  kan  Oom  Ikanuri  memang  suka
bohong.  Dalimunte  beranjak  menaiki  anak  tangga,  diikuti  Cie  Hui  dan  Intan  (yang  masih
menguap).
Menghela nafas tertahan, masuk ke ruang depan. Ruangan yang dulu menjadi tempat dia,
Ikanuri  dan  Wibisana  tidur  bertiga.  Dengan  sarung  beralaskan  tikar  pandan,  bersama  angin
malam yang menembus dinding berlubang. Dalimunte menatap sekitar, beberapa ibu-ibu dan
anak gadis tetangga berkerudung rapi, duduk di tepi-tepi ruangan, melingkar membaca yasin
bersama-sama.  Kebiasaan  setempat  jika  ada  urusan  seperti  ini.  Di  surau  kampung  yang
sekarang  berubah  menjadi  masjid  kecil  tapi  megah,  lelaki  dewasa  juga  bersama-sama
membaca yasin. Suara mereka terdengar hingga sini.
Dalimunte menelan ludah untuk kesekian kalinya. Jika sudah sampai membaca yasin agar
yang  sakit  dimudahkan  urusannya,  berarti  sakit  Kak  Laisa  serius  sekali.  Menghela  nafas
pelan.  Terus  melangkah  menuju  kamar  Kak  Laisa.  Wajah-wajah  terangkat,  melihat
rombongan.  Tersenyum  kepada  Intan  yang  menoleh  ke  sana  ke  mari.  Intan  hanya  nyengir
membalas tatapan itu, berpikir pendek, ramai betul lagi ada kendurian, ya?
Apa yang sebenamya terjadi? Dalimunte mengusap wajah.
Bagaimana mungkin semua tiba-tiba jadi terlihat sendu seperti ini? 
Bukankah  satu  bulan  lalu  saat  mereka  pulang  bersama,  jadwal  berkumpul  rutin  mereka,
Kak  Laisa  terlihat  sehat-sehat?  Tertawa-tawa  menggendong  Intan,  Juwita  dan  Delima
bergiliran  menuruni  dinding  cadas  sungai.  Berkeliling  kebun  strawberry  dengan  sepeda
BMX.  Mengawasi  gudang  penyimpanan.  Bahkan  Kak  Laisa  masih  sempat-sempatnya
mencari sendiri umbut (ujung rotan) di hutan untuk membuat masakan surprise bagi mereka.
Menu favorit Yashinta, Ikanuri dan Wibisana, dan juga ponakannya.
www.rajaebookgratis.com
Kak  Laisa  tak  sedikitpun  terlihat  sakit.  Riang  meladeni  Intan,  Juwita  dan  Delima  yang
bertengkar memperebutkan foto Tante Yashinta. Galak meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang
selalu  saja  jahil  entah  melakukan  apa  kepada  anak-anak.  Meladeni  Ikanuri  dan  Wibisana
yang masih saja suka mengganggu Kak Laisa dengan celetukan-celetukan. Tertawa. Bermain
kembang api bersama anak-anak kampung. Membuat langit lembah bercahaya oleh gemerlap
nyala kembang api. Membakar jagung di halaman rumah bersama tetangga-tetangga.
Kak Laisa tidak berubah sedikit pun, persis seperti melihat foto masa lalunya, hanya saja
sekarang piguranya terlihat kecokelatan. Umurnya sekarang empat puluh tiga. Tapi  ia  masih
sama  disiplinnya,  terus  bekerja  keras  mengurus  kebun,  mengurus  Mamak,  mengurus  pabrik
pengalengan, mengurus sekolah di lembah, mengurus apa-saja. Melakukan banyak hal. Masih
sama atletisnya,  masih dengan tubuh gemuk tapi  gempalnya. Padahal kalau  Kak Laisa  ingin
duduk-duduk santai,  tidak  masalah. Pabrik  itu punya  belasan pekerja.  Warga dari kampung
atas  dan  seberang.  Juga  turut  bekerja  di  perkebunan  beberapa  insinyur  pertanian  lulusan
institut pertanian kota provinsi.
Sekarang?  Ya  Allah,  bagaimana  mungkin  seluruh  rumah  terlihat  seperti  sedang  bersiap
melepas  kepergian  seseorang.  Yasin  yang  dibacakan?  Warga  yang  berkumpul?  Dalimunte
menggigit bibir, sakit apa sebenarnya Kak Laisa?
Dalimunte tidak tahan lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa. 
Terhenti. Langkahnya terhenti seketika persis di bawah bingkai pintu. 
Lihatlah! Ya Allah, apa maksud semua ini?
Kamar  Kak  Laisa  penuh  dengan  peralatan  medis.  Selang  infus,  belalai-belalai  plastik.
Layar  bertuliskan  garis-garis  hijau.  Alai-alat  bantu  lainnya.  Tabung  oksigen.  Masker.  Kaki
Dalimunte  bergetar.  Matanya  mencari  di  sela-sela  peralatan  medis  yang  pasti  didatangkan
dari  rumah-sakit  kota  provinsi.  Mata  Dalimunte  akhirnya  menemukan  sosok  itu.  Menatap
nanar  tubuh  besar  (tapi  pendek)  itu.  Yang  terbaring  lemah  di  atas  ranjang.  Mamak  Lainuri
duduk di sebelahnya, menoleh karena mendengar seruan-seruan dari luar.
Mamak bertanya lirih. Siapa yang telah tiba? Dalimunte—
Dalimunte justru sudah terpaku bersitatap dengan mata redup Kak Laisa.
 
18
MEYIMPANNYA SENDIRIAN
YASHINTA mematut-matut di depan cermin.
Menyeringai sendiri. Tersenyum amat lebar. Lihat. Ayo lihat, Yash pagi ini mengenakan
seragam merah-putih. Mamak membelikan dari kota kecamatan. Sebenarnya baju itu dibeli di
pasar  loak,  baju  bekas,  tapi  itu  tidak  penting.  Yash  juga  tahu,  kok.  Hatinya  sedang  senang.
Semalam  berkali-kali  terbangun.  Pukul  sepuluh,  sebelas,  dua  belas,  satu,  dua,  tiga,  sampai
Kak  Laisa  mendengus  jengkel,  karena  setiap  kali  Yashinta  terbangun,  ia  menarik-narik  baju
gombyor Kak Laisa, berisik bertanya jam berapa sekarang.
Menunggu  pagi  seperti  menunggu  waktu  seribu  bulan,  tak  sabaran.  Maka  saat  akhirnya
kokok  ayam  hutan  akhimya  terdengar  dari  kejauhan,  Yashinta  semangat  langsung  mandi  di
sungai.  Ini  hari  pertama  sekolahnya.  Bukan  main.  Rasanya  susah  dijelaskan.  Lihatlah  muka
imut Yashinta  bersenandung riang. Memasukkan  buku tipis ke dalam tas, pensil  yang  sudah
diraut, penggaris bambu. Crayon 12 warna dari Kak Ikanuri dan Kak Wibisana. Lantas sudah
duduk rapi di meja makan. Siap untuk sarapan.
Ikanuri  dan  Wibisana  hanya  nyengir  melihat  kelakuan  Yashinta.  Bagi  mereka  tingkah
Yashinta  mirip  sekali  dengan  mahkluk  planet  lain.  Mana  ada  coba  penduduk  bumi  yang
semangat  seperti  adiknya  berangkat  sekolah.  Tapi  Dalimunte  tidak,  dia  tersenyum  lebar,
menyeringai  membesarkan  hati  Yashinta,  yang  justru  saat  sudah  siap  berangkat  bersama-sama malah gugup, mendadak sakit perut.
www.rajaebookgratis.com
Panen  bersama sebulan  lalu sukses  besar, Mamak Lainuri tak kurang dapat empat puluh
kaleng  padi.  Setelah  dipotong  zakat,  juga  padi  cadangan  untuk  lumbung  kampung,  juga
delapan belas kaleng untuk persediaan beras mereka selama setahun, sisanya masih lumayan,
yang  seluruhnya  dijual  ke  kota  kecamatan.  Ditambah  tabungan  Mamak  dari  menjual  damar,
rotan, gula aren, dan anyaman rotan selama ini, uangnya cukup sudah untuk membayar biaya
sekolah  Yashinta,  Ikanuri,  Wibisana  dan  Dalimunte.  Tahun  ini,  Dalimunte  duduk  di  kelas
enam.  Sementara  Ikanuri  dan  Wibisana  kelas  empat.  Itu  berarti  setahun  lagi  Mamak  harus
memikirkan kelanjutan sekolah Dalimunte. Sekolah lanjutan di kota kecamatan. Yang berarti
akan lebih banyak lagi uang yang diperlukan.
Mamak  meski  terlihat  biasa-biasa  saja,  tapi  soal  itu  benar-benar  penting  baginya.  Lepas
panen,  Mamak  langsung  menggarap  lagi  ladang  mereka.  Tidak  ada  istilah  berleha-leha.
Menanaminya  dengan  jagung.  Lebih  keras  bekerja.  Lebih  lama  menyadap  damar  di  hutan.
Begitu  juga dengan  Kak  Laisa, tubuh gendut tapi  gempalnya terlihat semakin  hitam. Terlalu
lama  terpanggang  terik  matahari.  Beruntung  kehidupan  di  kampung  jauh  lebih  baik  sejak
irigasi  lima  kincir  air  dibuat.  Beruntung  pula  perangai  Ikanuri  dan  Wibisana  juga  ikutan
membaik  sejak  kasus  itu.  Meski  masih  sering  membantah,  masih  sering  melawan,  masih
sering kabur disuruh mengerjakan sesuatu, mereka jauh lebih menurut.
Ikanuri  dan  Wibisana  mulai  mengerti  arti  tanggung  jawab.  Tidak  percuma  Kak  Laisa
saban hari mengejar-ngejar mereka dengan sapu lidi teracung dan berteriak-teriak 
"Kerja keras!" "Kerja keras!" "Kerja keras!" Dua sigung nakal itu sudah jarang bolos sekolah.
Sudah  rajin  membantu  Mamak  di  Ladang.  Sekali  dua  malah  tanpa  disuruh  pergi  ke  hutan 
mengumpulkan  kayu  bakar  dan  rotan.  Kejadian  di  puncak  Gunung  Kendeng  sedikit  banyak
membuat  mereka  sungkan  dengan  Kak  Laisa.  Lah,  harimau  saja  ngeri  lihat  Kak  Laisa
melotot, apalagi mereka, kan? Ihhh.
Siang  itu  panas  membakar  lembah.  Musim  kemarau  tiba  di  minggu-minggu  puncaknya.
Yashinta  menyeka  keringat  di  dahi  tidak  hanya  sekali.  Berjalan  pelan-pelan  mengiringi
Ikanuri  dan  Wibisana.  Daun  pisang  yang  tadi  diambilkan  Dalimunte  percuma,  perjalanan
pulang  dari  kampung  atas  tetap  menyiksa  wajah.  Ini  bulan  ketiga  sekolahnya.  Sejauh  ini
ponten  pelajarannya  bagus-bagus.  Yashinta  jelas  mewarisi  ketekunan  dan  kecerdasan
Dalimunte, bukan tabiat iseng bin kenakalan Ikanuri dan Wibisana.
Tiba  di  rumah  panggung  mereka  menghabiskan  makan  siang  yang  telah  disiapkan  Kak
Laisa  sebelum  berangkat  ke  ladang  tadi  pagi.  Shalat  dzhuhur  (Dalimunte  yang  jadi  imam),
kemudian  Dalimunte  meneriaki  Ikanuri  dan  Wibisana  agar  buruan  menyusul  Mamak.
Yashinta  sudah  boleh  ikut  ke  ladang  sekarang.  Meski  kerjaannya  di  sana  hanya  belajar  di
bawah pondok, belajar membuat anyaman bambu, mengerjakan PR, apa saja.
"HUUUU! HUUUU!!"
"HUUUU!"  Mamak  membalas  teriakan  Dalimunte.  Kempat  adik-kakak  itu  menuruni  lereng
landai  kebun.  Di  Lembah  Lahambay,  teriakan  seperti  itu  lazim.  Untuk  saling  memberitahu
posisi. Dengan suara seperti pekikan burung.
Mamak melambaikan tangan dari kejauhan. Kak Laisa dan Mamak sedang membersihkan
gulma di pojokan ladang. Batang jagung sudah setinggi kepala. Subur, dengan air yang terus
mengalir. Mereka berempat berbelok, Mendekat
"Mak, tadi ada guru baru di sekolah, Yash—" 
Yashinta yang pertama kali melapor. Menurunkan daun pisang di atas kepalanya.
"Siapa?" Mamak bertanya pendek, tanpa menoleh, tangannya tetap gesit menyiangi rumput di
sela-sela batang jagung.
"Eh, siapa, Kak?" Yashinta nyengir, justru bertanya padii Ikanuri.
"Tahu, siapa—" Ikanuri melangkah tidak peduli, maksudnya dia memang tidak peduli dengan
siapa  guru  baru  tadi,  bukan  tidak  peduli  dengan  pertanyaan  Yashinta.  Mengambil  arit  yang
tergeletak di dekat Kak Laisa, ikut membantu.
www.rajaebookgratis.com
"Ada yang KKN-"
"Eh, iya, KKN, Mak. Gurunya dari KKN." Yashinta, memotong kalimat Dalimunte, 
"KKN itu dari mana ya, Kak?" 
Yashinta  duduk  menjeplak  di  sekitaran  mereka.  Teduh  di  bawah  batang  jagung,  jadi  ia
tidak  perlu  sendirian  di  pondok  yang  terletak  di  tengah-tengah  ladang.  Menyeka  keringat
yang  mengucur  tambah  deras.  Gerah.  Tubuhnya  terlihat  lekat.  Mamak  mengangguk,  ia
mengerti.  Seminggu  lalu  Wak  Burhan  juga  bilang  soal  itu.  Katanya  ada  rombongan
mahasiswa dari kota provinsi. Posko mahasiswa  itu ada di kampung atas, tapi  beberapa dari
mereka  juga  akan  melakukan  beberapa  proyek  KKN  di  kampung  bawah.  Jarang-jarang  ada
pendatang dari kota di lembah itu. Dulu pernah ada Mahasiswa yang juga KKN, tapi program
mereka kebanyakan hanya penyuluhan dan ceramah. 
Dulu-dulunya  juga  pernah  ada  pejabat  entah  dari  mana  yang  datang  ke  Lembah.  Lebih  tak
jelas  lagi  apa  gunanya  mereka,  hanya  nanya-nanya,  membawa  kertas,  entahlah.  Tanpa
sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi penduduk kampung.
"Ikanuri, Wibisana, menebas rumputnya yang benar!" 
Kak Laisa mendelik, menatap tajam Ikanuri dan Wibisana.
"Sudah benar, kan?" 
Ikanuri nyengir. Sejak tadi dia dan Wibisana tidak medengarkan percakapan. Asyik bermain-main dengan arit.
Kak  Laisa  melotot, benar apanya, kedua sigung  nakal  itu  seperti  membuat  lajur-lajur di atas
gulma. Sengaja membuat huruf nama-nama mereka, seperti bonsai berbentuk huruf di taman-taman. Membuat tulisan: Ika-Wibi Keren.
"Lagian biar nyeni, Kak! Artistik—" Wibisana tertawa.
Kak  Laisa  melotot,  mengancam.  Ikanuri  dan  Wibisana  menelan  ludah.  Yaah,  kan  hanya
bergurau, nanti-nanti bakal dipangkas juga semuanya. Nanti-nanti maksudnya minggu depan,
atau  setelah  panen  jagung.  Dengan  enggan  dua  sigung  nakal  itu  membersihkan  huruf-huruf
nama mereka.
Yashinta  asyik  meneruskan  anyaman  rotannya.  Ia  sudah  lancar.Sekali  dua  terdengar
batuk.  Keringat  mengucur  semakin  deras  dari  dahinya.  Musim  kemarau  ini  entah  sampai
kapan. Biasanya tidak selama ini. Seminggu dua minggu, lazimnya diseling hujan deras yang
sedikit  mendinginkan  lembah.  Dua  hari  terakhir  kenapa  pula  badannya  terasa  tidak  enak.
Tetapi  Yashinta  terlanjur  asyik  meneruskan  anyamannya.  Sambil    sesekali    memperhatikan 
Kak    Laisa  yang  tangkas  membersihkan  gulma.  Lihat,  satu  jam  berlalu,  luas  gulma  yang
berhasil dibersihkan Kak Laisa, masih lebih banyak dibandingkan luas Kak Ikanuri dan Kak
Wibisana dijumlahkan, dikalikan dua pula.
Matahari  mulai  tenggelam  di  balik  Gunung  Kendeng,  Mamak  menyuruh  Dalimunte
memberesi  perlengkapan.  Menyimpannya  di  pondok.  Saatnya  pulang.  Kak  Laisa  membantu
berbenah-benah.  Menggendong  keranjang  berisikan  sayur-mayur.  Mereka  berjalan
beriringan.  Lembah  itu  hening.  Langit  terlihat  merah.  Angin  bertiup  pelan,  menyenangkan.
Rombongan  burung  layang-layang  terbang  pulang  ke  sarang.  Kelelawar  mengepak-ngepakkan sayap bersiap memulai ritual malamnya.
Yashinta berkali-kali batuk lagi.
"Kau baik-baik saja, Yash?" Kak Laisa bertanya.
Yashinta mengangguk, sambil berusaha mensejajari langkah Kak Laisa.
 
"Kenapa  Kak  Lais  tidak  bilang?"  Dalimunte  menangis,  tersendat,  jemari  tangannya  gemetar
mengusap  bibir  perempuan  umur  empat  puluh  tiga  tahun  yang  terbaring  lemah  di  atas
ranjang. Ada bercak darah di sana. Keluar bersama dahak,
"Tidak.  Tidak  boleh  ada  yang  menangis,  Dali...."  Kak  Laisa  berkata  pelan,  nafasnya  sedikit
tersengal, 
www.rajaebookgratis.com
"Kau anak lelaki. Di keluarga ini anak lelaki tidak boleh menangis"
"Tapi  kenapa  Kak  Lais  menyimpannya  sendirian....  Kenapa  Kak  Laisa  tidak  bilang  kalau
selama  ini  sakit?  Ya  Allah,  selama  itu.  Bahkan  Kak  Lais  menyimpan  semuanya  sendirian
selama ini.... Sejak kami kecil, sejak kami masih nakal suka membantah—" 
Dalimunte tergugu.
Mamak ikut menyeka sudut matanya. Cie hui, mendekap Intan yang entah mengapa juga ikut
tertunduk.  Intan  menggigit  bibir.  Bingung.  Cemas.  Ia  keliru,  ternyata  Wak  Laisa  sakitnya
tidak  sekadar  mencret-mencret.  Aduh,  kalau  kelihatannya  sudah  begini  itu  artinya  serius
sekali. Lihat, Wak Laisa batuk lagi, terus ada darah pula keluar dari bibirnya.
"Ingat  kata  Kakak  dulu  saat  kau  berangkat  sekolah  di  kota  provinsi,  tidak  ada  yang  boleh
menangis,  kau  akan  menemukan  tempat-tempat  baru,  teman-teman  baru,  kau  akan  belajar
banyak.... Hei, tidak  ada  yang  boleh  menangis dengan  semua kabar baik  itu. Juga  hari  ini....
Lihatlah, kau amat membanggakan Kakak—" 
Kak Laisa terbatuk pelan. Dahak sekali lagi keluar bersama darah.
Dalimunte menyeka darah itu dengan jemarinnya. Semakin tergugu. Bagaimana mungkin
dia  tidak  akan  menangis?  Lihatlah,  seseorang  yang  amat  dihargai  sepanjang  hidupnya
berbaring  lemah  di  hadapannya,  tetap  sama  seperti  dulu.  Memberikan  perlindungan.
Memberikan  janji-janji  yang  selalu  ditunaikan.  Mengubur  cita-citanya  sendiri  demi  adik-adiknya.  Bahkan  hingga  saat  ini,  ketika  tubuhnya  terlihat  amat  lemah,  Kak  Laisa  tetap
berusaha tersenyum menyuruhnya tidakk menangis.
"Kak  Lais  selalu  menyimpannya  sendirian,  demi  kami....  Kak  Lais  selalu  mengalah,  demi
kami—"  Kalimat Dalimunte terhenti, dia tak kuasa  melanjutkan  hanya  bisa  mencium  jemari
tangan yang terkulai lemah itu. Berbagai kenangan masa lalu berdesing memenuhi kepalanya. 
"Kak  Lais  bekerja  sepanjang  hari  membantu  Mamak  demi  kami,  Kak  Lais  mempermalukan
diri demi kami,  Kak Lais  bahkan  menerobos hujan deras, tidak peduli dingin,  jemari tangan
menggigil demi kami..." 
Dalimunte tidak bisa menahan lagi perasaannya. Dulu saja, waktu kecil ia sudah mengerti.
"Dali…, tidak ada yang boleh menangis—"
"Ta-pi, tapi Dali tidak tahan lagi. Dali tidak tahan—"
"Kemarilah, anakku...." 
Mamak berbisik lirih dari belakang.
Dalimunte memeluk pinggang Mamak.
Senyap. Hanya tangis tertahan di ruangan itu. Dokter perkebunan yang sejak sebulan lalu
merawat  Kak  Laisa  menatap  dengan  mata  berkaca-kaca.  Intan  ikutan  menyeka  pipinya.  Ia
tidak  tahu  kenapa  ikut  menangis.  Ia  sedih,  sedih  sekali  melihat  Wak  Laisa  yang  kuat
menggendongnya  naik  turun  cadas  sungai,  sekarang  pucat  pasi,  bergerak  saja  susah  di  atas
ranjang.  Mamak  mengusap  rambut  Dalimunte,  berbisik  menenangkan.  Wajah  keriput
berumur enam puluh tahun  itu terlihat amat sendu. Ia-lah  yang paling tahu urusan  ini. Sejak
tiga puluh tahun silam. Sejak Laisa mulai mengerti arti tanggung-jawab.
Umur  Laisa  saat  itu  sebelas  tahun.  Kelas  empat  Umur  Dalimunte  tujuh  tahun.  Sudah
setahun  Dalimunte  tertunda  sekolah  karena  Mamak  tidak  punya  uang.  Mamak  ingat  sekali.
Hari itu. Pagi itu. Laisa mendekatinya dari belakang. Pukul empat shubuh. Saat Mamak sibuk
memasak gula enau. Saat yang lain masih tertidur lelap.
"Biar. Biar Lais yang berhenti sekolah, Mak..." 
Putri sulungnya tersenyum tulus, menatap dengan mata bercahaya.
"Kau harus terus sekolah, Lais!"
Mamak menatap tajam Laisa.
Menggeleng, "Lais tahu  Mamak tidak punya cukup uang untuk membeli seragam  baru Dali.
Biar  Lais  yang  berhenti sekolah.  Lagipula  Lais   anak perempuan.  Buat  apa  Lais  sekolah
www.rajaebookgratis.com
tinggi-tinggi.  Biarlah  Dalimunte  yang  sekolah.  Lais  membantu  Mamak  mencari  uang  saja.
Dengan begitu nanti Ikanuri dan Wibisana juga bisa sekolah.... Juga Yashinta...." 
Putri  sulungnya menyentuh lengannya.  Menatap dengan yakin dan mengerti benar apa yang
telah dikatakannya.
Mulai  shubuh  itu,  Mamak  tahu  persis  satu  hal.  Laisa  yang  bersumpah  membuat  adik-adiknya sekolah menjadikan sumpah itu seperti prasasti di hatinya. Tidak. Laisa tidak pernah
menyesali  keputusannya.  Tidak  mengeluh.  Ia  melakukannya  dengan  tulus.  Sepanjang  hari
terpanggang  terik  matahari  di  ladang.  Bangun  jam  empat  membantu  memasak  gula  aren.
Menganyam  rotan  hingga  larut  malam.  Tidak  henti,  sepanjang  tahun.  Mengajari    adik-adiknya    tentang    disiplin.    Mandiri.  Kerja  keras.  Sejak  kematian  Babak  diterkam  harimau,
Mamak  sungguh  tidak  akan  kuasa  membesarkan  anak-anaknya  tanpa  bantuan  putri
sulungnya,  Laisa.  Semua  kesulitan  hidup  masa  kecil  itu.  Laisa  membantunya  melaluinya
dengan  wajah bergeming. Wajah yang tidak banyak mengeluh.
Wajah yang sekarang terlihat amat lelah....
Terbaring lemah karena kanker paru-paru stadium IV. Penyakit yang disimpannya sendiri
sejak sepuluh tahun silam. Karena ia tidak ingin merepotkan adik-adiknya. Bagi Laisa, yang
berhak  merepotkan  itu  adik-adiknya,  bukan  dia.  Setiap  kali  kunjungan  dua  bulanan,  Laisa
tetap riang menyambut anak-anak. Tertawa mengajak mereka melakukan banyak hal. Itu pula
yang  membuatnya  bisa  bertahan  selama  ini.  Sepuluh  tahun  kanker  itu  seolah  tak  kuasa
menggerogoti fisiknya.
Sayangnya,  satu  bulan  yang  lalu,  seluruh  energi  dari  penerimaan  jiwa  atas  pilihan  hidup
yang hebat itu berakhir sudah. Kalah. Fisiknya tidak kuasa lagi, kanker itu sudah menjalar ke
mana-mana. Meski semangat hidupnya masih tinggi, meski dengan semua spirit itu, tubuhnya
tidak kuasa lagi bertahan. Maka didatangkanlah dokter dari kota provinsi (yang juga sepuluh
tahun terakhir diam-diam merawatnya, hanya Mamak yang tahu). Juga peralatan medis, juga
perawat-perawat  Kak  Laisa  satu  bulan  terakhir  bertahan  tidak  memberitahu  adik-adiknya
hingga  tadi  pagi.  Satu  bulan  terbaring  tidak  berdaya.  Setelah  Mamak  membujuknya.
Akhirnya pesan 203 karakter itu terkirimkan. Ketika ia merasa waktunya sudah tiba. 
Tugasnya hampir usai.
Wajah yang sekarang terlihat amat lelah.
Meski  tetapberusaha  tersenyum  didepan  adiknya.  Wajah  yang  menatap  Dalimunte  yang
sedang memeluk pinggang Mamak, Dalimunte yang menangis—
 
19
BIARKAN KAKAK SENDIRIAN
DUA HARI selepas Yashinta pulang batuk-batuk dari ladang, balai kampung ramai dipenuhi
oleh  penduduk.  Sejak  lepas  shalat  isya.  Ada  pertemuan  di  balai.  Rombongan  mahasiswa
KKN  dari  kampung  atas  datang.  Tapi  yang  pergi  ke  balai  hanya  Laisa,  Dalimunte,  Ikanuri
dan Wibisana. Mamak menjagai Yashinta yang gering. Batuk-batuk Yashinta dua hari lalu di
ladang ternyata serius. Yashinta malah sudah tidak masuk sekolah dua hari. Tubuhnya panas.
Hari  pertama  sakit,  gadis  kecil  itu  tetap  memaksa  berangkat,  percuma,  tiba  di  desa  atas
kakinya  yang  gemetar  tidak  bisa  diajak  melangkah,  jatuh  pingsan.  Dalimunte  terpaksa
menggendongnya pulang.
Dua  hari  berlalu,  sakit  Yashinta  semakin  parah.  Bergantian  mereka  menunggui.
Mengompres.  Membuat  ramuan  dedaunan.  Rebusan.  Apa  saja  yang  lazim  dilakukan
penduduk  lembah  unruk  meredakan  panas  dan  batuk.  Malam  ini,  Mamak  yang  menunggui
Yashinta.
Udara  lembah  terasa  dingin.  Sejak  sore  tadi  awan  hitam  berarak  memenuhi  langit.
Akhirnya  setelah  dua  bulan  kemarau  menggantang  lembah,  hujan  nampaknya  akan  turun.
Angin malam menderu kencang, pertanda bakal turun hujan lebat
www.rajaebookgratis.com
"Mamak kau tidak datang, Lais?" Wak Burhan bertanya.
"Yash masih wakit, Wak—" 
Laisa menjawab pendek. Mengambil tempat duduk bersama adik-adiknya. Balai kampung itu
sudah  ramai.  Obor-obor  membuat  ruangan  terang-benderang.  Angin  yang  menerobos
membuat cahaya obor bergoyang, kerlap-kerlip.
Di  depan  sana  berjejer  enam  orang  mahasiswa  yang  dua  hari  ini  sibuk  disebut-sebut
warga  kampung.  Laisa  menatapnya  lamat-lamat.  Mengesankan  melihat  kakak-kakak
mahasiswa  itu.  Mengenakan  jaket  kuning.  Mahasiswa  Universitas  kota  besar  dari  seberang
pulau.  Yang  wanita  terlihat  cantik  dan  cerdas.  Yang  lelaki  terlihat  gagah  dan  pintar.
Tersenyum  lebar,  percaya  diri  menatap  sekitar.  Mengangguk.  Laisa  menelan  ludah.  Dulu  ia
pernah  bermimpi  menjadi  seperti  ini.  Bermimpi  melihat  dunia  luar  yang  lebih  luas.
Kesempatan  yang  lebih  lapang,  yang  lebih  besar  dibanding  Lembah  Lahambay  ini.  Ah,  itu
mimpinya  enam  tahun  silam.  Usianya  sudah  tujuh  belas  sekarang,  sudah  amat  terlambat
untuk  melanjutkan  sekolah  kelas  empatnya.  Ia  sudah  mengubur  cita-cita  itu  dalam-dalam.
Lagipula  jika  ia  sekolah,  siapa  yang  akan  membantu  Mamak  mencari  uang  buat  adik-adiknya?
Wak Burhan mengetukkan palu bonggol bambu, pertemuan dimulai. Enam mahasiswa ini
berbicara  lantang.  Tegas.  Meyakinkan.  Salah  satu  dari  tiga  mahasiswa  lelaki  bicara  soal
konstruksi kincir air. Memuji-muji penduduk kampung  yang telah  membuatnya,  lantas sama
seperti  Dalimunte  dulu,  dia  juga  membawa  kertas-kertas.  Membentangkannya  lebar-lebar.
Bicara tentang listrik. Lampu-lampu. Kincir air itu bisa dijadikan generator listrik. Dalimunte
menjadi  orang  yang  paling  tertarik  atas  rancangan  itu.  Mengangkat  tangannya  berkali-kali,
bertanya.  Penduduk  kampung  juga  terpesona.  Apalagi  dijanjikan  ada  bantuan  soal  dinamo,
kabel-kabel,  peralatan  instalasi,  dan  lainnya  dari  universitas.  Wak  Burhan  tak  butuh  waktu
semenit  untuk  mengetukkan  palunya.  Proyek  KKN  listrik  kincir  air  itu  disetujui.  Minggu
depan mereka mulai bergotong-royong,
Dua  mahasiswa  lainnya,  cowok-cewek,  mungkin  berasal  dari  fakultas  pertanian,  bicara
soal  ladang-ladang  mereka.  Bibit  yang  digunakan.  Pengolahan  tanah.  Rotasi  tumbuhan.
Lantas  ujung-ujungnya:  jadwal  penyuluhan.  Penduduk  Lembah  mengangguk-angguk.  Wak
Burhan  mengetuk  palu;  dengan  demikian  setiap  malam  Kamis  dan  Sabtu  ada  penyuluhan
pertanian di  balai kampung. Meski program  KKN  yang satu  ini tidak sekongkret  listrik, tapi
penduduk  kampung  bisa  menerimanya.  Setidaknya  janji  ada  penganan  kecil  dan  sekoteng
hangat setiap jadwal penyuluhan sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka hadir.
Dua  mahasiswa  berikutnya  menjelaskan  tentang  kemandirian  ekonomi.  Nah,  yang  ini
benar-benar  membuat  penduduk  kampung  pusing.  Koperasi.  Simpan-pinjam.  Kesempatan
kredit.  Akses  modal.  Bahkan  Dalimunte  saja  yang  sejak  tadi  antusias  mendengarnya,
menguap  lebar-lebar.  Juga  ada  jadwal  penyuluhan.  Wak  Burhan  bilang  cukup  seminggu
sekali,  malam  Selasa.  Jadwal  mereka  sudah  penuh.  Sebenarnya  sih,  Wak  Burhan  kalau  bisa
malas memberikan jadwal untuk penyuluhan yang satu ini.
Dua mahasiswa itu berunding. Lantas mengangguk.
Malam  beranjak  matang.  Pukul  22.00,  sudah  larut  untuk  ukuran  penduduk  lembah.
Mereka  biasanya  beranjak  tidur  pukul  sembilan.  Jadi  mahasiswa  terakhir,  demi  melihat
penduduk  kampung  sudah  tidak  terlalu  memperhatikan,  hanya  sempat  bicara  lima  belas
menit. Bicara soal sanitasi. Kebersihan. Posyandu. Pemeriksaan kesehatan. Bilang ada posko
kesehatan  di  kampung  atas.  Yang  bisa  dimanfaatkan  warga  setempat  untuk  berobat.  Lima
belas  menit  tepat,  penjelasannya  selesai.  Kabar  baik,  ternyata  tidak  ada  jadwal  penyuluhan
untuk yang satu ini. Wak Burhan mengetuk palu.     
Pertemuan usai.
Lepas pertemuan, Laisa berusaha mendekati mahasiswa wanita yang bicara terakhir, ingin
minta  tolong  periksa  Yashinta  yang  sedang  sakit.  Tapi  karena  di  luar  guntur  berkali-kali
www.rajaebookgratis.com
menyalak, petir berkali-kali menyambar, enam mahasiswa KKN itu sudah terlanjur bergegas
kembali  ke  kampung  atas,  mengenakan  jas  hujan  besar  dan  payung.  Lagipula  Ikanuri  dan
Wibisana  memaksa  pulang  buruan.  Sudah  mengantuk.  Maka  di  tengah  deru  angin  yang
semakin menggila, mereka juga bergegas kembali ke rumah panggung.
"Ternyata  mereka  tidak  hanya  melakukan  penyuluhan-penyuluhan  seperti  yang  KKN  dulu,
Mak." Laisa melapor setiba di rumah. Mengibas-ngibaskan rambut. Hujan deras turun persis
mereka tiba di halaman.
Mamak  hanya  mengangguk  selintas.Terkantuk  menunggui  Yashinta  yang  tidur  sambil
mengerang.  Panas.  Kompres  kain  yang  membungkus  dahi  Yashinta  seperti  sia-sia.  Suhu
badannya  tidak  turun-turun.  Di  luar  hujan  deras  terdengar  membuncah  atap  seng.  Gemuruh.
Satu  dua  tampias.  Menetes  di  dalam  rumah.  Laisa  buru-buru  mengambil  baskom  dan  kain.
Menampung tetesan air.
Ikanuri  dan  Wibisana  sudah  beradu  punggung  di  ruang  depan.  Bergelung.  Tidur.  Hanya
Dalimunte yang berdiri di depan pintu kamar. Memperhatikan Yashinta dengan wajah sedikit
cemas.
"Masih panas, Mak?"
Mamak mengangguk. Terlihat amat lelah.
"Mamak sebaiknya tidur, biar Lais yang jaga sekarang." 
Kak Laisa mengambil posisi di sebelah Yashinta. Mengganti air kompres. 
Mencelupkan kain. Memerasnya. Meletakkannya di dahi Yashinta lagi.
"Kau juga tidur, Dali!" Laisa menyuruh Dalimunte.
Dalimunte menelan ludah, beringsut ke ruangan depan. Dia tidak tega melihat Yashinta yang
terus  mengerang,  lantas  sekali  dua  batuk,  terdengar  kesakitan.  Mamak  bersandar  di  dindig,
berusaha memejamkan mata. Hujan turun semakin deras.
Pukul  24.00,  persis  tengah  malam,  saat  Dalimunte  sudah  lelap  tertidur.  Mamak  juga
sudah  tertidur.  Kak  Laisa  mendadak  berseru-seru.  Panik.  Terbangun.  Mamak  langsung
terbangun  juga  Dalimunte,  yang  setengah  terkantuk,  setengah  terjaga  mendekat.  Lihatlah,
tubuh Yashinta menggelinjang. Kejang. Matanya mendelik, menyisakan putih.
Kak Laisa berteriak tambah panik.
"Yashinta, Mak! YASHINTA!"
Mamak Lainuri berusaha memegangi tubuh Yashinta. Ikut tegang. Panik. 
Meski lebih banyak bingungnya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada dokter di sini. Tidak
ada.  Mamak  berusaha  menyeka  keringat  yang  mengalir  deras  dari  leher  Yashinta.  Berusaha
memberikan  ramuan.  Mengompres.  Apa  saja  yang  terpikirkan  olehnya.  Percuma,  mata
Yashinta semakin mendelik.
Dalimunte mencicit melihatnya. Jantungnya berdetak kencang, takut. Ya Allah, apa yang
sedang  terjadi.  Ada  apa  dengan  Yashinta.  Berusaha  mendekat,  tapi  setelah  mendekat  malah
menjauh lagi, tidak mengerti harus melakukan apa.
Saat Mamak semakin bingung, saat Ikanuri dan Wibisana yang terjaga ikut mendekat dan
bergumam  jerih,  saat  tubuh  Yashinta  semakin  tidak  terkendali,  Kak  Laisa  mendadak  berlari
ke ruangan depan, Kak Laisa menendang pintu depan. Berdebam. Lantas diikuti oleh tatapan
bingung Mamak, entah apa yang akan dilakukannya, Kak Laisa sudah berlari menghambur ke
tengah derasnya hujan. Angin menderu kencang, masuk ke dalam rumah, mengirimkan bilur-bilur air, membuat perabotan berderak.
Kak  Laisa  berlari  sekuat  kakinya  ke  kampung  atas.  Tidak  peduli  tetes  air  hujan  bagai
kerikil  batu  yang  ditembakkan  dari  atas.  Tidak  peduli  tubuhnya  basah-kuyup.  Tidak  peduli
malam yang gelap gulita. Dingin membungkus hingga ujung kaki. Musim kemarau begini, di
malam  hari,  suhu  Lembah  Lahambay  bisa  mencapai  delapan  derajat  celcius.  Kak  Laisa
berlarian menaiki lembah. Terpeselet. Sekali. Dua kali. Tidak peduli. Petir menyalak. Guntur
www.rajaebookgratis.com
menggelegar.  Ia  ingat. Ia  ingat  kakak-kakak  mahasiswa  tadi  menyebut-nyebut  soal  obat  dan
dokter. Mereka pasti bisa membantu.
Ia harus segera. Waktunya terbatas.
 
Dalimunte sudah bisa duduk lebih  tenang. Duduk tertunduk.
"Kemari, sayang...." Laisa memanggil pelan Intan. Intan melangkah mendekat 
"Wawak sakit, ya?"
Laisa menggeleng, tersenyum. Wawak baik-baik saja. Intan menelan ludah. Memasang wajah
tidak percaya. Wawak pasti bohong.
Laisa pelan mengangkat lengannya. Memperlihatkan dua gelang karet, "Safe The Planet".
Intan  menyeringai,  akhirnya  ikut  tersenyum.  Tuh,  kan,  hanya  Wak  Laisa  yang  mau  (dan
benar-benar niat) pakai dua gelang. Abi saja ogah, hanya beli doang. Intan menyentuh lembut
lengan  Wak  Laisa.  Tidak  panas.  Menyentuh  dahi  Wak  Laisa,  juga  tidak  panas.  Kalau  tidak
panas, kenapa tubuh Wak Laisa dipenuhi infus?
"Yang sakit apanya?" Intan bertanya macam dokter saja.
Wak Laisa tersenyum lagi, batuk.
Intan meraih kotak tissue, meniru Eyang. Ikut membersihkan darah dari pipi Wak Laisa.
Dalimunte  menatap  wajah  lelah  itu.  Mendongak.  Cahaya  lampu  neon  bersinar  lembut.
Dia tahu banyak urusan ini, meski dia baru menyadarinya belasan tahun kemudian. Kak Laisa
yang  tidak  pernah  menangis  di  depan  adik-adiknya.  Tidak  pernah.  Sesakit  apapun,  sesesak
apapun  rasanya.  Kak  Laisa  yang  selalu  berusaha  terlihat  semua  baik-baik  saja.  Dia  ingat
sekali kejadian  malam  itu. Ingat. Bagai  bisa  melihatnya kebali dari pendaran cahaya Lampu
neon.  Melihat  kembali  tetes  air  dari  tubuh  Kak  Laisa  yang  membuat  ruangan  depan
tergenang. Wajahnya yang kesakitan....
"Si belang mana, sayang?"
Intan menoleh ke Ummi, tuh kan, Wak Laisa pasti nanya, 
"Eh, tadi langsung loncat dari mobil. Pasti nyari pacarnya yang dibilang Oom Ikanuri —"
Tertawa kecil. Laisa berusaha tertawa mendengar celetukan Intan. 
Mahal sekali  harganya, tubuh tambun tapi gempal  itu bergerak-gerak tertahan. Membuat
garis hijau di layar peralatan medis terputus-putus. Berdengking. Yang membuat Intan ikutan
pias. Takut. Kenapa Wak Laisa jadi semaput? Kan, hanya tertawa?
Dokter melangkah, mendekat, memeriksa peralatan, Cemas, lantas berkata ragu-ragu, 
"Eh, maaf Pak Dalimunte, sepertinya Ibu Laisa harus ditinggal istirahat, jangan banyak bicara
dulu—"
Laisa  yang  perlahan  kembali  terkendali  menggeleng,  memberikan  kode  gerakan  tangan  ke
dokter.  Biar.  Biarlah  mereka  berada  di  kamar  ini.  Ia  ingin  terus  terjaga  menunggu  adik-adiknya  pulang  satu  per  satu.  Ia  ingin  menatap  wajati  mereka  satu  persatu.  Ia  ingin  bicara,
ingin mendengar Intan bercerita. Ia ingin Intan tahu kalau Wawak-nya baik-baik saja. Dokter
menelan  ludah,  berhitung  sejenak.  Berdiskusi  sebentar  dengan  Mamak  dan  Dalimunte.
Baiklah. Tidak banyak yang bisa dilakukannya lagi.
Tidak ada salahnya.
 
Malam  itu, Laisa untuk kesekian kalinya tiba tepat waktu.
Menggedor pintu rumah kepala kampung atas. Terbata-bata bilang tentang sakit Yashinta.
Mahasiswa  itu  mengangguk,  ia  mengenali  Laisa.  Salah  satu  dari  penduduk  kampung  bawah
yang tadi dua tiga kali bertanya. Tanpa pikir panjang langsung menyambar jas hujan, sepatu
bot,  dan  peralatan  medis.  Kepala  kampung  atas  yang  ikut  terbangun  berbaik  hati
meminjamkan starwagoon tuanya. Mobil itu segera meluncur.
Hujan  turun  semakin  deras.  Mobil  hanya  bisa  dipakai  hingga  batas  ladang-ladang.
Terpaksa  berjalan  lima  ratus  meter.  Kakak-kakak  mahasiswa  itu  berbaik  hati  menerobos
www.rajaebookgratis.com
hujan.  Laisa  mengikuti  dari  belakang.  Tubuhnya  yang  tanpa  pelindung  apapun  menggigil.
Tadi  hampir  satu  jam  ia  mendaki  lembah  untuk  tiba  di  kampung  atas.  Normalnya  hanya 
setengah  jam,  tapi  di  tengah  jalan  tadi,    kakinya  menghantam  tunggul  Batang  kayu  yang
sudah  mati.  Sakit  sekali.    Memar  malah    (esok  lusa  baru    tahu  kalau  tulang  mata  kakinya
bergeser).  Seperti  ditusuk  seratus  sembilu  saat  berusaha  dijejakkan  ke  tanah.  Tapi  Laisa
menggigit  bibirnya  kencang-kencang,  terus  mendaki  lembah.  Memaksa  kakinya  melupakan
rasa  sakit.  Rasa  sakit  yang  sebenarnya  membuat  Laisa  menitikkan  air  mata.  Ia 
mencengkeram  pahanya.  Mengusir  rasa  sakit  di  kaki.  Yashinta  menunggu  pertolongan  di
rumah. Ia harus  maju terus. Maka sama  sulitnya  saat ia  berlari-  lari kecil  mengikuti  langkah
kakak-kakak mahasiswa didepannya menuruni lembah.
Mereka    datang    tepat  waktu,    kakak-kakak  mahasiswa  tahun  terakhir  di  fakultas
kedokteran  itu  segera  mengurus  Yashinta.  Membuka  peralatan  medisnya.  Memeriksa
Yashinta  dengan  cepat.  Lantas  menyuntikkan  sesuatu.    Lepas  lima  menit,  Yashinta  mulai
lebih terkendali.
Sementara hujan deras terus membuncah atap seng.
Guntur menggelegar di luar sana.
Dalimunte menatap lamat-lamat Kak Laisa.
Kak  Laisa  yang  duduk  di  dapur,  dekat  pintu  belakang  sejak  tiba.  Kak  Laisa  yang
meringkuk  memegangi  kakinya.  Bengkak.    Mata  kaki  itu    terlihat  merah.  Wajah  Kak  Laisa
meringis,  menahan  rasa  sakit  yang  teramat  sangat.  Bahkan  jika  tidak  tersamarkan  oleh  air
yang  masih  menetes  dari  rambutnya,  dia  sungguh  bisa  melihat  Kak  Laisa  mengeluarkan  air
mata.  Jika  tidak  tersamarkan  oleh  gigilan  kedinginan,  dia  bisa  melihat  Kak  Laisa  yang
gemetar menahan rasa nyilu di kakinya yang dipaksa terus berjalan menuruni lembah.
Dalimunte  menelan  ludah.  Air  hujan  dari  tubuh  Kak  Laisa  tergenang  di  sekitarnya.
Membasahi  lantai  papan.  Badan  itu  kuyup.  Basah.  Kedinginan.  Kesakitan.  Tapi  Kak  Laisa
tidak pernah mengeluh. Tidak pernah.
Laisa  menyadari  Dalimunte  yang  memperhatikannya.  Ia  menyeringai  galak,  menyuruh
Dalimunte kembali ke ruang depan. Tinggalkan aku. Aku baik-baik saja.
Dalimunte  mengigit  bibir,  perlahan  membalik  badannya.  Malam  itu  Dalimunte  akhirnya
mengerti satu hal: Kak Laisa tidak akan pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak akan
pernah.
 
20
KAU HARUS TETAP SEKOLAH!
"DALIMUNTE baru saja tiba di perkebunan strawberry..." 
Wibisana  memasukkan  telepon  genggamnya  ke  saku.  Ikanuri  mengangguk.  Terbatuk  pelan.
Kerongkongannya  sedikit  sakit.  Ini  mungkin  gara-gara  kehujanan  di  Pegunungan  Alpen,
Swiss  semalam.  Atau  karena  kelelahan,  kurang  tidur,  setelah  belasan  jam  tanpa  jeda
melanglang buana. Atau juga karena dia terlalu banyak sesak mengenang masa kecil itu.
"Jasmine  dan  Wulan  juga  sudah  tiba  di  kota  kabupaten.  Lancar.  Perjalanan  mereka  tidak
banyak masalah. Kata Jasmine; Juwita dan Delima tertidur di mobil." 
Wibisana  menghela  nafas.  Jelas  perjalanan  akan    lebih  lancar  jika  kedua  putri  mereka
sudah tertidur. Biasanya mereka berdua sibuk minta berhenti setiap kali melihat apalah. Sibuk
berteriak-teriak,  bertengkar.  Pernah  Juwita  dan  Delima  membuat  rombongan  dari  kota
provinsi  terhenti  total  hanya  gara-gara  mereka  melihat  ada  burung  kwao  yang  melintas  di
depan  mobil,  lantas  hinggap  di  pohon.  Memaksa  Abi  mereka  menangkap  burung  itu,  tidak
mau mendengarkan penjelasan kalau tinggi pohonnya saja hampir dua puluh meter.
Ikanuri mengusap wajah lelahnya.
Layar  raksasa  penunjuk  jadwal  dan  status  penerbangan  di  langit-langit  gedung  ultra-modern  Paris  International  Airport  memamerkan  kecanggihannya.  Tidak  kurang  tiga  puluh
www.rajaebookgratis.com
baris  jadwal  penerbangan  terpampang  otomatis  di  layar  tersebut.  Merah.  Hijau.  Kuning.
Display yang mengagumkan. 
Moskow,  Departure  07.30.  California,  Departure  07.35.  Riyadh,  Arrive  07.40.  Singapore,
Departure 07.40. Hongkong, Delay 07.45. Jakarta, Departure 07.45.
Ikanuri  melirik  jam  di  pergelangan  tangan,  masih  satu  setengah  jam  lagi  jadwal
penerbangan  mereka.  Mengusap  wajah  sekali  lagi.  Masih  lama,  seharusnya  mereka  masih
punya waktu untuk sarapan. Menikmati sepotong donut dan segelas kopi gaya Perancis. Tapi
perutnya  tidak  lapar.  Dia  penat  itu  benar,  lelah  tentu  saja.  Tapi  dia  tidak  mengantuk  atau
lapar. Tadi kereta Eurostar tiba di  stasiun Gare de Nord, Paris pukul 05.30 (hanya terlambat
setengah  jam,  meski  terhenti  oleh  longsoran  itu  selama  dua  jam).  Mereka  shalat  shubuh  di
kabin  kereta.  Lantas  langsung  meluncur  menuju  bandara.  Menumpang  subway  Paris-Bandara. Segera check-in.
"Kau sudah menelepon Yashinta, lagi?" Ikanuri bertanya. Wibisana mengangguk, 
"Tetapi, tetap tidak ada nada sambungnya…." menelan ludah.
Ikanuri  menghela  nafas  panjang.    Nah,  setelah  nyaris  sepuluh  jam  tidak  berhasil
menghubungi Yashinta, dia akhirnya  ikut cemas. Tidak ada nada sambung? Selama  itu kah?
Kemana pula anak itu di waktu sepenting dan semendesak ini? Apa masih di puncak Semeru?
Mengamati  alap-alap  kawah?  Tidak  mungkin  sinyal  telepon  genggam  satelitnya  tidak
menjangkau daerah tersebut. Lantas kemana anak ini hingga telepon genggamnya tidak aktif?
Kehabisan  baterai?  Tidak  mungkin.  Yashinta  pendaki  gunung  profesional.  Ia  selalu
membawa baterai cadangan.
"Kau sudah telepon Goughsky?" Ikanuri teringat
Wibisana  seperti  tersadarkan.  Kenapa  tidak  terpikirkan  sejak  tadi?  Semua  kepanikan  ini
membuat  kepala  mereka  tumpul.  Ya!  Goughsky.  WNI  keturunan  Uzbekistan  itu  kolega
Yashinta  di  lembaga  konservasi,  Bogor.  Tiga  tahun  terakhir,  di  mana  ada  Yashinta,  di  situ
juga  ada  Goughsky.  Dan  sebaliknya.  Mereka  kompak  tidak  hanya  urusan  konservasi.  Lebih
dari  itu....  Meski  sayangnya  enam  bulan  terakhir  hubungan  mereka  berantakan. Bermasalah.
Ah, Goughsky pasti tahu di mana Yashinta. Kalau pun tidak, anak itu rela menukarkan nyawa
untuk memastikan di mana Yashinta sekarang
Wibisana buru-buru menarik HP dari saku celana.
Sebenarnya  inilah  urusan  paling  pelik  dari  hubungan  kakak-adik    yang    mengesankan 
tersebut.  Saat kehidupan  lebih baik datang menjemput, janji-janji kesempatan  lebih besar di
luar  Lembah  Lahambay  tiba,  saat  itulah  mereka  menyadari  jika  Kak  Laisa  semakin
'tertinggal'  dibelakang.  Bukan.  Bukan  soal  pendidikan,  toh,  meski  tidak  sekolah  Kak  Laisa
tetap seperti tahu segalanya. Bukan pula soal kesempatan melakukan hal-hal besar, toh meski
tetap  di  lembah,  Kak  Laisa  sungguh  tetap  bisa  melakukan  hal-hal  besar,  Kak  Laisa  bahkan
berhasil  merubah  wajah  seluruh  lembah.  Kesejahteraan  penduduk,  pendidikan  anak-anak,
akses  atas  kesempatan.  Dan  tentu  saja    juga  bukan  soal  materi  dan  sebagainya,  karena  jelas
Kak Laisa boleh menguasai seluruh Lembah Lahambay dengan perkebunan strawberry-nya.
 
Dua bulan setelah kejadian sakit Yashinta,  instalasi  listrik pertama akhirnya terpasang di
rumah-rumah  kayu.  Mahasiswa  KKN  itu  membuktikan  kalau  bantuan  dari  kampus  tidak
omong-kosong.  Maka  terang-benderanglah  lembah  tersebut.  Bukan  main.  Anak-anak  yang
selama ini hanya terbiasa dengan lampu canting dan ribuan larik kunang-kunang mengerjap-ngerjap  menatap  bohlam  lampu  belasan  watt.  Berpendar-pendar.  Seperti  melihat  pesawat
UFO  mendarat,  dengan  mahkluk  angkasa  di  dalamnya  (ini  celetukan  Ikanuri  yang  asal
ngarang  saat  pertama  kali  melihat  bohlam  lampu  di  surau).  Kincir  air  itu  berfungsi  ganda,
dengan  generator  yang  terpasang,  sekarang  sekaligus  menjadi  pembangkit  tenaga  listrik.
Dalimunte belajar banyak dari kakak-kakak mahasiswa Semakin menyukai membuat sesuatu.
Sesuatu yang berguna.
www.rajaebookgratis.com
Tapi lebih banyak lagi yang dipelajari Kak Laisa.
Selepas  mahasiswa  KKN  itu  pulang  ke  kota  provinsi,  Laisa  membujuk  Mamak  untuk
mulai  menanam  strawberry di kebun  mereka. Laisa nyaris  menghabiskan satu minggu untuk
membujuk Mamak. 
"Aku  tidak  akan  membiarkan  Dalimunte,  Ikanuri,  Wibisana,  dan  Yashinta  putus  sekolah
karena  mengganti  tanaman  di  kebun,  Mak.  Aku  tahu,  kalau  aku  gagal,  mereka  bisa  putus
sekolah  kehabisan  bayaran,  tapi  sungguh  aku  tidak  ingin  itu  terjadi....  Aku  ingin
melakukannya,  karena  justru  dengan  beginilah  kita  akhirnya  berkesempatan  memiliki  uang
yang  cukup  buat  sekolah  Dali  di  kota  kecamatan  tahun  depan....  Lais  mohon,  ijinkan  Lais
menanam buah itu." 
Kak Lais, menyeka wajahnya yang berkeringat, menggenggam lengan Mamak. Meyakinkan.
"Kita  tidak  pernah  menanamnya,  Lais...."  Mamak  menatap  lamat-lamat  wajah  sulungnya.
Menghela nafas pelan. Ia selalu yakin dengan Laisa. 
Tetapi menanam strawberry di lembah ini? Bahkan Mamak baru kali itu mendengar ada buah
yang bernama strawberry.
"Laisa  sudah  mencatatnya,  lihat,  Mak!  Kakak-kakak  itu  bilang  banyak  hal.  Lihat.  Laisa
bahkan menggambar banyak petunjuk dari kakak-kakak mahasiswa..." 
Laisa memperlihatkan buku tulis butut sisa sekolahnya tujuh tahun silam. 
Tulisan-tulisan yang jelek dan kecil. Ilustrasi-ilustrasi seadanya.
Tidak  susah  menyiapkan  polybag,  bibit-bibit,  hingga  menjualnya  ke  kota  kecamatan.
Kata  kakak-kakak  itu,  buah  strawberry  mahal  sekali  di  supermarket  kota  provinsi,  harus
didatangkan  dari  negara  lain  pula.  Lembah  mereka  cocok  untuk  menanam  strawberry.
Iklimnya tepat. Suhunya tepat. Ketinggiannya baik. Dan tanahnya subur. Laisa berbinar-binar
memperllihatkan angka-angka. Perhitungan keuntungan yang lebih besar dibanding menanam
jagung,  atau  padi.  Tubuh  Laisa  yang  hanya  setinggi  dada  Mamak  terlihat  bergerak-gerak
antusias.
Maka, karena Mamak tak kuasa melarang Laisa, separuh kebun akhirnya ditanami dengan
strawberry setelah panen jagung berikutnya. Keputusan besar. Dan amat beresiko. Dalimunte
tidak  banyak  berkomentar. Ikanuri dan  Wibisana  nyengir, sepertinya  lebih  mudah  mengurus
polybag-polybag  ini  daripada  menyiangi  gulma  setiap  hari,  bukan?  Hanya  Yashinta  yang
berseru-seru  riang,  melihat  gambar-gambar  buah  strawberry  sepertinya  buah  merah  ranum
mereka akan lucu-lucu.
Tetapi Laisa keliru. Tidak mudah. Sungguh tidak mudah.
Meski  ia  memiliki  pengetahuan  bagaimana  menanam  strawberry,  namun  mengurus
ratusan  polybag  bukan  pekerjaan  gampang.  Delapan  bulan  berlalu,  kebun  strawberry  itu
gagal total. Separuh batangnya mati oleh musim penghujan, terendam. Separuh lagi buahnya
busuk  saat  diangkut  ke  kota  kecamatan  untuk  dibawa  ke  kota  provinsi.  Itu  terjadi  saat
Dalimunte  menjelang  ujian  akhir.  Kabut  buram  menggantung  di  mata  Kak  Laisa.
Bagaimanalah?  Aduh,  situasi  jadi  amat  muram.  Meski  Mamak  sekalipun  tidak
menyalahkannya,  Kak  Laisa  belakangan  lebih  banyak  menghabiskan  waktu  memandangi
separuh kebun yang dipenuhi polybag hitam. Kosong dengan batang strawberry yang layu.
Panen jagung sisa setengah lahan mereka juga ternyata buruk.
Gerimis  membasuh  lembah.  Laisa  berdiri  mematung.  Sendirian  di  tepi  ladang.  Tubuh
gempal  dan  pendek  itu  basah.  Senja  membungkus  ladang.  Langit  mulai  gelap,  lembayung
jingga  tenggelam  di  balik  Gunung  Kendeng.  Satu  dua  burung  layang-layang  terbang
menerobos bilur air hujan. Melenguh. yang justru menambah senyap suasana.
"Mamak menyuruh Kakak pulang."
Laisa menoleh. Dalimunte melangkah mendekat. Amat pelan. Tertunduk. 
Lantas sedikit ragu-ragu menyerahknn daun pisang. Laisa menggeleng. 
Sudah basah. Biarkan saja. 
www.rajaebookgratis.com
Dari  tadi  siang  ia  di  kebun.  Menatap  kegagalannya.  Sengaja  belum  pulang  meski  adzan
maghrib sebentar  lagi terdengar. Ia amat enggan  pulang. Hari  ini Dalimunte  menerima  hasil
ujian sekolahnya. Mamak minggu lalu sudah bilang, mereka hanya punya uang buat Yashinta
yang  mulai  masuk  kelas  dua,  dan  Ikanuri  serta  Wibisana  yang  menginjak  kelas  lima.  Tapi
tidak untuk Dalimunte yang akan melanjutkan sekolah di kecamatan.
Senyap. 
Dalimunte  ikut  melepas  daun  pisang  dikepalanya.  Membiarkan  tubuhnya  basah  seperti
Kak  Laisa.  Berdiri  di  sebelah  Kak  Laisa,  ikut  menatap  kebun  mereka.  Onggokan  kantong-kantong plastik hitam. Seekor elang melintas rendah. Begitu anggun di garis horizon lembah.
Lengang tiga menit. 
Hanya gerimis yang terus membasuh dinginnya tanah.
"Kata Mamak, kakak bisa mencobanya lagi tahun depan...." 
Dalimunte berkata pelan, antara terdengar dan tidak. Menunduk, menggigit bibirnya.
Laisa  menoleh.  Dalimunte  sudah  lebih  tinggi  darinya  sekarang.  Setahun  berlalu  sejak
kincir air dibuat, bahkan Ikanuri dan Wibisana sudah lebih tinggi dari Laisa.
Mereka berdiam diri lagi.
"Sebenamya... sebenarnya, Dali juga tidak senang sekolah. Sungguh — " 
Dalimunte  berkata  serak.  Dia  membuang  ingus.  Dari  lima  bersaudara,  Dalimunte-lah  yang
paling mudah terharu.
"Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja di kebun membantu Mamak, membantu Kakak.
Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak tidak usah sedih...."
Laisa menelan ludah. Menggigit bibirnya.
"Dali  kan  bisa  belajar  dari  mana  saja.  Pinjam  buku.  Tidak  mesti  sekolah.  Dali  tidak  harus
membuat Kakak susah—"
"kau bicara apa, Dali!" Laisa memotong suara adiknya.
"Dali tidak  ingin sekolah. Dali tidak  ingin  membuat Kak Lais sedih. Tak  ingin  lihat Mamak
kerja keras dipanggang matahari. Dali tidak ingin sekolah—"
"kau harus tetap sekolah!" Laisa memotong sekali lagi kalimat adiknya, berkata dengan suara
serak.  Tapi  kalimat  itu  terdengar  hambar,  tidak  setegas  seperti  biasanya.  Bagaimanalah?
Untuk membayar uang pangkal saja tidak ada. Apalagi ongkos Dalimunte bolak-balik ke kota
kecamatan. Bagaimana mungkin ia bisa menjanjikan itu?
"Dali tidak ingin sekolah. SUNGGUH—"
"DIAM!" Suara Kak Laisa bergetar. 
"Kau tetap sekolah Dali!"
Dalimunte  terisak,  mengusap  matanya.  Tertunduk  dalam-dalam.  Lihatlah,  gara-gara  dia
harus  sekolah  Kak  Laisa  harus  bekerja  sepanjang  hari  di  ladang.  Kenapa  hanya  Kak  Laisa
yang bekerja keras. Dali juga bisa. Dali juga mau, agar Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta terus
sekolah.
Rinai air hujan tumpah bersama rinai kesedihan di hati Dalimunte.
"Tidak tahun ini, tidak sekarang.... Tapi kau harus terus sekolah, Dali...." 
Laisa berbisik pelan memecah sedan.
"Jika  Mamak  tidak  punya  uang  tahun  ini,  maka  Mamak  akan  punya  tahun  depan...  paling
lambat  tahun  depan  kau  harus  kembali  sekolah...  Kau  dengar  kakak...  kau  dengar  kakak, 
Dali?  Kakak, kakak berjanji akan melakukannya Sungguh—"
Laisa mengenggam lengan adiknya. Berusaha menahan serak di kerongkongan. Ia tidak ingin
menangis di depan Dalimunte.
Lihattah,  sebenarnya  kalau  kalian  tidak  terbiasa  dengan  pemandangan  ini,  maka  kalian
akan  menduga,  justru  Laisa  lah  yang  menjadi  adik  dari  Dalimunte.  Padahal  mereka  hanya
berjarak enam tahun satu sama lain. Tubuh Laisa tidak akan tumbuh lagi.
Dalimunte membuang ingusnya.
www.rajaebookgratis.com
"Ayo, kita pulang—" 
Kak  Laisa  pelan  menarik  tangan  Dalimunte,  tersenyum  tulus.  Tadi  sepanjang  hari  ia  benar-
benar  bersalah  atas  keputusannya  mengganti  tanaman  di  ladang  delapan  bulan  silam.
Seharian Laisa pergi ke kebun karena tidak kuasa menunggu Dalimunte di rumah membawa
kabar  kelulusannya  seperti  Mamak  dan  yang  lain.  Tetapi  gerimis  ini  menumbuhkan  satu
pemahaman baru baginya. Pembicaran senja ini menanamkan semangat baru.
Tidak.  Tentu  saja  urusan  ini  berbeda  dengan  dirinya  dulu.  Dalimunte  selalu  memiliki
kesempatan  untuk  kembali  sekolah.  Tidak  sekarang,  tahun  depan  dia  akan  kembali
melanjutkan sekolah di kota kecamatan. Sepanjang ia terus bekerja keras demi adik-adiknya.
Kesempatan itu pasti akan datang.
"Berapa nilai rata-rata ujian akhirmu?" 
Laisa bertanya, samil berjalan menyusuri jalan setapak yang sekarang licak oleh lumpur.
Dalimunte  pelan  menyebutkan  angka,  berusaha  mengimbangi  langkah  gesit  kakaknya  di
depan.  Ujung-ujung  semak  bergoyang  terkena  gerakan  mereka.  Memercikkan  bulir  air  yang
menggelayut  di  ujung-ujung  daunnya.  Benang  sari  bunga    belukar    luruh,    menerpa    anak 
rambut.   Laisa tersenyum lebar mendengarnya. Jika ada yang bertanya siapa paling pintar di
dunia  ini, siapa paling pandai,  maka  ia akan  menjawabnya dengan bangga  itulah Dalimunte,
adiknya.
 
21
PERKEBUNAN STRAWBERRY    
SEBENARNYA  dengan  segala  keterbatasan  Mamak,  ada  solusi  yang  lebih  baik  agar
Dalimunte  tetap  bisa  melanjutkan  sekolah  di    kota  kecamatan.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang
memang  malas  sekolah  dengan  sukarela  menawarkan  diri  berhenti.  Tapi  demi  mendengar
kalimat itu, Kak Laisa langsung melotot galak. Sekali dua sigung nakal itu berhenti sekolah,
maka mereka tidak akan pemah kembali lagi. Ikanuri dan Wibisana ber-yaa kecewa. Yashinta
yang masih kecil, malam itu juga menawarkan diri berhenti, berkata pelan sambil memainkan
crayon 12 warnanya, 
"Biar Kak Dali saja yang sekolahh, anak laki kan harus sekolah. Yash, kan... Yash kan anak
perempuan. Biar Yash yang berhenti...."
Membuat  ruang  depan  rumah  kayu  butut  itu  lengang.  Mamak  pelan  mengusap  wajahnya. 
Kak  Laisa  menelan  ludah.    Senyap.  Tidak.  Solusi    terbaik,  tetap  Dalimunte  yang  menunda
sebentar sekolahnya.
Mamak  membiarkan  Laisa  kembali  menanami  ladang  mereka  dengan    strawberry,      kali 
ini   malah   membiarkan seluruhnya ditanami. 
"Belajar dari kesalahan, Mak. Laisa tahu apa yang harus Laisa lakukan sekarang." 
Mamak tidak kuasa mencegah niat bulat sulungnya, apalagi Dalimunte ikut mendukung. Jadi
kepalang  tanggung,  sukses  atau  gagal  seluruhnya.  Kak  Laisa  menanami  kembali  seluruh
kebun mereka dengan strawberry.
Wak  Burhan  yang  mencoba  menasehati  Laisa  juga  mengalah.  Laisa  tetap  keukeuh
memesan  bibit  strawberry  ke  universitas  tempat  kakak-kakak  KKN  dulu.  Kebun  mereka
terlihat amat berbeda dibandingkan yang lain. Satu dua tetangga menatap ganjil. Ikut prihatin,
bagaimana  mungkin  lembah  ini  ditanami  stober?  Stowber?  Beri-beri?  Ah,  menyebut
namanya saja mereka susah.
Laisa benar, ia belajar banyak dari kesalahannya.
Empat  bulan  berlalu,  setelah  hari-hari  terpanggang  matahari  saat  menyiapkan  polybag-polybag  baru;  mengejar-ngejar  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  masih  saja  bandel  bolos  sekolah;
memasukkan pupuk kandang ke dalam polybag, meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang sibuk
mencuri  mangga,  membersihkan  gulma  dan  hama,    (dan  lagi-lagi  mengejar-ngejar  Ikanuri
dan  Wibisana  yang tidak kapok-kapoknya  bolos  sekolah)  lepas  musim penghujan  yang dulu
www.rajaebookgratis.com
menggenangi  polybag,  kabar  baik  itu  akhirnya  tiba.  Empat  ratus  pohon  strawberry  merekah
subur  dari  kantong-kantong  plastik  hitam.  Bukan  main.  Empat  bulan  berlalu  lagi,  hari-hari
dihabiskan dengan kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa baru pulang saat adzan
magrhib  terdengar,  telaten  merawat  satu  demi  satu  batangnya.  Mencurahkan  seluruh
perhatian ke kebun satu hektar itu.
Dan  Mamak akhirnya tersenyum  lebar, buah-buah  merah ranum  mulai  bermunculan dari
batang-batangnya.  Membuat  seluruh  penduduk  kampung  tercengang.  Belum  pernah  mereka
melihat  buah  seindah  itu.  Yashinta  yang  paling  girang.  Menghabiskan  sore  selepas  sekolah
dengan  menghitungi  satu  demi  satu  buahnya.  Malah  membawa-bawa  kertas.  Dicatat  satu
persatu perpohon. Ikanuri dan  Wibisana? Standarlah,  mereka  juga  sibuk  mencuri  buah-buah
strawberry yang mulai matang...
Dalimunte  yang  sekarang  punya  waktu  lebih  banyak  membantu  Mamak  dan  Kak  Laisa,
mengambil  perannya  saat  buah  merah  ranum  strawberry  siap  dipanen.  Ia  menyiapkan
teknologi  pengalengan  sederhana.  Dengan  gentong-gentong  besar  dari  tanah  yang  banyak
dijual  di  kota  kecamatan.  Jadi  tak  ada  lagi  buah  yang  busuk  ketika  tiba  di  kota  provinsi.
Sukses besar. 
Meski  Ikanuri  dan  Wibisana  mencuri  buah-buah  itu  hingga  sepuluh  kilo  setiap  hari
selama dua tahun, tetap tidak akan habis saking bagusnya panen kebun mereka. Kakak-kakak
dari  kota  provinsi  berbaik  hati  mengirimkan  truk  pengangkut,  seminggu  setelah  menerima
surat dari Laisa.
Kabar baik itu akhirnya tiba di Lembah Lahambay.
Satu  tahun  berlalu.  Usia  Kak  Laisa  sekarang  sudah  menjelang  dua  puluh  tahun.
Dalimunte  empat  belas,  Ikanuri  sebelas  (hampir  dua    belas),  Wibisana  sebelas  (baru  lewat
sepuluh), dan Yashinta sembilan tahun. Satu tahun penuh kerja keras, kerja keras, kerja keras,
dan pengharapan. Senja itu, gerimis kembali membasuh lembah indah tersebut. 
"Mamak menyuruh Kakak pulang."
Laisa  menoleh,  tersenyum  lebar  melihat  Dalimunte  melangkah  mendekat.  Adiknya
mengulurkan  payung.  Ikut  tersenyum.  Seekor  elang  terbang  berputar  di  tengah  larik  bulir
hujan. Langit mulai gelap. Batang-batang strawberry bergoyang lembut oleh hujan.  Satu dua
buah sisa  panen seminggu lalu masih menggelantung. Terlihat merah ranum. Kemilau kristal
air menambahi kesan indahnya. 
"Kau  sudah  pulang  dari    kota  kecamatan?"  Dalimunte  mengangguk  mantap.  Tadi  dia  dan
Mamak  mendaftar  sekolah.  Sekalian  membeli  banyak  barang  keperluan.  Seragam  baru  buat
Yashinta. Sepatu baru buat Ikanuri dan Wibisana. Juga baju baru buat Mamak dan Kak Laisa.
Sudah lama sekali Mamak tidak punya baju baru. Kak Laisa juga, selama ini membeli barang
loakan, yang selalu gombyor, kebesaran buatnya.
"Kalau  Dali  sekolah  minggu  depan,  berarti  Dali  tidak  bisa  bantu  Mamak  dan  Kak  Lais
lagi...." Dali menunduk, berdiri di sebelah Kak Laisa, berpegangan ke pagar kebun.
"Kau tetap bisa membantu." Kak Laisa berkata ringan.
"Tapi,  Dali  setiap  shubuh  harus  menumpang  starwagoon,  baru  pulang  lepas  magrhib.
Bagaimanalah Dali bisa membantu?"
"Kau  tetap  bisa  membantu,  Dali.  Dengan  belajar  sungguh-sungguh.  Dengan  nilai-nilai  yang
baik. Kau akan membantu banyak Mamak dengan semua itu." 
Kak  Laisa  menggenggam  lengan  adiknya.  Menatap  wajah  Dalimunte  yang  sekarang  lima
belas senti lebih tinggi darinya. Dalimunte terdiam, menggigit bibir. 
"Berjanjilah—"
Dalimunte mengangguk. Mengusap ujung-ujung matanya.
 
"Kemarilah, Dali.... Kemari...." Kak Laisa berkata lirih. 
Mamak melepas dekapan kepala Dalimunte.
www.rajaebookgratis.com
Dalimunte beranjak mendekat ke ranjang Kak Laisa.
"Kau, kau sungguh adik yang amat membanggakan...." 
Kak  Laisa  menatap  Dalimunte  lamat-lamat.  Tersenyum.  Bercak  darah  mengalir  lagi.  Intan
lembut menghapusnya.
"Lihatlah....  Siapa  yang  paling  pandai  di  keluarga  kita?  Siapa  yang  paling  pintar?  Kau,
Dalimunte.  Babak  pasti  bangga  padamu.  Dan  kau,  kau  selalu  menepati  janjimu....  Belajar,
bekerja keras, bersungguh-sungguh." Kak Laisa mengenggam lengan
"Kau punya istri yang cantik. Anak yang manis dan juga pandai seperti ayahnya. Semua itu.
Semua itu seharusnya membuat kau tersenyum, Dali. Bukan menangis seperti ini— "
Kak Laisa tertawa kecil, lantas terbatuk.
"....Itu semua karena Kakak... itu semua sungguh karena kakak." Dalimunte mengusap ujung-ujung matanya.
Kak Laisa tersenyum tulus. Terus  menggenggam  lengan Dalimunte dengan  sisa-sisa tenaga,
"Maukah  kau  menceritakan  penelitian  terbarumu  pada  Kakak?  Biar  Kakak  mendengarkan...
Yang tentang apa?—" 
Kak Laisa terbatuk.
Bersitatap satu sama lain. Lima belas detik.
Dalimunte  mengangguk  perlahan.  Pelan  menarik  nafas.  Berusaha  mengendalikan  emosi.
Bahkan  dalam  kondisi  yang  menyedihkan,  Kak  Laisa  tetap  tidak  berubah.  Selalu  ingin
mendengar  apa  yang  sedang  dikerjakannya.  Apa  yang  sedang  dilakukannya.  Cie  Hui,
membantu  Mamak  kembali  duduk  di  kursi.  Intan  beringsut  naik  ke  atas  ranjang  besar.  Biar
lebih leluasa membersihkan setiap kali bercak darah keluar dari bibir.
Meski  Kak  Laisa tidak  mengerti, karena semakin  ke sini apa  yang dikerjakan Dalimunte
semakin  rumit  baginya.  Meski  Kak  Laisa  tidak  paham  sedikitpun,  tapi  ia  selalu  ingin
mendengar  apa  yang  sedang  dilakukan  Dalimunte.  Menatap  wajah  Dalimunte  yang  selalu
antusias menjelaskan penelitiannya. Penuh penghargaan.
Tetap sama seperti dua puluh tahun silam.
Masa-masa ketika akhirnya Dalimunte menyadari satu hal.
Kak Laisa yang semakin tertinggal di belakang.
 
22
GADIS TUA
TIGA TAHUN berlalu sejak panen pertama kebun strawberry yang sukses besar. Luas kebun
itu  mekar  menjadi  lima kali  lipat. Mamak dan  Kak Laisa dengan keleluasaan uang  yang ada
mulai membeli lahan-lahan di dekat kebun mereka. Mulai memperkerjakan remaja tanggung
tetangga rumah untuk merawat batang-batang strwaberry. Wak Burhan dan tetangga lainnya,
satu dua juga mulai menanami kebun mereka dengan strawberry, mencoba peruntungan, tapi
mereka tidak setelaten Kak Laisa.
Tiga tahun berlalu sejak panen pertama. Usia Kak Laisa dua puluh tiga tahun. Dalimunte
tujuh belas,  menjelang ujian akhir di sekolah  lanjutan pertamanya. Beranjak  melewati  masa-masa remaja tanggung. Dan seperti halnya remaja tanggung, Dalimunte mulai mengenal kata
cinta  dan  romantisme.  Serba  tanggung.  Ikanuri  dan  Wibisana  juga  beranjak  remaja,  sudah
sekolah  di  kota  kecamatan.  Kelas  satu.  Umur  mereka  empat  belas.  Prospek  sekolah  di  kota
kecamatan benar-benar membuat perangai Ikanuri dan Wibisana berubah banyak. Itu artinya
mereka  bisa  naik  starwagoon  setiap  hari  tanpa  perlu  diteriaki  Mamak  lagi.  Dan  yang  lebih
penting, tidak perlu disuruh-suruh kerja di kebun karena mereka baru pulang saat starwagoon
itu kembali ke lembah menjelang senja.
Sementara Yashinta sudah menjejak kelas enam sekolah dasar. 
 
www.rajaebookgratis.com
Tubuhnya  bongsor,  sekarang  lebih  tinggi  dibandingkan  Kak  Laisa.  Yashinta  tumbuh
menjadi  gadis  kecil  yang  amat  manis.  Rambut  panjangnya  dikuncir  rapi.  Kulitnya  kuning
langsat.  Ia  terlihat  amat  berbeda  di  rumah  panggung  yang  mulai  diperbaiki  di  sana  sini.
Sementara  Mamak  rambutnya  sudah  mulai  beruban.  Kulit  Mamak  legam  seperti  Kak  Laisa,
karena terpanggang matahari saat mengurus kebun strawberry.
Tiga tahun berlalu, hari itu Mamak, Kak Laisa bersama-sama yang lain berangkat ke kota
provinsi.  Melihat  Dalimunte  mengikuti  lomba  karya  ilmiah.  Gedung  serba  guna  universitas
kota  provinsi  itu  ramai  oleh  pengunjung.  Dipadati  oleh  berbagai  peralatan  hasil  rakitan.
Ikanuri  dan  Wibisana  entah  dari  tadi  pagi  menghilang  kemanalah.  Yashinta  menggandeng
Mamak, beserta Kak Laisa  berjalan  mengelilingi  gedung. Melihat satu demi satu stand  yang
dipenuhi peralatan peserta lomba.
Mereka berdiri lama di depan rakitan Dalimunte. Kak Laisa mengerjap-ngerjap terpesona, 
"Bisakah kau menjelaskan ini sebenarnya apa, Dali?"
Dalimunte  tersenyum,  Kak  Laisa  selalu  peduli  dengan  apa  yang  dikerjakannya.  Selalu
bertanya.  Ingin  tahu,  meski  kadang  tidak  terlalu  mengerti  apa  yang  sebenarnya  Dalimunte
jelaskan.  Yashinta  dan  Mamak  berdiri  mendekat.  Ikut  mendengarkan.  Tapi  sebelum  Dali
sempat  menjelaskannya,  Ikanuri  dan  Wibisana  mendadak  masuk  ke  dalam  stand.  Berseru
sambil  menarik  kuncir  rambut  Yashinta.  Tangan  Yashinta  yang  berusaha  memukul  tangan
jahil  Ikanuri  malah  menghantam  rakitan  Dalimunte.  Pyar!  Rakitan  alat  fermentasi  buah
strawberry itu roboh seketika. Berserakan.
"IKANURI, WIBISANA, bisa nggak sih kalian sehari saja tidak nakal?" 
Kak Laisa mendesis marah.
Wajah-wajah  pengunjung  lainnya  tertoleh.  Ingin  tahu  keributan    yang    sedang    terjadi.  
Dalimunte    pias    melihat  rakitannya  roboh.  Berusaha  membenahi.  Dibantu  Yashinta  setelah
mengaduh kaget dan menimpuk Ikanuri dan Wibisana dengan gumpalan tisu.
Seorang gadis remaja tanggung dari kerumunan pengunjung ikut jongkok. Ikut membantu
membenahi  serakan  logam  dan  kayu.  Seketika  muka  Dalimunte  yang  pias  memerah.  Amat
merah.
"Cie Hui? Kau... kau juga datang?" Berkata terbata.
Gadis  tanggung  berbilang  enam  belas  tahun  itu  tersenyum  manis.  Wajah  keturunannya
juga  merekah  merah,  tersipu,  mengangguk.  Dan  Dalimunte  sontak  kehabisan  kata.  Cie  Hui
teman sekelasnya di kota kecamatan. Lihatlah, Dalimunte seperti anak-anak lain, tidak peduli
sepintar apapun dia, tetap tumbuh menjadi remaja tanggung dengan segala dunianya. Setahun
terakhir, Dalimunte mulai merasakan cinta monyet itu. Dengan segala perasaan-perasaan itu.
Kerusakan  akibat  kenakalan  Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  berakibat  fatal.  Rakitan
Dalimunte toh sudah selesai dinilai. Ia kalah sebelas poin dari juara ketiga (yang berasal dari
sekolah  lanjutan  atas).  Tapi  sepanjang  perjalanan  pulang,  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  jahil
terus  menggodanya  soal  Cie  Hui.  Dasar  Dalimunte,  semakin  digoda,  semakin  terbukalah
semuanya.  Mukanya  merah  padam.  Berkali-kali  berusaha  menghindar.  Percuma.  Bahkan
Yashinta yang selama ini tidak pernah jahil, ikut-ikutan nyeletuk, 
"Emangnya  kakak sudah boleh pacaran, ya?" Membuat Mamak ikut tertawa.
"Apa  kau  menyukainya?"  Kak  Laisa  bertanya  saat  mereko  berdua  di  kebun  strawberry
beberapa hari kemudian.
Muka Dalimunte langsung merah padam.
"Kakak  hanya  memastikan,  kau  tidak  perlu  menjawabnya"  Kak  Laisa  tersenyum  simpul.
Meneruskan memotong ranting-ranting batang strawberry yang menguning.
Hari-hari itu Dalimunte menyadari sesuatu. Dia memang menyukai Cie Hui sejak pertama
kali  mengenalnya.  Cinta  pertamanya.  Tapi  kesadaran  itu  mendatangkan  pemahaman  yang
lebih besar, lebih penting: Kak Laisa. 
 
www.rajaebookgratis.com
Apakah Kak Laisa pernah jatuh-cinta sepertinya?
Kesadaran  itu  mencungkil  berbagai  potongan  dialog  yang  dulu  dianggap  Dalimunte
biasa-biasa  saja. Berbagai percakapan tetangga. Amat tidak  lazim,  Kak  Laisa  yang  sekarang
sudah berumur dua puluh tiga tahun tapi belum menikah. Di lembah itu, rata-rata anak gadis
menikah di usia delapan  belas. Mamak dulu  juga  menikah di umur segitu. Tetapi  Kak  Laisa
sudah dua puluh tiga, dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan segara menikah.
Gadis  tua.  Itu  istilah  yang  disematkan  ke  perempuan  yang  lepas  dua  puluh  belum  juga
menikah  di  Lembah  Lahambay.  Dalimunte  menatap  lamat-lamat  punggung  Kak  Laisa.
Hamparan  kebun  strawberry  itu  lengang.  Beberapa  pekerja  sibuk  mengurus  batang-batang
strawberry  Beberapa  menyusun  polybag  baru.  Memasukkan  pupuk  kandang.  Menyiapkan
bibit. Gadis tua. Itulah isi percakapan tetangga selama ini. Dalimunte menelan ludah. Apakah
Kak  Laisa  pernah  jatuh  cinta  sepertinya?  Apakah  Kak  Laisa  tidak  terganggu  dengan  bisik-bisik itu?
Inilah  sebenarnya  urusan  paling  pelik  yang  menyergap  hubungan  mengesankan  kakak-adik di lembah indah itu. Gadis tua.
    
23
JANGAN HINA KAKAKU
"KAK  LAIS  bilang  aku  bisa  sekolah  di  mana  saja.  Aku  tidak  mau  sekolah  di  sini.  TIDAK
MAU!" Yashinta merajuk. Matanya melotot.
Laisa mencengkeram lengannya. Bersitatap satu sama
"YASH TIDAK MAU SEKOLAH DI SINI!"
Laisa tidak mengendurkan cengkeramarmya. 
"Yash tidak mau sekolah di sini... Yash mohon, jangan paksa Yash..." 
Yashinta mulai menangis. Tertunduk.
Laisa menelan ludah. Lembut menatap wajah adiknya. 
Ia  baru  saja  mengantar  Yashinta  mendaftar  sekolah  di  kota  kecamatan.  Setahun  lagi
berlalu.  Sekarang  giliran  Yashinta.  Tadi  semangat  sekali  berangkat  menumpang  truk
angkutan strawberry. Semangat melihat hamparan luas halaman sekolah lanjutan pertama itu.
Di  sini  pula  Ikanuri  dan  Wibisana  sekolah.  Kelas  tiga.  Sedangkan  Dalimunte  sudah
melanjutkan sekolah di kota provinsi. Meski tidak juara, lomba karya ilmiah, itu memberikan
kesempatan meneruskan sekolah di sekolah lanjutan atas terbaik kota provinsi. Beasiswa.
"Yashinta marah dengan orang di dalam tadi?" Yashinta diam, Menggigit bibimya. 
"Yash marah?"
Yashinta  mengangguk.  Pelan.  Bagaimanalah  ia  tidak  akan  marah.  Ketika  formulir
pendaftarannya akan ditandatangani Kak Laisa, petugas itu kasar menegur, 
"Harus orang tua atau wali murid yang menandatangani, bukan pembantu yang mengantar—"
"Ia kakakku—" Yashinta yang menjawab.
"Bagaimana mungkin ia kakakmu?" Petugas itu menatap keheranan. 
Lihatlah, Yashinta  yang  bongsor sejengkal  lebih tinggi dibanding  Kak Laisa.  Apalagi wajah
Yashinta  yang  amat  manis.  Dibandingkan  dengan  adiknya,  Kak  Laisa  memang  lebih  mirip
seseorang yang disuruh mengantar.
"Ia  kakakku—"  Yashinta  menjawab  ketus,  tersinggung  dengan  tatapan  petugas.  Meski
umurnya  baru  dua  belas  tahun,  Yashinta  mengerti  benar  soal  beginian.  Soal  tatapan  mata
seperti ini. Kalimat-kalimat seperti ini. Ia berkali-kali mengalaminya.
"Kakakmu? Kalian sungguh berbeda. Ia lebih pend... Baiklah-"
Maka  Yashinta  merajuk,  berlari  ke  luar  ruangan  pendaftaran.  Melempar  formulir
pendaftarannya.  Tidak.  Tidak  ada  yang  boleh  menghina  kakaknya.  Ia  tidak  akan  sekolah  di
sini. la bisa sekolah di mana saja ia mau, tapi bukan di sini.
www.rajaebookgratis.com
"Yash  seharusnya  tidak  marah.  Yash  seharusnya  terbiasa"  Kak  Laisa  duduk  di  sebelah.  Ikut
bersandarkan kursi panjang. Menghela nafas. 
Mendekap bahu adiknya.
Yashinta hanya diam. Meletakkan tas barunya.
Minggu  lalu,  dan  juga  minggu-minggu  lalunya,  waktu  ia  bermain-main  bersama  anak
tetangga  di  lembah,  beberapa  remaja  tanggung  juga  seringkali  menunjuk-nunjuknya.
Berbisik.  Tertawa.  Yash  tahu  apa  yang  sedang  mereka  bicarakan.  Mereka  pasti  senang
membanding-bandingkan  ia dengan  Kak  Laisa. Maka  marahlah Yashinta. Melempar  mereka
dengan butiran tanah. Berteriak-teriak. Membuat Wak Burhan yang kebetulan lewat terpaksa
turun tangan.
"Mereka menghina Kak Lais, Wak!" Yashinta mengadu  marah.
Wak  Burhan  mengusap  rambut  panjang  Yashinta.  Tersenyum  bijak.  Sejak  dulu,  anak-anak
kampung  memang  suka    memperolok-olok  Laisa.  Hanya  saja  karena  Yashinta  masih  terlalu
kecil  sajalah,  hingga  Yashinta  tidak  menyadarinya.  Remaja-remaja  tanggung  itu  sedang
senang-senangnya  rumpi.  Mengolok-olok.  Laisa  yang  berbeda  dengan  anak-anak  Mamak
Lainuri lainnya. Laisa yang berbeda dengan penduduk kampung lainnya.   Bahkan sekali-dua
meski  dengan  intonasi  berbeda  orang  dewasa  di  lembah  itu  juga  suka  membicarakan  Laisa
yang  belum  menikah-menikah  juga,  Wak  Burhan  malah  juga  pernah  berkunjung,  berbicara
dengan Mamak Lainuri soal kenapa Laisa belum menikah.
"Yash seharusnya terbiasa. Lihat, Ikanuri dan Wibisana terbiasa. Dalimunte juga terbiasa—"
"Tapi mereka menghina Kak Lais!" Yashinta memotong.
" Mereka hanya merasa heran—"
"Mereka  menghina. Yash tidak  suka. Pokoknya Yash tidak suka. Yash tidak  mau sekolah di
sini!" Yashinta menjawab ketus.
Laisa tersenyum. 
Suka  atau  tidak,  mau  atau  tidak,  Yashinta  harus  membiasakan  diri.  Seperti  Ikanuri  dan
Wibisana yang tidak peduli dengan olok-olok itu. Atau seperti Dalimunte yang memang tidak
pernah mendengarkan sedikitpun olok-olok tersebut. Karena tidak ada gunanya. 
Tidak ada manfaatnya. 
Adiknya Yashinta harus (segera) terbiasa....
 
24
PERNIKAHAN SEPUH
MALAM ITU, rumah panggung mereka ramai.
Kak  Laisa  baru  saja  menyelesaikan  renovasi  rumah.  Sekarang  rumah  panggung  reot
seadanya  itu  berubah  menjadi  bak  villa  indah.  Masih  berlapis  kayu,  tapi  sekarang  tanpa
lubang-lubang.  Atapnya  digantikan  genteng,  sudah  tak  tampias  lagi.  Hamparan  halaman
ditanami  beludru  rumput  dan  bonsai  pepohonan.  Perkebunan  strawberry  mereka  sekarang
sudah puluhan hektar, memenuhi separuh lembah hingga cadas  lima meter sungai. Tidak ada
lagi lima kincir bambu di sana. Sekarang digantikan dua pasang kincir bertingkat-tingkat dari
batangan  aluminium  dan  pondasi  beton  yang  lebih  kokoh.  Ada  banyak  hal  besar  yang
dikerjakan Kak Laisa tiga tahun terakhir. Seiring majunya perkebunan strawberry, Kak Laisa
juga merenovasi sekolah seadanya di kampung atas. Jalanan selebar tiga meter itu juga sudah
di aspal tipis. Memudahkan truk-truk pengangkut buah strawberry berlalu-lalang.
Malam itu, Dalimunte yang sudah kuliah di institut teknologi ternama luar pulau, mudik.
Kejutan.  Benar-benar  kejutann,  Dalimunte  pulang  bersam  Cie  Hui.  Gadis  keturunan  yang
dulu mereka lihat di kota provinsi. Umur Dalimunte sudah dua puluh satu tahun, sudah bukan
remaja  tanggung  lagi.  Ikanuri  dan  Wibisana  beranjak  delapan  belas,  sudah  di  tahun  terakhir
sekolah lanjutan atas kota kabupaten. Mereka masih suka menggoda Dalimunte soal Cie Hui,
tapi konteksnya jauh berbeda. Bukan lagi gurauan remaja tanggung atau anak-anak. Lagipula
www.rajaebookgratis.com
Ikanuri  dan  Wibisana  lebih  asyik  menghabiskan  waktu  di  bengkel.  Mereka  memang
menyukai  mengotak-atik  mesin.  Cinta  sekali  dengan  mobil.  Beruntung  Kak  Laisa  berbaik
hati  membelikan starwagoon tua, dengan  janji  mereka tetap akan  meneruskan kuliah di kota
provinsi tahun depan.
Yashinta tumbuh menawan. Gadis kecil itu sekarang sudah lima belas. Setahun lagi harus
melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia tetap sekolah di kota kecamatan yang dulu pernah
dibencinya. Meski tidak kunjung terbiasa, Yashinta mengalah. Bisik-bisik tetangga soal fisik
Laisa  juga  sebenarnya  jauh  berkurang  karena  meski  dengan  segala  keterbatasannya,  fakta
Laisa  melakukan  banyak  hal  untuk  lembah,  anak-anak  yang  bersekolah,  bantuan  menanam
strawberry di kebun-kebun, membuat kehidupan lembah jauh lebih baik.
Jadi  penduduk  kampung  walau  tetap  membicarakan  Laisa  yang  hingga  usia  dua  puluh
tujuh tahun tetap belum menikah, intonasinya lebih karena prihatin. Ingin membantu mencari
jalan keluar. 
"Cepat atau lambat juga akan datang, Mak!" Itu jawaban ringan Kak Laisa setiap kali Mamak
mengajak membicarakannya (atau jika ada tetangga yang berbaik hati bertanya). 
"Lihat,  Wak  Burhan  besok  akan  menikah  untuk  kedua  kalinya.  Padahal  umurnya  sudah
delapan puluh! Cepat atau lambat giliran Laisa pasti akan tiba pula, bukan?" 
Kak Laisa tertawa.
Itu benar, besok Wak Burhan akan menikah dengan janda tua dari desa atas. Umur calon
istri  Wak  Burhan  berbilang  enam  puluh  tahun,  sudah  bercucu  sebelas.  Malam  itu,  mereka
ramai-ramai  berkumpul  di  rumah  untuk  menyiapkan  keperluan  acara  besok.  Wak  Burhan
masih  terhitung  kakak  sepupu  Mamak.  Jadi  rumah  panggung  mereka  jadi  tempat  'mempelai
perempuan' bersiap-siap.
    Yashinta  ditemani  Cie  Hui  memasang  hiasan-hiasan  janur.  Penduduk  kampung  itu  sibuk.
Minggu-minggu  selepas  lebaran,  memang  waktu  yang  tepat  melangsungkan  hajat  besar.
Pernikahan. Mamak dan ibu-ibu lainnya menyiapkan hidangan besok. Dalimunte dan pemuda
lainnya menyiapkan panggung acara. Kak Laisa ikut mengerjakan banyak hal. Jelas ia sudah
terbiasa menangani tatapan ingin tahu. Menanggapi ibu-ibu tetangga yang menggodanya, 
"Jadi kapan Lais akan menyusul?" Laisa hanya tersenyum simpul.
Setiap kali ada pernikahan di lembah itu, Laisa selalu membantu mengerjakan banyak hal.
Terbiasa  dengan  kalimat  prihatin,  gurauan,  bahkan  bisik-bisik  tetangga.  Menjawab  dengan
senyuman,  kalimat  ringan,  atau  ikut  tertawa.  Tapi  apakah  Laisa  seringan  itu  menghadapi
fakta  bahwa  ia  belum  menikah-menikah  juga?  Dalimunte  tahu  persis  jawabannya.  Seperti
malam  itu,  saat  semua  jatuh  tertidur  kelelahan  lepas  menyiapkan  keperluan  acara  besok.
Larut malam. Bintang Indah bertebaran di angkasa. Cerah. Lembah itu berpendar-pendar oleh
cahaya bohlam lampu di bawah dan cahaya bintang di langit.
"Kak Lais belum tidur?"
Laisa  menoleh,  tersenyum.  Dalimunte  melangkah,  mendekat.  Laisa  berdiri  di  depan  bingkai
jendela yang dibuka lebar-lebar.
"Bulan yang indah, bukan?" Kak Lais menunjuk ke atas.
Dalimunte mengangguk. Menelan ludah. Dia tahu, Kak Laisa tidak menghabiskan waktu
setengah  jam  dini  hari  seperti  ini  hanya  untuk  menikmati  menatap  rembulan.  Bersenyap
seorang  diri  pukul  dua  pagi.  Tentu  ada  banyak  hal  yang  sedang  dipikirkannya.  Kalimat-kalimat  tetatngga.  Usianya  yang  sebentar  lagi  tiga  puluh.  Entahlah.  Tapi  Kak  Laisa  selalu
ingin  terlihat  semua  baik-baik  saja  di  depan  adik-adiknya.  Sejak  setahun  lalu,  Dalimunte
ingin sekali menanyakan hal tersebut.
"Apakah kau menyukai Cie Hui?" Kak Laisa justru yang mendahuluinya bertanya.
Muka Dalimunte memerah. Tersipu.
"Ergh, maksud Kak Lais?"
"Kata Yashinta tadi, Cie Hui bilang kalian tidak pacaran. Hanya teman dekat—" 
www.rajaebookgratis.com
Kak Laisa tertawa kecil. 
"Aneh, bukan? Bagaimana mungkin gadis itu mau bermalam di sini tanpa hubungan penting
di antara kalian?"
Dalimunte  nyengir,  mengusap  wajahnya  yang  semakin  memerah.  Benar.  Mereka  belum
sekalipun  bilang  soal  perasaan  itu.  Mereka  amat  dekat,  itu  benar.  Tapi  ikrar  saling  suka  itu
belum terucap. Bagaimana dia akan melakukannya jika Kak Laisa belum?
"Cie  Hui  gadis  yang  cantik.  Ia  juga  baik.  Ia  mudah  sekali  akrab  dengan  Mamak  dan
Yashinta." Kak Laisa bergumam, menatap wajah Dalimunte yang salah-tingkah, 
"Dali, kau seharusnya tidak membuat Cie Hui menunggu lama—"
 
25
KAU TIDAK HARUS MENUNGGU
TETAPI DALIMUNTE kali ini memutuskan untuk bebal.
Dalimunte  tidak  mendengarkan  kata-kata  Kak  Laisa.  Dalimunte  benar-benar  membuat
Cie  Hui  menunggu  lama,  terlalu  lama  malah.  Tujuh  tahun  berlalu.  Dan  dia  belum  juga
mengatakan  perasaan  itu.  Meski  hampir  setiap  pulang  ke  Lembah  Lahambay,  Cie  Hui  ikut
serta. Bahkan gadis keturunan yang sekarang sudah berkerudung itu sudah dianggap Mamak
menjadi anggota keluarga.
Lulus  dari  institut  teknologi  ternama  itu,  Dalimunte  melanjutkan  sekolah  di  universitas
terbaik  di  Amerika.  Mendapatkan  beasiswa  selama  tiga  tahun  untuk  menyelesaikan  jenjang
doktor ilmu fisikanya. Masa-masa itu bahkan Cie Hui lebih banyak lagi menghabiskan waktu
di  perkebunan  strawberry.  Menginap  lama  di  sana.  Ikut  membantu  Kak  Laisa  dan  Mamak
mengurus  kebun.  Dua  tahun  sejak  pulang  dari  Amerika,  dan  memutuskan  bekerja  di
laboratorium  institut  teknologi  ternama,  Dalimunte  tetap  tak  kunjung  mengatakan
perasaannya. Cie Hui hanya bilang, 
"Kami hanya teman biasa, Mak!" setiap kali Mamak atau Yashinta bertanya kapan.
"Apa  sebenarnya yang  kau  tunggu,   Dali?"  
Itu    juga  pertanyaan  berkali-kali  yang  disampaikan  Kak  Laisa  setiap  dua  bulan  jadwal
Dalimunte dan yang lain pulang ke lembah. Dan Dalimunte hanya diam, tidak menjawab.
Tentu saja Dalimunte amat menyukai Cie Hui. Cinta pertamanya. Tetapi urusan ini tidak
mudah.  Pelik.  Dia  sungguh  tidak  akan  pernah  bisa  mengambil  keputusan  sepenting  itu
sebelum  Kak  Laisa  menikah.  Tabu  sekali  di  lembah  itu  jika  ada  adik  yang  mendahului
kakaknya menikah. Melintas. Akan menjadi gunjingan seumur hidup.
"Kau tidak harus menunggu aku, Dali!" 
Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte. Malam itu, malam yang kesekian mereka berdiri
di  lereng  lembah,  menatap  bintang-gemintang.  Di  antara  ribuan  polybag  strawberry.  Malam
itu, umur Kak Laisa sudah tiga puluh tiga tahun, Dalimunte dua puluh tujuh. Janji kehidupan
yang  lebih  baik  di  luar  lembah  sudah  sepenuhnya  tiba.  Dan  kehidupan  di  lembah  sendiri
sudah jauh lebih baik dibandingkan masa kanak-kanak mereka.
Mereka  selepas  isya  tadi,  habis  melakukan  syukuran  besar  di  rumah.  Lulusnya  Ikanuri
dan  Wibisana.  Akhirnya,  dua  sigung  nakal  itu  menyelesaikan  kuliahnya.  Warga  kampung
berkumpul. Tidak ada lagi wajah-wajah suram habis bekerja seharian, pakaian seadanya, dan
semacam  itu  seperti  mereka sering  berkumpul di  balai kampung dulu.  Kehidupan di  lembah
jauh lebih baik sekarang.
"Kami lulus sarjana saja itu sudah menjadi keajaiban dunia ke delapan dan ke sembilan. Jadi
jangan paksa kami untuk ambil S2 seperti Dalimunte — " 
Ikanuri  tertawa  saat  Kak  Laisa  menyuruh  mereka  melanjutkan  sekolah  lagi.  Dan  itu  benar,
beberapa  minggu  kemudian  dari  kelulusan  universitas  kota  provinsi,  dua  sigung  itu  lebih
memilih  sibuk  dengan  hobi  kecil  mereka  dulu.  Membongkar-bongkar  mesin  mobil.  Mereka
sekarang punya bengkel besar di kota provinsi. Kak Laisa yang memberikan modal.
www.rajaebookgratis.com
Sementara Yashinta benar-benar tumbuh menjadi gadis yang menawan. Cantik luar biasa.
Umurnya sekarang dua puluh. Tahun kedua di jurusan Biologi universitas ibukota. Malam ini
ia  jug  a  pulang.  Lihatlah,  Yashinta,  dengan  rambut  tergerai  panjang,  mata  hitam  indah  dan
tubuh tinggi semampai, terlihat seperti bidadari di rumah panggung itu. Amat kontras dengan
Kak  Laisa.  Gadis  itu  juga  tumbuh  dengan  pemahaman  yang  baik      atas  hidup.  Mencintai
kehidupan sekitar.Menghabiskan waktu dengan kegiatan mendaki gunung, menyelami lautan,
konservasi alam. Setiap kali  ia pulang,  itu   saja dengan  berhari-hari  menghabiskan waktu di
hutan  rimba  dekat  lembah.  Menginventarisir  satwa  di  dalamnya.  Hasil  jepretan  kameranya
sudah ribuan  lembar. Yashinta amat atletis untuk urusan  ini. Ia  bahkan dua kali  lebih atletis
dibanding Kak Laisa.
"Kau tidak harus menunggu aku, Dali—" 
Kak  Laisa  menghela  nafas  panjang.  Mengulang  kalimatnya.  Memecah  lenyap.  Mendekap
pinggang Dalimunte yang tiga jengkal lebih tinggi darinya.
Dalimunte hanya menunduk, menelan ludah. Bagaimanalah? Dulu Kak Laisa bahkan tega
mempermalukan  diri  sendiri  agar  adik-adiknya  tidak  mendapat  malu.  Kak  Laisa  bekerja-keras  di  masa  kecilnya  demi  adik-adiknya.  Bagaimanalah  dia  sekarang  sampai  hati
mendahului Kak Laisa? Justru mempermalukan Kak Laisa? Itu akan jadi aib besar di lembah.
Belum  menikah  di  usia  tiga  puluh  tiga  tahun  saja  cukup  sudah  membuat  tetangga  banyak
bertanya, apalagi jika adik-adiknya melintas.
"Kau sudah cukup umur Dali. Punya pekerjaan hebat di ibukota. Cie Hui amat menyukaimu.
Kau  tahu,  selama  ini  ia  bahkan  lebih  banyak  menghabiskan  waktu  di  sini  dibandingkan  di
rumah orang tuanya di kota kecamatan, bukan?" Tertawa.
Dalimunte  ikut  tertawa  kecil.  Semerbak  wangi  perkebunan  di  malam  hari  menyergap
ujung  hidung.  Malam  sudah  amat  larut.  Pukul  dua  pagi.  Dia  selalu  menemani  Kak  Laisa
menghabiskan  malam  setiap  kali  pulang  ke  lembah.  Menatap  pemandangan  lembah  yang
indah.  Dulu  waktu  mereka  kecil,  Kak  Laisa  juga  suka  melakukannya.  Dan  Dalimunte  tahu
persis itu.
Dulu  Kak  Laisa  menghabiskan  malam  dengan  berpikir  tentang  sekolah  adik-adiknya.
Bagaimana  mencari  uang  agar  adik-adiknya  tidak  putus  sekolah.  Membantu  Mamak  yang
setiap hari terpanggang matahari di ladang. Sekarang? Dalimunte menghela nafas pelan, Kak
Laisa  tidak  pernah  sekalipun  mendapat  bagian  untuk  merasakan  bahagia  dalam  hidupnya.
Apa yang sekarang Kak Laisa pikirkan? Usianya? Kesendiriannya?
"Berjanjilah kau tidak akan membuat Cie Hui menunggu lebih lama lagi. Berjanjilah, Dali—"
Suara  Kak  Laisa  kembali  memecah  sepi.Dalimunte  hanya  menatap  senyap  hamparan  kebun
strawberry. Urung menanyakan hal penting tersebut.
 
Mobil  jemputan kedua tiba di Lembah  Lahambay. Juwita  dan   Delima  berteriak-teriak 
ribut    saat    turun.  Bertengkar  soal  sepeda  BMX  mereka.  Ummi  mereka  berdua  menghela
nafas, berusaha melerai. Kehabisan akal. Gara-garanya sepele, mereka bertengkar soal sepeda
siapa  yang  duluan  harus  diturunkan.  Tetangga  yang  sedang  berkumpul  di  beranda  rumah
panggung berkerumun, ikut bingung mencari solusinya.
"Lihat, lihat, Bak Wo Jogar turunkan dua-duanya serempak. Satu-dua-tiga-..." 
Bang Jogar tertawa, tangan kekarnya mengangkat kedua sepeda itu sekaligus dari atas mobil,
ikut berseru meningkahi seruan kedua sigung kecil tersebut. "Nah, adil, kan?"
Juwita  dan  Delima  hanya  nyengir.  Bilang  terima  kasih  (setelah  dicubit  Ummi  masing-masing). Mendorong masuk sepeda mereka ke garasi, sebelah rumah.
Mereka  lagi-lagi  berisik  saat  naik  ke  rumah  panggung.  Ribut  soal  siapa  yang  duluan
salaman  dengan  Eyang  Lainuri  dan  Wawak  Laisa.  Saling  dorong  saat  masuk  kamar.  Tidak
mempedulikan  tatapan  tetangga  yang  sedang  mengaji  yasin.  Tetapi  dua  sigung  kecil  itu
seketika  terdiam  saat  melihat  ke  dalam  kamar.  Melihat  infus,  belalai,  dan  peralatan  medis
www.rajaebookgratis.com
lainnya. 
Menelan ludah. Benar-benar terdiam. 
Juwita  dan  Delima  malah  takut-takut  melangkah  masuk.  Menatap  sekitar  penuh  tanda-tanya.  Aduh,  kenapa  jadi  begini?  Kalau  begini  mana  ada  coba  acara  keliling  perkebunan
pakai  sepeda  BMX.  Balapan  dengan  Wawak  Laisa?  Lupa  dengan  pertengkaran  mereka
barusan. Siapa yang lebih dulu menyalami Wak Laisa?
Wak Laisa sedang tidur.
Jatuh tertidur saat Dalimunte menceritakan penelitian Elektromagnetik Antar Galaksi satu
jam  lalu.  Ia  awalnya  berusaha  mendengarkan  dengan  sungguh-sungguh,  berusaha  untuk
mengerti apa yang sedang dijelaskan Dalimunte, tapi fisiknya semakin lemah, konsentrasinya
menghilang, Laisa akhirnya jatuh tertidur.
Sementara  Cie  Hui  memijat  kaki  Mamak  yang  juga  rebahan  di  kursi  panjang  dekat
ranjang. Mamak juga lelah setelah hampir seminggu senantiasa terjaga menemani Kak Laisa.
Intan  masih  duduk  di  atas  ranjang,  sebelah  Wak  Laisa.  Menatap  wajah  wawak-nya  yang
meski pucat pasi, begitu tenang dalam tidumya.
Dalimunte  menyalami  Jasmine  dan  Wulan.  Menyilahkan  mereka  mendekat  ke  ranjang
besar  tersebut.    Bang  Jogar  menyuruh    beberapa      pemuda  tanggung  membawa  plastik
tambahan  masuk.  Dokter  memeriksa  ulang  panel  panel  peralatan.  Suster  menyiapkan
beberapa suntikan dan obat.
"Apakah  Kak  Lais  akan  baik-baik  saja?"  Wulan  sambll  mendekap  kepala  Juwita  (yang
mendadak alim) bertanya lirih.
"Aku tidak tahu—" Dalimunte menelan ludah.
"Apakah  Kak Lais akan  baik-baik saja?" Jasmine  mengulang pertanyaan  serupa. Lebih  lirih.
Menggigit bibir.
Dalimunte menggeleng.
Hening sejenak.
"Ikanuri dan Wibisana sudah di Paris, tadi sempat telepon—"
Dalimunte mengangguk. Memberikan kursi.
Sementara  Intan  pelan  melambaikan  tangannya  ke  Juwita  dan  Delima  agar  mendekat,
duduk  bertiga  di  atas  ranjang  besar  Wak  Laisa.  Ketiga  gadis  kecil  itu,  malam  ini  untuk
pertama  kalinya  rukun.  Mana  pernah  coba  Intan  mau  memberikan  posisi  duduk  ke  adik-adiknya, selama ini yang ada juga Intan galak mengusir mereka jauh-jauh!
 
26
MELINTAS
 
WAKTU BERLALU. Dan urusan Dalimunte-Cie Hui  berubah  serius sekali.  Jika Dalimunte
bisa keukeuh bertahan menunggu Kak Laisa menikah bertahun-tahun lagi, tapi ada yang tidak
bisa. Cie Hui. 
Enam  bulan  selepas  syukuran  syukuran  Ikanuri  dan  Wibisana,  Cie  Hui  datang  ke
perkebunan  strawberry  sambil  menangis.  Bersimpuh  di  pangkuan  Mamak  dan  Kak  Laisa.
Perjodohan.  Keluarga  Cie  Hui  di  kota  kecamatan  memutuskan  untuk  menjodohkan  Cie  Hui
dengan kerabat mereka di China.
Benar-benar rusuh perkebunan itu.
"Aku sudah bilang,  Kak Lais.... Aku sudah bilang ke Dalimunte.  Tapi,  tapi  ia   tetap  tidak 
bisa  mengambil keputusan...." 
Gadis manis berkerudung lembut itu menangis di pangkuan Kak Laisa.
"Ayah  memaksaku  menikah  segera.  Kak  Lais  tahu,  di  keluarga  kami  tidak  ada  anak  gadis
yang belum menikah hingga usiaku. Ayah memaksaku memilih.... Jika Dalimunte tidak ingin
menikah denganku.... Jika Dalimunte tidak—" Cie Hui terisak mengadu.
www.rajaebookgratis.com
Siang  itu  juga  Kak  Laisa  menyuruh  Dalimunte  pulang  ke  Lembah  Lahambay.
Meneleponnya langsungke laboratorium, 
"Kau  naik  pesawat  pertama  dari  sana,  DALI!  Malam  ini  juga  kau  sudah  harus  tiba  di
perkebunan strawberry! KAU DENGAR?"
Sudah lama Kak Laisa tidak berkata setegas itu di hadapan adik-adiknya. Apalagi kepada
Dalimunte  yang  sejak  kecil  menurut.  Perintah  itu  juga  menyebar  ke  yang  lain.  Karena  Cie
Hui  sudah  dianggap  seperti  anggota  keluarga  di  rumah  panggung  itu,  Yashinta  juga  ikut
pulang dari kota provinsi. Juga Ikanuri dan Wibisana. Semua berkumpul.
Ruang  depan  yang  dulunya  dipakai  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana  tidur  beralaskan
tikar  pandan  itu  senyap.  Malam  itu,  hujan  gerimis  membasuh  lembah.  Dalimunte  yang
terakhir tiba di rumah, dan langsung diajak bicara. Yang lain sudah menunggu sejak sore tadi.
Cie  Hui  masih  menenangkan  diri  di  kamar.  Tadi  sore,  utusan  keluarganya  dari  kota
kecamatan memaksa pulang. Hanya karena Kak Laisa bilang, 
"Semua akan  baik-baik saja!  Bilang ke  Kokoh, tunggu  hingga  malam  ini  berakhir."  Kerabat
Cie Hui mengalah.
Mereka tertunduk.  Pelan  menghela  nafas.  Kak Laisa menatap wajah adik-adiknya satu
persatu. Lamat-lamat.
"Kakak tidak pernah meminta kalian menunggu. Tidak pernah," 
Kak  Laisa  memecah  senyap.  Ini  kali  pertama  mereka  membicarakan  masalah  yang  super-sensitif tersebut bersama-sama.
"Dalimunte,  kau  sudah  dua  puluh  delapan.  Wibisana  hampir  duapuluh  enam,  Ikanuri  dua
puluh  lima,  dan  Yashinta  dua  puluh  dua.  Kalian  sudah  tumbuh  begitu  dewasa.  Tampan  dan
cantik.  Seperti  yang  Kakak  impi-impikan,  kalian  tumbuh  dan  memiliki  kesempatan  lebih
besar dibandingkan  lembah  ini. Tidak  menghabiskan  hidup  hanya  menjadi pencari kumbang
dan damar di rimba" 
Suara Kak Laisa bergetar,  membuat yang lain semakin tertunduk.
Di  luar  gerimis  mulai  menderas.  Suara  bilur  air  hujan  membasuh  rumput,  genteng, 
bebatuan  terdengar  sakral menyenangkan.
" Kalian sudah cukup umur untuk mengambil kesempatan berikutnya. Sudah lebih dari cukup
umur  untuk  menikah.  Apa  lagi  yang  kalian  tunggu?  Dali,  bahkan  Kakak  sudah  bilang  enam
tahun lalu agar kau tidak membuat Cie Hui menunggu terlalu lama—"
Dalimunte menelan ludah.
"Kau tidak perlu menunggu Kakak.... Sungguh. Sama sekali tidak perlu. Kelahiran, kematian,
jodoh semua sudah ditentukan. Masing-masing memiliki jadwal. Giliran—"
"Aku tidak akan menikah sebelum Kakak menikah." 
Dalimunte memotong, dengan suara pelan tertahan.
"Kau tidak perlu menunggu Kakak Dali!" 
Kak Laisa Berkata tegas. Menatap tajam Dalimunte.
"Aku tidak akan menikah—"
"Dengarkan Kakak bicara,  Dali!"  Kak Laisa  menatap tajam.
Dalimunte  tertunduk  dalam-dalam.  Ikanuri  dan  Wibisana  mengusap  wajahnya.  Yashinta
memeluk Mamak, matanya mulai berair.
"Buat  apa  kau  memikirkan  apa  yang  dipikirkan  orang  atas  pernikahan  kau.  Buat  apa  kau
memikirkan  apa  yang  dipikirkan  orang  atas  Kakak-mu.  Buat  apa  kau  memikirkan
kekhawatiran,    rasa  cemas,    yang  sejatinya  mungkin  tidak  pernah  ada.  Hanya  perasan-perasaan. Lihatlah, Kakak baik-baik saja."
Dalimunte  menyeka ujung-ujung  mata. Itulah  masalahnya, semua terlihat  baik-baik saja.
Bahkan  sejak  kecil  dulu  Kak  Laisa  selalu  berusaha  terlihat  baik-baik  saja  di  hadapan  adik-adiknya.  Memutuskan  berhenti sekolah demi  mereka sekolah.  Bekerja keras. Dan  semuanya
tetap baik-baik saja.
www.rajaebookgratis.com
"Jangan paksa Dali menikah.... Jangan paksa Dali...."
"Tidak  ada  yang  memaksamu!  TIDAK  ADA!  Tapi  jika  kau  tetap  keras  kepala,  kau  akan
kehilangan  Cie  Hui  selamanya.  Kau  mencintainya,  Cie  Hui  juga  amat  mencintai  kau  dan
keluarga  kita!  Kau  akan  membuat  semuanya  binasa  dengan  segala  kekeras-kepalaan  dan
omong-kosong melintas itu..." Kak Laisa berkata serak.
"Dali tidak akan menikah sebelum —"
"Kau jangan membantah kakak, DALI!" 
Suara  Laisa  yang  meninggi  tersedak  diujungnya.  Bergetar.  Tubuhnya  menggigil  menahan
sesak perasaan. Ya Allah, ia sungguh tidak pernah sampai hati membentak adik-adiknya,...
Yashinta sudah menangis sambil memeluk Mamak.
Malam itu pembicaraan tersebut berakhir sia-sia.
Dalimunte  tetap  tak  kuasa  mengambil  keputusan.  Dia  terlalu  menghargai  Kak  Laisa.
Mengalahkan akal sehat atas pendidikan hebat yang diterimanya selama ini Kak Laisa sudah
melakukan banyak hal untuk mereka, jadi amat tidak adil jika dia mempermalukan Kak Laisa
dengan  melintas. Malam  itu, saat hujan  menderas, Cie Hui  menangis  menuruni anak tangga.
Keluar  dari  kamamya.  Berlari  menerabas  hujan.  Amat  mengharukan  melihatnya.  Sementara
Dalimunte  hanya  tertunduk  diam  seribu  bahasa.  Ikanuri  dan  Wibisana  mengantar  Cie  Hui
pulang  ke  kota  kecamatan.  Tidak  ada.  Harapan  itu  benar-benar  sirna.  Perjodohan  itu  akan
terjadi. Malam  itu, di antara suara guntur  menggelegar, Cie Hui kembali  ke kota kecamatan
membawa pusara hatinya. Menyisakan senyap di ruang depan rumah panggung.
Mamak  akhirnya  tak  kuasa  menahan  tangis.  Itu  tangisan  pertama  sejak  Babak  dulu
meninggal. Memeluk Kak Laisa dan Yashinta erat-erat. Mamak tahu. Tahu betapa Kak Laisa
menanggung  separuh  beban  keluarga  ini  sejak  kecil.  Menciumi  wajah  Kak  Laisa  (yang
matanya juga berkaca-kaca).
 
27
SESEDERHANA ITU
PUKUL EMPAT dini hari. Laisa sendirian berdiri di lereng kebun strawberry.
Menatap gemerlap cahaya  bintang dan  bulan separuh. Akhirnya  setelah  nyaris enam  jam
hujan  deras  itu  terhenti.  Awan  hitam  menggumpalnya  habis  sudah  menumpahkan  air.  Yang
lain  sudah  jatuh tertidur di  kamar. Ikanuri dan  Wibisana tidak  bicara  banyak selepas pulang
dari kota kecamatan.  Kalau dua sigung  nakal  itu  saja  ikut tersentuh secara  emosional dalam
urusan ini, apalagi yang lain, Yashinta, enam jam lalu di ruang tengah rumah, malah berseru
tertahan  soal  betapa  keras  kepalanya  Dalimunte.  Betapa  Dalimunte  tega  membuat  Mamak
dan Kak Laisa menangis. Lantas lari masuk kamar. Membanting pintu keras-keras.
"Boleh aku bergabung—" 
Laisa  menoleh.  Menatap  datar  Dalimunte  yang  mendekat.  Sejenak  diam.  Lantas  tersenyum.
Mengangguk.
Dua kakak adik itu berdiri bersisian. Tubuh gempal Laisa hanya sedada tinggi Dalimunte.
Menatap  hamparan  pohon  strowberry  yang  sedang  berbuah.  Merah  ranum.  Minggu-minggu
ini panen besar.
"Maafkan Dali yang keras kepala—" Dalimunte berkata pelan.
Laisa  menoleh.  Mengangguk.  Tidak.  Ia  tidak  ingin  membicarakan  keributan  enam  jam  lalu.
Ia tidak bisa memaksa Dalimunte. Mereka bukan kanak-kanak lagi seperti dulu.
"Apakah Kak Laisa marah?"
Laisa  menggeleng. Menggenggam erat lengan  Dalimunte.
"Aku tidak akan memukulmu dengan rotan, Dali—"
Tertawa kecil.
Senyap sejenak.
"Boleh. Bolehkah Dali bertanya sesuatu?"
www.rajaebookgratis.com
Laisa mengangguk.
"Apa... apa yang  sebenarnya  Kak Lais pikirkan setiap kali  berdiri di  sini  menatap  langit dan
lembah?" Dalimunte bertanya pelan.
Laisa tersenyum, "Banyak hal—"
"Banyak?"
"Ya, tentang masa lalu kita. Tentang hari ini, Tentang masa depan kita. Kau tahu, kalian sejak
kecil  dulu  sudah  amat  membanggakan  Mamak  dan  Kakak.  Lihat,  kincir  air  itu,  Dali  yang
buat.  Tanpa  itu,  tidak  akan  ada  perkebunan  strowberry  sekarang.  Tidak  akan  ada  lampu-lampu....  kehidupan  warga  kampung  yang  lebih  baik...  Kakak  juga  mengenang  Ikanuri  dan
Wibisana yang suka bolos. Kabur naik starwagoon tua, Yashinta yang selalu memaksa minta
diantar  melihat  sesuatu  di  hutan.  Ladang  jagung  kita.  Semua  kejadian-kejadian  itu.  Tiga
harimau  itu.  Masa  lalu  yang  indah—  Kakak  juga  memikirkan  tentang  hari  ini.  Perkebunan
strowberry Mamak. Penduduk lembah yang semakin makmur. Fasilitas sekolah yang semakin
baik. Pengalengan buah di kota provinsi. Kau yang sudah jadi peneliti fisika hebat di Ibukota.
Ikanuri  dan  Wibisana  yang  ambisius  sekali  dengan  bengkel  mobilnya.  Yashinta  yang  amat
mencintai  lingkungandan  konservasi  entahlah.  Dan  Mamak  yang  terlihat  bahagia
menghabiskan waktu di kebun kita. Mamak yang tidak pernah mrmbayangkan kehidupan kita
akan  sebaik  ini.....  Kakak  juga  memikirkan  tentang  masa  depan....  Ah,  kalau  kau  menikah,
maka rumah panggung  ini akan segera ramai, Dali.  Anak-anak  yang pintar. Ayahnya pintar,
pasti  anaknya  jauh  lebih  pintar....  Kau  tahu,  aku tidak  bisa  membayangkan  akan  seperti  apa
anak-anak Ikanuri dan Wibisana nanti.... Kalau Yashinta itu jelas sudah. Anak-anaknya akan
tampan dan cantik... Ia saja sekarang pasti telah membuat puluhan teman mahasiswanyajatuh
hati....  Kalau kalian satu persatu mulai  berkeluarga, perkebunan  ini  akan ramai oleh celoteh
anak-anak—"
Hening lagi sejenak.
"Apakah,  apakah  Kak  Lais  tidak  pernah  memikirkan  yentang  itu  saat  berdiri  sendirian  di
sini?" Dalimunte menelan ludah.
"Memikirkan apa?"
"Umur Kak Lais? Pemikahan? Kesendirian? Pernahkah Kak Lais memikirkan diri sendiri...."
Laisa tertawa, melambaikan tangannya, 
"Dali, tentu saja sekali dua datang. Sebenarnya dulu lebih sering datang. Tapi buat apa Kakak
membuang-buang  waktu  memikirkan  tersebut.  Hidup  Kakak  sudah  amat  indah  tanpa  perlu
memikirkan hal-hal itu. Melihat kalian tumbuh dewasa. Dengan segala kesempatan hebat. Itu
sudah  amat  membahagiakan  Kakak.  Melihat  anak-anak  lembah  berkesempatan  sekolah.
Kehidupan  mereka  yang  lebih  baik  dengan  perkebunan  strawberry  ini.  Itu  sudah  lebih  dari
cukup.
"Kau  tahu,  seperti  yang  Kakak  bilang  dulu,  jodoh  ada  di  tangan  Allah.  Mungkin  dalam
urusan  ini,  Kakak  tidak  seberuntung  dibandingkan  dengan  memiliki  adik-adik  yang  hebat
seperti  kalian....  Dulu  memang  mengganggu  sekali  mendengar  pertanyaan  tetangga,  tatapan
mata  itu,  tetapi  mereka  melakukannya  karena  mereka  peduli  dengan  kita.  Satu  dua
menyampaikan rasa peduli itu dengan cara yang tidak baik, namun itu bukan masalah. Kakak
tidak  pernah  merasa  kesepian,  Dali.  Bagaimana  mungkin  Kakak  akan  kesepian  dengan
kehidupan seindah ini.... Kau benar, aku juga sering memikirkan umur. Sekarang usiaku tiga
puluh  empat  tahun.  Tapi  apa  yang  Kakak  harus  lakukan?  Itu  semua  ada  di  tangan  Allah.
Yang lebih penting aku pikirkan, dengan sisa waktu yang mungkin tidak sedikit lagi, apakah
masih  berkesempatan  melakukan  banyak  hal  di  lembah  ini,  berkesempatan  melihat  kalian
melakukan hal-hal hebat di luar sana. Berkesempatan membuat Mamak dengan keseharian di
perkebunan...," 
Kak Laisa tersenyum tulus.
"Hanya itu? Sesederhana itu?" Dalimunte menelan ludah.
www.rajaebookgratis.com
Kak Laisa tertawa, 
"Apalagi  yang  harus  aku  pikirkan,  Dali?  Bukankah  kehidupan  di  lembah  ini  hanya
sesederhana itu?"
Dalimunte terdiam. Mengusap wajahnya. Dia keliru. Sungguh keliru. 
Bahkan  Kak  Laisa  sedikitpun  tidak  pernah  memikirkan  dirinya  sendiri.  Apalagi
memikirkan tentang  sebutan gadis tua  yang disandangnya, pernikahan. Ya  Allah,  Kak  Laisa
memang  seringan  itu  menanggapi  segala  keterbatasan  hidupnya.  Bagi  Kak  Laisa,  adik-adiknya jauh lebih penting.
Pertanyaan  itu,    pertanyaan  yang  selalu  dia  ingin  sampaikan,  ternyata  sederhana  sekali
jawabannya. Kak Laisa tidak pernah sekalipun berkeberatan dengan takdir kehidupannya.
 
28
ROMANTISME STRAWBERRY
PEMBICARAAN dini hari itu membuat perubahan besar.
Akhirnya  setelah  menatap  begitu  lama  wajah  Kak  Laisa  yang  tersenyum  amat  tulus,
Dalimunte memutuskan untuk menikah. Maka rusuhlah perkebunan sepagi itu. "Keluarga Cie
Hui sudah berangkat ke kota provinsi. Mereka berangkat ke China hari ini juga —" 
Itu  jawaban  dari  seberang  telepon  saat  Dalimunte  bertanya  ke  kediaman  Cie  Hui  di  kota
kecamatan. Panik sudah.
Ikanuri  dan  Wibisana  yang  masih  menguap  diteriaki  agar  segera  menyiapkan  mobil.
Yashinta  bergegas  menyiapkan  segala  sesuatu.  Mereka  harus  segera  menyusul.  Hari  itu,
teknologi  telepon  genggam  belum  ada.  Jadi  tidak  ada  cara  untuk  mengontak  Cie  Hui  yang
sedang menuju bandara. Celaka. Urusan ini benar-benar celaka, jika sampai Cie Hui menaiki
pesawat  yang  membawanya  ke  ibukota,  lantas  terus  menuju  ke  China,  maka  berakhirlah
semuanya. Pusara yang sama juga akan tertanam dalam- dalam di hati Dalimunte.
Yashinta berteriak-teriak menyuruh Ikanuri lebih cepat lagi.
"Cepat,  Kak.  Lebih  cepat.  Katanya  nih  mobil  sudah  dimodifikasi  macam  mobil  balap.  Ini
mah siput saja lebih cepat!" 
Mereka  sudah  tertinggal  empat  jam  di  belakang.  Ikanuri  yang  sialnya  masih  mengenakan
sarung  mengeluarkan  gumam  tak  jelas.  Tersinggung  dengan  teriakan  Yashinta.  Berlima
mereka  memadati  mobil  modifikasi  bengkel  Ikanuri  dan  Wibisana  tersebut.  Mamak
menunggu di rumah.
Rumah keluarga Cie Hui di kota kecamatan kosong. 
"Maaf,  Nak  Dali,  justru  Nona  Cie  Hui  yang  memaksa  agar  perjodohan  itu  segera
dilangsungkan. Memaksa mereka berangkat segera dini hari tadi...." 
Pembantu rumah Cie Hui  menjelaskan terbata-bata,  ikut  merasa  sedih. Dalimunte  mengeluh
tertahan.  Dia  sungguh  telah  membuat  kesalahan  besar.  Rasa  putus  asa  yang  besar  karena
menunggu bertahun-tahun itu berubah menjadi kebencian sekarang,
Sekarang  Wibisana  yang  mengemudikan  mobil.  Dari  tadi  Ikanuri  gatal  menjitak  kepala
Yashinta yang berisik protes. Melesat menuju kota provinsi. Melewati hampir tiga ratus kilo
perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar.  Pohon  bambu.  Perkebunan  kelapa  sawit.  Perkebunan  karet.  Padang  rumput
meranggas.  Naik  turun  lembah.  Melingkari  bukit  barisan,  Sungai-sungai  yang  meliuk.
Persawahan.  Menyaksikan  monyet  yang  berani  bergelantungan  di  tepi-tepi  hutan.  Satu  dua
babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal.
Itu  semua  sebenarnya  pemandangan  yang  menarik,  sayang  tidak  untuk  situasi  saat  ini.
Kak Laisa  yang duduk di  belakang, di tengah-tengah Yashinta dan Ikanuri  malah sepanjang
jalan  sibuk  memisahkan  tangan-tangan  mereka  (yang  sibuk  bertengkar).    Dalimunte 
mengusap  wajahnya berkali-kali. Tegang.
www.rajaebookgratis.com
Sial, dua puluh kilometer menjelang kota provinsi, ban mobil meletus. 
"Ya  ampun,  bagaimana  mungkin  Kak  Ikanuri  dan  Wibisana  bisa  bikin  mobil  balap  kalau
hasil  modifikasinya  hanya  begini?"  Yashinta  mengeluh  setengah  kecewa,  setengah  sebal.
Ikanuri  sekarang  benar-benar  menjitak  kepala  Yashinta.  Terpaksalah  perjalanan  itu  terhenti
hampir setengah jam tintuk mengganti ban.
Dan saat mereka akhirnya tiba di bandara, mereka benar-benar terlambat. Bertanya rusuh
tentang  jadwal  penerbangan.  Memaksa  masuk  pintu  check-in.  Dua  petugas  yang  menjaga
pintu  pemeriksaan  terlihat  bingung  menghadapi  seruan-seruan  memaksa  Yashinta.  Wajah
mengeras  Ikanuri  dan  Wibisana.  Wajah  tegang  memohon  Dalimunte.  Berhasil.  Kak  Laisa
seperti  biasa  dengan  tatapan  mata,  akhirnya  berhasil  mcmbujuk  petugas.  Berlarian  menuju
ruang tunggu bandara.
Tapi  mereka tiba di  bandara sudah amat terlambat. Dalimunte  masih  sempat melihat Cie
Hui  bersama  Koh  Acan  dan  istrinya  berjalan  di  balik  kaca  tebal  menuju  garbarata  prsawat.
Berteriak  memanggil. Percuma.  Kaca  itu kedap suara. Memukul-mukulnya. Sia-sia. Cie Hui
sudah  masuk  kedalam  garbarata.  Kali  ini  Kak  Laisa  tidak  berhasil  memaksa  petugas  pintu
boarding mengijinkan mereka menerobos masuk ke landasan pacu bandara. Itu prosedur yang
tidak bisa dilanggar dengan alasan apapun.
Dalimunte  menatap  kosong  pesawat  yang  mulai  berputar  menuju  runaway.  Bersiap
berangkat.  Lima  menit,  Pesawat  itu  menderu  lepas  landas.  Menuju  langit  yang  membiru.
Menyisakan  lengang  di  balik  kaca  tebal  ruang  tunggu.  Yashinta  tertunduk,  menyeka  ujung-ujung  matanya.  Ikanuri  dan  Wibisana  bergumam  kecewa.  Kak  Laisa  mendekap  sedih
pinggang Dalimunte.
Lima belas menit hening. Dalimunte tetap menatap kosong langit. Mereka tidak akan bisa
mengejar Cie Hui lagi. Jadwal penerbangan ke ibukota hanya ada satu kali dalam sehari. Dia
juga  tidak  tahu  nomor  telepon  ke  sana.  Memberitahukan  kalau  dia  sudah  bisa  mengambil
keputusan.  Memberitahukan  kalau  dia  bersedia  menikah.  Urusan  ini  ternyata  berakhir
menyedihkan.
Kak  Laisa  membimbing  Dalimunte.  Beranjak  pulang.  Semua  ini  terasa  menyakitkan.
Sesak.  Mereka  berjalan  beriringan  melewati  pintu  masuk  menuju  ruang  tunggu.  Kembali  ke
perkebunan strawberry.... Sungguh sesak rasanya. Mata Dalimunte berkaca-kaca....
"Da-li—" Suara itu memanggil tertahan.
Dalimunte mengangkat kepalanya. Kak Laisa ikut menoleh.
"Da-li—" Itu suara Cie Hui.
Gadis  keturunan  itu  berlari  keluar  dari  garbarata.  Dalam  gerakan  lambat  sepersejuta  detik
yang amat mengharukan.
Cie Hui berseru. Menangis. Melompat memeluk Dalimunte.
"Cie—" Dali seketika kehabisan kata-kata.
"Ia  amat  menyukaimu,  Nak"  Koh  Acan,  ayah  Cie  Hui  ikut  melangkah  mendekat,  melepas
topi  putih  kupluk  di  kepalanya.  Muslim  keturunan  itu  menghela  nafas  panjang,  "Kau  tahu,
meski tadi pagi  ia  sendiri  yang  meminta perjodohan  itu dipercepat, tapi ta tidak kuasa untuk
melangkahkan  kakinya  ke  dalam  pesawat.  Tidak  kuasa....  Hanya  berbisik  berkali-kali  di
dalam  garbarata,  'Dali  akan  menyusul,  Dali  akan  menyusul,  Papa'....  Berdiri  mematung  di
depan pintu pesawat.... Tidak bisa melakukannya. Ia sungguh amat menyukaimu, Nak!"
Dalimunte  dan  Cie  Hui  sudah  berpelukan,  seolah  dunia  milik  berdua.  Tidak  peduli
sekitar. Menangis. Kak Laisa tersenyum lebar.
Inilah romantisme  yang (selalu) diceritakan  moderator cerewet di konvensi  internasional
itu,  juga  konvensi-konvensi  lainnya.  Di  majalah-majalah.  Di  koran-koran  yang  banyak
menulis tentang Profesor Dalimunte. 
Inilah romantisme Strawberry cinta Dalimunte dan Cie Hui.
 
www.rajaebookgratis.com
29
PERNIKAHAN PERTAMA
PERNIKAHAN Dalimunte - Cie Hui berlangsung satu bulan kemudian.
Pernikahan  yang  meriah.  Halaman  luas  rerumputan  itu  dipasang  dua  tenda  besar.
Penduduk  empat  desa  di  Lembah  Lihambay  ramai  memenuhi  kursi-kursi.  Tidak  terhitung
kolega Dalimunte darii bukota. Saat itu dia belum mendapatkan gelar profesor, tapi berbagai
penelitian  yang  dilakukannya  telah  membuat  Dalimunte  terkenal.  Juga  tamu-tamu  dari  kota
kecamatan,  kota  kabupaten,  hingga  kota  provinsi,  kenalan  Kak  Laisa  dalam  bisnis
perkebunan strawberry. Di salah satu kursi undangan bahkan duduk rapi Bupati setempat.
Tetapi  ada  yang  sedikit  berbeda  dibandingkan  dengan  banyak  pernikahan  di  lembah
tersebut  sebelumnya.  Wak  Burhan  beberapa  hari  sebelum  acara  berlangsung  meminta
penduduk  kampung  untuk  tidak  membicarakan  soal  melintas.  Tidak  sibuk  menggoda  Kak
Laisa soal kapan ia akan menikah juga. Urusan ini tidak pantas dibicarakan. Tidak buat Laisa
yang  telah  melakukan  banyak  hal  untuk  lembah  mereka.  Jadi  pernikahan  itu  berlangsung
'sebagai mana mestinya'.
Dalimunte  dan  Cie  Hui  terlihat  amat  bahagia,  meski  saat  selesai  ijab-kabul,  Dalimunte
dan  Cie  Hui  menangis  lama  memeluk  Kak  Laisa,  berbisik  ribuan  kata  maaf  (lebih  lama
dibanding  saat  bersimpuh  di  pangkuan  Mamak).  Membuat  yang  lain  terdiam.  Menghela
nafas.  Meski tidak ada  yang  jahil  membicarakannya,  setnua orang tahu,  melintas  macam  ini
sungguh di luar kebiasaan kampung.
Dalimunte dan Cie Hui menghabiskan masa-masa bulan madu di perkebunan strawberry,
baru  lepas  satu  bulan  kemudian  mereka  kembali  ke  ibukota,  memulai  kemball  kesibukan  di
laboratorium.  Ikanuri  dan  Wibisana  kembali  ke  kota  provinsi  seminggu  setelah  pernikahan,
mereka semakin sibuk dengan bengkel modifikasi mobil. Berencana membangun pabrik kecil
di  luar  pulau,  di  kota  yang  lebih  besar.  Mengejar  ambisi  besar  mereka:  pembuat  spare-part
mobil  balap. Yashinta  juga segera kembali ke kota provinsi,  minggu-minggu depan  ia  mulai
menyiapkan ujian tugas akhir kuliahnya.
Meninggalkan  Kak  Laisa  dan  Mamak  Lainuri  di  perkebunan  strawberry.  Seperti  selama
ini.  Bedanya,  di  keluarga  itu  sudah  terjadi  pernikahan  pertama.  Entahlah  apa  yang  sejatinya
dipikirkan Kak Laisa, tapi kenyataan ia sudah dilintas Dalimunte tetap fakta hidup yang harus
diterimanya.  Dan  seperti  biasa,  semuanya  terlihat  baik-baik  saja.  Kak  Laisa  juga  kembali
menyibukkan  diri  dengan  pembangunan  pusat  pengalengan  baru  di  kota  provinsi.  Sering
berpergian,  bolak-balik.  Mengurus  perkebunan  yang  semakin  luas.  Mulai  melibatkan
penduduk  kampung  atas  dan  kampung-kampung  lainnya.  Menjadikan  mereka  petani  cluster
dari bisnis tersebut.
Kak Laisa dan Mamak Lainuri mungkin tidak akan pernah kesepian, karena meski jadwal
pulang  bersama  yang  lain  hanya  dua  bulan  sekali,  perkebunan  itu  tetap  ramai  oleh  pekerja,
anak-anak  tetangga,  juga  remaja  tanggung  lainnya  yang  sibuk  membantu  selepas  pulang
sekolah.  Ramai  bermain-main  di  hamparan  rumput  rumah.  Kak  Laisa  juga  sering  kali
menghabiskan  malam  dengan  bermain  kembang  api  bersama  mereka.  Mendirikan  taman
bacaan. Dan memberikan berbagai kesempatan bagi anak-anak lembah lainnya untuk belajar
dan  bermain  yang tidak pernah  ia dapatkan waktu kecil. Tapi di  luar  seluruh kegiatan  hebat
tersebut, tetap tidak ada yang tahu seberapa sepi hidup Kak Laisa.
Lepas  pernikahan  Dalimunte,  penduduk  setempat  juga  sudah  jauh  berkurang  menggoda
Laisa.  Mereka  sekarang  lebih  banyak  prihatin,  sebagian  besar  malah  mulai  terbiasa.  Hanya
Wak  Burhan  yang  masih  terus  sibuk  mencarikan  Laisa  Jodoh.  Percuma.  Semua  itu  seperti
menjadi kesia-siaan besar.
Dalimunte  selepas  pulang  ke  ibukota  juga  sibuk  mencarikan  jodoh  buat  kakaknya.  Kali
ini  dia  melakukannya  dengan  sungguh-sungguh,  sekali  dua  malah  mengorbankan  jadwal  di
laboratorium.  Dalimunte  memutuskan  untuk  melibatkan  diri  seperti  Wak  Burhan.  Di  tengah
www.rajaebookgratis.com
amat keterlaluannya warga ibukota dalam menilai tampilan fisik dan materi, kesempatan Kak
Laisa untuk mendapatkan jodoh tetap lebih besar di sini. Mungkin jodoh Kak Laisa terselip di
sini. Harus dijemput dengan baik.
Enam  bulan  berlalu,  di  jadwal  pulang  dua  bulanan  mereka,  Dalimunte  mengajak  salah
satu  temannya.  Tepatnya  kakak  kelas  waktu  dia  kuliah  di  institut  teknologi  ternama  dulu.
Usianya sepantaran dengan Kak Laisa, tiga puluh lima tahun. Dalimunte sudah mengenalnya
sejak masih tingkat pertama kuliah dulu. Kakak mentor. Aktivis masjid kampus. Fasih benar
bicara  soal  mencari  jodoh  bukan  dilihat  dari  wajah  dan  kecantikan  pasangan,  tapi  dari
"kecantikan  hati".  Sekarang  calon  jodoh  Kak  Laisa  tersebut  malah  lebih  dikenal  sebagai
salah-satu  penceramah  agama  terkenal  di  ibukota.  Statusnya  duda.  Istri  kenalan  Dalimunte
tersebut meninggal tanpa anak tiga tahun lalu, dan sekarang memutuskan untuk menikah lagi.
Karena  Daiimunte  amat  yakin  bahwa  kakak  kelasnya  itu  tidak  akan  menilai  seseorang
dari  tampilan  wajah  dan  fisik,  sambil  tersenyum  lebar  dan  penuh  penghargaan,  Dalimunte
menyebutkan Kak Laisa sebagai salah satu pilihan yang baik. Cepat sekali proses itu terjadi,
bahkan  kakak  kelasnya  merasa  tidak  perlu  melihat  foto-foto  Kak  Laisa.  Hanya  mendengar
apa yang dilakukan Kak Laisa, tentang Lembah Lahambay, dan segalanya, dia merasa sudah
menemukan pengganti mendiang istrinya yang tepat. 
"Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan selama ini. Lihat, adiknya saja gagah seperti kau!"
Itu jawaban yang hebat, Benar-benar kabar baik. Dalimunte tertawa riang.
Tetapi  Dalimunte  sungguh  keliru,  ketika  malam  itu  akhirnya  mereka  tiba  di  rumah
panggung, ketika untuk pertama kali  mantan kakak kelasnya di  institut teknologi  itu  melihat
Kak  Laisa, respon  yang diharapkannya sungguh  jauh dari  baik. Sebenamya respon  yang ada
tidak  jauh  beda  dengan  jodoh-jodoh  yang  dibawa  Wak  Burhan  selama  ini  tetapi  mengingat
latar  belakang  pemahaman  agama  kakak  kelasnya...  Malam  itu  ruangan  depan  rumah
panggung entah mengapa terasa gerah, meski lembah sedang menjelang musim penghujan.
"Bukankah  Kak  Laisa  'cantik'  seperti  yang  kau  sebutkan  selama  ini  dalam  ceramah-ceramahmu.  Apalagi  yang  kurang!"  Dalimunte  sedikit  tersinggung,  berkata  ketus  esok  pagi
saat menyuruh salah satu sopir perkebunan mengantar kenalannya tersebut kembali lebih dini
ke kota provinsi.
"Tapi maksudku, setidaknya cantik adalah menarik hati" 
Dalimunte  sudah  terlanjur  membanting  pintu  mobil.  Dia  tidak  membenci  kenalannya
tersebut secara personal. Tapi Dalimunte lebih membenci kenyataan bahwa: terkadang betapa
munafiknya  manusia  dalam  urusan  ini.  Lihatlah,  kenapa  pula  temannya  tersebut  mesti
berpura-pura ada jadwal acara mendadak, ceramah di manalah hari ini. Dalimunte membenci
ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang ketika mencari jodoh. Sungguh jika ada yang
ingin  menilai  secara  objektif,  Kak  Laisa  masuk  tiga  dari  empat  kriteria  utama  yang
disebutkan Nabi dalam memilih jodoh.
Jelas  Kak  Laisa  salehah.  Saleh  dalam  hubungan  dengan  Allah,  juga  saleh  dalam
hubungan dengan  manusia. Kak Laisa selalu pandai  mensyukuri  nikmat Allah dalam  bentuk
yang  lengkap.  Ritus  ibadah  yang  baik  dan  ihklas,  juga  kesalehan    memperbaiki  kehidupan
lembah.
Dari  sisi  materi.  Jelas  Kak  Laisa  lebih  baik  dari  gadis  lain.  Perkebunan  strawberry  Kak
Laisa  membentang  nyaris  dua  ribu  hektar.  Meski  Kak  Laisa  selalu  bilang  ini  perkebunan
Mamak, semua orang tahu, semuanya berkat kerja keras Kak Laisa.
Dan dari sisi keturunan, Kak Laisa memang bukan turunan raja atau bangsawan ternama,
tapi  keluarga  mereka  terhormat,  pekerja  keras,  tidak  pernah  meminta-minta,  berdusta,  atau
melakukan  hal  buruk  lainnya.  Sejak  dulu  Babak  mengajarkan  tentang  harga  diri  keluarga,
mengajarkan  tentang  menjaga  nama  baik  keluarga  lebih  penting  dibandingkan  soal  kalian
turunan  siapa.  Menjadi  keluarga  yang  jujur  meski  keadaan  sulit.  Berbuat  baik  dengan
www.rajaebookgratis.com
tetangga  sekitar,  dan  sebagainya.  Jadi  kenapa  harus  mempersoalkan  kecantikan?  Bukankah
itu hanya ada di urutan keempat?
"Keluarga  yang  baik hanya dapat terjadi ketika suami  merasa senang  menatap  istrinya, Dali.
Merasa tenteram —" 
Kak  Laisa  berkata  pelan,  menatap  gumpalan  awan  tipis  yang  menutupi  bintang-gemintang
dan purnama.
Dalimunte  hanya  diam.  Seperti  biasa  mereka  menghabiskan  sepertiga  malam  terakhir
dengan  berdiri  di  lereng  perkebunan  strawberry.  Kak  Laisa  tidak  banyak  berkomentar  atas
kejadian  semalam  dan  tadi  pagi.  Seperti  biasa,  menganggapnya  kejadian  lazim  berikut.
Bukankah  selama  ini  juga  perjodohan  yang  dilakukan  Wak  Burhan  bernasib  sama.  Yang
dijodohkan  mundur  teratur  setelah  melihatnya  (satu  dua  malah  kasar  segera  pergi  dari
rumah).  Dalimunte  saja  yang  terlalu  naif  berharap  banyak  atas  kenalannya  tersebut,  tidak
proporsional, tertipu tampilan mutut. Kesalehan mulut.
"Kau tahu,  jika  suami  merasa tersiksa  melihat wajah dan  fisik  istrinya, dan  juga sebaliknya,
mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah kau juga tahu kisah tentang
sahabat  Nabi,  yang  meminta  bercerai  karena  fisik  dan  wajah  pasangannya  tidak
menenteramkan hatinya—" Laisa tetap berkata ringan.
Dalimunte  menelan  ludah,  menatap  lamat-lamat  wajah  Kak  Laisa.  Tahun-tahun  itu,
Dalimunte  sudah  mulai  sibuk  dengan  berbagai  penelitian  tentang  transkripsi  religius,  jadi
bagaimana  mungkin  dia  tidak  tahu  berbagai  kisah  tersebut.  Dia  tahu.  Dia  juga  tahu  persis
kalimat  bijak  kalau:  ketika  salah  satnnya  justru  memutuskan  untuk  bersabar  atas  pasangan
yang  tidak  beruntung  dari  tampilan  wajah  dan  fisik  tersebut,  maka  surga  menjadi  balasan
buatnya. Tidakkah hari ini, ada yang mengerti hakikat kisah tersebut.
"Kakak tidak sakit hati?" Dalimunte berusaha melepas senyap di hatinya.
"Kenapa harus sakit hati, Dali?" Kak Laisa melambaikan tangan.
Dalimunte menunduk. Mengusir rasa sesalnya atas kejadian ini.
"Tetapi  yang  membuat  Kakak  bingung,  kenapa  kenalanmu  itu  tetap  datang  meski  telah
melihat foto-foto, Kakak?" Kak Laisa tersenyum, mengenggam lengan Dalimunte.
    Dalimunte hanya diam. 
Itu salahnya!
 
30
PERJODOHAN - PERJODOHAN
"INTAN, ajak adik-adikmu!" Cie Hui berkata pelan.
Intan tak perlu disuruh dua kali, menggamit tangan Juwita dan Delima. Turun dari tempat
tidur.  Itu  kamar  mereka  bertiga.  Kamar  terluas  di  rumah  panggung  perkebunan  strawberry,
lantai  dua.  Ada  tiga  tempat tidur  yang  berjejer  di  dalamnya.  Dulu  hanya  satu  ranjang  besar,
tapi  karena  Intan,  Juwita  dan  Delima  sibuk  bertengkar  saat  tidur,  sibuk  saling  memukul
guling,  Wawak  Laisa  menggantinya  dengan  tiga  ranjang  kecil.  Masing-masing  satu  (yang
tetap saja percuma, masih tetap sibuk saling melempar bantal sebelum tidur )
Shubuh  sekali  lagi  datang  di  Lembah  Lahambay.  Semburat  jingga  tipis  menghias  garis
horizon  lembah.  Semalam,  lepas  satu  jam  menunggui  Wawak  Laisa  yang  tertidur,  Cie  Hui
menyuruh  mereka  beranjak  tidur.  Satu  dua  tetangga  juga  mulai  pamit.  Malam  beranjak
semakin tinggi. Pengajian Yasin di ruang depan dan surau dihentikan, besok disambung lagi.
Penduduk  kampung  yang  duduk-duduk  di  kursi  halaman  bertahan  beberapa  jam  lagi.  Bang
Jogar menyuruh mereka pulang saat menjelang tengah malam.
Dalimunte  menunggui  Wak  Laisa  di  kamar.  Tertidur  di  kursi  sebelah  ranjang.  Eyang
Lainuri dibimbing Wulan dan Jasmine beranjak ke kamar. Tidur. Eyang Lainuri terlalu lelah.
Sudah  seminggu  terakhir  kurang  tidur  menunggui  Kak  Laisa  bersama  dokter  dan  perawat.
Malam  ini  ia  bisa  tidur  lebih  baik.  Dalimunte  yang  menggantikan  berjaga.  Kata  dokter
www.rajaebookgratis.com
selepas  memeriksa  seluruh  status peralatan pukul  sepuluh  malam,  Wak Laisa  baik-baik  saja.
Semua fungsi tubuhnyn terkendali. Intan hanya menguap sok mengerti, sementara Juwita dan
Delima sudah jatuh tertidur. Digendong Ummi masing-masing ke kamar besar di lantai dua.
Cie Hui menyerahkan tiga mukena kecil. Ketiga gadis kecil itu sudah kembali dari kamar
mandi.  Wudhu.  Biasanya  setiap  jadwal  pulang,  paling  susah  membangunkan  Juwita  dan
Delima.  Mereka  selalu  saja  pura-pura  tidur,  menaruh  bantal  di  kepala,  bergelung  dibalik
selimut, dan trik macam Abi nya dulu. Tapi pagi ini mereka bangun tepat waktu seperti yang
lain.  Menurut  saat  diajak  Intan  ke  kamar  mandi.  Dan  tidak  banyak  bicara  saat  mengenakan
mukena  (tidak  jahil  saling  tarik,  berisik).  Wajah-wajah  basah.  Shalat  shubuh.  Dalimunte,
Mamak Lainuri, dan yang lain sudah duduk menunggu.
Shubuh  yang  menyenangkan.  Udara  pagi  terasa  sejuk.  Di  surau  entahlah  siapa  yang
sedang mengumandangkan adzan. Tidak ada lagi suara keras Wak Burhan. Sudah sejak lama
pula penduduk kampung dan anak-anak tidak perlu lagi membawa obor ke surau.
"Ummi, Wak Laisa shalatnya gimana?" 
Juwita  bertanya  pelan  sambil  melipat  mukena,  selesai  shalat.  Kan,  biasanya  Wak  Laisa  ikut
mereka,  berjejer  di  sebelah  Eyang.  Biasanya  juga  selepas  shalat  Wak  Laisa  suka  bercerita
tentang  sahabat-sahabat  Nabi.  Bercerita  apa  saja.  Sekarang  Wak  Laisa  kan  sakit  parah?
Shalatnya pasti susah.
"Wak Laisa shalat sambil berbaring, sayang." 
" Emangnya boleh, ya?" 
Juwita  melipat  dahi.  Jasmine  mengangguk.  Meski  kemudian  pelan  menghela  nafas.  Tentu
Juwita  sedikit  kesulitan  bagaimana  membayangkan  shalat  seperti  itu.  Dan  akan  lebih  susah
lagi  membayangkan  bagaimana  sulitnya  Kak  Laisa  shalat  dengan  kondisi  tubuh  yang  amat
menyedihkan. Dibalut infus dan belasan belalai plastik.
Tetapi  mereka  benar-benar  terkejut,  saat  beranjak  ke  kamar  perawatan  Wak  Laisa.
Lihatlah,  Wak  Laisa  ternyata  shalat  sambil  duduk.  Bersandarkan  bantal-bantal.  Wajah  itu
pucat, terlihat lemah, dan sedikit gemetar, tapi matanya. Matanya terlihat begitu damai.
Wak Laisa shalat shubuh sambil duduk.
Selepas kejadian malam itu, Dalimunte tidak patah arang meski perjodohan dengan kakak
kelasnya  gagal  total.  Kak  Laisa  meski  sekali  dua  bilang,  Dali  tidak  perlu  memaksakan  diri
mencarikan  jodoh  buatnya,  mengalah.  Membiarkan  Dalimuinte  yang  justru  semakin  hari
semakin terlihat semangat, 
"Kakak sendiri yang bilang jodoh itu di tangan tangan Alloh. Hanya soal waktu. Jadi biarkan
Dali terus berusaha. Semoga akhimya jodoh kakak datang." Kak Laisa hanya mengangguk.
Namun sepertinya semua upaya Dalimunte akan sia-sia. Kali  ini Dalimunte  memutuskan
untuk tidak mengajak yang bersangkutan ke Lembah Lahambay sebelum memastikan banyak
hal.  Dalimunte      memulainya  dengan  mencari  seseorang  yang  dia  pikir  cukup  baik  dan
memadai untut Kak Laisa. Menjelaskan Kak Laisa dengan baik dan lengkap Memperlihaikan
foto.  Terhenti.  Proses  itu  diulang  lagi.  Mencari  seseorang  yang  dia  pikir  cukup  baik  dan
memadai  untuk  Kak  Laisa.  Menjelaskan  siapa  sebenarnya  Kak  Laisa  dengan  baik  dan
lengkap.  Memperlihatkan  foto.  Terhenti.  Mencari  seseorang  yang  dia  pikir  cukup  baik  dan
memadai untuk Kak Laisa...
Enam bulan berlalu. Tetap sia-sia. Belum ada hasil Proses itu selalu terhenti.
Enam bulan berlalu lagi.
Sekarang giliran Yashinta yang lulus dari kuliah S1-nya. Kabar baik berikutnya di lembah
indah mereka. Siang itu Mamak Lainuri, Dalimunte, Cie Hui, Ikanuri, dan Wibisana duduk di
kursi  baris  terdepan.    Berjejer.  Menatap  bangga  Yashinta  yang  begitu  cantik  dengan  toga
wisudanya.  Hari  itu  resmi  sudah  menjadi  harinya  Yashinta.  Ia  lulus  dengan  predikat
cumlaude, terbaik. Menjadi wakil wisudawan saat memberikan sambutan.
www.rajaebookgratis.com
"Untuk Mamak, yang setiap malam berdoa buat Yash dan kami.... Yang doanya mungkin saja
telah membuat langit diaduk-aduk...." Gadis cantik itu mulai tersendat, ia tiba di penghujung
sambutannya, 
"Untuk  Kak  Dalimunte  yang  selalu  menjadi  teladan,  mengajarkan  proses  belajar,  mengajar,
mengajarkan  tentang  ketekunan....  Untuk  Kak  Ikanuri  dan  Kak  Wibisana  yang  meski  nakal,
selalu  dimarahi  Mamak,  namun  memberikan  pemahaman  ke  Yash  tentang  menjalani  hidup
dengan rileks dengan indah"  Gadis itu tertawa, menyeka matanya.
"Dan... dan..." Yashinta terdiam. Tersendat
Dalimunte  yang tahu kalimat apa  yang akan disampaikan Yashinta sekarang,  menggenggam
tangan Kak Laisa yang duduk di sebelahnya. Menatap wajah Kak Laisa yang juga menangis
tertahan melihat Yashinta berdiri di panggung  Wisuda.
"Dan  untuk  Kak  Laisa...."  Yashinta  terbata,  "Untuk  Kak  Laisa  yang  telah  mengorbankan
seluruh  hidupnya  demi  kami...  Yang  selalu  mengajarkan  makna  kata  bekerja  keras,  bekerja
keras....  Yang  demi  Yash,  demi  Kak  Dalimunte,  demi  kami  semua...  dulu  memutuskan
berhenti  sekolah....  Untuk  Kak  Laisa  yang  selalu  menepati  janji...  tidak  perah  datang
terlambat buat kami.... Kami, kami tidak  akan pernah  melihat  Kak  Laisa  berdiri  di sini, tapi
bagi kami, Kak Laisa-lah yang selalu berdiri di sini...."
Aula  besar  itu    lengang.    Tidak  ada    yang    tahu  siapa  sesungguhnya  Kak  Laisa.  Apa
perannya datam cerita  yang  disebutkan Yashinta. Tapi ucapan  itu amat tulus, dari hati  yang
menjadi  saksi  langsung  atas  masa  lalu  tersebut.  Maka  sempurna  sudah  kalimat  Yashinta
membuat  yang  lain  tersentuh.  Menggantung  di  langit-langit  ruang  wisuda.  Kak  Laisa
mengusap pipinya yang basah.
"Terima kasih.... Terima kasih karena Kak Lais dulu telah mengajak Yash melihat lima anak
berang-berang  itu....  Sungguh...."  Dan  Yashinta  tidak  kuasa  lagi  melanjutkan  kalimatnya.
Melangkah  turun.  Sedikit  berlari  menuju  kursi  Mamak  dan  Kak  Laisa.  Memeluk  Kak  Laisa
dan Mamak erat-erat. Menciumi rambut gimbal Kak Lais.
Berang-berang  itu  selalu  penting  baginya.  Enam  bulan  kenudian,  Yashinta  akan
melanjutkan studi S2-nya di Eropa. Ia  mendapatkan  beasiswa penelitian konservasi  ekologi,
bahkan  beasiswa  itu  ditawarkan  saat  Yashinta  masih  menulis  tugas  akhir  kuliah  Sl-nya.
Kecintaannya atas alam tumbuh subur sejak  melihat anak  berang-berang tersebut. Dan sejak
kecil Yashinta sudah belajar dari guru terbaiknya soal mengenal alam.
"Kalau dulu kita yang mengajak Yash ngelihat anak harimau di Gunung Kendeng, pasti tadi
juga  disebut-sebut,  Ikanuri  nyengir,  tertawa  kecil  melihat  Yashinta  yang  masih  mememeluk
Kak Laisa.
"Yap!  Bisa  jadi  lebih  lebih  mengharu  biru  dari  ini  kalimat-kalimatnya.  Harimau  ini,  kan.
Lebih keren dibanding berang-berang." 
Wibisana menimpali, dengan wajah sok serius Mengangguk-anguk.
Dalimunte  menyikut  dua  sigung  yang  tidak  kecil  lagi  itu.  Tapi  Mamak  dan  Kak  Laisa  ikut
tertawa. 
Benar-benar  terlupakan  masa-masa  delapan  belas  tahun  silam.  Hari  ini,  Yashinta  bukan
gadis  kecil  berkepang  umur  enam  tahun  lagi.  Saat  ini  umurnya  sudah  dua  puluh  empat,  dan
Yashim tumbuh menjadi gadis yang cantik menawan. Lihatlah, lepas prosesi wisuda itu, ada
banyak sekali teman lelaki Yashin yang pura-pura mengajak foto bersama, 
"Buat kenangan terakhir, Yash!" atau seruan ragu-ragu dari wajah merah mereka,
"Ah-ya, boleh aku minta nomor teleponmu?" Yashinta hanya melotot.
Saat  itu  tidak  ada  yang  tahu,  kalau  bertahun-tahun  terakhir  Yashinta  amat  membenci
kelakuan teman lelakinya sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari
perhatian  jika  wajah  dan  fisiknya  seperti  Kak  Laisa?  Omong-kosong.  Mereka  tidak  benar-benar menyukai dirinya. 
 
www.rajaebookgratis.com
Menyukai apa-adanya. Mereka hanya menyukai tampilan fisik dan wajah. Seperti seekor
lebah  tertarik  atas  indahnya  kelopak  bunga.  Seperti  seekor  rubah  yang  tertarik  pasangannya
karena bau tubuhnya. Maka hewan-lah sejatinya perangai mereka. Beruntung, tidak ada yang
terlalu memperhatikan tatapan benci Yashinta.
Perkebunan strawberry malam itu terang benderang. 
Kak  Laisa  sama  seperti  saat  kelulusan  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana,  merayakan
kelulusan  Yashinta  di  hamparan  halaman  rumah  pangung.  Mengundang  tetangga.  Semua
berkumpul.  Meriah.  Meja-meja  panjang  tersusun  rapi.  Kursi-kursi  dipenuhi  wajah  riang. 
Makanan terhampar.... Hingga pukul sembilan ketika anak-anak mulai lelah berlarian, ketika
malam beranjak matang, keramaian mulai berkurang. Tetangga satu persatu beranjak pulang.
Menatap  Mamak  dan  Kak  Laisa  dengan  tatapan  kagum  dan  hormat.  Lihatlah,  anak-anak  di
keluarga  ini  berhasil  menyelesaikan sekolah tingginya.Sarjana, Dalimunte malah  lulusan S3,
doktor,  sekolah  luar  negeri.  Tidak  pernah  terbayangkan,  anak-anak  yatim,  yang  sejak  kecil
ditinggal Babak karena mati diterkam harimau sekarang sudah besar-besar, berpendidikan.
Wak  Burhan  yang  terlihat  paling  bahagia.  Menebar  senyum.  Menepuk  bahu  Dalimunte
berkali-kali, berkata lebar, 
" Aku sudah menduga. Aku sudah menduganya dari dulu!"
 
31
ISTRI KEDUA
"HALLO  PROFESSOR,  kami  sudah  di  Singapore.  Ya.  Transit  sebentar.  Lima  belas  menit
lagi  langsung  ke  Jakarta.  Apa?  Oh,  ?sudah!  Tiketnya  sudah  diurus  staf  pabrik....  Kami
berangkat ke Ibukota provinsi sore ini juga.... Jika tidak ada delay, bilang Mamak kami akan
tiba nanti malam, mungkin menjelang tengah malam. Apa? Jemputan? Tidak usah, aku akan
pakai  mobil  modifikasi  bengkel  di  sana  saja.  Itu  lebih  cepat.  Ya?  Lebih  cepat,  Professor—"
Ikanuri  tetap  saja  harus  berteriak-teriak,  meski  tidak  ada  lagi  badai  seperti  di  Pegunungan
Alpen Swiss, semalam. Ruang tunggu bandara internasional Singapore itu ramai. Bising lalu-lalang  penumpang  sudah  macam  deru  hujan  deras  saja,  belum  lagi    teng-tong-teng
pengumuman.
Mereka  ahirnya  tiba  setelah  penerbangan  non-stop  dua  belas  jam:  Perancis-Singapore.
Sudah  siang.  Matahari  tiba  di  garis  tertingginya.  Setelah  hampir  sehari  semalam  tidak
menyentuh  makanan,  Wibisana  memaksakan  diri  mampir  ke  salah  satu  kedai  fast-food
bandara. Sambil  menunggu pesawat berikutnya. Wajah mereka kuyu, kurang istirahat. bit lag
pula. Bolak-balik melangkahi perbedaan waktu hampir belasan  jam membuat pusing kepala.
Merusak  bio-ritme.  Rambut  semrawut.  Kemeja  berantakan.  Malah  salah  satu  kaki  celana
panjang  Ikanuri  tergulung  sembarangan.  Habis  shalat  dhuzhur,  lupa  dirapikan.  Meletakkan
tas laptop dan barang bawaan sembarang di sekitar meja makan.
"Tidak.  Aku  tidak  tahu....  BELUM!  Apa?  Aku  sudah  puluhan  kali  menelepon  HP  satelit
Yashinta.  Dasar  sialan.  Kemana  pula  anak  ini  sekarang....  Jangan.  Jangan  bilang  Kak  Laisa
kalau  HP  Yashinta  tidak  bisa  dihubungi.  Ya  Allah,  itu  akan  membuatnya  berpikiran  yang
tidak-tidak. Kau tidak  boleh  bilang.... Tentu saja  aku sekarang  ikut cemas, Profesor! Ikanuri
mengusap dahi. Sedikit sebal dengan intonasi suara Dalimunte.
Pelayan  mengantarkan  kue  donut  besar-besar.  Wibisana  yang  sedang  menatap  adiknya
bicara  via  telepon  genggam  dengan  Dalimunte  di  perkebunan  strawberry  mengalihkan
tatapan.  Aroma  kue  itu  cukup  mengundang,  meski  mereka  tetap  tidak  berselera  makan.
Menelan  ludah.  Kalau  saja  ada  Juwita,  Delima,  dan  Intan,  ketiga  anak-anak  nakal  itu  pasti
bisa  menghabiskan  menu  ini  dalam  sekejap,    satu    menit.  Itu  bahkan  sudah  termasuk  waktu
yang dibutuhkan untuk bertengkar. Berebutan.
"Tadi aku sudah menelepon Goughsky. Dia juga kebetulan sedang di sekitar Semeru. Biar dia
yang  mencari  kemana  anak  itu.  Apa?  Semoga  tidak....  Semoga  tidak,  Dali.  Yashinta  pasti
www.rajaebookgratis.com
baik-baik  saja.  Kau  berlebihan.  ANAK  ITU  SUDAH  MENDAKI  27  GUNUNG  DI
SELURUH DUNIA ....  SEMUA BAIK-BAIK SAJA! Baiklah, bilang Mamak dan Kak Laisa
kami paling telat akan tiba malam ini...." 
Ikanuri meletakkan telepon genggam di atas meja. Meski wajahnya terlihat kusut dan cemas,
sedetik kemudian dia akhimya bisa tersenyum.
"Apa kata Dali?" Wibisana bertanya. 
"Kak Laisa sudah membaik. Pagi tadi sudah bisa shalat Shubuh sambil duduk. Dokter bilang,
ada sedikit kemajuan." Wibisana ikut tersenyum, lega, 
"Apa kubilang, Kak Laisa akan baik-baik saja. la akan baik-baik saja—"
"Tapi kata dokter, kanker paru-parunya sudah stadium IV ," 
Ikanuri  menelan  ludah.  Senyumnya  terhapus.Stadium  IV?  Itu  berarti  tak  ada  lagi
kemungkinan untuk operasi. Terdiam.  Wibisana melepaskan kue donut yang dipegangnya.
Bagaimana mungkin mereka selama ini tidak tahu?
Umur  Laisa  hampir  empat  puluh  (tepatnya  tiga  puluh  tujuh  tahun)  ketika  akhirnya
kesempatan baik itu datang. Kesempatan baik?
" Kau sungguh-sungguh?" Dalimunte bertanya sekali lagi. 
"Tentu  saja,  Dali.  Istriku  juga  sudah  melihat  foto  dan  bio-data  Laisa.  Itu  akan  jadi  pilihan
yang  baik  dalam  urusan  ini—"  Tersenyum.  Kolega  riset  Dalimunte  di  laboratorium  itu 
tersenyum tulus.
Istriku? Nah inilah yang sedikit menjadi masalah. Kolega Dalimunte tersebut, calon jodoh
Kak Laisa kali ini, sudah beristri. Umurnya juga sudah empat puluh. Mereka sudah menikah 
lima  belas    tahun,    dan  kabar    buruknya  hingga  hari  ini  belum  mendapatkan  anak  juga.
Istrinya,  yang  memiliki  masalah  dengan  rahim  dan  kesuburan,  memberikan  kesempatan
kepada suaminya untuk menikah lagi.
Dalimunte    tahu  persis  kalau  rekan  kerjanya    tersebut  sedang  mencari  istri  kedua.  Tapi
butuh tiga bulan untuk meyakinkan, hingga akhimya menyebutkan nama Kak Laisa ke rekan
kerjanya  tersebut.  Kak  Laisa  menjadi  istri  kedua?  Sungguh    awalnya    Dalimunte  tidak  bisa 
membayangkan. Tetapi lihatlah, mungkin itu jalan keluar yang baik semua urusan ini. Setelah
berbicara  banyak  dengan  Cie  Hui,  diam-diam  juga  bicara  dengan  Wak  Burhan  dan  Mamak
saat jadwal rutin pulang dua bulan sekali. Keputusan itu diambil.
"Sudah  menjadi  kodrat  manusia  hidup  berkeluarga,  Dali.  Menjadi  istri  kedua,  ketiga  atau
keempat tidak selalu pilihan yang buruk seperti yang dibayangkan banyak orang ini. Jika ada
alasan  yang  baik,  penjelasan  yang  baik,  itu  bisa  menjadi  jalan  keluar  yang  bijak,  bukan?
Allah membolehkan seorang lelaki memiliki empat istri dalam waktu bersamaan jika dia bisa
berlaku adil, tentu karena ada alasan baiknya Allah menyimpan banyak sekali rahasia dalam
sebuah pernikahan...." Wak Burhan menghela nafas.
"Kalau Kakakmu tidak berkeberatan, Mamak hanya bisa bilang ya,"  
Mamak memperbaiki tudung kepala (setelah terdiam lama), 
"Kau bicarakan dulu baik-baik dengan Laisa. Sampaikan dengan baik-baik...."
Maka  Dalimunte  segera  kembali  ke  ibukota.  Dia  berfikir  lebih  baik  berbicara  dengan
kolega  risetnya  lebih  dulu.  Jika  semuanya  baik,  memastikan  kolega  risetnya
tidakberkeberatan  dulu  dengan  tampilan  wajah  dan  fisik  Kak  Laisa,  maka  lebih    mudah
membicarakannya  lebih  lanjut    dengati  Laisa.  Dan  kabar  baik  itu  benar-benar  tiba.  Rekan
kerjanya  100%  tidak  keberatan  meski  telah  melihat  foto  Kak  Laisa.  Istri  pertamanya  juga
tidak keberatan.
"Kau tahu,  justru istrikulah  yang menyarankan aku menikah lagi." 
Rekan  kerja  Dalimunte  menatap  lamat-lamat  wajah  istrinya  yang  duduk  di  sebelahnya.  Itu
kunjungan  ketiga  Dalimunte  ke  rumah  mereka  yang  asri,  sepelemparan  batu  dari  rumah
Dalimunte dan Cie Hui. 
www.rajaebookgratis.com
"Aku mencintai isteriku. Amat mencintainya. Jika saja ia bisa melahirkan anak-anak kami....
Aku sungguh tidak pernah bisa membayangkan harus menikah lagi—"
Pasangan  itu  saling  menggenggam  tangan.  Dalimunte  tersenyum  menatapnya.  Ini
mungkin  jalan  keluar  yang  baik.  Menyelesaikan  masalah  keluarga  mereka,  sekaligus
menyelesaikan masalah Kak Laisa. Wak Burhan benar, jika ada alasan yang baik, tidak selalu
poligami itu buruk.
"Aku  akan  mencintai  Laisa  dengan  baik,  Dali.  Akan  menjadi  suami  yang  adil.  Meski  amat
susah  membayangkan  harus  membagi  cintaku....  Semoga  ia  tidak  keberatan  menjadi  istri
kedua....  Semoga  ia  memberi  kesempatan  padaku  untuk  belajar  dalam  proses  sulit  ini.  Ia
sungguh  pilihan  yang  baik.  Isttriku  menyetujuinya,  dan  aku  sudah  berjanji  kepada  istriku,
akan  membuat  pernikahan-pernikahan  kami  bahagia....  Bilang  kepada  Mamak  dan  Laisa,
kami akan datang memperkenalkan diri minggu depan. Kami akan melamar Laisa."
Maka Dalimunte, demi mendengar kalimat hebat tersebut, segera kembali ke perkebunan
strawberry.  Sekarang  menyelesaikan  bagian  penting  berikutnya.  Menjelaskan  kepada  Kak
Laisa tentang: posisi istri kedua.
 
Hamster  belang  itu  mengangkat-angkat  kepalanya.  Berjinjit.  Kedua  kaki  depannya
memegang  erat-erat  buah  strawberry  matang.  Menggigit.  Menjilat.  Lucu  sekali  melihatnya
sibuk  menaklukkan  buah  merah  tersebut.  Intan  duduk  di  sebelah  Wak  Laisa,  tertawa.  Juga
juwita dan Delima. Ranjang besar itu besar, menyisakan ruang yang cukup buat berempat.
"Wawak sudah mendingan?" 
Sejenak  Juwita  menolehkan  kepala,  menatap  Wak  Laisa  yang  ikut  tersenyum.  Menonton
kelakuan Rio, hamster belang Intan.
Laisa  mengangguk.  Pagi  ini  ia  merasa  lebih  kuat  (seperti  dulu,  meski  fisiknya  sakit,
semangat  yang  tinggi  selalu  memberikan  kekuatan,  kehadiran  tiga  sigung  kecil  ini  juga
membuat  Kak  Laisa  kembali  merasa  kuat,  meski  entah  hingga  kapan).  Bosan  jadi  pusat
perhatian, dan sebal karena buah strawberry tidak mudah digigit, hamster itu melempar buah
strawberry sembarangan, lantas dengan cuek loncat turun dari tempat tidur,
"Wawak haus? Intan ambilin minum buat Wawak, ya?"
Wak  Laisa  mengangguk.  Gadis  kecil  sembilan  tahuti  ini  turun,    melangkah  keluar
ruangan.  Eyang Lainuri duduk di kursi tengah ruangan, juga Dalimunte. Cie Hui, Wulan dan
Jasmine ada di ruang belakang, mengurus dapur dan sebagainya. Tetangga masih berkumpul.
Cemas  menunggu  kabar  sakitnya  Laisa.  Mereka  belum  mengaji  yasin  lagi.  Kabar
membaiknya  Laisa  membuat  situasi  rumah  sedikit  riang>  Cie  Hui  memutuskan  membuat
makan  besar.  Dibantu  anak  gadis  tetangga  lainnya.  Tetangga  sekitar  yang  berkumpul  sejak
dua  hari  lalu  pasti  tidak  sempat  masak  di  rumah.  Mereka  bahkan  menghentikan  aktivitas
sehari-hari.
"Yee,  Kak  Intan  ngapain  pula  bawa  gelang-gelang  ini?  Juwita  dan  Delima  hampir  berseru
berbarengan  saat  Intan  kembali  sambil  membawa  nampan  air  minum  (  dengan  beberapa
gelang "Safe The Planet"-nya).
"Nih, buat kalian—" Intan melotot, menyerahkan dua gelang.
"Mending gratis." 
Mulut  Juwita  kumur-kumur  protes.  Orang  dibayar  lima  ribu  saja  mereka  tetap  tidak  mau
pakai.  Lah,  ini  justru  disuruh  bayar  lima  ribu.  Delima  ikut-ikutan  malas  menerimanya.  Tapi
daripada  nanti  Kak  Intan  marah-marah,    terus    nyubit    perut.  Mending  ngalah.  Nanti  kan
sembunyi-sembunyi bisa dilepas.
Kak  Laisa  yang  berbaring  bersandarkan  bantal  tertawa  kecil.  Juwita  dan  Delima  benar-benar  mirip  kedua  ayahnya.  Dulu  meski  bandel,  melihat  kelakuan  Ikanuri  dan  Wibisana
sungguh memberikan semangat hidup baginya. Meski keras kepala, selalu membantah, kedua
www.rajaebookgratis.com
sigung  kecil  itu  membuat  masa  kecil  dan  remajanya  yang  sulit  dan  penuh  kerja  keras,
menjadi berwarna dan berisik sepanjang hari.
Mereka  sejak  dulu,  selalu  menjadi  adik-adik  yang  baik.  Hanya  soal  bagaimana  mereka
menunjukkannya  saja  yang  sedikit  berbeda  dengan  anak-anak  lain.  Mereka  hanya  menuntut
perhatian. Sayangnya, Mamak setiap hari sibuk bekerja. Juga dirinya. Kebersamaan di rumah
hanya  ada  lepas  maghrib,  itupun  dengan  wajah-wajah  lelah.  Maka  dua  sigung  kecil  itu  juga
sibuk mencari perhatian. Nakal.
Ikanuri  dan  Wibisana  sejak  dulu  memang  beda,  dan  sekarang  tabiat  jahil  mereka
sempurna diwarisi oleh Juwita dan Delima.
 
32
KODRAT MANUSIA
"JIKA ada seseorang yang tidak mempermasalahkan usia, dan apapun dari Kakak.... Jika ada
seseorang  yang  tetap  bersedia  menikah  walau  telah  melihat  foto-foto  Kakak....  Namun,
namun...."
"Katakan saja, Dali. Langsung ke pokok permasalahan."
Kak  Laisa  memotong  lembut,  menatap  wajah  adiknya  lamat-lamat.  Bukan  sekali  dua  ini
mereka  membicarakan  urusan  perjodohan.  Bukan  pula  sekali  dua  ini  mereka  melakukan
pembicaraan  di  lereng  perkebunan  strawbery  saat  malam  tiba  di  penghujungnya.  Ia  amat
mengenal  intonasi,  mimik  muka,  bahkan  helaan  nafas  Dalimunte  saat  bicara.  Jadi  kenapa
adiknya harus merasa amat sungkan.
"Katakan saja, Dali. Namun kenapa?" 
Kak  Laisa  bertanya  sekali  lagi,  memegang  lengan  adiknya.  Tingginya  hanya  sedada
Dalimunte.  Hamparan  buah  strawberry  terlihat  remang  di  bawah  cahaya  rembulan.  Jadwal
pulang  dua  bulanan  mereka.  Semuanya  berkumpul,  kecuali  Yashinta,  yang  masih  kuliah  di
Belanda. Hanya menelepon saat mereka ramai duduk di beranda rumah panggung.
"Dali  yakin dia pilihan  yang  baik.  Jodoh  yang  baik.... Dia teman riset Dali  di  lab. Umurnya
empat puluh. Saleh. Berakhlak baik. Dari keluarga yang baik. Namun..." 
Dalimunte  menelan  ludah.  Deskripsi  yang  penuh  informasi  dalam  satu  tarikan  nafas  itu
terhenti.
Kak Laisa tersenyum, namun apa?
"Dia  sudah  menikah....  Maksud  Dali,  mereka  sudah  lima  belas  tahun  menikah,  dan  istrinya
tidak  bisa  mengandung.  Istrinya  yang  meminta  dia  menikah  lagi....  Maksud  Dali,  mereka
sudah  melihat  foto  dan  bio-data  Kakak.  Istrinya  juga  sudah  setuju....  Mereka  benar-benar
keluarga  yang  menyenangkan,  keluarga  yang  bahagia....  Dia  berjanji  akan  mencintai  Kak
Laisa  dengan  baik,  istrinya  juga  berjanji  akan  menerima  Kak  Laisa  dengan  baik...."
Dalimunte  menghela  nafas.  Terhenti  sejenak.  Setelah  tertahan,  penjelasan  itu  akhirnya
meluncur bagai bebat air yang jebol,
Lengang,   
Hanya   terdengar   suara   burung   hantu di kejauhan.
"Dia sudah menikah.... Maksud Dali, apakah Kak Laisa bersedia jadi istri kedua?" Dalimunte
bertanya ragu-ragu. Meski dengan intonasi suara yang lebih baik. Lebih jelas.
Sekali lagi hanya lengang.
Dan sungguh tidak ada keputusan malam itu.
Kak  Laisa  hanya  tepekur.  Tertunduk  menatap  ribuan  polybag  strawberry  yang
membentang  luas  memenuhi  lereng  lembah. Entahlah apa  yang dipikirkan  Kak  Laisa. Entah
apa  yang  sedang  berkecamuk  di  kepalanya.  Dalimunte  ikutan  terdiam.  Tidak  bertanya  lagi.
Urusan  ini tentu saja tidak  mudah. Istri kedua?  Apakah ada wanita di dunia  ini  yang dengan
mudah  memutuskan  menjadi  istri  kedua?  Meski  dengan  banyak  alasan  bijak.  Apakah  harga
diri  Kak  Laisa  terganggu  dengan  pertanyaan  itu?  Setelah  sekian  lama  tidak  mendapatkan
www.rajaebookgratis.com
jodoh, setelah sekian lama ditolak baik secara halus atau kasar sekalian, pilihan yang tersedia
baginya ternyata hanya istri kedua? Ya Allah?
Hanya lengang. Tidak ada keputusan malam itu.
Dan juga tidak malam-malam berikutnya saat jadwal pulang.
Mamak tak kuasa membantu Dalimunte memberikan penjelasan kepada Kak Laisa.  Wak
Burhan  juga  meski  dulu  amat  yakin  bahwa  solusi  yang  baik  bagi  Laisa  dalam  urusan  ini
adalah  menjadi  istri  kedua  juga  tidak  bisa  membantu  banyak.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang
akhirnya tahu masalah itu dari Dalimunte juga diam. Menelan ludah. Dalimunte sengaja tidak
memberitahu  Yashinta,  karena  pasti  adik  terkecil  mereka  akan  menolak  mentah-mentah
pilihan tersebut.
Empat  bulan    berlalu,  Dalimunte    terpaksa    berbohong  kepada  rekan  risetnya  saat  dia
mulai meminta jawaban, 
"Kak  Laisa  membutuhkan  waktu  lama  untuk  memutuskan.  Aku  tidak  tahu  berapa  lama
lagi...."
Kabar baiknya, rekan riset Dalimunte tidak terlalu mendesak, 
"Tak  masalah,  Dali.  Laisa  memang  harus  memikirkannya  matang-matang.  Tidak  hanya
persiapan  dirinya  sendiri,  tapi  ia  juga  harus  mempersiapkan  diri  bagaimana  tetangga  sekitar
akan menilainya... Kau tahu, untuk tiba di keputusan menikah lagi, kami berdua memerlukan
waktu hampir lima tahun. Jadi aku bisa menunggu kabar baik dari Kak Laisa beberapa bulan
lagi," 
Tersenyum.  Itu  kunjungan  ke  sekian  kali  Dalimunte  ke  keluarga  itu.  Kali  ini  bersama  Cie
Hui. Bagaimana tetangga sekitar akan  menilainya? Dalimunte terdiam  lama,  menelan  ludah.
Urusan  ini  jelas-jelas  tidak  lazim  di  Lembah  Lahambay.  Gadis  tua  saja  sudah  menjadi  aib.
Dilintas adiknya menikah pula. Dan sekarang satu lagi status baru Kak Laisa: istri kedua. Itu
benar-benar tidak lazim.
Meski  bukan  jadwal  rutin  seharusnya,  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana  pulang  lagi  ke
lembah  satu  minggu  kemudian.  Wak  Burhan  meninggal.  Di  usia  88  tahun.  Proses  kematian
yang  indah. Tanpa sakit. Tanpa proses. Wak  Burhan  meninggal  saat sujud   shalat shubuh di
surau.    Membuat  jamaah  bingung  karena  imam  mereka  tidak  kunjung  bangkit  untuk  duduk
tasyahud  akhir.  Ternyata  Wak  Burhan  yang  suara  kerasnya  selalu  menghias  Lembah
Lahambay sudah meninggal. Yashinta yang sejak kecil dulu amat dekat dengan Wak Burhan
(karena  sering  mengadu  soal  Kak  Laisa)  ingin  memaksakan  diri  pulang.  Tapi  Dalimunte
melarang, Yashinta sedang melakukan riset S2-nya.
"Kata Mamak tadi sebenarnya  tidak ada yang tahu berapa persis umur Wak Burhan.... Nisan
itu hanya sembarang menulis tahun lahir.... Mamak pun tidak tahu." 
Kak Laisa memecah sunyi lereng perkebunan. Jadwal bicara mereka penghujung malam.
"Bagaimana  Mamak  akan  tahu?  Mamak  saja  tidak  tahu  kapan  tahun  lahirnya  sendiri?  Juga
tanggal  lahir  kita,  bukan?  "  Dalimunte  tertawa  kecil.  Bergurau.  Itu  benar,  waktu  mereka
mendaftar  sekolah  dulu,  mereka  mengisi  sembarang  kolom  tanggal  lahir.  Mamak  dan
kebiasaan penduduk  lembah, selalulalai untuk mencatat tanggal  lahir. Mereka hanya  ingat si
anu  lahir  saat  musim  tanam  tahun  kapan.  Musim  penghujan  tahun  kapan,  musim  paceklik,
dan seterusnya. Tidak ada yang mencatat detail hingga hari dan bulan.
"Wak  Burhan  terlihat  senang  sekali  tahun-tahun  terakhir  meski  hidup  sendiri....  Dia  bangga
sekali  dengan  penghidupan  pang  baik  di  lembah.  Dia  juga  bangga  sekali  denganmu,
Dalimunte.  Berkali-kali  bilang  ke  anak-anak  yang  belajar  ngaji  di  surau  soal  pentingnya
sekolah, 'Biar kalian bisa jadi Oom Dalimunte yang hebat. Sering masuk tipi' — " 
Kak Laisa tersenyum, menatap langit cerah, mengenang masa-masa lalu itu.
Semua  penduduk  lembah  tahu,  Wak  Burhan  meski  menikah  dua  kali,  hampir
menghabiskan  hidupnya sendiri. Istri  muda (istri  kedua)  Wak  Burhan  yang dulu  menikah di
www.rajaebookgratis.com
usia  tujuh  puluhan  sudah  meninggal  lima  tahun  silam.  Anak  satu-satunya  dari  istri  pertama
juga meninggal di usia muda. Diterkam penguasaGunung Kendeng.
"Aku  ingat  sekali  kata-katanya,  yang  selalu  diucapkan  setiap  kali  bertandang  ke  rumah,
bercakap-cakap dengan Mamak, 'Meski terlahir sendiri, sudah menjadi kodrat manusia untuk
berketuarga, memiliki tempat untuk berbagi, memiliki teman hidup'..." 
Kak Laisa mendadak terhenti. 
Menghela nafas.
Dalimunte  yang  berdiri  di  sebelahnya  menoleh.  Dia  juga  pernah  mendengar  kalimat  itu
dari  Wak  Burhan.  Sudah  hampir  lima  bulan  mereka  tidak  membicarakan  perjodohan  itu.
Sungkan.  Dalimunte  takut  menyinggung  perasaan  Kak  Laisa.  Malam  ini?  Dalimunte  ikut
menghela nafas panjang. Malam ini mungkin  tidak  membicarakan hal  itu  setelah kematian
Wak Burhan.
"Apakah, ergh, apakah  Kak Laisa  enggan dengan sebutan  istri kedua?  Maksud Dali, apakah
Kak  Laisa khawatir dengan penilaian tetangga sekitar?" Setelah  berdiam diri  satu sama  lain,
Dalimunte  akhirnya  memutuskan  untuk  membicarakan  hal  tersebut.  Mungkin  ini  saat  yang
tepat.
Kak Laisa menoleh. Menatap wajah Dalimunte lamat-lamat, 
"Tentu tidak, Dali. Bukankah dulu Kakak pernah bilang: buat apa kau memikirkan apa yang
dipikirkan  orang  lain,  buat  apa  kau  mencemaskan  apa  yang  akan  dinilai  orang  lain...  Tentu
saja bukan itu masalahnya."
"Lantas, maksud Dali, mengapa Kak Laisa tidak kunjung mengambil keputusan? Setidaknya
untuk  bilang  ya  atau  tidak....  Wak  Burhan  dulu  pernah  bilang,  jika  ada  alasan  baiknya,
menjadi istri kedua tidaklah selalu buruk. Dia pilihan yang baik buat Kak Laisa. Istrinya juga
mengijinkan....  Dan  Dali  yakin  sekali,  mereka  juga  akan  menjadi  bagian  yang  tepat  bagi
keluarga kita...."
Kak Laisa diam sejenak.
Membiarkan angin pagi menelislk rambut gimbalnya.
Dingin.
"Setiap  kali  menatap  hamparan  perkebunan  strawberry  ini,  aku  selalu  merasa,  Allah  amat
baik kepada kita.... Kau tahu Dali, setiap kali  mendengar kabar kalian. Mendengar apa  yang
telah  kalian  lakukan.  Aku  merasa,  Allah  benar-benar  baik  kepada  kita.  Kakak  sungguh
merasa  cukup  dengan  semua  ini....  Umurku  hampir  empat  puluh  tahun,  Dali.  Setelah  sekian
lama jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi.... Mungkin benar
sudah  menjadi  kodrat  manusia  untuk  menikah,  berkeluarga.  Mungkin  Wak  Burhan  benar.
Tapi itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan.... Sejak lama aku sudah bisa menerima
kenyataan  jika  memang  menjadi  takdirku  hidup  sendiri,  jika  memang  tak  ada  lelaki  yang
menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini
"Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita.
Perkebunan ini, Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua itu...." 
Kak Laisa menghela nafas, terdiam lagi.
"Apakah  Kakak  tetap  menginginkan  menikah?  Tentu  saja,  Dali.  Namun  jika  perjodohan  itu
harus datang,  Kakak tidak  ingin  proses  itu  justru mengganggu kebahagiaan  yang  sudah ada.
Bukan  karena  sebutan  istri  kedua  itu,  Dali,  Bukan  pula  karena  cemas  apa  yang  akan
dipikirkan  tetangga.  Tetapi  Kakak  tidak  mau  pernikahan  itu  menganggu  kebahagiaan  yang
telah ada...."
Malam  itu setelah  bicara  hingga  shubuh. Saat adzan terdengar dari surau (entahlah siapa
yang  mengumandangkan  adzan  tersebut  sekarang).  Akhirnya  keputusan  itu  diambil.
Dalimunte  akhirnya  mengerti  mengapa  begitu  lama  keputusan  itu  terbelengkalai,  Kak  Laisa
enggan  menyakiti  perasaan  istri  pertama  calon  perjodohan  ini.  Butuh  berkali-kali
menyakinkan  Kak  Laisa  kalau  pernikahan  itu  justru  karena  permintaan  istri  pertama.
www.rajaebookgratis.com
Sungguh tak akan ada yang tersakiti. Tentu saja, di hati paling dalam istri pertama proses ini
mungkin  akan  menyakitinya  karena  ia  tetap  manusia  yang  memiliki  perasaan,  tapi  kasus  ini
amat berbeda. Mungkin inilah solusi terbaik buat dua masalah yang bersisian.
Shubuh itu akhirnya keputusan penting itu berhasil diambil.
 
33
AKU AMAT MENCINTAINYA
KAK  LAISA  terlihat  gugup  sepanjang  pagi  (bahkan  sebenarnya  sejak  semalam).  Meski  ia
berusaha  menyembunyikannya dengan  menyibukkan diri,  memastikan semua baik-baik saja,
wajahnya yang memerah tak bisa menyembunyikan perasaan
Dua  minggu  sejak  kematian  Wak  Burhan.  Selepas  pembicaraari  penting  shubuh  itu,
Dalimunte  menyerahkan  foto  -  f  oto  dan  profile  rekan  risetnya.  Juga  foto  istri  pertamanya.
Menceritakan  banyak  hal.    Menjawab  banyak  pertanyaan.  Lantas  Laisa  mengangguk,
mempersilahkan mereka segera datang untuk saling berkenalan.
Siang ini rombongan dari ibukota akan tiba.
Yang lain juga pulang, Hari ini penting bagi keluarga mereka. Ikanuri dan Wibisana lebih
dulu pulang. Mereka sekarang sudah memiliki bengkel besar di kota seberang pulau, bengkel
yang  di  kota  provinsi  diurus  orang  kepercayaan  Mereka.  Yashinta  tetap  tidak  bisa  pulang,
semakin  sibuk  dengan  penelitian  tahun  terakhir  S2-nya.  Tapi  ia  menyempatkan  menelepon
berkali-kali.  Telepon  pertama  penuh  dengan  rajuk  keberatan.  Bagaimanalah  Kak  Laisa  akan
menjadi  istri  kedua?  Ya  Allah,  apakah  Kak  Laisa  harus  melemparkan  harga  dirinya?
Merendahkan  martabatnya  menjadi  istri  kedua?  Dalimunte  bahkan  sampai  marah
menjelaskan banyak alasan. Telepon kedua, ketiga dan berikutnya lebih banyak diam (meski
tetap  merajuk).  Dan  akhirnya  menangis  tersedu  saat  Kak  Laisa  sendiri  yang  menjelaskan
keputusan itu. "Kalau Yash tidak suka, Kakak akan membatalkannya, sayang. Sungguh, kalau
Yash tidak setuju — "
Yashinta yang menelepon dari apartemennya di Belanda menyeka pipi. 
Ia tidak akan pernah membantah Kak Lais, Dulu tidak, apalagi sekarang.
Menjelang  dzhuhur,  dua  kijang  kapsul  jemputan  pengalengan  buah  strawberry  itu  tiba.
Kak  Laisa  berkali-kali  memperbaiki  kerudungnya.  Berkali-kali  merapikan  pakaian.  Ia  amat
gugup. Mamak hanya tersenyum simpul. Mengenggam jemari Laisa. Menenangkan. Berbisik,
semua akan baik-baik saja, Lais.
Dan  urusan  sepanjang  siang  itu  berjaian  lancar,  tidak  sesulit  yang  dicemaskan  Laisa.
Rekan  riset  Dalimunte  hanya  datang  seorang  diri.  Istrinya  sakit,  sudah  dua  hari  mual  dan
muntah.  Terlalu  lemah  untuk  melakukan  perjalanan  jauh.  Rekan  Dalimunte  pandai
menempatkan diri dalam urusan tersebut. Melontarkan humor dan pujian yang baik. 
"Aku  akhirnya  mengerti  bagaimana  Dalimunte  bisa  menjadi  ahli  fisika  yang  hebat....  Tapi
kau tidak lagi masih dipukul Laisa dengan rotan, bukan?" 
Tertawa.  Membuat  suasana  tegang  mencair  dengan  cepat.  Cie  Hui  juga  membantu  banyak
Kak  Laisa.  Pertemuan  itu  tidak  semenakutkan  yang  dipikirkan  Laisa.  Justru  berjalan
menyenangkan.
Mereka  shalat  dzhuhur  sebelum  melakukan  pembicaraan.  Menghabiskan  makan  siang.
Mengelilingi perkebunan strawberry. Dalimunte benar, inilah kesempatan terbaik Kak Laisa.
Rekan risetnya pilihan yang tepat. Dia sama sekali tidak mempersalahkan tampilan wajah dan
fisik Kak Laisa. 
"Bagiku kau secantik apa yang kau kerjakan untuk lembah ini, Lais!" 
Menatap  penuh  penghargaan.  Ah,  dalam  banyak  kasus,  kesalehan  seseorang  memang  tidak
bisa  diukur  dari  tampilan  mulut,  tulisan  dan  apalagi  pakaian.  Dan  kebersamaan  sepanjang
siang  (bersama-sama  dengan  yang  lain)  itu  sudah  menjadi  proses  perkenalan  yang  baik.
Memahami  visi  dan  misi  berkeluarga  masing-masing.  Memahami  cara  berpikir  masing-www.rajaebookgratis.com
masing.  Maka  memang  tidak  perlu  lagi  pembicaraan  formal.  Semuanya  berjalan  santai.
Mengalir. 
Apa adanya.
Sekali  dua,  Kak  Laisa  memberanikan  diri  melirik  rekan  kerja  Dalimunte.  Memerah
mukanya. Bersitatap satu sama lain. Lebih tersipu lagi. Ikanuri dan Wibisana, kabar baiknya
sedang  alim,  mereka  tidak  sibuk  menggoda  Kak  Laisa  yang  tersipu.  Dalimunte  hanya
tersenyum lega, Kak Laisa akhirnya berkesempatan merasakan romantisme perasaan itu.
Selepas  shalat  isya,  lepas  menghabiskan  makan  malam  di  depan,  sambil  memandang
hamparan  perkebunan  strawberry  yang  remang  oleh  cahaya  lampu,  rekan  riset  Dalimunte
akhirnya  menyampaikan  maksud  dan  tujuannya  dengan  serius.  Menatap  wajah  Kak  Laisa
sambil tersenyum, 
"Laisa  mungkin  sudah  mendengar  beberapa  hal  tentang  aku,  sudah  tahu  beberapa  tabiat,
perangai....  Hari  ini  aku  datang  memperkenalkan  diri  secara  langsung,  sekaligus  ingin
mengenal  secara  langsung.  Terus  terang,  aku  merasa  amat  diterima  di  keluarga  ini....  Kalau
saja istriku bisa datang, ia pasti akan lebih senang dariku...."
Rekan  kerja  Dalimunte  memberikan  hadiah  dari  istrinya  untuk  Laisa.  Seperangkat  kain
bordiran. Kak Laisa tersenyum malu.
"Aku  amat  mencintai  istriku,  tidak  pernah  sekalipun  terlintas  untuk  menikah  lagi,  tapi  aku
berjanji,  jika  urusan  ini  berjalan  sesuai  yang  direncanakan,  aku  akan  belajar  banyak
bagaimana  membagi  cinta  dengan  adil....  Dan  aku  berharap  Laisa  bisa  memberikan
kesempatan  untuk  melakukannya,  menjalani  prosesnya  dengan  indah  dan  baik....  Aku
sungguh ingin meneruskan proses ini...."
Malam  itu sepertinya urusan benar-benar akan berjalan sesuai  yang direncanakan. Meski
berusaha  untuk  tetap  terkendali  seperti  selama  ini,  muka  tersipu  dan  memerah  tidak  bisa
menyembunyikan  perasaan  Kak  Laisa.  Mamak  Lainuri  juga  tersenyum  bahagia.  Malam  itu
sepertinya kabar baik itu benar-benar tiba.
Tetapi Allah ternyata memiliki rencana lain.
Yang  sungguh  membuat  semua  kebahagiaan  sesaat  itu  lenyap  tak  berbekas.  Malam  itu,
Kak  Laisa  untuk  pertama  kalinya  tidak  menghabiskan  penghujung  malam  dengan  berdiri  di
hamparan perkebunan. Ia tertidur  lelap di kamarnya. Juga  yang  lain. Tapi kesunyian  lembah
mendadak robek oleh telepon dini hari. Dari rumah sakit ibukota.
Istri rekan kerja Dalimunte yang sudah dua hari terbaring lemah dilarikan ke rumah sakit
dua  jam  lalu.  Kondisinyn  memburuk. Tapi  bukan soal sakitnya  yang  merusak rencana.  Kata
dokter  ia  hanya  lelah  dan  terlampau  banyak  pikiran.  Anemia,  penyakit  kebanyakan  ibu-ibu
lainnya.  Hanya  perlu  istrirahat  total  selama  sebulan.  Yang  membuat  semuanya  mendadak
berubah  haluan  seratus  delapan  puluh  derajat  adalah  saat  dokter  memeriksa  secara
menyeluruh, ternyata istri rekan riset Dalimunte sedang hamil muda.
Gugup rekan kerja Dalimunte  mendengar  berita  itu. Rasa senang. Rasa cemas. Entahlah.
Buncah jadi satu. Kabar bahagia yang mereka tunggu selama lima belas tahun akhirnya tiba.
Gugup  membangunkan  Dalimunte.  Memutuskan  pulang  segera  ke  ibukota.  Gugup
menjelaskan  kabar  bahagia  tersebut  ke  Mamak  dan  Kak  Laisa.  Awalnya  tidak  ada  yang
memikirkan  kalau  kabar  bahagia  itu  akan  memiliki  banyak  implikasi  penting.  Tidak  ada.
Ikanuri  dan  Wibisana  menawarkan  diri  segera  mengantar  ke  kota  provinsi,  agar  bisa  naik
pesawat siang ini yang menuju ibukota.
Tidak ada yang berpikir tidak-tidak. 
Hanya  Kak  Laisa  yang  berdiri  di  daun  pintu,  menatap  kosong  mobil  yang  dikemudikan
Ikanuri  membelah  lengangnya shubuh  Lembah  Lahambay. Cahaya  lampunya  menghilang di
tikungan Sana, seiring dengan menghilangnya cahaya mata Kak Laisa yang merekah bahagia
dua puluh empat jam terakhir.
Kabar baik itu, ternyata bagai pisau bermata dua.
www.rajaebookgratis.com
"Sungguh maafkan, Dali—" Dalimunte tertunduk lama sekali. 
"Tidak ada yang perlu dimaafkan—" 
Kak  Laisa  menggenggam  erat  lengan  Dalimunte,  menenangkan.  Meski  suara  itu  sebenarnya
sedikit berbeda dari biasanya. Serak. Bergetar. 
Malam ini, satu bulan sejak kunjungan rekan kerja Dalimunte ke perkebunan strawberry.
Satu  bulan  yang  berjalan  menyedihkan.  Apa  yang  dibilang  berkali-kali  oleh  rekan  kerja
Dalimunte?  Ia  amat  mencintai  istrinya.  Jika  saja  istrinya  bisa  mengandung  anak-anaknya,
maka ia tidak akan menikah lagi. Ini semua bukan salahnya. Dan jelas bukan maunya kenapa
kabar baik tentang kehamilan tersebut justru tiba persis saat dia di titik serius untuk menikah
lagi  (dengan  Kak  Laisa).  Rekan  kerja  Dalimunte  amat  menyesal.  Meminta  maaf  sungguh-sungguh  saat  tadi  siang  kembali  berkunjung.  Mencium  jemari  Mamak.  Menatap  Kak  Laisa
penuh  rasa  sesal.  Dengan  hamilnya  istrinya,  dia  tidak  akan  pernah  tega  untuk  menikah  lagi.
Meski  isterinya  mendesak  untuk  tetap  meneruskan  rencana  tersebut,  menenggang  perasaan
Kak Laisa, tapi dia sungguh tidak bisa melakukannya.
"Apakah Kak Laisa kecewa?" Dalimunte tertunduk.
"Mungkin tidak," Laisa menjawab pelan, menggeleng, 
"Kakak sudah terbiasa, Dali.... Esok lusa, kesibukan dan waktu akan membuatnya terlupakan.
Mungkin  yang  kali  ini  butuh  waktu  cukup  lama.  Membersihkan  harapan-harapan  yang
terlanjur datang."
Dalimunte  menggigit  bibir.  Dia  sama  sekali  tidak  menyangka  akan  seperti  ini  jalan
ceritanya.  Kesempatan  baik  itu?  Dalimunte  mengusap  wajah  kebasnya.  Perjodohan  yang
urung  itu  merubah  banyak  hal.  Rekan  kerjanya  memutuskan  berhenti  dari  lab.  Mereka  juga
pindah dari perumahan asri yang hanya sepelemparan batu dari rumah Dalimunte 
"Aku  merasa  amat  bersalah,  Dali.  Jadi  biarkan  aku  pergi.  Sekali  lagi  bilang  Laisa,  maafkan
aku. Maafkan bila proses ini telah menyakiti hatinya." 
Itu kalimat terakhir saat rekan kerjanya pulang tadi sore. Diantar sopir perkebunan,
Bulan sabit tergantung elok di antara bintang-gemintang. Minggu-minggu ini panen besar
strawberry.  Minggu-minggu  ini  harusnya  menjadi  saat  yang  menyenangkan  bagi  seluruh
warga kampung. Menjadi hari berpesta bagi Lembah Lahambay. Entahlah apa yang persisnya
ada  di  kepala  Kak  Laisa  sekarang.  Entahlah  apa  yang  sedang  berkecamuk  di  kepalanya.
Ternyata kesempatan terbaiknya itu juga berakhir menyedihkan.
 
34
ANGGOTA BARU KELUARGA
LAISA  BENAR,  waktu  dan  kesibukan  perlahan  akan  mempu  membuatnya  melupakan
harapan-harapan  yang  terlanjur  tumbuh.  Setahun  berlalu.  Usianya  sekarang  menjejak  39,
Dalimunte  33,  Wibisana  hampir  31,  Ikanuri  30,  dan  Yashinta  27.  Mamak?  Entahlah,  tidak
ada  yang  tahu  persis  berapa  usia  Mamak  Lainuri  sekarang.  Mamak  hanya  ingat,  lahir  pas
masa-masa pemberontakan revolusioner.
Setahun  berlalu,  di  antara  berbagai  proses  perjodohan  Kak  Laisa  yang  berjalan
menyakitkan, kabar baik tetap datang silih berganti. Cie Hui mengandung. Itu menjadi berita
besar  Lembah  mereka.  Membuat  rumah  panggung  itu  buncah  oleh  kebahagiaan.  Sekarang
sudah  sembilan  bulan.  Dalimunte  dan  Cie  Hui  memutuskan  untuk  melahirkan  di  Lembah
Lahambay, 
"Biar ia menjadi anak lembah ini. Biar ia bisa mencium segarnya udara lembah.... Biar ia bisa
menjejakkan kakinya di embun rerumputan...." 
Begitu  kata  Cie  Hui  riang.  Maka  sudah  seminggu  ini  mereka  pulang  ke  perkebunan.
Menunggu hari H. Sejenak melupakan berbagai riset mutakhir Dalimunte di laboratorium.
Kabar  baik  kedua  adalah:  Yashinta  akhirnya  menyelesaikan  pendidikan  masternya.
Cumlaude.  Lulusan  terbaik.  Ia  jelas-jelas  mewarisi  kecerdasan  Dalimunte,  meski  juga
www.rajaebookgratis.com
mewarisi  tabiat  keras-kepala  Ikanuri  dan  Wibisana.  Hari  ini  tiba  di  kota  provinsi  setelah
penerbangan transit (Hongkong, Singapore dan Jakarta) dari Belanda. Benar-benar kebetulan
yang  menyenangkan.  Mamak  dan  Dalimunte  menjemput  di  bandara.  Sementara  Kak  Laisa
menemani Cie Hui di perkebunan.
Lihatlah,  gadis  itu  terlihat  begitu  cantik  saat  keluar  dari  pintu  kedatangan.  Wajahnya
sedikit  memerah  di  terpa  matahari  terik.  Mengenakan  sweater  hijau.  Dengan  syal  sewarna
Yashinta  mirip  sudah  dengan  putri-putri  negeri  bersalju.  Kuncir  rambut  panjangnya
bergoyang-goyang.  Sedikit  berlari  menghambur  ke  Mamak,  berpelukan.  Menangis.  Dua
tahun  lebih  Yashinta  tidak  pulang.  Hanya  telepon.  Jadi  setelah  sekian  lama  rasa  rindu  itu
menggumpal, pertemuan  ini amat  mengharukan,  Dalimunte  mengacak-acak rambut adiknya.
Tertawa (sebenarnya menahan rasa harunya).
Mereka tidak  langsung  berangkat  meski Yashinta sudah tiba.  Masih  menunggu setengah
jam  lagi.  Pesawat  dari  kota  seberang  pulau,  yang  membawa  Ikanuri  dan  Wibisana.  Dua
sigung  nakal  itu  juga  pulang.  Kejutan.  Benar-benar  kejutan  saat  dua  sigung  tersebut  keluar
dari pintu kedatangan. Karena mereka tidak datang hanya berdua.
Ikanuri dan Wibisana sudah punya bengkel besar di kota seberang pulau. Malah menurut
Ikanuri  beberapa waktu  lalu,  mereka  merencanakan untuk mulai  membuat pabrik  spare-part,
suku cadang. Bisnis dan kehidupan mereka sudah amat matang. Beberapa tahun terakhir, Kak
Laisa juga sudah sering bertanya kapan mereka akan menikah. Sama seperti saat menasehati
Dalimunte dulu, 
"Kalian tidak perlu menunggu kakak, tidak perlu— "
Berbeda dengan Dalimunte yang kisah cintanya diketahui massal satu keluarga (juga satu
lembah), Ikanuri dan Wibisana amat tertutup soal ini. Saat itu tidak ada yang tahu, dua sigung
nakal  itu  bahkan  telah  membuat  calon  pasangan  masing-masing  menunggu  lebih  lama
dibandingkan  Cie  Hui.  Tanpa  kepastian.  Bahkan  tanpa  kesempatan  sedikitpun  untuk
mengenal keluarga di perkebunan strawberry.
Tidak ada  yang pernah  menyangka, dua sigung  yang dulu amat bebal, keras kepala, dan
selalu  melawan  Kak  Laisa,  bertahun-tahun  terakhir  berkutat  dengan  masalah:  tidak  akan
menikah  sebelum  Kak  Laisa  menikah.  Bagaimana  mungkin  Kak  Laisa  akan  dilintas  untuk
yang  kedua  dan  ketiga  kalinya?  Itu  benar-benar  akan  menyakiti  perasaan  Kak  Laisa.  Maka
mereka  membuat  calon  pasangannya  menunggu  selama  tujuh  tahun  terakhir  ini.  Dikenalkan
pun tidak. Lebih lama dibandingkan Dalimunte dan Cie Hui.
Namun sejak kejadian perjodohan  yang urung  itu. Calon pasangan   mereka   yang   mulai 
serius  memaksa.  Bahkan orang tua masing-masing juga ikutan meminta kepastian, hari ini,
benar-benar  kejutan.  Lihatlah,  Ikanuri  dan  Wibisana  datang  bersama  Wulan  dan  Jasmine.
Berjalan bersisian di pintu kedatangan bandara, mendekat. Membuat Dalimunte,Mamak, dan
Yashinta  tercengang.  Dua  sigung  itu  akhirnya  memutuskan  memperkenalkan  Wulan  dan
Jasmine.
Maka  lebih  tercengang  lagi  saat  ikanuri  dan  Wibisana  bilang  mereka  sudah  saling
mengenal sejak masih kuliah.
"Kalian tidak memberitahu kami soal hubungan kalian sudah selama itu?"  
Dahi Dalimunte terlipat, menggelengkan kepala.
"Waktu  Kak  Ikanuri  dan  Kak  Wibisana  wisuda  dulu,  kenapa  Yash  tidak  dikenalkan
sekalian?" Yashinta menyela.
Wibisana  hanya  mengangkat  bahu.  Ikanuri  memegang  stir  mobil  modifikasi  hanya  tertawa
kecil.Maka  perjalanan  enam  jam  menuju  perkebunan  benar-benar  menjadi  tidak  terasa.
Banyak sekali potongan romantisme Dalimunte dan Cie Hui. Wulan dan Jasmin tipikal gadis
yang  menyenangkan.  Cantik.  Berpendidikan.  Dari  keluarga  yang  terhormat.  Mereka  berdua
masih  sepupu  satu  sama  lain.  Ikanuri  dan  Wibisana  meski  bukan  saudara  kembar,  tapi
kesamaan  diantara  mereka  melebihi  kembar  identik.  Bukan  hanya  soal  wajah  dan  tampilan
www.rajaebookgratis.com
fisik  yang  sama  (hanya  dibedakan  bekas  luka  di  pelipis),  cerita  asmara  mereka  juga  mirip.
Mengenal Wulan dan Jasmine di hari yang sama. Menyampaikan perasaan di hari yang sama.
Menghabiskan  waktu  bersama  di  hari  yang  sama.  Di  kejar  orang  tua  Wulan  dan  Jasmine  di
hari  yang  sama  (karena  mereka  jahil  bergaya  pemuda  benua  amerika  latin,  bermain  gitar,
bernyanyi keras-keras di depan pintu rumah  Wulan dan Jasmine saat menyatakan perasaan).
Dan berbagai kesamaan lainnya.
Cerita-cerita  itu  membuat  perjalanan  menuju  perkebunan  strawberry  ramai.  Ramai  oleh
celetukan Yashinta.
"Dulunya Yash pikir, tidak akan ada wanita di dunia ini yang menyukai Kak Ikanuri dan Kak
Wibisana. Ternyata masih ada ya—" 
Yashinta nyengir, menggoda. Dan seperti biasa, tangan Ikanuri terangkat, bersiap menjitak.
    Senja tiba, langit jingga, mobil balap modifikasi itu pelan memasuki hamparan perkebunan
strawberry.
Satu  minggu  berjalan  meriah.  Penuh  seruan  jahil  nan  menggoda  Yashinta.  Seruan  Kak
Laisa  yang  senang  melihat  Wulan  dan  Jasmine.  Penjelasan-penjelasan.  Meski  di  sana-sini
bercampur  dengan  ketegangan.  Cemas.  Dan  Rusuh.  Cie  Hui  melahirkan  di  hari  kelima
mereka berkumpul. Lebih cepat lima hari dari jadwal.
"Ini  pasti  gara-gara  Yash  terlalu  banyak  tertawa,  anaknya  jadi  tak  sabaran  ingin  keluar."
Ikanuri berlarian menghidupkan mobil, Dalimunte terhuyung menggendong Cie Hui. Dibantu
Wibisana.
Mereka  sedang  makan  malam,  seperti  biasa  ramai,  jadi  benar-benar  terperanjat  saat  Cie
Hui  merintih  kesakitan.  Ikanuri  meneriaki  Wulan  dan  Jasmine  untuk  menyiapkan  peralatan
bayi  (yang  sudah  disiapkan  Kak  Laisa  beberapa  hari  lalu).  Dalimunte  berseru  jengkel,
lupakan soal popok dan  sebagainya  itu, Cie Hui  sudah  amat kesakitan,  bayi  itu  menendang-nendang kuat, meronta. Buat apa pula coba popok bayi saat ini?
Maka  malam  itu  juga  mobil  balap  modifikasi  Ikanuri  dan  Wibisana  melesat  keluar  dari
halaman rumah panggung. Tidak seperti waktu Yashinta dulu sakit parah, lereng itu sekarang
mudah  saja didaki. Dan  jelas tidak  seperti wakru  Yashinta sakit dulu, di kampung atas (jika
masih  layak  disebut  kampung),  sudah  ada  puskesmas,  lengkap  dengan  dokter  dan  bidan.
Kesanalah mereka bergegas membawa Cie Hui.
Intan. Itu nama pemberian Kak Laisa. Sejak kecil Intan memang sudah terlihat bakatnya.
Tidak sabaran. Keras kepala. berisik. Suka mencari perhatian. Meski cerdas dan banyak akal.
Lahir  setelah  keras  kepala  tidak  mau  keluar-keluar  juga.  Setelah  dua  jam  berkutat  dengan
bukaan  tujuh.  Hampir  saja  Bidan  menyerah.  Hampir  saja  menyarankan  untuk  dibawa  ke
rumah  sakit  di  kota  kabupaten  untuk  operasi  caesar,  bayi  perempuan  itu  akhirnya  nongol
begitu  saja.  Seperti  sengaja  membuat  yang  lain  bete.  Panik.  Langsung  menangis  kencang.
Membuat cair seluruh ketegangan.
Dalimunte  tidak  pernah  melihat  Mamak  sebahagia  ini.  Gemas,  menciumi  wajah  merah
cucu tersayang, Intanl. Tersenyum riang sambil memperbaiki tudung kepala. Rambut Mamak
sudah memutih. Tapi lihatlah, wajahnya seperti lebih muda sepuluh tahun. Intan benar-benar
menguasai perhatian seluruh anggota keluarga. Dalimunte menghela nafas dalam. Kak Laisa
benar, dulu dia tidak seharusnya menunggu begitu lama untuk menikah. Mamak meski tidak
pernah bilang, selalu merindukan menimang cucu-cucunya. Intan membuat rumah panggung
itu lebih ramai. Lebih hidup. Teriakannya setiap pagi (atau setiap minta susu) membuat rusuh
yang lain. 
Berebutan menggendong.
Maka  seperti  sudah  mengerti  saja,  kalau  lagi  dicuekin,  bayi  kecil  itu  akan  mulai  sibuk
menangis keras-keras. Sengaja benar.
 
 
www.rajaebookgratis.com
35
PERNIKAHAN KEDUA DAN KETIGA
SAYANGNYA,  meski  dengan  semua  pemahaman  tersebut,  dengan  melihat  sendiri  semua
kenyataan  itu  (menyaksikan  kebahagiaan  Mamak  saat  menggendong  Intan),  Ikanuri  dan
Wibisana  sempurna  mengulang  kejadian  sebelumnya.  Mereka  berdua  membuat  Wulan  dan
Jasmine  menunggu  lebih  lama  lagi. Tetap tidak  ada kepastian. Padahal  setiap  jadwal pulang
dua  bulanan,  Wulan  dan  Jasmine  sekarang  juga  ikut  pulang.  Ikut  menghabiskan  hari  di
perkebunan strawberry. Menjadi bagian anggota keluarga.
Enam  bulanberlalu.  Tetap  tidak  ada  tanda-tanda  hubungan  mereka  akan  melangkah  ke
tahapan  yang  lebih  serius.  Kak  Laisa  tidak  hanya  sekali  mengajak  bicara  Ikanuri  dan
Wibisana,  soal  melintas,  tentang  tidak  usah  menunggu.  Sudah  berkali-kiili.  Tetapi  kedua
sigung itu hanya mengangguk. Nyengir, lantas berkata ringan, 
"Siapa pula  yang akan  menunggu  Kak  Lais?  Kita hanya  belum siap  saja, kok. Kak Lais sok
ditunggu sih!!"
"Usia  kalian  sudah  lebih  dari  tiga  puluh  tahun.  Sudah  memiliki  pekerjaan  yang  baik.
Memiliki  rumah.  Sudah  matang.  Apa  lagi  yang  kalian  harus  siapkan?"  Kak  Laisa  ikut
tertawa,  kembali  bertanya  serius.  Ikanuri  dan  Wibisana  lagi-lagi  hanya  menimpali  sambil
bergurau. Yang justru sebenarnya malah menutupi masalah besar mereka berdua.
Dulu  waktu  kasus  Dalimunte,  mereka  berdua  sebenarnya  tidak  habis  pikir  bagaimana
mungkin  Dalimunte  harus  menunggu  begitu  lama  hingga  akhirnya  mengambil  keputusan.
Mereka  juga  dulu  begitu  sebal  saat  harus  mengantar  malam-malam  Cie  Hui  yang  menangis
pulang  ke  kota  kecamatan.  Tidak  bisa  mengerti  mengapa  Dalimunte  yang  jenius  dan  amat
rasional  bisa  jadi  sekeras  kepala  itu?  Seolah-olah  melemparkan  seluruh  akal  sehat  yang
dimilikinya. Begitu sulitkah untuk mengambil keputusan melintas Kak Laisa?
Sekarang  mereka sesungguhnya paham ternyata urusan  itu  memang tidak  mudah. Setiap
pulang  dua  bulanan,  menyaksikan  Kak  Laisa  yang  tersenyum  riang  menggendong  Intan.
Membawa Intan mengelilingi perkebunan strawberry. Mengenalkannya dengan tetangga lain.
Makan  malam,  meriah.  Penuh  tawa.  Tapi  di  penghujung  shubuh,  menyasikan  sendiri  Kak
Laisa yang berdiri di lereng lembah. Sendirian. Senyap. Melihat paradoks tersebut. Membuat
mereka tidak pernah  memiliki gambaran  masalah  yang utuh.  Apa  yang selama  ini  dirasakan
Kak Laisa?
Apakah yang sesungguhnya Kak Laisa rasakan?
Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  seberuntung  Dalimunte  dalam  urusan  ini.  Mereka  tidak
memiliki  mekanisme  berbicara  serius  dengan  Kak  Laisa,  seperti  Dalimunte  yang  suka
menemani  berdiri  di  lereng  perkebunan.  Jadi  enam  bulan  berlalu,  yang  terjadi  hanya
percakapan  penuh  gurauan,  jawaban-jawaban  ngarang,  dan  sebagainya.  Tanpa  kemajuan
yang berarti.
Enam  bulan  lagi  berlalu.  Dua  sigung  nakal  itu  tetap  tidak  bisa  mengambil  keputusan.
Justru  sibuk  mengingat-ingat  masa  lalu.  Segala  kebaikan  Kak  Laisa  kepada  mereka.  Segala
keburukan mereka kepada Kak Laisa, maka dua sigung itu makin ringkih dengan keputusan.
Bagaimanalah mereka ekan membuat Kak Laisa dilintas untuk yang kedua dan ketiga kalinya
sekaligus?  Ya  Allah,  meski  Kak  Laisa  terlihat  baik-baik  saja,  meski  Kak  Laisa  bilang  ia
memang  baik-baik saja tapi  mereka tidak akan tega  melakukannya. Tidak setelah  menyadari
Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kecil dan renajanya untuk mereka.
Dalimunte  akhirnya  melibatkan  diri  dalam  urusan  tersebut.  Memberikan  banyak
penjelasan. Menjawab banyak pertanyaan, tapi tetap tidak ada hasilnya. Yashinta dalam satu
dua pembicaraan di ruang depan, juga ikut mendesak. 
"Susah  amat  sih?  Semakin  lama  tidak  ada  kepastian,  nanti  semakin  banyak  dosanya,  tahu!"
Nyengir.  Ikanuri  dan  Wibisana  hanya  menatap  datar  Yashinta.  Adik  mereka  belum
merasakan sendiri betapa semua ini tidak mudah.
www.rajaebookgratis.com
"Atau  menunggu  Kak  Wulan  dan  Kak  Jasmine  dijodohkan  seperti  Kak  Cie  Hui  dulu?  Hati-hati  loh,  sekarang  saja  Kak  Wulan  dan  Kak  Jasmine  sudah  tidak  bisa  ikut  ke  perkebunan,
bukan?" 
Tertawa. Mamak dan Cie Hui juga ikut tertawa mendengar gurauan Yashinta. Ikanuri melotot
sebal,  tangannya  seperti  biasa  terangkat.  Malam  itu  Wulan  dan  Jasmine  memang  tidak  bisa
ikut pulang ke perkebunan. Ada acara keluarga.
"Eh,  eh,  lihat,  lihat!"  Yashinta  berseru.  Menunjuk  Intan  yang  sejak  tadi  duduk  menatap
sekitar. Perlahan mulai berdiri. Perhatian di beranda berpindah. Menoleh.
" Aduh mau belajar jalan ya? Sini sayang, sini sama Tante Yash....
Kaki-kaki kecil Intan sedikit bergetar menopang tubuhnya. 
Muka  menggemaskan  itu  menyeringai.  Mulutnya  terbuka.  Mata  besar  beningnya  menatap
sekeliling. Usia Intan hamir setahun, masanya belajar berjalan.
"Ayo, ayo..., Tang-ting-tung! Intan manis, ayo jalan.." Yashinta tertawa, berseru memberikan
semangat Yang lain ikut tertawa.
Kaki  Intan  bersiap  melangkah.  Membuat  percakapan  soal  Ikanuri  dan  Wibisana
terlupakan. Wajah Mamak berseri-seri. Apalagi Kak Laisa. Ikutan duduk jongkok di sebelah
Yashinta. Memberikan semangat.
Mata hitam  besar Intan  mengerjap-ngerjap. Sejenak. Dan seperti  mengerti  benar kalau  ia
sedang menjadi pusat perhatian, bayi kecil itu mendadak duduk kembali begitu saja. Nyengir
lebar.  Seolah-olah  hendak  berjalannya  tadi  hanya  tepu-tepu.  Membuat  yang  lain  terdiam,
'kecewa'  (meski  kemudian  tertawa).  Sejak  kecil  Intan  memang  sudah  begitu.  Sok-jadi  pusat
perhatian.
Intan  sudah  benar-benar  bisa  berjalan  ketika  akhirnya  Ikanuri  dan  Wibisana  berhasil
mengambil  keputusan  penting  tersebut.  Saat  usia  Ikanuri  dan  Wibisana  hampir  tiga  puluh
lima  tahun.  Bukan.  Tentu  saja  bukan  karena  Wulan  dan  Jasmine  akan  dijodohkan  orang  tua
mereka masing-masing,
Siang itu, Kak Laisa terbata menelepon adik-adiknya. Teknologi telepon genggam sudah
tiba  di  lembah  mereka.  Dan  mereka  sudah  memiliki  enam  nomor  penting  untuk  keluarga.
Waktu  itu,  Dalimunte  terpaksa  bergegas  meninggalkan  konvensi  fisika  di  Kuala  Lumpur,
melupakan  kalau  presentasinya  penting  sekali  untuk  karir  penelitiannya  (dia  baru  saja
mendapatkan  gelar  profesor).  Bergegas  terbang  langsung  ke  Jakarta,  Transit  sebentar
menjemput Cie Hui dan Intan, yang sudah pandai berlari.
Ikanuri  dan  Wibisana  juga  segera  meninggalkan  pekerjaan  di  bengkel  mereka.  Pulang.
Kabar  dari  Kak  Laisa  mengkhawatirkan.  Lupakan  soal  tender  suku  cadang  salah  satu
perusahaan otomatif lokal. Nanti-nanti bisa diurus. Mereka harus segera pulang.
Yashinta  yang  sedang  menyelam  di  Kepulauan  Kaimana,  Papua  juga  pulang.  Membuat
sebal  kolega  penelitiannya  dari  Inggris.  Karena  secara  teknis,  Yashinta  yang  menjadi  guide
riset  tentang  konservasi  terumbu  karang.  Jadi  kalau  guide-nya  pulang,  siapa  yang  akan
memandu mereka?
"Mamak  sakit  keras....  Pulang....  Kalian  harus  segera  pulang....  Berangkat  dengan  pesawat
pertama." 
Hanya  itu kalimat terbata Kak Laisa. Lebih  banyak seruan tertahan, dan denting kecemasan.
Maka  mereka  tidak  perlu  menunggu  dua  kali.  Segera  pulang.  Bagaimanalah?  Bukankah
Mamak tidak pernah sakit selama  ini?  Mamak  yang terlihat selalu kuat. Selalu  sehat. Paling
juga  dulu-dulu  hanya  demam  biasa.  Sehari  dua  sudah  membaik  dengan  sendirinya.  Tetap
mengerjakan  banyak  hal.  Memasak  gula  aren.  Menganyam  anyaman  rotan.  Ke  kebun.
Membersihkan gulma. Hanya perlu di kerok dan  berbekam. Sembuh. Bagaimanalah  Mamak
sekarang sakit keras? Itu enar-benar mencemaskan.
Mereka tiba di bandara kota provinsi hampir bersamaan. Ikanuri langsung mengemudikan
mobil  balap  modifikasi  yang  diantar  karyawan  bengkelnya.    Menuju  rumah  sakit  kota
www.rajaebookgratis.com
provinsi  dengan  kecepatan  tinggi.  Mamak  dirawat  di  sana.  Berlarian  sepanjang  koridor.
Sejenak  tidak  mempedulikan  Intan  (yang  teganya)  malah  puf  di  saat-saat  penting  tersebut
Membuat bau tidak sedap dalam mobil balap Ikanuri.l Menerobos pintu paviliun.
Dan langkah-langkah mereka terhenti. Berdiri terdiam, berusaha mengendalikan nafas, di
depan  pintu  ruang  rawat  Mamak.  Lihatlah,  Mamak  terbaring  lemah  di  atas  ranjang.  Pucat.
Kak Laisa yang duduk menunggui berdiri melihat adik-adiknya datang.
Yashinta  yang  pertama  kali  menghambur.  Memeluk  Kak  Laisa,  bertanya  cemas,  berseru
cemas,  gemetar  mendekat.  Menatap  wajah  Mamak  yang  sedang  tertidur.  Dua  belalai  plastik
membalut  lengan.  Peralatan  medis  yang  berdesis  pelan.  Dalimunte  ikut  mendekat,  menelan
ludah. Ikanuri dan Wibisana kehilangan kata-kata. Hanya Cie Hui yang sibuk mengendalikan
Intan  (yang  seperti  biasa  berseru-seru  senang  setiap  kali  melihat  Wak  Laisa  dan  Eyang
Lainurinya, tidak peduli apakah yang dilihatnya lagi sehat atau lagi sakit)
"A-pa, a-pa.... Mamak baik-baik saja?" 
Yashinta bertanya gugup. Gemetar berusaha meraih jemari Mamak.
Kak Laisa tersenyum, menenangkan, membimbing adiknya duduk di kursi. Mengangguk,
"Masa  kritis  Mamak  sudah  lewat....Kata  dokter  Mamak  sudah  terkendali,  sudah  mulai
membaik—"
Terlihat  sekali  bagaimana  ekspresi  wajah  empat  kakak  beradik  itu  berubah.  Dalimunte
langsung  mendekap  Ikanuri  dan  Wibisana.  Menghela  nafas  panjang.  Tersenyum  lega.
Yashinta malah menangis. Tersedu. Wahai, rasa lega dan kebahagiaan itu dekat sekali dengan
tangis.  Kalian  akan  menangis  karena  perasaan  lega  yang  luar  biasa.  Bagaimana  tidak?
Yashinta harus menanggung rasa cemas sejak dua belas jam lalu. Penerbangan langsung dari
Sorong.  Transit  sebentar  di  Jakarta.  Wajah  Mamak  dengan  rambut  berubannya  terus
terbayang di  jendela pesawat, saat  menatap biru  lautan. Membuatnya  mengaduh  berkali-kali
dalam perjalanan.
Yashinta  menyeka pipinya. Menatap wajah Mamak  yang tertidur pulas.  Wajah  itu  masih
pucat,  tapi  Kak  Laisa  benar,  hela  nafas  Mamak  sudah  terkendali.  Rona  muka  Mamak
tenteram.  Yashinta  menciumi  jemari  Mamak.  Mendekapnya  ke  pipi.  Seperti  tidak  pernah
bertemu  bertahun-tahun  lamanya,  padahal  mereka  baru  saja  pulang  sebulan  yang  lalu.    Dan
Yashinta  menangis  lagi.  Ia  tadinya  sungguh  takut.  Takut  kehilangan.  Dalimunte  mendekap
kepala  adiknya.  Menenangkan.  Ikanuri  dan  Wibisana  ikut  menyeka  matanya  yang  berkaca-kaca.  Belum pernah mereka merasa begitu dekat dalam keluarga. Begitu mencintai satu sama
lain. Dan begitu takut kehilangan satu sama lain.
Ya  Allah,   mereka   sungguh   saling  mencintai   karena Engkau.
Intan  mendadak  menangis  kencang-kencang.  Terlupakan.  Gadis  kecil  itu  sibuk  protes.
Menggerak-gerakkan  pantatnya.  Apalagi  kalau  bukan  untuk  membuat  bau  tak  sedap  itu
menguar di ruangan rawat Eyangnya. Sibuk mencari perhatian.
Satu  jam  berlalu,  Cie  Hui  membawa  Intan  ke  pengalengan  strawberry  di  kota  provinsi.
Ada  penginapan  karyawan  di  sana.    Mengganti  popok  Intan  yang  super  bau.  Beristirahat.
Yashinta  meski  tidak  mau  meninggalkan  Mamak,  meski  memaksa  tetap  menunggui,
menjelang  malam  ikut  menyusul,  ia  terlampau  lelah  dengan  perjalanan  jarak  jauh.  Dan  Kak
Laisa menyuruhnya istirahat, "Mamak akan baik-baik saja Yash.... Kalau kau juga jatuh sakit,
kau hanya akan menambah masalah—" 
Sejak dulu Yashinta selalu menurut dengan Kak Laisa.
Menyisakan  Laisa,  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana  di  ruang  rawat  Mamak.  Duduk  di
kursi  plastik  yang  diberikan  perawat.  Dokter  yang  merawat  Mamak  ternyata  mengenali
Profesor Dalimunte, tertawa lebar, bahkan menawarkan ruang rawat terbaik di rumah sakit itu
saat melakukan pemeriksaan jam sembilan tadi.
Senyap. 
www.rajaebookgratis.com
Ruangan rawat inap itu hening. Hanya menyisakan desis suara pendingin ruangan. Meski
lelah,  Dalimunte  tidak  bisa  tidur.  Juga  Ikanuri  dan  Wibisana.  Kak  Laisa  perlahan
memperbaiki  selimut  Mamak.  Lantas  menatap  wajah-wajah  kusut  adiknya.  Tersenyum.
Menarik kursinya mendekati Ikanuri dan Wibisana.
Dua  sigung  yang    tidak  kecil  lagi  itu  mengangkat  kepala.  Menatap  Kak  Laisa  yang
sekarang persis duduk di depannya.
"Ikanuri,        Wibisana..."        Kak        Laisa        berkata  lembut  menyentuh  lengan  adik-adiknya,
"Kita  memang  tidak  akan  pernah    tahu....    Tidak    pernah    bisa    menebak,  menduga.  Tetapi
suatu  hari  nanti,  salah-satu  dari  anggota  kelarga  yang  amat  kita  dntai  pasti  akan  pergi.  Siap
atau tidak, suka atau tidak...."
Dalimunte mengusap  wajahnya.  
Menatap  Kak Laisa. Tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan Kak Laisa.   
"Lihatlah....  Mamak  sekarang  tertidur  nyenyak....  Begitu  damai,  begitu  tenang,  begitu
babagia.  Karena  Mamak  sudah  amat  bahagia  dengan  hidupnya.  Memiliki  kalian,  sebagai
anak-anaknya, adalah kebahagiaan terbesar  yang tidak pernah dibayangkan  Mamak. Mamak
tahun-tahun terakhir amat bahagia nienghabiskan masa tuanya di perkebunan strawberry..."
Ikanuri dan Dalimunte menahan  nafas. Tertunduk. Mereka  juga tidak  mengerti apa  yang
hendak  dikatakan  Kak  Laisa.  Tapi  kalimat-kalimat  itu  menusuk.  Kepergian  dari  anggota
keluarga yang kita cintai?
"Ikanuri,  Wibisana....  Kakak  berkali-kali  bilang,  tidak  baik  membuat  Wulan  dan  Jasmine
menunggu  terlalu  lama....  Kalian  tidak  seharusnya  menunggu  Kakak.  Karena  kita  tidak
pernah  tahu  apa  yang  akan  terjadi  besok  lusa.... Kalau  kalian  ingin  pernikahan  kalian  masih
sempat  dilihat  langsung  Mamak,  sempat  disaksikan  oleh  Mamak,  segeralah  menikah...
Dengan kebaikan Allah, tentu saja Mamak akan segera sembuh. Esok lusa Mamak akan tetap
bersama  kita.  Menghabiskan  hari  tuanya  di  perkebunan  strawberry.  Tetapi  kalau  kalian
tetapkeras  kepala  menunggu  sesuatu  yang  mungkin  tidak  akan  pernah  terjadi...."  Kak  Laisa
terdiam sejenak. Menatap tulus wajah adik-adiknya.
Ruangan itu hening lagi.
"Kalau  kalian  tetap  keras  kepala  menunggu  Kakak,  maka  kalian  mungkin    akan  kehilangan
kesempatan membuat Mamak semakin bahagia di masa tuanya. Apa yang dulu sering Kakak
katakan?  Pernikahan  kalian  akan  membuat  rumah  panggung  kita  lebih  ramai.  Anak-anak
kalian sungguh akan membuat suasana terlihat berbeda.  Lihatlah,  Intan, meski tadi membuat
suster ngomel-ngomel, tetap saja wajah imutnya menggemaskan, bukan...." 
Kak Laisa tertawa Mengingat kejadian saat Intan nangis kencang-kencang tadi.
Ikanuri dan Wibisana ikut tersenyum.
Malam itu, keputusan penting tersebut akhirnya diambil
Pernikahan  kedua  dan  ketiga  di  keluarga  itu  terjadi  sebulan  kemudian.  Mamak  pulang
dari  rumah  sakit  setelah  dirawat  empat  hari  lagi.  Meski  masih  lemah,  tapi  wajah  Mamak
sudah segar saat kembali. Sakit radang hatinya membaik dengan cepat 
"Bagaimana  mungkin  Mamak  sakit?  Sakit  hati  pula.  Bukankah  selama  ini  Mamak  selalu
bahagia, meski kami bandel dan nakal? Ada-ada saja." Ikanuri bergurau. Membuat yang lain
tertawa.
Ikanuri  dan  Wibisana  kembali  ke  kota  seberang  pulau  seminggu  kemudian.  Langsung
meminang  Wulan dan  Jasmine. Mereka   lagi-lagi    melakukannya  di  saat   yang   bersamaan.
Dengan  cara  yang  sama  pula,  sama-sama  hiperbolik  (meski  menyentuh),  "Ayah,  Ibu,  aku
tidak bisa menjanjikan banyak hal buat putri kalian. Aku tidak memiliki gunung harta seperti
Kak  Laisa  dengan  ribuan  hektar  kebun  strawberry-nya.  Aku    juga  tidak  sepintar  Profesor
Dalimunte  yang  terkenal  itu.  Tetapi  aku  punya  hati.  Hati  yang  terlanjur  mencintai  Wulan
(jasmine;  saat  Wibisana  yang  bicara  dengan  calon  mertuanya).... Terima  kasih  banyak  telah
membesarkan  putri  kalian  hingga  menjadi  begitu  cantik,  begitu  menawan.  Dengan  segenap
www.rajaebookgratis.com
rasa.  Ayah,  Ibu,  ijinkanlah  aku  meminangnya...."  Membuat  orang  tua  Wulan  dan  Jasmine
berkaca-kaca (rumah mereka hanya berjarak dua blok). Meski besoknya saat keluarga mereka
saling  bercerita,  terpaksa  manyun  satu  sama  lain  karena  baru  tahu  kalimat  indah  calon
menantu mereka fotokopi satu sama l.iin.
Urung saling menyombong.
Ikanuri  dan  Wibisana  memutuskan  untuk  menikah  di  hari  yang  sama.  Di  Lembah
Lahambay, lembah indah mereka.
 
36
SAKIT PERTAMA
KALAU saja ada yang memperhatikan. Itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang paling
terlihat.  Tapi  kebahagiaan  yang  melingkupi  rumah  panggung  atas  pernikahan  'kembar'
Ikanuri dan Wibisana membuatnya seperti kejadian biasa-hiasa saja.
Bang Jogar, yang setahun terakhir sudah menjadi kepala kampung, sibuk meneriaki anak
muda  yang  sedang  mendirikan  tenda-tenda.  Sibuk  membuat  gerbang  janur  kuning.  Batang
pisang  disusun  rapi.  Bertingkat.  Menyusun  pot-pot  bonsai,  Malah  Bang  Jogar  yang  meski
tampangnya serius, sempat- sempatnya menyuruh mereka membuat tiga patung harimau dari
janur  di  depan  gerbang  halaman  rumput.  Membuat  yang  lain  tertawa.  Bang  Jogar  sengaja
hendak mengenang masa lalu itu.
Pagi-pagi di tengah semua kesibukan, Dalimunte sempat berpapasan dengan Kak Laisa di
beranda  rumah.  Menyelak  ibu-ibu  dan  anak  gadis  tetangga  yang  sedang  duduk  berbaris,
menyiapkan  makanan  buat acara  besok. Mengiris  buncis.  Memarut kelapa. Muka  Kak Laisa
terlihat pucat sekali, Dalimunte sebenarnya sudah hendak menegur, bertanya, tapi urung, ada
rombongan  pembawa  panci  di  belakangnya,  ingin  lewat.  Gulai  opor  mengepul.  Membuat
terlupakan.
 Ikanuri  dan  Wibisana  siangnya  juga  mencari  Kak  Laisa,  bertanya  tentang  siapa  saksi
pernikahan  mereka  besok  Tidak  ada,  Kak  Laisa  tidak  ada  di  rumah.  Di  cari  di  bawah
panggung tidak ada. Di tenda-tenda juga tidak ada. Mamak yang akhirnya menjawab, dengan
suara berbeda, suara yang bergetar, 
"Kakak  kalian  sedang  ke  kota  kabupaten,  membeli  kekurangan  bumbu  dapur,  ayam,  dan
perlengkapan lainnya — " 
Ikanuri  dan  Wibisana  hanya  mengangguk,  itu  biasa  terjadi.  Selalu  Kak  Laisa  yang  belanja,
menyiapkan  keperluan  pernak-pernik  acara.  Dalimunte  akhirnya  menunjuk  Bang  Jogar
menjadi saksi.
Sore harinya, saat matahari tumbang di barat sana, senja membungkus lembah, Kak Laisa
baru  pulang  dari  kota  kabupaten.  Tidak  ada  bungkusan  belanjaan,  tidak  ada  barang-barang
bawaan, mukanya pucat, 
"Biar,  biar  aku  berjalan  sendiri—"  Berbisik  lemah  pada  sopir  pengalengan  strawberry.
Melangkah  masuk  ke  halaman,  tetap  tersenyum  menyapa  (dan  disapa  yang  lain).  Bahkan
Dalimunte yang sedang bicara soal detail acara besok lalai untuk mengenali ada yang ganjil.
Kebahagiaan dan kesibukan sepanjang hari membuat semuanya terbungkus kabut.
Tidak  ada  yang  tahu  kalau  Kak  Laisa  tadi  pagi  terbatuk  berkali-kali  di  kamar  mandi.
Bercak darah keluar bersama dahak. Tubuhnya melemah. Gemetar memanggil Mamak itulah
gejala  pertama  sakitnya  Kak  Laisa  yang  paling  terlihat.  Mamak  hendak  memanggil
Dalimunte. 
"Tidak,  Mak....  Jangan  beritahu  mereka.  Jangan.  Ini  akan  mengganggu  kebahagiaan  Ikanuri
dan Wibisana.... Bagaimana mungkin mereka harus melihat aku sakit di hari sepenting ini—"
Kak Laisa tersenggal menarik nafas.
Mamak  menatap  sulungnya  lamat-lamat.  Menggenggam  tangan  Laisa  erat-erat.  Mata
Mamak  yang  keriput  berdenting  air  mata.  Ia  tahu  persis.  Sejak  sulungnya  masih  belasan
www.rajaebookgratis.com
tahun.  Sejak  sulungnya  bersumpah  untuk  selalu  terlihat  baik-baik  saja  di  hadapan  adik-adiknya,  maka  Laisa  bersungguh-sungguh  dengan  sumpahnya.  Mamak  tertunduk,  menyeka
bercak darah di baju Laisa. Urung memanggil Dalimunte.
"Tapi kau harus segera ke dokter, Lais—"
"Tidak  usah,  Mak.  Tidak  sekarang....  Mereka  akan  bertanya-tanya  kalau  aku  tidak  ada  di
rumah...." 
Laisa menggeleng. Dan bukankah ia selalu ada ketika adik-adiknya perlu selama ini?
"Kau  harus  ke  dokter,  Lais....  Lihatlah  darah  ini...."  Mamak  menelan  ludah,  menatap  getir
bercak darah di baju Laisa.
Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam berangkat ke kota kabupaten. Diantar sopir
pengalengan  strawberry.  Ke  rumah  sakit.  Sempat  pingsan  di  ruang  ICU,  karena  ia  terlalu
lemah.  Membuat  sopir  pabrik  pengalengan  yang  mengantar  bingung  tujuh  keliling,  gugup,
gemetar  hendak  menelepon  Dalimunte,  tapi  pesan  Laisa  di  mobil  sebelum  mereka  turun
membuat dia takut melakukannya. Dua jam dirawat di ruang Gawat darurat, dengan semangat
sembuh  yang  sungguh  mengagumkan,  memaksa  seluruh  bagian  tubuhnya  menurut,  Laisa
mulai membaik,
"Aku  harus  pulang,  Dok.  Tidak  ada  pilihan  lain.  Besok  Ikanuri  dan  Wibisana  menikah,
bagaimana  mungkin  aku  tidak  di  sana?"  Laisa  menggeleng  tegas  saat  Dokter  memaksanya
untuk  dirawat  inap.  Laisa  benar-benar  memaksa  tubuhnya  menurut.  Ia  pulang  sore  itu  juga.
Dengan  muka  masih  pucat.  Dengan  tubuh  masih  lemah.  Menggunakan    sisa-sisa  tenaganya.
Berseru lirih di senyapnya mobil membelah jalanan menuju perkebunan, 
"Ya Allah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu, hamba
mohon  kokohkanlah  kaki  Laisa  seperti  kaki  Bunda  Hajra  saat  berlarian  dari  Safa-  Marwa....
Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak  boleh 
melihat aku sakit..." 
Satu titik air mata mengalir di pipinya.
Itu juga doa Laisa ketika menerobos hujan badai saat Yashinta sakil, ke kampung atas, ketika
kakinya  bengkak  menghantam  tungul  kayu.  Ketika  sendi  mata  kakinya  bergeser.  Itu  juga
doanyna  di  Gunung  Kendeng.  Itulah  doa  yang  paling  disukai  Laisa.  Doa-doa  itu  mengukir
langit.
Energi  pengorbanan  itu  sungguh  luar  biasa  (untuk  tidak  mengharukan),  jika  kalian  bisa
melihatnya  seperti  nyala  api,  maka  mungkin  energi  itu  bisa  membuat  terang  benderang
seluruh  Lembah  Lahambay.  Malam  itu  Kak  Laisa  sudah  kembali  riang  bersama  yang  lain.
Duduk  di  beranda  depan,  membuat  kue  kecil-kecil  bersama  tetangga.  Intan  duduk  manis  di
pangkuannya. Satu kue untuk Intan, Satu kue masuk toples. Kak Laisa tertawa lebar.
Mengusir fakta kanker paru-paru stadium satu.
Ikanuri dan Wibisana menghabiskan masa bulan madu mereka di perkebunan strawberry.
Baru selepas itu kembali ke kota seberang pulau. Mengurus bengkel. Kak Laisa memberikan
modal tambahan untuk mulai membangun pabrik suku cadang mereka. Berpesan agar mereka
tidak terlalu sibuk dengan bengkelnya, hingga mengurangi perhatian ke istri masing-masing.
Dalimunte  kembali  ke  ibukota  lepas  satu  minggu  dari  acara  pernikahan.  Intan
menyeringai riang, melambaikan tangan ke Wawak dan Eyangnya, 
"Da-da-" Dan kemudian menangis kencang-kencang di mobil. Ia sih tidak mengerti kalau da-da  itu  maksudnya  lambaian  perpisahan.  Dikiranya  hanya  da-da  doang.  Memaksa  balik
kembali  ke  perkebunan  strawberry.  Tapi  Dalimunte  dan  Cie  Hui  hanya  tertawa.  Sejak  kecil
Intan  selalu paling semangat pulang ke  lembah.  Di  sana  ia  benar-benar  menikmati  memiliki
Wawak dan Eyang yang baik hati. Yang selalu membelanya, meski ia nakal minta ampun.
Yashinta  pulang  dua  hari  kemudian.  Ia  sudah  bekerja  di  lembaga  konservasi,  Bogor.
Mulai  melibatkan diri di  berbagai riset, program  perlindungan, dan  sebagainya tentang alam
sekitar. Ia juga sudah  menjadi koresponden  foto majalah National Geographic. Sudah punya
www.rajaebookgratis.com
berbagai  gagdet  canggih,  termasuk  telepon  genggam  satelit  dan  kamera  dengan  lensa  super
zoom-nya..
Hari-hari itu, usia Kak Laisa sudah 43, Dalimunte 37, Ikanuri menjelang 35, Wibisana 34,
dan  Yashinta  31  tahun.  Sebenarnya  kekhawatiran  Ikanuri  dan  Wibisana  soal  melintas
berlebihan. Tidak ada lagi tetangga yang sibuk bertanya kapan Kak Laisa akan menikah saat
pernikahan kembar itu berlangsung. Mereka sudah terbiasa. Juga tidak ada lagi yang menilai
Kak  Laisa dilintas untuk kedua dan ketiga kalinya sekaligus  merupakan aib  besar. Tetangga
kampung  sudah  menerima  kenyataan  itu.  Tidak  sibuk  bisik-bisik.  Jadi  meski  tak  ada  Wak
Burhan yang mengingatkan, pernikahan kembar itu berjalan normal.
Setelah  yang  lain  kembali  sibuk  dengan  aktivitas  masing-masing,  rumah  panggung  itu
kembali sepi (dalam artian yang berbeda). Menyisakan Kak Laisa dan Mamak. Entahlah apa
yang  sesungguhnya  berkecamuk  di  kepala  Kak  Laisa  di  tengali  sepinya  malam.  Di  tengah
senyapnya  lereng  perkebunan  strawberry.  Tidak  ada  yang  tahu.  Dengan  berita  kanker  paru-paru  stadium  satu  yang  ia  tutup rapat-rapat  kecuali  dengan  Mamak,  maka  benar-benar  tidak
ada  yang  tahu  apa  yang  selalu  Laisa  pikirkan  saat  menatap  tangit  penghujung  malam.
Menatap  bulan  dan  gemintang  di  Lembah  Lahambay.  Apakah  memang  sesederhana  yang
selalu ia sampaikan kepada Dalimunte: Ia sudah terbiasa dengan kesendiriannya.
Dalimunte  tetap  berusaha  mencarikan  jodoh  buat  Kak  Laisa.  Tapi  tiga  tahun  terakhir
intensitasnya  tidak  setinggi  sebelumnya.  Kak  Laisa  belakangan  sepertinya  tidak  lagi  terlalu
bersemangat  menanggapi  pembicaraan  tersebut.  Hanya  tersenyum.  Tidak  berkomentar.  Dan
celakanya, meski dengan konteks berbeda, lagi-lagi kejadian menyakitkan itu terulang.
Perjodohan yang gagal lagi.
Setahun  selepas  pernikahan  Ikanuri  dan  Wibisana,  Kak  Laisa  didekati  seseorang.
Seseorang  yang  terlihat  begitu  baik,  warga  baru  lembah,  mengaku  pensiunan  dini  tentara,
pindah  untuk  mencari  ketenangan  di  lembah.  Tinggal  di  kampung  mereka,  lantas  setelah
enam bulan berinteraksi dengan penduduk lembah, bilang merasa tertarik dengan Kak Laisa.
Usianya  sudah  55  tahun,  berbeda  sebelas  tahun  dengan  Kak  Laisa,  penuh  perhatian,  seolah-olah bisa menerima keterbatasan Kak Laisa apa adanya.
Dalimunte  awalnya  sudah  tidak  suka  dengan  orang  itu.  Apalagi  Mamak  (yang
mengingatkannya  pada  masa  lalu).  Juga  yang  lain.  Yashinta  malah  terus  terang  kasar
menyatakan  keberatannya  di  depan  orang  tersebut.  Semua  terlihat  terlalu  sempurna.  Terlalu
banyak kebetulan. Dan terlalu lainnya. Tapi mereka tidak bisa mencegah proses itu. Apalagi
meski  Kak Laisa tidak terlalu  bersemangat  menanggapinya, proses  itu terus mengalir seperti
air.  Semakin  hari  semakin  dekat.  Mulai  mengajak  bicara  Mamak.  Dan  pelan  tapi  pasti
rencana pernikahan itu mulai serius.
Beruntung. Kedok orang tersebut terbuka sebelum semuanya terlanjur kadung. Polisi dari
kota  provinsi  menangkapnya.  Dia  penipu.  Buronan.  Sudah  dua  kali  menipu  di  tempat  lain.
Menikah  hanya  untuk  menguras  harta  istrinya.  Pura-pura  tertarik  dengan  Kak  Laisa  hanya
untuk menguasai perkebunan strawberry.
Entahlah  apa  ending  seperti  ini  kabar  baik  atau  kabar  buruk  bagi  Kak  Laisa.  Yang  pasti
sejak  kejadian  tersebut,  Kak  Laisa  mulai  enggan  menanggapi  pembicaraan  perjodohan
dengan  Dalimunte.  Ia  seperti  sudah  mengubur  dalam-dalam  keinginan  untuk  menikah.
Melupakannya.  Kak  Laisa  seolah  sudah  bersiap  menerima  kalau  ia  memang  ditakdirkan
hidup sendirian selamanya.
Mungkin saja Kak Laisa sudah benar-benar terbiasa.
 
37
KAU ADIK TERSAYANG
"ABI,  Tante  Yash  ikut  pulang,  kan?"  Intan  yang  duduk  di  ranjang  besar  menoleh,  bertanya
pada Dalimunte.
www.rajaebookgratis.com
Dalimunte  yang  sedang  berbicara  dengan  dokter  tentang  kondisi  terakhir  Kak  Laisa
mengangguk seadanya.
"Sudah  sampai  di  mana,  sih?  Kok  nggak  ada  kabar-kabarnya  seperti  Oom  Ikanuri  dan  Oom
Wibisana?" Intan bertanya lagi. Lebih serius, ingin  tahu.
Dalimunte  kali  ini  benar-benar  menoleh  ke  putrinya.  Terdiam.  Sudah  sampai  di  mana?
Menelan ludah. Malam tiba untuk ke sekian kalinya di lembah itu. Hujan gerimis turun sejak
maghrib.  Mereka  sudah  shalat  berjamaah  (kecuali  Juwita  dan  Delima  yang  memaksa  ikut
shalat  gaya  duduk  Wawak  Laisa).  Sudah  makan  malam,  meski  makannya  di  kamar  Wak
Laisa. Menghampar sembarang di lantai. Yang penting tetap bersama.
Kondisi  Wak  Laisa  tidak  memburuk,  juga  tidak  membaik.  Ia  sepanjang  pagi  bisa  duduk
bersandarkan  bantal, tapi setelah siang, karena  lelah, kembali tiduran. Batuknya  masih. Juga
bercak darah yang ikut keluar. Intan telaten membersihkan dengan tissue. Juwita dan Delima
sih dari tadi  ingin  ikut-ikutan, tapi  Kak Intan  melotot. Menyuruh  mereka  menyingkir. Siang
itu  Bang  Jogar  menghentikan  membaca  yasin  di  surau  dan  beranda  rumah.  Mereka  masih
berkumpul  di  bawah  panggung,  tapi  satu  dua  menjelang  malam  kembali  ke  rumah  masing-masing. Semoga Laisa terus membaik.... Begitu masing-masing berdoa dalam hati.
"Yeee, Abi kok malah melamun?" Intan berseru, nyengir.
Dalimunte mengusap wajahnya. Menelan ludah sekali lagi.
"Tante Yash masih di jalan, sayang —" 
Kak  Laisa  yang  justru  menjawab.  Suaranya  sedikit  serak.  Matanya  yang  tadi  terpejam,
perlahan terbuka. 
Tersengal. Menatap Intan lamat-lamat.
Dalimunte  yang  masih  berdiri di depan dokter terdiam.  Apa  yang  hendak dikatakan  Kak
Laisa? Apa maksud kalimat Kak Laisa baru saja. Dia tahu persis, Kak Laisa sengaja menahan
diri sejak kemarin untuk bertanya di  mana Yashinta sekarang. Setelah  lebih sehari semalam,
tanpa kabar pasti di mana posisinya, orang yang paling ingin tahu di mana Yashinta sekarang
jelas adalah Kak Laisa.
"Emangnya Wak Laisa tahu? Kan Wawak sejak tadi tidur;'" 
Intan menyeringai. Beringsut mendekat.
Laisa berusaha mengangguk.
Tersenyum. 
Tentu  saja  ia  tahu.  Kedekatan  adik-kakak  itu  sungguh  menembus  batas-batas  akal  sehat.
Tentu  saja  Laisa  tahu....  Itulah  kenapa  dia  tidak  bertanya  ke  Dalimunte  di  mana  Yashinta,
adik terkecilnya, berada sekarang.
Karena Laisa tahu persis di mana Yashinta saat ini.
Bagaimana tidak?  Lima  belas  jam ]alu, tepatnya saat ia  shalat shubuh  sambil duduk tadi
pagi, ia baru saja membangunkan adiknya. Membelai lembut dahi Yashinta yang cemerlang.
"Ia bukan kakak kita!" Ikanuri berbisik kasar. Mukanya terlihat sekali sebal, 
"Kenapa ia harus sibuk melarang-larang. Bah!"
Wibisana yang berdiri di sebelahnya hanya diam. Tidak cakap apapun. Hanya tertunduk.
Malam  itu  Ikanuri  dan  Wibisana  dihukum  tidur  di  bale  bambu  bawah  rumah  panggung.
Malam  beberapa  bulan  setelah  kejadian  di  Gunung  Kendeng  itu.  Dua  sigung  nakal  itu  lagi-lagi  bolos  sekolah,  padahal  Mamak,  Kak  Laisa,  dan  Dalimunte  sibuk  mengurus  kebun
strawberry.  Tidak  hanya  sibuk,  tapi  cemas  apakah  kali  ini  mereka  akan  berhasil  atau  gagal
total. Dua sigung bebal itu malah asyik bermain ke kota kecamatan.
"Kenapa  sih  ia  harus  sibuk  lapor  Mamak....  Sok  ngatur.  Lihat,  dua  tiga  tahun  lagi,  pastilah
kita lebih tinggi dibanding tubuh pendeknya...." 
Ikanuri  bergelung, terus ngomel. Gerimis  membasuh  lembah. Deru angin  lembah  membawa
rinai air. Membasahi tubuh mereka yang sejak tadi sore berusaha tidur.
"Pendek! Hitam! Jelek!" Puas sekali Ikanuri mendesis.
www.rajaebookgratis.com
Desisan yang membuat langkah Yashinta terhenti.
Yashinta  saat  itu  sembunyi-sembunyi  hendak  mengantarkan  selimut  buat  kakaknya,  biar
tidak  kedinginan  di  luar.  Desisan  yang  membuat Yashinta  membeku.  Saat  itu  usia  Yashinta
delapan tahun, sudah bisa mengerti banyak hal. Malam itu Yashinta akhirtiya tahu satu fakta
yang  akan  ia  simpan  seumur  hidupnya.  Gemetar  Yashinta  kembali  menaiki  anak  tangga,  ke
atas.  Urung  memberikan  selimut.  Nafasnya  tersengal.  Kak  Ikanuri  jahat.  Jahat  sekali.
Menghina  Kak  Laisa  seperti  itu.  Ingin  rasanya  Yashinta  berteriak.  Menimpuk  Kak  Ikanuri
dengan  bongkahan  tanah.  Tapi  ada  hal  lain  yang  membuatnya  lebih  sesak:  Ia  bukan  kakak
kita. Ia pendek. Hitam. jelek. Yashinta berlari masuk ke dalam kamar.
Malam  itu  ingin  sekali  Yashinta  langsung  bertanya  pada  Mamak,  bertanya  pada  Kak
Dalimunte,  apa  maksud  kata-kata  Kak  Ikanuri  barusan.  Apa  benar  Kak  Laisa  bukan  kakak
mereka. Tapi mulutnya bungkam. Yashinta tidak pernah kuasa bertanya. Malam itu saat yang
lain  sudah  jatuh  tertidur  (termasuk  dua  sigung  nakal  di  bawah  rumah),  Yashinta  masih
terjaga. Ia merangkak mendekati Kak Laisa.
Lembut  jemari Yashinta  mengusap  wajah  Kak Laisa. Rambut gimbalnya.  Wajah dengan
kulit  hitam.  Hidung  pesek.  Mulut  Kak  Laisa  yang  sedikit  terbuka,  memperlihatkan  gigi-gigi
besar,  tidak  proporsional.  Yashinta  menelan  ludah,  Membandingkan  wajah  itu  dengan
wajahnya  melalui  cermin  peraut  pensil.  Kak  Laisa  sungguh  berbeda....  Tapi  bagaimann
mungkin Kak Laisa bukan kakaknya?
Dan  Yashinta  entah  oleh  kekuatan  apa,  tidak  pernah  kuasa  menanyakan  soal  itu  kepada
yang  lain.  Tidak  pada  Mamak.  Tidak  pada  Kak  Dalimunte.  Tidak  pada  dua  kakaknya  yang
nakal  itu.  Pernah  ia  hampir  terlepaskan  bertanya  pada  Wak  Burhan,  tapi  segera  menutup
mulutnya.  Bagaimanalah  kalau  itu  semua  benar?  Bagaimanalah  kalau  Kak  Laisa  memang
bukan  kakaknya?  Yashinta,  sejak  sekecil  itu  sudah  amat  menghargai  Kak  Laisa.
Ketakutannya  atas  kemungkinan  jawaban  tersebut,  membuatnya  bungkam  selama  puluhan
tahun.Bahkan memutuskan untuk tidak akan pernah bertanya.Tidak akan ada bedanya.
Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya.
"Tapi  Tante  Yash  sekarang  sudah  di  mana,  Wak?  Kok  nggak  nyampe-nyampe,  sih?"  Intan
bertanya ingin rahu.
Yang ditanya tidak menjawab. Mata Wak Laisa sudah kembali terpejam. 
Tertidur.
Di manakah Yashinta?
 
Seekor peregrin melenguh.
Melintas  kabut  yang  menutupi  lereng  terjal  Semeru.  Kepakan  sayapnya  terlihat  elok.
Bagai  pesawat  tempur  F-16.  Menderu  membelah  senyap.  Menerabas  pucuk-pucuk  pohon.
Lantas  bagai  ballerina  sejati,  berhenti  tepat  sebelum  menghantam  salah  satu  dahan,  anggun
mendarat. Perfecto, Peregrin  itu  melenguh  lagi.  Kemudian  loncat menuruni dahan kayu  satu
demi  satu.  Hingga  tiba  di  semak-semak.  Satu  meter  dari  tanah  basah  lereng  Semeru.
Kepalanya  bergoyang-goyaitg.  Ekornya  bergerak-gerak.  Suaranya  mendesis,  tapi  sekarang
terdengar  seperti  cicitan  iba,  menatap  ke  bawah.  Menatap  ke  tubuh  yang  terbanting,  tidak
sadarkan diri di atas belukar. Tubuh yang tidak sadarkan diri selama dua puluh jam terakhir.
Di sekitar tubuh itu, dua ekor bajing juga ikut mendekat. 
Kepala mereka naik turun. Mendesis. Berlari kesana-kemari.
Berhenti. Berlari lagi kesana-kemari. 
Berhenti.  Ikut  menatap  tubuh  yang  tergolek  lemah  itu.  Dan,  ya  Allah,  siapa  bilang  tidak
ada lagi harimau jawa di Gunung Semeru? Penelitian itu, yang menyimpulkan spesies langka
itu  sudah punah di rimba Semeru seperti  sebuah  kesia-siaan  besar. Lihatlah, seekor harimau
jawa,  yang  lebih  besar dibandingkan penguasa Gunung  Kendeng, berjalan  memutari  belukar
itu. Berhenti sejenak. Mendengkur. 
www.rajaebookgratis.com
RRR. 
Tapi  itu  bukan  dengkuran  bahaya.  Itu  dengkuran  penuh  rasa  iba.  Seperti  induk  melihat
anaknya  terluka.  Menatap  tubuh  yang  tergolek  lemah.  Lantas  berpulang  lagi.  Seperti  seekor
penjaga.  Begitu  saja  yang  dilakukan  harimau  besar  itu  dua  puluh  jam  terakhir.  Ya  Allah,
hanya  Wak Burhan  yang pernah tahu sejatinya apakah penduduk  Lembah Lahambay pernah
memiliki kemampuan mengendalikan binatang liar. Ilmu Pesirah itu.
Tubuh  itu  adalah  Yashinta.  Gadis  manis,  34  tahun.  Yang  dua  puluh  jam  lalu  bergegas
menuruni lereng terjal Semeru demi mendengar kabar Kak Laisa sakit keras.
Nahas,  setetah  rekor  mendaki  27  gunung  di  seluruh  dunia  dengan  seluruh  stamina  fisik
yang luar biasa, dua puluh jam lalu, kakinya terperosok ke batuan ringkih. Batu itu merekah.
Yashinta  kehilangan  keseimbangan.  Lantas  tubuhnya  mental.  Bagai  burung  tanpa  sayap,
menghujam  masuk  ke  dalam  lembah  menganga.  Sekali.  Dua  kali.  Berkali-kali  tubuhnya
menghantam dahan-dahan kayu. Terus jatuh berdebam Semakin dalam. Sangkut-menyangkut
di ranting pohon, Jatuh lagi. Sangkut di semak belukar. Jatuh lagi. Terjepit. Lantas meluncur
ke dasar lembah. Menghantam rerumputan dangkal.
Seketika tak sadarkan diri.
Telepon genggam satelit  itu sudah sejak  lima  belas detik  lalu  jatuh  menghajar  bebatuan.
Pecah  berhamburan.  Dan  gadis  cantik  itu  tergolek  tak  berdaya  di  atas  rumput.  Sempurna
terputus dari hingar-bingar dunia. Tidak ada yang tahu. Dua rekan penelitinya tertinggal dua
ratus meter di  belakang. Tidak  melihat saat Yashinta  jatuh. Dua rekan penelitinya terus saja
turun  sambil  mengomel  soal  betapa  cepatnya  kaki  Yashinta.  Lupa  memperhatikan  dahan
kayu  yang  patah.  Lupa  memperhatikan  jejak  kaki  Yashinta  sudah  tidak  ada  lagi  di  jalan
setapak.
Yashinta  dengan  muka  luka,  kaki  patah,  tergolek  tak  berdaya.  Dua  puluh  jam  lamanya,
hingga  keajaiban  itu  terjadi.  Hingga  kecintaan  pada  saudara  karena  Allah,  rasa  berserah  diri
yang  tinggi  kepada  kuasa  langit,  ritual  ibadah  yang  penuh  pemaknaan,  kebaikan  dengan
sesama, proses bersyukur yang indah, mampu membuat manusia menembus batas-batas akal
sehat itu.
Ya! Kak Laisa-lah yang membangunkan Yashinta dari pingsannya.
Yashinta kecil berangsur-angsur sembuh.
Pertolongan  mahasiwa kedokteran  yang sedang  KKN  itu tepat waktu. Panasnya  mereda.
Batuknya  berkurang.  Muka  pucatnya  kembali  memerah.  Satu  minggu  kemudian  gadis  kecil
itu malah sudah bisa kembali sekolah. Tetapi Kak Laisa belum. Mata kakinya yang bergeser
setelah  menghajar  tunggul  kayu  di  lereng  lembah,  membuatnya  tersiksa  hampir  sebulan.
Diurut  berkali-kali  oleh  Wak  Burhan.  Benar-benar  ngeri  melihat  Kak  Laisa  diurut.
Bagaimanalah?  Persendian  itu  dipaksa  kembali  ke  tempat  semula.  Kak  Laisa  menggigit
gumpalan baju. Matanya berair. Tubuhnya mengejang. Tapi ia tidak berteriak.
Dua  sigung  kecil  itu  saja  yang  selama  ini  tidak  peduli  dengan  Kak  Laisa  ikut  jerih
melihatnya. Dalimunte hanya diam. Yashinta menangis. Ia tahu kalau kaki Kak Laisa begitu
karena  memaksakan  diri  malam-malam  menjemput  mahasiswa  KKN  di  kampung  atas.  Tapi
Kak  Laisa  tidak  mau  membicarakan  kejadian  malam-malam  di  tengah  hujan  Itu  ia  sudah
kembali  sibuk.  Meski  kakinya  belum  sembuh  benar,  Kak  Laisa  tetap  memaksakan  diri
bekerja  di  kebun.  Makanya  butuh  waktu  sebulan  untuk  sembuh  total,  karena  lagi-lagi
persendian itu bergeser.
Pagi datang menjelang di Lembah Lahambay.
Burung  berkicau  bagai  orkestra.  Kabut  putih  mengambang.  Ditembus  sinar  matahari.
Berlarik-larik seperti lukisan, elok melihatnya. Uwa di kejauhan sibuk berteriak. Meningkahi
desis jangkrik dan ribuan serangga lainnya.
"Kau benar kuat mengangkat segitu, Yash?"
"He-eh." 
www.rajaebookgratis.com
Yashinta  mengangguk,  merengkuh  dua  belas  batang  umbut  rotan  (ujung  rotan  yang  masih
muda).  Di  potong  potong  sepanjang  enam  jengkal.  Bisa  disayur.  Bisa  juga  dijual  ke  kota
kecamatan. Harganya lumayan mahal.
Kak  Laisa  pagi  ini  mengajak  Yashinta  mencari  umbut  rotan  di  pinggir  hutan.  Sekalian
melihat lima anak berang-berang itu lagi.
Sebenarnya Yashinta tidak terlalu yakin apa ia cukup kuat mengangkat dua belas potong
umbut rotan itu. Kak Laisa kakinya kan masih sakit, masih dibebat kain, jadi ia memutuskan
mengangkut segitu. Biar beban Kak Laisa banyak.
Terhuyung. Tubuh kedl Yashinta terhuyung. 
"Kau benaran kuat, Yash?"
"He-eh." 
Yashinta  mengangguk  lagi.  Berpegangan  kokoh  ke  ranting  semak  belukar.  Menggigit  bibir.
Lantas  mulai  melangkah.  Sebentar  lagi  ia  juga  terbiasa  kok  dengan  berat  ini.  Awalnya
bergetar,  tapi  perlahan  kakinya  mulai  mantap  menyusuri  jalan  setapak.  Tuh  kan,  Yashinta
kuat kok. Nyengir. Kak Laisa yang berjalan di belakangnya tersenyum.
Suara burung semakin ramai  menjemput pagi. Saling sahut. Dua ekor bajing  berlarian di
dahan-dahan  tinggi.  Kecipak  suara  air  mengalir  di  sungai  kecil  terdengar  menyenangkan,
Yashinta mulai ikut bersenandung. Tadi seru sekali melihat kembali berang-berangnya.
"Kau minggu depan mau ikut Kakak lagi ambil umbut rotan?"
"He-eh." 
Yashinta langsung menjawab. Tertawa. Kak Laisa ikut tertawa.
Mereka  tiba  di  anak  sungai  yang  lebih  lebar.  Harus  meniti  jembatan  kayu  kecil  untuk
menyeberanginya.  Yashinta  kembali  bersenandung.  Semakin  lama,  dua  belas  potong  umbut
rotan di pundaknya semakin terasa ringan.
Sayang,  seekor  kodok  yang  sedang  mematung  di  jembatan  kayu  itu  tiba-tiba  loncat.
Yashinta  berseru  kaget.  Kodok  itu  cueknya  justru  loncat  ke  perut  Yashinta.  Gadis  kecil  itu
reflek  menghindar.  Celaka!  Kakinya  kehilangan  keseimbangan.  Berdebum.  Tubuhnya  yang
melintir terjatuh dari atas jembatan.
"YASH!" Kak Laisa berseru tertahan.
Tinggi  jembatan  itu  hanya  satu  meter.  Masalahnya  air  sungai  di  bawah  dangkal,  hanya
sejengkal. Dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah tubuh kecil itu terhujam. Dua belas potong
umbut rotan itu berhamburan. Dan dalam gerakan lambat yang mengerikan, kepala Yashinta
menghantam bebatuan.
"YASH! YA ALLAH!" Kak Laisa pias sudah.
Tersadarkan dari pemandangan itu. Melempar bawaan di pundaknya. 
Gemetar menuruni jembatan. Gemetar meraih tubuh adiknya yang basah.
"YASH.... YASH!"
Tubuh  adiknya,  ya  Allah,  pelipis  adiknya  berdarah.  Luka.  Cairan  merah  itu  menggenangi
sungai.  Membuat  garis  panjang.  Kak  Laisa  pias.  Sungguh  pias.  Tangannya  patah-patah
merengkuh  Yashinta.  Menggendong  ke  tepi  sungai  Tidak  peduli  persendian  mata  kakinya
bergeser  lagi.  Tidak  peduli  rasanya  amat  sakit.  Kak  Laisa  benar-benar  takut.  Lihatlah.
Adiknya seketika pingsan.
"Yash.... Yash, bangun—" 
Gemetar  Kak  Laisa  memeriksa  seluruh  tubuh  Yashinta.  Tidak  ada  yang  luka,  hanya  pelipis.
Tapi lukanya besar. Robek. 
Melepas  bebat  kain  di  kepala.  Mengelap  darah.  Percuma.  Darah  kembali  mengucur  deras.
Aduh, Kak Laisa semakin gugup.
"Yash.... Kakak mohon, bangunlah..."  Kak Laisa menangis.
Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram jantungnya. Ia sungguh lebih takut 
dibandingkan  saat  kejadian  di  Gunung  Kendeng    lalu.    Ini    semua    salahnya.  Tidak
www.rajaebookgratis.com
seharusnya  mengajak  Yashinta  yang  baru  sembuh  dari  sakit  ikut  mencari  umbut  rotan
sekalian  melihat  anak  berang-berang.  Tidak  seharusnya  ia  membiarkan    Yashinta 
menggendong lebih banyak potongan umbut rotan.
Tubuh Yashinta mulai dingin.
"Yash...."  Kak  Laisa  panik  menciumi  pipi  adiknya.  Suaranya  mencicit.  Ya  Allah,
bagaimanalah  ini?  Apa  yang  harus  ia  lakukan?  Menggendong  Yashinta  pulang?  Ya  Allah,
kenapa  jemari  adiknya  semakin  dingin.  Apa  yang  akan  ia  bilang  ke  Mamak?  Lais  jaga
adikmu.  Mamak  selalu  berpesan  begitu,  bahkan  meski  untuk  urusan  sepele  saat  mengajak
Yashinta mandi di sungai cadas.
Tubuh Laisa ciut oleh perasaan takut. Amat gentar. 
Darah semakin banyak keluar. Tubuh itu semakin dingin.
"Yash.... Ya Allah..."Kak Laisa tersungkur sudah, suaranya mendecit penuh permohonan, 
"Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik Lais — " 
Kak Laisa kalap memeluk tubuh adiknya. Menciumi rambut basah adiknya.
"Lais  mohon,  ya  Allah...  Jika  Engkau  menginginkannya,  biarkan  Lais  saja,  biarkan  Lais
saja...." 
Kalimat itu begitu ihklas terucap. Oleh rasa sayang yang tak terhingga.
 
Harimau besar itu menghentikan putarannya.
Ekornya berkibas pelan. RRR. Menggerung pelan. Lantas terdiam.
Menatap  tubuh  Yashinta  yang  tergolek  di  atas  belukar.  Semburat  cahaya  matahari  pagi
yang menerobos dedaunan menyinari tubuh itu. Kabut mengambang. Tadi malam berjaganya
harimau  itu  membuat  seekor  beruang  gunung  mengurungkan  niat  mencabik-cabik  tubuh  tak
berdaya  Yashinta.  Harimau  itu  sekarang  mematung,  seperti  bisa  menatap  siluet  indah  yang
sedang mengungkung tubuh Yashinta.
Dua  bajing  yang  juga  mengawasi  tempat  itu  ikut  terdiam  Naik  turun,  celingak-celinguk
kepalanya terhenti, Menatap siluet indah yang sedang mendekat. Mengambang turun.
Burung peregrin itu melenguh lemah. Kemudian senyap.
Cahaya indah itu menguar di atas tubuh Yashinta.
Seperti parade yang turun membelah kabut. Kemilau tiada tara.
"Ya Allah, Lais mohon, jangan ambil adik Lais...." 
Siluet cahaya itu membungkuk, mencium kening Yashinta lembut
Senyap. Lereng Gunung Semeru hening.
"Bangunlah adikku, Kakak menunggu di rumah...."
Lantas sekejap kemudian sirna. 
Menghilang.
Tubuh  yang sudah dua puluh  jam pingsan  itu pelan  membuka  mata. Mengerjap-ngerjap.
Yashinta berseru terbata "Kak Lais...?"
 
38
MAAFKAN KAMI
TENGAH malam kedua di lembah sejak SMS dari Mamak.
Dalimunte masih terjaga. Juga Mamak dan yang lain. Kak Laisa jatuh tertidur, kondisinya
tetap status quo. Kata dokter, tidak membaik, juga tidak memburuk. Juwita dan Delima meski
tadi  ngotot  bilang  ingin  menunggu  Abi-Abi  mereka  (Ikanuri  dan  Wibisana)  tiba,  tapi  tubuh
kanak-kanak  mereka  terlanjur  lelah.  Digendong  Ummi  masing-masing  masuk  kamar  besar,
lantai dua. Intan yang terakhir digendong masuk kamar.
Telepon  genggam  Dalimunte  berdengking.  Buru-buru  diangkat,  siapa  pula  yang  tengah
malam  begini  menghubunginya.  Tidak  mungkin  Ikanuri  dan  Wibisana,  karena  mereka  lima
belas  menit  lalu  baru  saja  lapor  sudah  tiba  di  kota  kecamatan.  Sekarang  sedang  ngebut
www.rajaebookgratis.com
secepat  mobil  balap  itu bisa  melaju ke perkebunan strawberry. Berusaha  menepati  janji, tiba
sebelum tengah malam. Apakah Yashinta yang telepon?
Goughsky. Ternyata yang menelepon WNI keturunan Uzbekistan itu.
"Yashinta  sudah  ditemukan,  Kak  Dali—"  
Pelan saja Goughsky melapor. Langsung ke pokok pembicaraan. Tapi meski pelan, membuat
Dalimunte berseru tertahan.
"Kami  menyebar  belasan  orang  mencarinya.  Menyusuri  jalan  setapak,  memeriksa  lembah,
sia-sia... Saat kami mulai putus-asa, ia sendiri yang datang ke posko pendakian, dengan kaki
patah.  Ya  Allah,  andaikata  Kak  Dali  bisa  melihat  energi  sebesar  itu.  Yashinta  memaksa
kakinya berjalan delapan kilometer, dengan tubuh terluka, pelipis berdarah...."
Dalimunte  sudah  tidak  mendengarkan  detail  lagi.  Kabar  adiknya  ditemukan  selamat
membuatnya  lega  bukan  main. Sejak Ikanuri dan  Wibisana  mengontak Goughsky tiga puluh
enam  jam  lalu  dari  Paris,  kecemasan  atas  nasib  Yashinta  meninggi.  Apalagi  dua  rekan
Yashinta  justru  bingung  saat  tahu  Yashinta  belum  tiba  di  posko  awal  pendakian  Gunung
Semeru.  Tim  SAR  setempat  diturunkan,  Goughsky  yang  sama  hafalnya  dengan  Yashinta
jalur pendakian Semeru memimpin pencarian. Siang malam. Menyusuri semua kemungkinan.
Dua puluh empat jam berlalu, mereka akhirnya menemukan telepon genggam satelit Yashinta
yang remuk, tapi tidak ada tubuh Yashinta di atas belukar itu. Hanya seekor peregrin dan dua
ekor bajing yang sibuk memperhatikan.
Dan  lima  menit  yang  lalu,  betapa  terkejutnya  Tim  SAR  yang  berjaga  di  posko  awal
pendakian,  Yashinta  datang  sendiri  dengan  tubuh  luka,  tertatih  dengan  tongkat  seadanya  di
tangan. Langsung jatuh pingsan. Goughsky segera meluncur turun. Menghentikan pencarian.
Menelepon Dalimunte. Melaporkan kondisi terakhir.
"Yashinta  baik-baik  saja....  Hanya  lelah,  terlalu  lelah....  Ya  Allah,  saya  tidak  tahu  apa  yang
sebenarnya  terjadi....  Dia  bertahan  hidup  selama  tiga  puluh  enam  jam  tanpa  air  minum
sekalipun..."
Dalimunte  menelan  ludahnya.  Ketegangan  itu  mencair.  Mamak  menatapnya.  Ingin  tahu
apa  yang  membuat  wajah  Dalimunte  berubah  sedemikian  rupa.  Juga  Cie  Hui,  Wulan  dan
Jasmine.
"Aku  akan  segera  membawa  Yashinta  pulang  ke  perkebunan.  Sebentar  lagi  helikopter  milik
Mr  dan  Mrs  Yoko  tiba....  Langsung  setelah  mendapatkan  perawatan,  Yashinta  akan  segera
pulang,  Mr  dan  Mrs  Yoko  mengijinkan  helikopternya  dibawa  ke  Lembah  Lahambay—"
Goughsky herjanji. 
Menutup pembicaraan.
Dalimunte menghembuskan nafas lega.
"Ada apa?" Cie Hui bertanya, memegang lengan suaminya.
"Yashinta, Yashinta sudah ditemukan — " 
Dalimunte  berbisik  pelan.  Ditemukan?  Cie  Hui  melipat  dahi.  Tidak  mengerti.  Beruntung
Mamak  tidak  mendengarkan.  Kalau  tidak  akan  timbul  banyak  sekali  pertanyaan.  Karena
Dalimunte  selalu  bilang  Yashinta  masih  di  perjalanan.  Terlambat  saat  turun  dari  Gunung
Semeru. Hujan deras disana. Penerbangan juga banyak di cancel. Menutupi fakta kalau sudah
36 jam tdepon genggam satelit Yashinta putus kontak.
Beruntung  pula,  sebelum  Mamak  benar-benar  ingin  bertanya,  mendadak  terdengar  suara
derum mobil di luar. 
Pintu-pintu yang dibanting. Seruan Bang Jogar.
Langkah kaki yang berderak menaiki anak tangga kayu.
Dan  sekejap,  Ikanuri  dan  Wibisana  sudah  masuk  ke  dalam  ruangan.  Setengah  berlari.
Dengan wajah cemas
Ikanuri  bahkan  tidak  mempedulikan  Dalimunte  yang  berdiri  di  depan  kamar.  Melewati
Cie  Hui,  Jasmine,  Wulan,  bahkan  Mamak.  Ikanuri  langsung  menghambur  ke  ranjang  Kak
www.rajaebookgratis.com
Laisa. Matanya  berkaca-kaca. Sungguh  ia sesak  menahan kalimat  itu. Kalimat yang tertahan
seperempat  abad  lebih,  25  tahun.  Sungguh  sejak  di  kereta  ekspress  Eurostar  dia  takut  tak
sempat lagi mengatakannya.
Ikanuri  langsung  bersimpuh,  gemetar  menciumi  tangan  Kak  Laisa,  Wajahnya  buncah
sudah oleh rasa sesal. Dan dia seketika menangis—
"Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais.... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu
bilang Kak Laisa bukan kakak kami— ?" Dan Ikanuri tersungkur sudah. Tersedu.
    Padahal saat itu Kak Laisa masih tertidur.
 
39
BAYI YANG DITINGGAL PERGI  
TERUS-TERANG,  mengungkit  masa  lalu  Laisa  bukanlah  bagian  yang  menyenangkan.
Tetapi  tidak  adil  jika  kalian  tidak  tahu  ceritanya.  Apalagi  untuk  mengerti  utuh  semua  kisah
ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar janjiku
kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya.
Ikanuri benar. Kak Laisa bukan kakak mereka. Sedikitpun tidak memiliki hubungan darah
dengan keluarga mereka.
Mamak  Lainuri  sebenamya  menikah  dua  kali.  Pernikahan  pertama,  dengan  lelaki
pendatang di kampung atas. Saat umurnya baru enam belas tahun. Lelaki itu 24, duda dengan
seorang bayi berusia enam bulan. Si kecil Laisa.
Wak Burhan, satu-satunya kerabat Mamak (karena Mamak Lainuri yatim piatu sejak usia
sebelas  tahun),  amat  berkeberatan  dengan  pernikahan  itu.  Pernikahan  yang  keliru,  Mereka
tidak  mengenal  baik  pemuda  tersebut.  Tidak  mengenal  keluarganya.  Hanya  wajahnya  saja
yang  terlihat  tampan  menyenangkan.  Tapi  itu  180  derajat  kontras  dengan  kelakuannya.
Kecemasan Wak Burhan benar, duda dengan bayi mungil   itu memperlakukan Mamak sama
seperti  memperlakukan  istri  pertamanya.  Kasar.  Suka  memukul  Berteriak.  Dan  kerjanya
hanya  mabuk  di  kota  kecamatan  Berjudi  di  lapak-lapak  pasar.  Menurut  bisik-bisik  tetanga
konon  istri  pertamanya  dulu  meninggal  juga  karena  ulahnya.  Tapi  tidak  ada  yang  bisa
mencegah pernikahan tersebut. Dan tidak ada  juga  yang kuasa  memperbaiki keputusan  yang
terlanjur  dibuat.  Entahlah  mengapa  Mamak  amat  menyukai  pemuda  itu  (duda  dengan  bayi
enam bulan pula).
Mamak  sebenarnya  mewarisi  tanah  cukup  luas  dan  banyak  perabotan  dari  orang-tuanya
yang meninggal saat banjir bandang di sungai cadas lima meter. Tapi semuanya tergadai satu
persatu  oleh  tabiat  judi  suaminya.  Dan  yang  paling  menderita  atas  tabiat  buruk  tersebut
adalah  Laisa.  Bayi  berumur  enam  bulan  tersebut  pernah  jatuh  ke  dalam  baskom  air  saat
berumur  sembilan  bulan.  Terendam.  Mamak  yang  pulang  dari  kebun  amat  terkejut  melihat
Laisa  sudah  membiru.  Sedangkan  yang  bertugas  menjaga  justru  tertidur  dengan  mulut  bau
minuman keras di samping ranjang.
Maka  rusuhlah  kampung  mereka.  Amat  cemas  Mamak  melakukan  apa  saja  untuk
menyelamatkan  bayi  mungil  itu.  Seolah  bayi  itu  darah  dagingnya  sendiri.  Melakukan  apa
saja. Dan ajaib, Laisa terselamatkan. Meski bayi montok dan lucu itu harus membayar mahal
sekali. Karena sejak saat itu pertumbuhan Laisa mulai tidak normal. Saraf bicara, mendengar,
kemampuan  berpikir,  dan  sebagainya  memang  tumbuh  normal.  Tapi  badan  Laisa  tumbuh
lebih  pendek  dibanding  teman  seusianya.  Wajahnya  juga  terlihat  sedikil  tidak  proporsional.
Soal  rambut  gimbal  dan  kulit  hitam,  itu  mewarisi  ayahnya.  Ayah  yang  saat  Laisa  berumur
dua tahun justru tega pergi begitu saja dari lembah tersebut. Tidak ada yang tahu kemana. Dia
menghilang begitu saja setelah Mamak jatuh miskin, kehilangan tanah dan perabotan.
Menyedihkan sekali melihat bayi kecil itu ditinggal pergi. Membuat nestapa Mamak jadi
sempurna.  Sudah  kehilangan  suami.  Mesti  merawat  bayi  yang  bukan  darah  dagingnya  pula.
Tapi Mamak menyayangi bayi kecil itu seperti anaknya sendiri. Lagi pula keputusan menikah
www.rajaebookgratis.com
dulu  juga  keputusannya  sendiri.  Maka  dengan  kehidupan  yang  semakin  susah  di  lembah,
Mamak memutuskan bertahan hidup.
Tiga tahun hidup sesak, kabar baik itu tiba.Mamak menikah untuk kedua kalinya dengan
pemuda  kampung  atas.  Babak  mereka  sekarang.  Pemuda  yang  dulu  amat  patah  hati  melihat
Mamak  menikah  dengan  orang  lain.  Sekarang  mendapatkan  kembali  cinta  terpendamnya.
Babak  bisa  menerima  Mamak  apa  adanya.  Janda  miskin.  Juga  bisa  menerima  si  kecil  Laisa
dengan baik.
Meski  hidup  mereka  tidak  berubah,  tetap  susah,  tapi  kehidupan  berkeluarga  mereka
berjalan  normal,  bahkan  dalam  banyak  waktu  terlihat  cukup  bahagia.  Saat  Laisa  berumur
enam  tahun,  lahirlah  Dalimunte.  Dua  tahun  kemudian  Wibisana,  menyusul  Ikanuri  dengan
jarak  hanya  sebelas  bulan,  dan  terakhir  ditutup  dengan  lahirnya  si  bungsu  yang  manis;
Yashinta.  Anak-anak  yang  lucu.  Menggemaskan.  Sayang,  masa-masa  bahagia  itu  terputus
saat  Yashinta  masih  dalam  kandungan.  Ikanuri  dan  Wibisana  juga  masih  terlalu  kecil  untuk
mengerti.  Babak  mereka  diterkam  sang  penguasa  Gunung  Kendeng.  Maka  yatimlah  anak-anak tersebut.
Semua penduduk Lembah Lahambay tahu persis kisah ini. ini kalau Laisa bukanlah siapa-siapa di rumah panggung tersebut. Hanya bayi yang ditinggal pergi. Dalimunte yang beranjak
besar  tahu  fakta  tersebut  dari  bisik-bisik  tetangga.    Ikanuri  dan  Wibisana.  Bedanya,
Dalimunte  tidak  ambil  pusing.  Sedangkan  dua  sigung  nakal  tersebut  menjadikan  itu  alasan
untuk membantah, tidak menurut. Yashinta saja yang terlalu takut bertanya yang tidak pernah
tahu  detailnya.  Meski  saat  ia  mulai  sekolah  di  kota  provinsi,  Yashinta  jelas  bisa  mengambil
kesimpulan sendiri kalau Kak Laisa memang bukan kakak mereka. Mereka terlalu berbeda.
Mamak  tidak  pernah  mengungkit-ungkit  kisah  suram  tersebut.  Memutuskan  untuk  tidak
menceritakan  kejadian  jatuhnya  Laisa  ke  dalam  baskom  air.  Yang  membuatnya  tumbuh
cacat.  Mamak  tidak  pernah  menganggap  Laisa  orang  lain,  baginya  sulung  di  keluarga  itu
adalah  Laisa.  Juga  Babak  mereka  semasa  hidup.  Malam  sebelum  kejadian  Babak  diterkam
harimau.  Babak  sempat  mengusap  rambut  Laisa  yang  saat  itu  baru  berumur  sepuluh  tahun.
Tersenyum, 
"Lais,  kau  bantu  Mamakmu  menjaga  adik-adik  hingga  Babak  pulang  dari  mencari
kumbang—" 
Laisa kecil mengangguk mantap sekali.
Anggukan yang menjadi janji sejati. Karena Babak ternyata tidak pernah pulang-pulang. Janji
seorang kakak.
"Maafkan    Ikanuri....      Sungguh      maafkan    Ikanuri,  Kak  Lais...  Maafkan  Ikanuri  yang  dulu
selalu bilang Kak Lais bukan kakak kami — " 
Ikanuri masih tersungkur.
Kak  Laisa  membuka  matanya.  Mengerjap-ngerjap.  Tadi  ia  baru  saja  bermimpi  saling
berkejaran  dengan  adik-adiknya  di  hamparan  kebun  strawberry.  Ia  yang  berusia  enam  belas
tahun, Dalimunte dua belas, Wibisana hampir sembilan, Ikanuri delapan, dan Yashinta enam
tahun. Berlarian di sela-sela buah merah-ranum menggoda. Mamak yang berdiri meneriaki di
lereng  atas.  Langit  membiru.  Seekor  elang  melenguh  di  garis  cakrawala  Gunung  Kendeng.
Amat menyenangkan.
Kak  Laisa  membuka  matanya.  Kepalanya  sedikit  terangkat.  Perlahan  mengerti  apa  yang
sedang terjadi. Ikanuri dan Wibisana sudah tiba. Lihatlah, adiknya yang paling nakal, adiknya
yang  paling  keras  kepala,  sedang  tersungkur  menciumi  tangannya.  Menangis  penuh  rasa
sesal.
Kak  Laisa  terbatuk.  Bercak  darah  itu  mengalir.  Cie  Hui  buru-buru  mendekat,  meraih
tissue,  membersihkan.  Mamak  sudah  menangis  di  pelukan  Dalimunte.  Mamak  yang  jarang
sekali  menangis,  tersedu.  Tudung  kepalanya  lepas.  Rambut  putihnya  terlihat.  Bahunya  naik
www.rajaebookgratis.com
turun  menahan  rasa  sesak.  Dan  Wibisana  menambah  senyap  suasana.  Wibisana  ikut
bersimpuh di samping Ikanuri. Ikut menangis. 
"Sungguh, maafkan Wibisana...."
Dan kamar Kak Laisa sempurna sudah menyisakan desau sepotong kisah suram masa lalu
itu.  Bagi  Mamak,  melihat  semua  ini  seperti  mengembalikan  seluruh  kenangan  hidupnya.
Masa-masa keliru. Masa-masa yang seharusnya ia isi dengan penjelasan. Tidak seharusnya ia
menutupi kenyataan itu.
Bagi  Dalimunte,  melihat  adik-adiknya  bersimpuh  penuh  penyesalan,      mengembalikan
seluruh  kejadian  di  sungai  cadas  lima  meter.  Dia  yang  melihat  Kak  Laisa  bekerja  keras
terpanggang  matahari  di  kebun  jagung  demi  mereka.  Kak  Laisa  yang  berjanji  akan
membuatnya terus sekolah. Yang boleh malu dan sakit itu Kak Laisa, bukan adik-adiknya....
Bagaimana  mungkin  Kak  Laisa  bukan  kakak  mereka  dengan:  semua  itu?  Dalimunte  tahu
persis  kalau  adik-adiknya  suka  bilang  kalimat  menyakitkan  itu,  tapi  dia  tidak  pernah  kuasa
untuk  menegur.  Lagipula,  Ikanuri  dan  Wibisana  belum  mengerti.  Lihatlah,  bertahun-tahun
saat  sudah  sekolah  di  kota  provinsi,  saat  adik-adiknya  mengerti,  mereka  amat  menghargai
Kak Laisa. Lebih dari siapapun.
Bagi  Ikanuri  dan  Wibisana,  jelas-jelas  semua  ini  mengembalikan  kenangan  masa  kecil
mereka.  Perlakuan  buruk  mereka  kepada  Kak  Laisa.  Dan  perlakuan  sebaliknya  Kak  Laisa
kepada  mereka.  Janji  sejuta  kunang-kunang.  Janji  kesempatan  yang  lebih  besar  di  luar
lembah. Kak Laisa yang tidak pernah datang terlambat. Malam di lereng Gunung Kendeng....
Kamar itu menyisakan isak tertahan.
Tangan  Kak  Laisa  gemetar  mengangkat  kepala  adiknya.  Mata  itu  menatap  begitu  tulus.
Tersenyum, 
"Kakak selalu memaafkan kalian.... Kakak selalu memaafkan kalian.... Ya Allah, meski dunia
bersaksi untuk menyangkalnya, meski seluruh dunia bersumpah membantahnya, tapi mereka,
mereka selalu menjadi adik-adik yang baik bagi Laisa.... Adik-adik yang membanggakan...."
Kak Laisa ikut menangis. Terbatuk. Bercak darah itu mengalir.
Dan  kamar  itu  menyisakan  tangis  dua  sigung  nakal  yang  mengeras.  Semua  masa  lalu  itu,
tidak  akan  pernah  bisa  dipisahkan  dari  kehidupan  mereka,  tidak  peduli  seberapa  baik
kehidupan mereka sekarang.
 
40
PRIA UZBEK
"SEMUA  VIRUS,  bakteri,  dan  sumber  penyakit  jahat  lainnya  selalu  datang  dari  hewan  liar,
Miss Headstone — " 
Pria tinggi, kekar, dan tampan itu menyeringai. Mengangkat tangannya. 
"Kau tahu, virus  flu pertama kali  yang  menyerang dunia tahun 1918,  yang  menewaskan 100
juta  orang,  itu  jelas  mutasi  virus  flu  dari  hewan  liar....  Sebagai  ahli  biologi,  konservasi  dan
sebagainya aku pikir kau pernah diajarkan soal itu di bangku kuliah."
"Aku tahu itu—" Yashinta menukas, tersinggung 
"Juga  Ebola,  HIV/AIDS  yang  berasal  dari  kera  hutan  pedalaman  Afrika.  Dan  berarus-ratus
penyakit  mematikan  lainnya....  Kau  tahu,  tahun  1960  virus  flu  bermutasi  lagi,  mematikan
jutaan  orang  di  seluruh  dunia.  Aku  berani  bertaruh,  dengan  siklus  penyakit  flu  empat  puluh
tahunan  tersebut,  awal  abad  21  nanti,  mungkin  2008,  2010,  empat  puluh,  lima  puluh  tahun
dari 1960-an, juga akan terjadi mutasi flu dari hewan liar lainnya, dan itu kemungkinan besar
dari  unggas....    Membawa  virus  flu  yang  lebih  mematikan,  dan  bisa  jadi  mengulang  tragedi
tahun 1918, ratusan juta meninggal. Jadi bagaimana mungkin kau akan membuktikan bahwa
virus, bakteri, dan semua penyakit jahat itu tidak berasal dari hewan liar." 
Goughsky nama pemuda itu, terlihat begitu menikmati perdebatan tersebut.
www.rajaebookgratis.com
Mereka  sedang  berdiri  di  ramainya  gala  dinner  yang  diadakan  institusi  donor  (pemberi
dana) konservasi alam terbesar dunia. Di convention center salah satu hotel  mewah London.
Sejak bekerja menjadi peneliti lingkungan hidup, Yashinta sering terlibat dalam acara seperti
ini.  Mencari  pendanaan  untuk  proyek  konservasi  dan  penelitian  flora-fauna  langka  di
Indonesia. Termasuk minggu-minggu ini saat menghadiri pertemuan aktivis di London.
Awalnya  hanya  Yashinta  yang  berbicara  dengan  Mr  dan  Mrs  Yoko,  salah-satu  pendiri
institusi  donor  raksasa  itu,  membicarakan  tentang  konservasi  elang  jawa.  Entah  mengapa,
pemuda  sialan  ini,  tiba-tiba  ikut  mendekat,  ikut  berbicara.  Dan  entah  apa  pasalnya  mereka
sudah berdebat soal mutasi genetik virus penyakit mematikan dari hewan liar ke manusia.
"Aku tahu kalau semua penyakit itu dari hewan liar, tapi bukan berarti mereka penjahatnya!"
Yashinta  mendesis  sebal.  Siapa  pula  pemuda  ini  yang  mengganggu  rencananya.  Ia  sejak
kemarin  merencanakan  memberikan  proposal  konservasi  elang  jawa  itu  secara  personal  ke
Mr  dan  Mrs  Yoko.  Mencari  waktu  yang  tepat.  Dan  pemuda  sialan  ini  tiba-tiba  ikut  masuk
dalam pembicaraan.
"Well,  aku  kan  tidak  bilang  mereka  penjahatnya.  Hanya  bilang  fakta  kalau  semua  virus  itu
berawal  dari  hewan  liar..  Come  on,  kau  saja  yang  terlalu  mencintai  hewan-hewan  itu,  keras
kepala, tidak mau mendengarkan kalimat orang lain dengan baik—" 
Goughsky mengangkat bahunya. Tersenyum lebar ke arah Mr dan Mrs Yoko.
Dasar penjilat, pemuda ini pasti juga berkepentingan dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko,
mungkin untuk membiayai proyek sialan miliknya. Mencari perhatian di depan pasangan ini.
Yashinta mengatupkan rahang. Wajah cantiknya memerah.
"Goughsky benar, my darlingl" Mr Yoko tertawa kecil, menengahi, 
"Kau  memang  terlalu  mencintai  hewan-hewan  itu,  sehingga  selalu  otomatis  bilang  tidak
untuk fakta yang menjelek-jelekkan mereka. Kau tahu, terlalu mencintai terkadang membuat
kita berpikir tidak rasional, tidak fair, my dear-"
"Bukan itu maksudku," Yashinta menjawab cepat berusaha mengendalikan diri, 
"Aku  setuju  kalau  virus  dan  bakteri  itu  berasal  dari  mereka,  tapi  manusialah  yang
mengganggu  keseimbangan  alam,  mengintervensi  mekanisme  mutasi  virus  tersebut  dengan
polusi produk kimia, industri yang berlebihan, perubahan iklim, kerusakan hutan, kapitalisme
dan sebagainya.... Jadi jelas, bukan hewan-hewan liar itu penjahatnya!"
"Well,  bukankah  dari  tadi  di  sini  memang  tidak  ada  yang  bilang  hewan-hewan  itu
penjahatnya?" Goughsky nyengir lebar sekali.
Mrs Yoko yang sudah beruban tertawa, melambaikan tangan 
"Sudah! Sudah, Goughsky, Jangan diperpanjang  lagi.  Kau  jangan  membuat Yashinta  marah,
Goughsky.... Hush! Mari, Yash sayang, kita mengambil sesuatu untuk mengganjal perut. Biar
perdebatan menyebalkan seperti ini dilanjutkan para pria."
Yashinta  mendelik  ke  arah  pemuda  sialan  itu.  Berusaha  tetap  sopan  menggandeng  Mrs
Yoko. Melangkah menuju meja hidangan.
"Kau  mungkin  lupa  namanya,  pemuda  itu  Goughsky,  ayahnya  Uzbekistan,  ibunya  dari
negaramu, Indonesia.... Haha, dia memang terkadang menjengkelkan seperti itu...."
"Kalian? Kalian sudah mengenalnya?" Yashinta mengambilkan piring buat Mrs Yoko.
"Tentu  saja  my  sweetheart,  kemarin  kami  baru  saja  menyetujui  salah  satu  proyek
penelitiannya. Seratus ribu dollar. Penelitian yang hebat."
"Kalian?  Kalian  sudah  memutuskan?  Sudah  memberikan  dana  itu  ke  orang  lain?"  Yashinta
menelan ludah. Apa yang ia cemaskan tadi terbukti, kan? Pemuda sialan itu akan mengambil
dana penelitiannya.
"Kau tetap akan mendapatkan dana konservasimu, sayang. Kami tahun ini memutuskan untuk
mendanai dua proyek penelitian ekologi sekaligus. 
 
www.rajaebookgratis.com
Mendanai  peneliti  yang  penuh  semangat  seperti  kalian."  Mrs  Yoko  tertawa,  melambaikan
tangan.
Yashinta  ikut tertawa,  meski  tawanya  sedikit  kebas.  Lega.  Bercampur  sisa-sisa  perasaan
sebal. Dan entahlah. Bercampur jadi satu.
Itu  pertemuan  pertama  Yashinta  dengan  Goughsky.  Pertemuan  pertama  yang  jauh  dari
mengesankan.  Malah  bagi  Yashinta  amat  menyebalkan.  Yang  sialnya,  entah  mengapa
ternyata diikuti dengan pertemuan-pertemuan lebih menyebalkan berikutnya.
Bukankah  pernah  dibilang  sebelumnya,  Yashinta  tidak  terlalu  suka  bergaul  dengan
teman-teman lelakinya. Gadis cantik itu dalam kasus tertentu malah membenci kolega lelaki.
Benci  melihat  kelakuan  mereka  yang  sibuk  mencari  perhatian.  Apakah  mereka  akan  tetap
sibuk  mencari  perhatian  jika  wajah  dan  fisiknya  seperti  Kak  Laisa?  Bah!  Mereka  hipokrit
sejati.  Nah,  ditambah  tingkah  Goughsky  yang  suka  mentertawakan,  menyeringai  kepadanya
seperti  sedang  menghadapi  anak  kecil  yang  bandel  dan  keras  kepala,  kebencian  Yashinta
bertumpuk-tumpuk sudah.
Celakanya, Mr dan Mrs Yoko sengaja  memberikan dana konservasi  buat  mereka  berdua
karena  proyek  mereka  bersisian,  saling  melengkapi:  tentang  pemetaan  dan  konservasi  elang
jawa.  Maka  Yashinta  benar-benar  meledak  saat  tahu  hal  tersebut.  Yashinta  diberitahu  saat
sedang makan malam di rumah Mr dan Mrs Yoko. Tahu kalau Goughsky ikut diundang saja
sudah membuat Yashinta mengkal, apalagi saat Goughsky dengan ringannya bilang, 
"Miss  Headstone  ini  akan  jadi  sekretaris  proyek  yang  baik.  Ia  akan  selalu  melaporkan
kemajuan program kepadaku, Mr Yoko."
Yashinta tidak ingin bekerja satu tim dengan pemuda Uzbek sialan ini. Apalagi di bawah
supervisinya. Tapi di meja makan itu seperti tak ada yang memperhatikan raut merah padam
keberatan Yashinta. 
"Kalau  tidak  salah,  Goughsky  kakak  kelasmu  di  Belanda,  bukan?  Terpisah  tiga  tahun?  Jadi
aku  pikir  dia  lebih  pantas  menjadi  leader  proyek  ini,  sayang—"  Mrs  Yoko  mengangguk
setuju.
Memangnya kenapa? Yashinta  mendesis sebal dalam  hati. Memangnya kenapa kalau dia 
lebih  senior  dibandingkan  dirinya.  Ia  bisa  mengurus  proyek  risetnya  sendirian.  Tidak  perlu
digabungkan  dengan  pemuda  sok  pintar  dihadapannya!  Tapi  hingga  makan  malam  itu  usai,
Yashinta  masih  bisa  mengendalikan  diri.  Berusaha  terus tersenyum.  Mengangguk.  Menurut.
Meski  ia  kesal  sekali  melihat  gaya  Goughsky  didepannya.    Menyeringai,    seolah-olah
menganggap dirinya peneliti kemarin sore, yang harus belajar lebih banyak.
Maka setahun terasa bagai seabad bagi Yashinta. Proyek itu dimulai segera sekembalinya
mereka  dari  pertemuan  di  London.  Basecamp  konservasi  dibangun  di  Taman  Nasional
Gunung Gede. Berbagai peralatan didatangkan. Mereka didukung oleh sebelas peneliti lokal,
dari  berbagai  universitas  sekitar.  Juga  petugas  Taman  Nasional,  institusi  terkait,  dan
penduduk setempat.
Andaikata  proyek  ini  tidak  penting.  Andaikata  Mr  dan  Mrs  Yoko  bukan  orang  penting.
Andaikata....  Sudah  dari  dulu  Yashinta  ingin  menimpuk  pemuda  setengah  bule  setengah
melayu  itu  dengan  gumpalan  tanah  (sama  seperti  ia  menimpuk  anak-anak  nakal  dulu).
Mereka  selalu  bertengkar  di  basecamp  Selalu  berdebat.  Dan  karena  Yashinta  di  bawah
komando Goughsky, maka suka atau tidak suka, ia lebih banyak makan hati.
"Tahu  nggak  sih,  temanku  juga  begini  nih  dulu.  Bertengkar  mulu  tiap  hari,  eh  belakangan
malah jadi suami istri." Rekan peneliti lokal yang cewek seringkali menggoda Yashinta.
"Lu gila  ya, ganteng gini  setiap  hari  malah diajak ribut Yash. Harusnya disayang-sayang...."
Tertawa.
Itulah  masalahnya.  Yashinta  sejak  kecil  Sudah  keras  kepala.  Dan  penyakit  orang  keras
kepala  adalah  jika  sejak  awal  ia  tidak  suka,  maka  seterusnya  ia  akan  memaksa  diri  untuk
tidak  suka.  Tidak  rasional.  Seringkali  perdebatan  (pertengkaran)  mereka  sebenarnya  karena
www.rajaebookgratis.com
kesalahan  Yashinta.  Hal-hal  kecil.  Bahkan  dalam  banyak  kasus  Yashinta  sendiri  yang
mencari-cari masalah. Ingin menunjukkan ketidak sukaannya.
Jadi  tidak  aneh  jika  Yashinta  banyak  melupakan  detail  yang  lebih  besar.  Seperti  betapa
tampannya  Goughsky,  ergh,  maksudnya  bukan  itu.  Yashinta  bahkan  tidak  menyadari  kalau
Goughsky  berbeda  sekali  dengan  tipikal  teman  lelaki  yang  dikenalnya  selama  ini.  Tidak
sibuk  mencari  perhatian.  Bahkan  sedikit  marah  jika  rekan  peneliti  lokal  cewek  lainnya
bergenit-genit ria dengannya.
Goughsky  juga  tipikal  pemuda  yang  menyenangkan.  Dekat  dengan  penduduk  setempat
lokasi  basecamp,  suka  bergurau,  dan  yang  pasti  amat  sabar.  Kalau  saja  Yashinta  mau
menghitung  perdebatan  mereka,  hanya  Goughsky  yang  bisa  sabar  dengannya.  Yang  lain
sudah  mengkal  sejak  tadi.  Pemuda  Uzbek  itu  juga  alim.  Dia  yang  selalu  meneriaki  rekan
kerjanya untuk shalat. Terkadang  meneriaki Yashinta, yang dijawab teriakan pula. Membuat
Yashinta  mengomel  dalam  hati,  sejak  kecil  Yash  sudah  terbiasa  shalat  malam  bersama  Kak
Lais dan Mamak, tidak perlu diteriaki, mentang-mentang muslim Uzbek, sok alim.
Maka  jadilah  setiap  dua  bulan  sekali,  saat  jadwal  pulang  ke  lembah,  Yashinta  selalu
mengeluhkan siapa lagi kalau bukan Goughsky. Goughsky. Dan Goughsky. 
"Ia  bahkan  hingga  sekarang  tetap  memanggilku,  Miss  Headstone....  Miss  Headstone—"
Yashinta berseru sebal, menirukan intonasi suara Goughsky dengan jijik.
Kak  Laisa  yang  melihatnya  tertawa.  Juga  Cie  Hui,  Wulan,  dan  Jasmine  yang  duduk
melingkar di ruang depan rumah panggung.
"Dan  bule  sialan  itu  selalu  bilang,  'Memangnya  kau  tidak  diajarkan  itu  di  bangku  kuliah?
Memangnya  dosenmu  tidak  pernah  bilang  itu?  Memangnya....'  Bah!  Bukan  dia  saja  yang
lulus cumlaude di Belanda. Sok paling pintar!"
Intan  yang  sekarang  sudah  tiga  tahun  cuek  berlenggak-lenggok  di  depan  tantenya  yang
sedang  bete.  Memegang  kedua  pipi  tantenya,  Sengaja  menekan-nekannya.  Meniru  ulah
tantenya kalau  lagi gemas dan  mencubit pipi tembamnya. Yang  lain tertawa. Lihatlah, Intan
persis meniru kelakuan Yashinta. Berseru, 
"Iiihhh!" Sok mengerti apa itu gemas. Mencubit pipi tantenya.
"Hush,  kalian  jangan  banyak  tertawa,  nanti  bayinya  keluar  mendadak  seperti  Kak  Cie"
Ikanuri  yang  baru  bergabung  duduk  di  ruang  tengah  rumah  panggung  pura-pura  marah.
Menyuruh istrinya diam. Wulan dan Jasmine sedang hamil tua. Sama seperti Cie Hui, Wulan
dan Jasmine juga ingin anak-anak mereka di lahirkan di perkebunan. Menghirup udara segar
lembah untuk pertama kalinya. Merasakan sejuknya. Menginjak rerumputan yang berembun.
Tertawa lagi menatap wajah Ikanuri yang serius sekali saat mengatakan itu. Ruang tengah
itu  dipenuhi  banyak  energi  bahagia.  Jadi  siapa  pula  yang  peduli  dengan  suara  mengkal
Yashinta?  Toh  yang  lain  menganggap  keluhan  Yashinta  tidaklah  seserius  itu.  Bagaimana
akan serius? Yashinta meski wajahnya sebal, tapi setiap pulang selalu saja sibuk dan merasa
berkepentingan untuk menceritakan kelakuan Goughsky, Goughsky. Dan Goughsky.
Masa yang begitu dibilang benci?
 
41
MASA - MASA BERBAIKAN
"BAGAIMANA  kabar  bayi-bayinya?"  Goughsky  bertanya,  suaranya  pelan.  Sengaja,  biar
tidak mengganggu pengamatan. Berdua berdiri di atas menara intai setinggi dua belas meter.
Ada  sepuluh  menara  seperti  itu  di  Taman  Nasional  Gunung  Gede,  masing-masing  berjarak
seratus  meter.  Menyeruak  di  tengah-tengah  rimba,  di  atas  kanopi  pepohonan.  Dibangun
dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko. Tempat yang paling tepat untuk mengintai elang jawa.
"Apa?"  Yashinta  menoleh.  Meski  suaranya  juga  pelan,  tapi  intonasinya  tetap  ketus.  Ia  sebal
sekali,  setelah  cuti  dua  minggu  yang  menyenangkan  di  perkebunan,  saat  kembali  ke
basecamp,  siang  ini,  di  jadwal  pembagian  tugas  mengintai  mereka  tertulis:  Goughsky  &
www.rajaebookgratis.com
Yashinta,  menara  9.  Itu  pasti  kerjaan  rekan  peneliti  lokal  yang  bertugas  menyusun  jadwal.
Sengaja  benar.  Lihatlah,  dari  beberapa  menara  di  kejauhan,  beberapa  kolega  peneliti
melambai-lambaikan  tangan.  Tersenyum.  Mengacungkan  jempol.  Terlihat  jelas  wajah  puas
mereka dari teropong.
"Apa kabar bayi-bayinya?" Goughsky tersenyum, mengulang pertanyaan.
"Baik!"  Yashinta  menjawab  pendek.  Menyeringai.  Sejak  kapan  mahkluk  setengah  bule
setengah melayu ini bertanya soal pribadi? Sambil tersenyum pula? Yashinta mendesis sebal
dalam  hati.  Itulah  tabiat  keras  kepala,  jelas-jelas  sejak  dulu  Goughsky  selalu  peduli  dengan
anggota timnya, dan selalu tersenyum saat bicara.
"Pasti salah satu nama anak itu Delima, bukan?" 
"Bagaimana kau tahu?" Yashinta melipat dahinya.
Goughsky tertawa pelan, mengangkat bahu, 
"Yang memberikan nama pasti Laisa, kan? Anak Profesor Dalimunte kalau tidak salah, Intan.
Jadi  mudah  ditebak,  Laisa  sejak  awal  sengaja  memberikan  nama-nama  batu  permata  ke
mereka!"
"Kau tahu dari rnana anak Kak Dali bernama Intan?" Yashinta benar-benar melipat dahinya.
"Ssst!"  Goughsky  menyuruhnya  diam.  Dari  kejauhan  terlihat  seekor  burung  terbang  rendah.
Teropong-teropong terangkat. Juga  milik peneliti  di  menara  lainnya. Bukan. Itu bukan elang
jawa.
"Dari mana kau tahu Kak Laisa? Kak Dali? Intan?" 
Yashinta melepas teropongnya. Bertanya sekali lagi. Menyelidik.
"Loh, bukannya kau sendiri yang sering menceritakan mereka? Keluarga di lembah indah itu?
Sibuk bercerita saat makan malam, makan siang, sarapan. Di mana saja. Membuat yang lain
pekak mendengarnya. Tentu saja aku tahu—"
"Tapi, tapi aku tidak bercerita untukmu." Yashinta memotong, seperti biasa ngotot.
Goughsky hanya tertawa, menatap Yashinta lamat-lamat. Yang bagi Yashinta tatapan itu
sama saja seperti kemarin-kemarin: merendahkan, menilainya anak kecil yang keras kepala.
"Yash,  aku  tidak  tahu  mengapa  kau  sebenci  itu  kepadaku....  Aku  tadi  kan  hanya  bertanya
baik-baik, apa kabar bayi Ikanuri dan Wibisana? Kau tidak perlu ketus, bukan?"
"Siapa pula yang ketus?" Yashinta menyergah.
Goughsky  menghela  nafas.  Sudahlah.  Memasang  teropongnya.  Kembali  menyapu  langit
hutan Gunung Gede. Penelitian mereka sudah separuh jalan. Sudah berhasil menginventarisir
jumlah populasi elang langka tersebut. Bulan depan sudah mulai masuk ke fase lebih penting.
Menyiapkan  system  perlindungan.  Mulai  dari  pemetaan  area  konservasi,  sosialisasi  kepada
penduduk setempat, hingga kemungkinan mengembang biakkan burung itu di luar ekosistem
hutan ini. Membawa beberapa pasangan ke kebun binatang yang lebih maju misalnya.
Hingga sore, tidak ada satupun elang jawa yang teramati dari menara 9. Nihil. Bagaimana
akan  dapat?  Jika  Yashinta  hanya  sibuk  menyumpah-nyumpah  dalam  hati.  Yashinta  ingat
sekali,  pertama  kali  menara  itu  didirikan,  Goughsky  memberikan  latihan  tentang  insting,
bagaimana menemukan elang-elang itu: 
"Kita  tidak  menemukan  mereka....  Merekalah  yang  akan  menemukan  kita....  Berlatihlah
mengenali  objek  dengan  baik.  Mengenali  ciri-ciri  fisik  elang  jawa  dengan  sempurna.
Kesempatan  melihat  mereka  terbang  di  langit  hanya  beberapa  detik,  dan  kita  tidak  mau
menjadi orang paling tolol karena ragu-ragu apakah itu elang jawa atau bukan. Kecuali kalian
bisa  menyuruh  elang  itu  untuk  pose  di  langit  sana,  lantas  kalian  mencocokkannya  dengan
gambar di buku—"
Yang lain sih tertawa, asyik mendengarkan Goughsky dengan tatapan terpesona. Yashinta
hanya  menatap  sebal.  Ia  tidak  perlu  diajari  soal  itu.  Sejak  kecil  ia  terlatih  di  hutan.  Belajar
langsung dari ahlinya. Tahu  apa  coba mahkluk setengah bule ini soal rimba?
www.rajaebookgratis.com
"Tentu  saja  aku  tahu,  aku  dibesarkan  di  hutan  salju  Uzbekistan.  Sendirian.  Yatim  piatu.
Menghadapi  kerasnya  belantara.  Umur  dua  belas  tahun  aku  harus  berkelahi  dengan  beruang
salju raksasa. Memitingnya dengan tangan ini." 
Goughsky tertawa menjelaskan, sambil menunjukkan lengannya yang kekar. Saat itu mereka
sedang  menemukan  jejak  beruang  di  lereng  Gunung  Gede.  Menjawab  pertanyaan  kolega
peneliti lokal yang bertanya itu jejak apa.
Yang  lain  lagi-lagi  terpesona.  Dan  Yashinta  lagi-lagi  menatap  sebal.  Itu  pasti  bohong.
Bule  sialan  ini  sengaja  memancing-mancing  emosinya,  karena  semalam  di  basecamp,
Yashinta  menceritakan  kejadian  Kak  Laisa  dan  tiga  harimau  di  Gunung  Kendeng.  Mahkluk
setengah-setengah  ini  pasti  tidak  mau  kalah  dengannya.  Mengarang  cerita-cerita
menyebalkan itu.
"Hati-hati, Yash! Itu sarang landak, biasanya ada sisa durinya." 
Goughsky sigap menarik lengan Yashinta.
"Aku  tahu!"  Yashinta  yang  melamun,  menjawab  pendek.  Menarik  kakinya  yang  terlanjur
melangkah.
Senja  membungkus  lereng  Gunung  Gede.  Garis  horizon  terlihat  merah.  Kabut  turun
melingkupi.  Dingin.  Mereka  beriringan  berjalan  menuju  basecamp.  Kembali  dari  menara  9.
Yashinta  memperbaiki  syal  di  leher.  Menyibak  belukar  di  sebelahnya.  Menghindari  sarang
landak  itu.  Berdiam  diri  sepanjang  jalan.  Diam-diam  berpikir.  Yang  itu  sebenarnya  ia  tidak
tahu.  Bahkan  Yashinta  tidak  yakin  apakah  Kak  Laisa  bisa  mengenali  sarang  landak  hanya
dengan  melihat  selintas  di  tengah  remang  senja  seperti  ini?  Melirik  ke  belakang  Goughsky
terlihat melangkah santai. Mata birunya terlihat indah di remang senja.
Yashinta buru-buru menoleh ke depan lagi.
Kemajuan proyek konservasi elang jawa mereka sejauh ini menggembirakan. Mr dan Mrs
Yoko  datang  di  bulan  ke  sembilan.  Kunjungan  selama  seminggu.  Langsung  membawa
helikopter  pribadi  mereka.  Pasangan  itu  terlihat  senang  memperhatikan  foto-foto,  peta  area
konservasi, rencana program sosialisasi, dan sebagainya.
"Kemajuan  yang  baik,  very  well....  Awalnya  aku  cemas  kalian  akan  lebih  sering  bertengkar
dibandingkan  mengerjakan  proyek  ini,  my  dear."  Mrs  Yoko  menyentuh  lembut  lengan
Yashinta.
"Tidak. Tentu saja kami tidak sibuk bertengkar. Kalian tahu, Yash ternyata bisa diandalkan....
Ia  bisa  menjadi  sekretaris  proyek  yang  baik.  Ia  pandai  sekali  kalau  urusan  catat-mencatat."
Goughsky yang menjawab. Sambil tertawa.
Yashinta ikut tertawa. 
Dua bulan terakhir, meski ia masih sering bertengkar dengan Goughsky, sering menjawab
ketus, tapi ia mulai terbiasa. Seperti batu yang terkena tetesan air, keras kepalanya mulai bisa
berlubang dengan sabaaaarnya Goughsky. Jadi ia hanya ikut tertawa dengan gurauan pemuda
Uzbek itu. Tidak sibuk mendesis sebal dalam hati.
Dan  itu  bermula  dua  bulan  lalu,  saat  jadwal  pulang  rutin  dua  bulanan  Yashinta  ke
perkebunan  strawberry,  bule  itu  berbaik  hati  mengantarnya  ke  bandara.  Menyerahkan  dua
ukiran kayu sebelum ia melangkah menuju pintu keberangkatan.
"Aku membuatnya sendiri—"
"Tidak  mungkin!" Yashinta  memotong. Bagaimana  mungkin  mahkluk setengah-setengah  ini
bisa  mengukir  kayu  seindah  ini.  Dengan  masing-masing  bergambar  beruang  salju  sedang
bermain.  Pohon-pohon  cemara.  Bukankah  ia  tidak  pernah  melihat  Goughsky  melakukan
kerajinan tangan itu selama di basecamp.
"Aku membuatnya saat kalian masih sibuk mendengkur tidur shubuh-shubuh. Terserah Yash
sajalah. Percaya atau tidak," Goughsky tertawa, mengangkat bahu, 
www.rajaebookgratis.com
"Berikan  ke  Delima  dan  Juwita,  hadiah  dariku.  Dari  paman  setengah-setengahnya....  Kalau
kau  tidak  keberatan,  bisikkan  ke  telinga-telinga  kecil  mereka,  selamat  datang  di  dunia  yang
indah."
Sejak saat  itu, Yashinta sedikit  banyak  menyadari beberapa hal. Cerita-cerita hebat masa
kecil  Goughsky  benar.  Ayahnya  yang  bekerja  di  Siberia,  salah-satu  teknisi  pengeboran
ladang  minyak  di  sana.  Sebelumnya,  ayah  Goughsky  pemah  kerja  di  pengilangan  minyak
Arun,  Aceh,  makanya  menikah  dengan  wanita  Indonesia.  Sayang,  tragedi  badai  salju
menghabisi komplek ladang minyak di Siberia. Meninggalkan Goughsky yang baru berumur
enam  tahun.  Yatim  piatu.  Dibesarkan  kerabat  di  pinggiran  hutan  salju.  Makanya  pemuda
Uzbek  iiu  jauh  lebih  tangguh  dan  tahu  lebih  banyak  tentang  kehidupan  liar  dibandingkan
Yashinta. Cerita soal memiting beruang salju raksasa itu benar adanya.
Fase  sosialisasi  proyek kepada  penduduk lokal  juga membuat Yashinta menyadari sisi
lain  Goughsky.  Pemuda  bule  itu  memang  tidak      sok  akrab,  sok  alim,  dan  sok  sebagainya.
Penduduk  yang  suka  sekali  menangkapi  elang  jawa  itu  jauh  lebih  menyukai  Goughsky
dibandingkan  peneliti  lokal  lainnya.  Mereka  lebih  menurut  dengan  kalimat-kalimat  pemuda
Uzbek  itu.  Yang  meski  saat  memberikan  penyuluhan,  intonasi  melayunya  masih  terdengar
agak ganjil.
Dan  yang  lebih  penting  lagi,  tentu  saja  Yashinta  mulai  menyadari  kalau  mahkluk
setengah-setengahnya itu cukup tampan. Menatap mata birunya....
Jadi sejak itu, Yashinta dan Goughsky mulai terlihat rukun, membuat rekan peneliti lokal
lainnya lebih sering menggoda, 
"Kalian sejak kapan pacaran?" Maka Yashinta akan melotot marah. 
"Apa  kubilang  dulu?  Bertengkar  sekarang,  bersenang-senang  kemudian!"  Kalau  yang  ini,
Goughsky ikutan melempar spidol. Membuat yang lain semakin semangat menggoda.
Seminggu  berlalu,  Mr  dan  Mrs  Yoko  kembali  ke  London  dengan  setumpuk  progress
report,  Yashinta  baru  tahu,  saat  Goughsky  kuliah  di  Belanda,  Mr  dan  Mrs  Yoko-lah  yang
menjadi  sponsor,  sekaligus  menjadi  anak  angkat  pasangan  tersebut.  Jadi  tidak  mungkin
Goughsky sibuk mencari perhatian untuk mendapatkan dana penelitian kepada keluarga kaya
itu.  Justru  sebenarnya,  Goughsky  lah  yang  merekomendasikan  keluarga  Yoko  untuk
mendanai penelitiannya,
Memasuki  bulan-bulan  terakhir  proyek  konservasi  mereka,  kedekatan  Yashinta  dan
Goughsky  sudah  sedemikian  rupa  berubah.  Tidak  ada  lagi  seruan-seruan  sebal.  Teriakan-teriakan  marah.  Jawaban-jawaban  ketus.  Bagaimana  tidak?  Saat  Goughsky  harus  presentasi
ke  London,  Yashinta  justru  uring-uringan  di  basecamp,  Bosan.  Tidak  seru.  Tidak  ada  yang
jahil  dan  mengajaknya  bertengkar.  Selama  dua  minggu  tidak  ada  yang  menatapnya  seperti
anak kecil keras kepala. Tidak ada yang mentertawakannya.
Benar-benar tidak ada. Terasa sepi. 
Ah,  si  bungsu  keluarga  Lembah  Lahambay,  yang  dulu  muka  imut  menggemaskan
miliknya begitu riang  menatap berang-berang  mandi di  sungai,  yang suka  sekali  berlarian di
lereng lembah, akhimya jatuh cinta. Maka tersipu malulah Yashinta saat kolega peneliti lokal
bilang, 
"Gough,  selama  kau  pergi  dua  minggu....  Kau  tahu,  ada  yang  selalu  berdiri  di  menara  9
malam-malam, menatap bulan lamat-lamat, berharap menemukan wajahmu."
Yashinta menimpuk rekan kerjanya dengan sepatu.
 
42
BIDADARI - BIDADARI SURGA
"KAU  ada  di  Four  Seasons  Hotel,  Miss  Headstone.  Kamar  suite  terbaik  yang  kami  miliki.
Aku manajer hotel ini, ada yang bisa kubantu?" 
www.rajaebookgratis.com
Goughsky  nyengir,  menatap  wajah  lebam  Yashinta.  Wajah  yang  mulai  sadar.  Matanya
mengerjap-ngerjap. Menatap sekitar. Ingin tahu. Di mana ia sekarang? Seperti biasa, Si Mata
Biru  nya  yang  duduk  di  sebelah  lebih  dulu  mengendalikan  situasi.  Menjelaskan  sambil
bergurau.
Yashinta  berusaha  duduk.  Sakit.  Semua  bagian  tubuhnya  terasa  sakit.  Tapi  ia  bisa
beranjak  duduk.  Kaki  kirinya  di  gips.  Tulangnya  ternyata  hanya  retak,  tidak  patah.  Luka  di
badannya  sudah  dikeringkan.  Menyisakan  gurat  lebam  membiru  hampir  di  sekujur  tubuh.
Kepalanya di bebat kain, ada dua luka di sana. Jadi rambut panjangnya yang indah tertutupi.
Lima belas menit Goughsky tiba di posko awal, helikopter milik Mr dan Mrs Yoko, yang
sedang  ada  urusan  bisnis  di  Indonesia  juga  tiba.  Pasangan  paruh  baya  itu  kebetulan  sedang
berada  di  sekitar  Gunung  Semeru.  Berbaik  hati  mengirimkan  helikopter.  Jadi  tubuh  pingsan
Yashinta  bisa  segera  dilarikan  ke  rumah  sakit  kota  provinsi  terdekat.  Mendapatkan
pertolongan pertama.
"Kau  sama  sekali tidak terllhat cantik  lagi,  Miss  Headstone." Goughsky  nyengir amat  lebar.
Bahkan tertawa. Membantu Yashinta duduk bersandarkan bantal-bantal.
Yashinta tidak menjawab.Tubuhnya masih mengumpulkan tenaga. Kalau sedikit sehat, ia
otomatis  akan  mendelik,  menyahut  ketus,  pura-pura  marah.  Ia  sedang  membiasakan  diri
menatap  ruang  rawatnya  yang  terang  benderang.  Matanya  silau  setelah  pingsan  dua  puluh
jam. Berjalan menyeret kakinya selama dua belas jam. Kemudian pingsan lagi enam jam. Di
luar sana semburat merah mulai terlihat, Pagi datang menjelang.
"Jam berapa sekarang?"
"05.30, masih sempat untuk shalat shubuh—"
Yashinta  memejamkan  mata.  Mengangguk.  Kepalanya  masih  terasa  nyeri.  Berusaha
mengingat kejadian dua hari terakhir. SMS dari Mamak. Bergegas turun dari puncak Semeru.
Kakinya  yang  menginjak  batuan  getas.  Jatuh,  Menghajar  dahan-dahan.  Entahlah....  ia  lupa.
Yang  Yashinta  ingat  ia  justru  sedang  bermimpi  setelah  itu.  Duduk  seharian  melihat  anak
berang-berang bermain di sungai. Celap-celup. Puas sekali. Membuatnya lupa waktu. Hingga
Kak  Laisa  menepuk  bahunya.  Mengajak  pulang.  Cahaya-cahaya  itu.  Ia  yang  siuman.
Tubuhnya  yang terasa sakit. Kakinya  yang patah.  Mengigit bibir,  berjuang untuk keluar dari
lembah  tempat  ia  jatuh.  Melangkah  tertatih  dengan  bantuan  dua  tongkat  kayu  di  tangan.
Turun. Ia harus bergegas. Kak Laisa menunggu di perkebunan mereka. Kak Laisa?
"Kak Lais?" Yashinta menoleh ke Goughsky.
"Baik.... Kak Lais baik-baik saja. Lima belas menit lalu Profesor Dalimunte menelepon, Kak
Laisa  baik-baik  saja,  Kau  tahu,  saat  Profesor  Dalimunte  menelepon,  tiga  monster  sibuk
menyela,  sibuk  berteriak  kapan  kau  tiba.  Mereka  seperti  lupa  kalau  Wawak  mereka  sedang
sakit keras."
Yashinta tertunduk,  menghela  nafas,  sedih. Bagaimanalah? Dengan gips di kaki, dengan
tubuh lemah seperti ini, bagaimanalah ia bisa segera pulang. Kak Laisa pasti menunggunya....
Kak  Laisa  yang  selalu  ada  ketika  ia  butuh.  Sekarang?  Saat  Kak  Laisa  sakit  keras  dan
membutuhkan adik-adiknya? Tubuh Yashinta bergetar menahan sesak. Ia menangis tertahan.
"Kau  jangan  menangis,  Yash."  Goughsky  menelan  ludah.  Meski  dia  tipikal  pemuda  yang
suka bergurau, Goughsky amat perasa. Tak tahan melihat orang lain menangis. Mengingatkan
ia dengan masa-masa yatimpiatu. Apalagi yang menangis, Miss Headstone tersayangnya ini.
"Aku harus pulang, Gough. Harus segera pulang.... Tapi kaki ini.... Ya Allah—"
"Kau  akan  segera  pulang,  Yash.  Pagi  ini  juga.  Aku  berjanji,  paling  lambat  kita  tiba  di
Lembah Lahambay sebelum siang berakhir" Goughsky berkata mantap.
"Bagaimana? Bagaimana caranya?"
"Kalau  Wawak  sakit  gini,  nggak  asyik!  Kemarin  nggak  ada  yang  nemenin  kita  keliling
perkebunan. Padahal Delima sudah bawa sepeda BMX!" 
 
www.rajaebookgratis.com
Delima, gadis kecil enam tahun itu mengurut kaki kanan Wak Laisa. Mengeluh.
"Iya, Juwita juga sudah bawa sepeda." Juwita, 'saudara kembar'-nya (mereka lahir dihari yang
sama) menimpali. Mengurut kaki kiri Wak Laisa.
"Wawak  sakit  apa  sih?  Sudah  dua  hari  kok  nggak  sembuh-sembuh?"  Delima  bertanya,
menghentikan gerakan tangannya.
Laisa  tersenyum.  Berusaha  memperbaiki  duduknya.  Cie  Hui  membantu,  sekalian
membenahi posisi infus dan belalai plastik.
"Kalian  jangan  banyak tanya,  napa.  Kata dokter tadi,  Wak  Laisa  nggak  boleh  banyak  bicara
dulu."  Intan  yang  duduk  di  samping  Wak  Laisa  dengan  tissue  di  tangan  menyergah.
Menyuruh adik-adiknya diam. Sok mengerti apa yang dokter bilang.
"Yeee.,.. Orang nanya gitu doang. Emang  nggak  boleh!" Delima  mendesis sebal dalam  hati.
Persis  sekali  ulah  Ikanuri  dulu  waktu  kecil.  Bersungut-sungut.  Meneruskan  mengurut  kaki
Wak Laisa.
Mereka  baru  saja  selesai  shalat  shubuh.  Duduk  berkeliling  memenuhi  kamar  Kak  Laisa.
Di  luar  semburat  merah  semakin  terang.  Embun  menggantung  di  buah  strawberry  yang
memerah, ranum. Ikanuri dan Wibisana sudah jauh lebih tenang. Menatap anak-anak mereka
yang sejak tadi sibuk protes.
"Kan  kalau  Wawak  sehat,  harusnya  Wak  Laisa  bisa  ngelanjutin  cerita  sebulan  lalu."  Itu
keluhan pertama Delima. Ia menunggu cerita-cerita itu.
"Kan setelah cerita, Wak Laisa nemenin kita jalan-jalan di lereng, mengambil embun dengan
tangkai rumput. Membuat kristal-kristal di telapak tangan." Itu keluhan kedua Delima.
Tidak  mengerti  soal  kristal-kristal  itu?  Begini,  kalian  mencari  tangkai  rumput  yang
lembut, gagang rumput teki misalnya. Lantas pelan-pelan mengambil embun menggelayut di
daun.  Jangan  sampai  pecah.  Kemudian  diletakkan  di  telapak  tangan.  Membuat  lukisan
dengan kristal embun. Berkilau diterpa cahaya matahai pagi. Saling sombong telapak tangan
siapa yang paling indah.
Nah,  karena  sudah  terlanjur  menjelaskan  bagian  yang  ini,  kalian  juga  berhak  tahu
jawaban  bagaimana  sebenamya  Mamak  mendidik  anak-anaknya  hingga  menjadi  begitu
cerdas dan membanggakan. Tumbuh dengan karakter yang kuat. Ahklak yang baik.
Tentu  saja  semua  itu  hasil  dari  proses  yang  baik.  Tidak  ada  anak-anak  di  dunia  yang
instant  tumbuh  seketika  menjadi  baik.  Masa  kanak-kanak  adalah  masa  'peniru'.  Mereka
memperhatikan,  menilai,  lantas  mengambil  kesimpulan.  Lingkungan,  keluarga,  dan  sekitar
akan  membentuk  watak  mereka.  Celakalah,  kalau  proses  'meniru'  itu  keliru.  Contoh  yang
keliru. Teladan yang salah. Dengan segala keterbatasan lembah dan kehidupan miskin, anak-anak yang keliru meniru justru bisa tumbuh tidak terkendali.
Saat  aku  berkesempatan  mampir  di  lembah  indah  mereka,  saat  bicara  dengan  Mamak
yang usianya hari itu sudah tujuh puluh tahun (meski masih terlihat gagah), aku mengerti satu
hal:  bercerita.  Mamak  tidak  bisa  memberikan  mekanisme  pendidikan  canggih  selain
bercerita.  Keluhan  Delima  pagi  ini  tentang  kelanjutan  cerita  dari  Wawaknya  adalah  warisan
mekanisme belajar Mamak tersebut.
Selepas  shubuh,  meski  penat  karena  dua  jam  memasak  gula  aren  di  dapur,  seusai  shalat
bersama,  mengaji  bersama,  Mamak  akan  menyempatkan  diri  lima  belas  menit  hingga
setengah  jam  bercerita.  Tentang  Nabi-Nabi,  sahabat  Rasul,  tentang  keteladanan  manusia,
tentang  keteladanan  hewan  dan  alam  liar  (dongeng-dongeng),  negeri-negeri  ajaib,  dan
sebagainya.  Dari  situlah  imajinasi  mereka  terbentuk.  Tidak  ada  gambar-gambar,  karena
Mamak  tidak  bisa  membelikan  mereka  buku  cerita.  Juga  tidak  ada  televisi.  Mereka  bisa
melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka.
Dan proses  bercerita  itu dilengkapi  secara utuh dengan teladan.  Kerja keras. Berdisiplin.
Laisa  sejak  umur  dua  belas  tahun,  terbiasa  bangun  jam  tiga  shubuh.  Shalat  malam  bersama
www.rajaebookgratis.com
Mamak, lantas membantu di dapur. Sejak kecil Mamak mengajarkan ritus agama yang indah
kepada mereka. Shalat maiam salah satunya. 
"Lais,  seandainya  kita  bisa  mengukurnya  seperti  timbangan  beras,  shalat  malam  yang  baik
seharga seluruh dunia dan seisinya."
Dengan  teladan  yang  ada  di  depan  mata,  maka  Yashinta  kecil  saat  usianya  menjejak
belasan tahun, tidak perlu disuruh-suruh untuk shalat  malam, gadis kecil  itu  melihat Mamak
dan  Kakak-kakaknya,  maka  otomatis  ia  ikut.  Kebiasaan  yang  terus  ada  hingga  mereka
tumbuh  besar.  Saat  perkebunan  strawberry  memberikan  janji  kehidupan  yang  lebih  baik,
Mamak  dan  Kak  Lais  tentu  saja  tak  perlu  lagi  memasak  gula  aren  selepas  shalat  malam.
Waktu  itulah  yang  sering  digunakan  Kak  Laisa  untuk  berdiri  di  lereng  lembah.  Menatap
hamparan perkebunan, menghabiskan penghujung malam ditemani Dalimunte Bersyukur atas
kehidupan mereka.
Apakah dengan cerita dan teladan itu maka kelakuan ansk-anak bisa dikendalikan? Belum
tentu.  Lihatlah  Ikanuri  dan  Wibisana,  dua  sigung  itu  tetap  saja  nakal  tapi  pemberontakan
masa  kecil  mereka  memang  khas  ulah  anak  kecil  yang  butuh  proses  untuk  mengerti.  Saat
cerita-cerita,  teladan,  berbagai  kejadian  itu  berhasil  memberi  sekali  saja  pengertian,  maka
mereka  akan  berubah.  Seperti  pagi  ini,  jika  ada  Ikanuri,  maka  yang  menjadi  imam  shalat
bukan  Dalimunte.  Ikanuri  jauh  lebih  pandai  mengaji.  Suara  dan  tartil-nya  lebih  baik.  Meski
dialah yang paling bandel belajar mengaji dulu.
"Pagi  ini  biar  Eyang  yang  cerita...."  Suara  Eyang  memutus  wajah-wajah  cemberut  Delima
dan Juwita.
Anak-anak  menoleh. Eyang tersenyum  mendekat. Memperbaiki tudung rambutnya. Naik
ke atas ranjang besar Wak Laisa.
"Horee!"  Delima  berseru  senang.  Eyang  sama  jagonya  dengan  Wak  Laisa  kalau  bercerita.
Jangan  dibandingkan  Abi  mereka.  Tidak  seru.  Kalau  Abi  yang  cerita,  kebanyakan
ngarangnya.
Pagi  itu, saat semburat  matahari  mulai  menerabas  jendela kamar  Kak  Laisa  yang dibuka
lebar-lebar. Menimpa wajah anak-anak. Menimpa wajah Mamak. Menimpa wajah Kak Laisa
yang terlihat begitu damai. Ikut mendengarkan cerita. Pagi itu, saat kabut masih mengambang
di atas hamparan  merah ranum  buah strawberry, Mamak  bercerita tentang: bidadari-bidadari
surga.  Melanjutkan  cerita  Laisa  ke  anak-anak  sebulan  yang  lalu.  Andaikata  di  sini  ada
Yashinta, ia akan senang sekali, itu cerita favoritnya waktu kecil.
Dan  sungguh di  surga ada  bidadari-bidadari  bermata jeli (Al  Waqiah: 22). Pelupuk  mata
bidadari-bidadari  itu  selalu  berkedip-kedip  bagaikan  sayap  burung  indah.  Mereka  baik  lagi
cantik  jelita.  (Ar  Rahman:  70).  "Eyang,  cantikan  mana,  bidadari  atau  Delima?"  Delima
menyela.  Membuat  Kak  Laisa  tertawa,  meski  kemudian  tersengai.  Intan  meraih  tissue,
membersihkan bercak darah. Dulu Yashinta dengan pedenya akan menyela Mamak, 
"Hm.... Pasti tetap lebih cantik Yash, kan?"
Andaikata ada seorang wanita penghuni surga mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi
ruang antara bumi dan langit. Dan niscaya aromanya memenuhi ruang antara keduanya. Dan
sesungguhnya  kerudung  di  atas  kepalanya  lebih  baik  daripada  dunia  seisinya  (Hadits  Al
Bukhari). 
"Wuih?  Keren.  Memangnya  wangi  bidadari  itu  seperti  apa,  Eyang?"  Delima  sibuk  menyela
lagi. 
"Berisik.  Diam  saja  napa,  biar  Eyang  terus  cerita."  Intan  mendelik  galak.  Kak  Laisa  sekali
lagi tertawa kecil. Dulu Yashinta juga suka sekali memotong cerita. 
"Bidadari  itu  kan  untuk  perempuan?  Kalau  untuk  anak  laki  nyebutnya  apa,  Mak?"  Dan
biasanya Ikanuri yang kesal cerita Mamak dipotong terus menjawab asal, 
"Nyebutnya bidadara.... Bidadara-Bidadara Surgi!"
www.rajaebookgratis.com
Tidak  dulu.  Tidak  sekarang.  Kanak-kanak  selalu  memberikan  respon  yang  sama  atas
mekanisme  ini.  Membuat  imajinasi  mereka  terbang,  dan  tanpa  mereka  sadari,  ada
pemahaman arti berbagi, berbuat baik, dan selalu bersyukur yang bisa diselipkan.
Pagi semakin tinggi. Eyang terus bercerita  hingga  lima  belas  menit ke depan.  Kak  Laisa
memejamkan  matanya.  Ia  pagi  ini  benar-benar  merasa  lelah.  Tiga  monster  kecil  ini
memberikan  energi  tambahan  untuk  bertahan  lebih  dari  48  jam.  Tetapi  waktunya  tinggal
sedikit lagi. Hanya menunggu Yash, adiknya tersayang.
Suara  Mamak  berkata  lembut  terngiang  di  telinganya:  bidadari-bidadari  surga,  seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)....
Kak  Laisa  jatuh  tertidur,  dengan  sungging  senyum  dan  satu  kalimat  doa:  Ya  Allah,
jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari surga....
Sementara ratusan kilometer dari arah barat. Helikopter itu melesat dengan cepat.
Sebelum  matahari  tenggelam.  Sebelum  semuanya  benar-benar  terlambat.  Yashinta  harus
tiba di perkebunan strawberry.
 
43
ROMANTISME MATA BIRU    
"ADA yang berubah darimu, Yash!" Kak Laisa memainkan matanya. Menahan tawa.
"Apanya?"
"Kau tidak sibuk lagi — " Muka Kak Laisa terlihat jahil.
Yashinta  menyeringai,  sejak  kapan  cqba  Kak  Laisa  macam  Kak  Ikanuri.  Ikutan
menggodanya.  Mereka  sedang  duduk  di  ruang  depan  rumah  panggung.  Beramai-ramai.
Delima  dan  Juwita  yang  baru  enam  bulan  tertidur  lelap  di  ayunan.  Wulan  dan  Jasmine
sebenarnya  membawa  box  bayi.  Tapi  Mamak  sudah  memasang  dua  ayunan  dari  kain,
disambung  dengan  tali.  Menjuntai  dari  atap  ruang  depan.  Di  dalamnya  diberikan  bantal-bantal  lembut.  Kata  Mamak,  bayi  lebih  senang  tidur  di  ayunan  kain,  dibandingkan  kotak.
Lagipula di lembah, cara-cara pedesaan lebih menyenangkan.
"Sibuk apanya?" Yash  yang  sedang  memangku Intan bingung. Mengangkat bahu. Bukannya
semua terlihat biasa-biasa saja.
"Sudah  sehari  kau  pulang,  tapi  kau  tidak  sibuk  Lagi  bilang  Goughsky  yang  menyebalkan.
Goughsky yang sok tahu. Goughsky yang sok pintar." Kak Laisa tertawa. Menggoda.
Cepat  sekali  muka  Yashinta  memerah.  Seperti  lembayung  senja.  Membuat  Cie  Hui,
Wulan, dan Jasmine ikut tertawa.
"Dia tetap menyebalkan, kok. Tetap sok tahu." 
Yashinta  menukas  cepat.  Berusaha  mengalihkan  perhatian  dan  muka  merah  padam  dengan
memainkan tangan Intan.
"Tetap  memanggilmu,  'Miss  Headstone'?  'Miss  Headstone'!"  Kak  Laisa  menirukan  intonasi
Yashinta selama ini saat mengulang kata-kata ini. Bahkan Mamak ikut tertawa.
"Ada apa  ini?  Ada sesuatu  yang kami tidak tahu?" Ikanuri  yang  baru  melangkah  masuk dari
pintu  depan  bertanya.  Diiringi  Wibisana  dan  Dalimunte.  Mereka  baru  pulang  dari  acara
syukuran kecil di rumah Bang Jogar. Kebetulan lagi di lembah.
"Tidak  ada  apa-apa,  kok!"  Yashinta  menjawab  sebelum  yang  lain  membuka  mulut.  Melotot
kepada Kak Laisa.
"Ya, tidak ada apa-apa.... Hanya bertanya kabar rekan kerja Yash di Gunung Gede. Mahkhluk
setengah-setengah itu, kan Yash?"
Malam  itu  menyenangkan  menggoda Yashinta. Melihat Yash salah tingkah. Berkali-kali
menghindar.  Mengancam  Kak  Laisa  dan  yang  lain  agar  berhenti  bertanya.  Tapi  semakin  ia
rnembantah  dan  menghindar,  semakin  ia  menunjukkan  perasaannya.  Membuat  ruang  depan
rumah panggung dipenuhi tawa. Baru terhenti saat Delima yang tidur di ayunan merengek. 
www.rajaebookgratis.com
"Tuh,  kan,  Pada  berisik,  sih."  Yashinta  buru-buru  melangkah  mendekati  ayunan.  Tangisan
Delima menyelamatkannya.
Esok hari, saat berjalan  bersisian dengan  Kak Laisa  menemani Intan  mengelilingi  lereng
perkebunan.  Berdiri  membiarkan  Intan  yang  sudah  empat  tahun  berjalan  sendiri  tidak  tahu
arah. Memetik buah-buah strawberry. Memenuhi kantong-kantongnya. Kak Laisa memegang
lengan Yashinta lembut.
"Kau menyukainya?"
"Menyukai  apaan sih,  Kak?" Yashinta  yang  segera tahu kemana arah  bicara pura-pura tidak
mengerti.
"Kau menyukai Goughsky?"
Muka  Yashinta  langsung  tersipu.  Wajah  cantik  itu  kebas,  meski  matanya  terlihat  sekali
bercahaya, ditimpa cahaya matahari pagi,
"Kalau  begitu,  apalagi  yang  kau  tunggu?  Umurmu  sudah  33  tahun,  Bahkan  di  bagian  dunia
manapun, kau sudah terhitung 'gadis tua' seperti Kakak!" 
Kak Laisa tersenyum.
Yashinta  tidak  menjawab.  Wajahnya  yang  menjawab.  Semakin  tersipu.  Berusaha
menunduk.
"Akan menyenangkan sekali jika Kakak, Mamak, dan kami semua bisa berkenalan langsung
dengan mahkluk setengah-setengah itu. Ajaklah dia ke lembah ini. Kakak ingin melihat mata
birunya. Apakah itu seindah yang sering kau ceritakan!"
Yashinta  terbatuk  pelan.  Entah  hendak  bilang  apa.  Beruntung  Intan  mendekati  mereka,
berseru, memutus pembicaraan, 
"Tante, Tante, buahnya besal-besal... Kantong Intan sudah penuh semua.... Tante dan Wawak
pegang sepaluh, deh!"
Enam  bulan  kemudian,  akhirnya  Goughsky  ikut  pulang  ke  Lembah  Lahambay.  Si  mata
biru  itu  menyetujui  ide  Kak  Laisa.  Jadi  saat  Yashinta  malu-malu  mengajaknya,  malu-malu
menyampaikan undangan itu, Goughsky mengangguk mantap.
Kabar ikut pulangnya Goughsky ke perkebunan membuat basecamp ramai oleh seruan, 
"Wah,  ada  yang  mau  ketemu  dengan  calon  mertua!"  Goughsky  ikut  tertawa  lebar.  Yashinta
masih  saja  tersipu  malu.  Urusan  mereka  sama  seperti  Dalimunte  dan  Cie  Hui,  atau  Ikanuri-Wibisana  dengan  Wulan-Jasmine.  Mereka  tidak  saling  mengungkapkan  perasaan  secara
langsung.  Tapi  bukankah  perasaan  itu  tidak  selalu  harus  dikatakan?  Cara  menatap,  cara
bertutur sungguh cermin dari isi hati. Lagipula sama seperti kakak-kakaknya, Yashinta tidak
mengenal proses pacaran. Mereka tahu batas-batasnya.
Jadilah  itu  kunjungan  pertama  Goughsky,  kunjungan  yang  ditunggu-tunggu  Kak  Laisa.
Yang celakanya, ternyata justru sekaligus menjadi kunjungan terakhir Goughsky.
Pria Uzbek itu seperti biasa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menjawab
gurauan  Kak  Laisa  dengan  baik.  Membantu  Yashinta  lebih  santai,  yang  mukanya  sepanjang
hari  memerah.  Mengerti  benar  menempatkan  diri  di  hadapan  Mamak,  akrab  dengan  Ikanuri
dan Wibisana. Dan cepat nyambung bicara dengan Dalimunte, 
"Tentu  saja  aku  tahu,  Yash....  Aku  sudah  mengenal  Profesor  Dalimunte  ketika  kuliah  di
Belanda.  Membaca  banyak  penelitiannya....  Yang  aku  tidak  tahu  dan  benar-benar  tidak
menduga selama ini, ternyata Profesor punya adik sekeras kepala kau!" 
Tertawa. Dan sebelum senja tiba, Goughsky sudah menjadi 'paman' yang hebat buat Intan.
Hanya satu yang keliru. Yang membuat kunjungan itu menjadi kacau-balau. Saat berjalan
dengan  Kak  Laisa,  menggendong  Intan  di  bahu,  melewati  jalur-jalur  batangstrawberry.  Saat
Kak  Laisa  bilang  tentang:  apalagi  yang  kalian  tunggu.  Goughsky  mengangguk.  Dia  sudah
mengenal dengan baik keluarga ini dari cerita-cerita Yashinta di basecamp. Dan keluarga itu
juga  sudah  mengenal  baik  dirinya  juga  melalui  cerita-cerita  Yashinta  di  perkebunan  setiap
pulang. Dia menyukai Yashinta, bahkan sejak pandangan pertama di London.
www.rajaebookgratis.com
Goughsky menyetujui ide Kak Laisa, apalagi yang mereka tunggu?
Maka  malam  itu  Goughsky  melakukan  kesalahan  fatal.  Karena  dia  amat  yakin  Yashinta
juga menyukainya. Mereka sudah lebih dari dewasa. Sudah lebih dari siap untuk berkeluarga.
Tanpa  bicara  terlebih  dahulu  dengan  Yashinta,  ketika  mereka  berkumpul  di  ruang  depan
rumah panggung, sambil menyentuh takjim lengan Mamak, Goughsky meminang Yashinta.
Saat Goughsky mengatakan kalimat, 
"Umurku  enam tahun saat  Ayah-Ibu pergi ditelan badai  salju.... Bertahun-tahun  hidup tanpa
keluarga....  Sesak  atas  kerinduan  memiliki  ayah,  ibu,  kakak,  adik,  sebuah  keluarga...  Baru
sehari  di  sini,  tidak  pernah  kubayangkan,  seperti  menemukan  kembali  makna  keluarga  yang
utuh.... Mamak, aku sejak kecil tidak pemah belajar dengan baik arti kasih sayang keluarga....
Malam  ini,  ijinkan  aku  belajar  kata-kata  itu,  ijinkan  aku  menjadi  bagian  dari  keluarga  ini....
Ijinkan... ijinkan aku memperistri Yashinta. Aku sungguh mencintainya...."
Ruang depan itu senyap. Bahkan Intan yang tadi sibuk merengek minta dibuatkan ukiran
beruang  salju  juga  diam.  Mamak  menatap  wajahGoughsky  lamat-lamat.  Lantas  menoleh  ke
arah Yashinta. Kak Laisa menyeka pelupuk matanya, terharu. Cie Hui  menggenggam jemari
Dalimunte.Tersenyum.  Ikanuri  dan  Wibisana  sih  nyengir  lebar,  lumayan,  tapi  masih  saktian
kalimat mereka dulu waktu melamar Wulan dan Jasmine.
Mamak menunggu anggukan dari Yashinta. Menatap Yashinta yang entah mengapa justru
diam seribu bahasa. Sejak dulu, bagi Mamak, urusan perjodohan tergantung anak-anaknya. Ia
tidak melarang, tapi juga tidak menyuruh. Sepanjang calon pasangan mereka berakhlak baik,
bertanggung-jawab,  pandai  membawa  diri,  dan  saling  menyukai,  itu  sudah  cukup.  Sisanya
bisa dicari saat menjalani pernikahan.
Lima  belas  detik  senyap.  Sekarang  semua  menoleh  ke  arah  Yashinta.  Dan  celakanya,
gadis itu mendadak berdiri. Melangkah keluar, melewati pintu depan. Menuruni anak tangga.
Berlarian menuju lereng perkebunan.
"YASH!"  Goughsky  terkesiap,  bangkit  berdiri,  hendak  mengejar.  Bingung.  Tidak  mengerti.
Bagaimanalah jalan cerita berubah jadi seperti ini? Ada apa dengan Miss Headstone-nya?
"Biar.... Biar aku yang menyusulnya!" Kak Laisa menahan lengan Goughsky. Tentu saja Kak
Laisa  tahu  permasalahannya.  Biar  ia  yang  mengajak  bicara  Yashinta.  Goughsky  yang  tidak
terlalu  paham  masalahnya  justru  akan  membuat  semuanya  menjadi  puing  tidak
terselamatkan. Membuat rasa suka itu menjadi kebencian.
Yashinta  keras  kepala.  Gadis  itu  sejak  kecil  amat  keras  kepala.  Sekali  ia  mengambil
keputusan,  maka  butuh  waktu  lama  melunakkannya.  Kak  Laisa  tahu  betul  itu.  Urusan  ini
benar-benar tidak akan mudah seperti Dalimunte, seperti dua sigung nakal itu.
"Kau  menyukainya?"  Kak  Laisa  bertanya  tegas.  Memegang  lengan  Yashinta  yang  duduk
menjeplak di lembabnya tanah.
Bulan sabit seperti digelantungkan menghias langit. Bintang-gemintang. 
Wangi semerbak perkebunan menyergap hidung.Yashinta hanya diam. 
Menyeka matanya yang basah.
"Kau menyukainya atau tidak?" Kak Laisa mendesak.Yashinta tetap diam seribu bahasa.
"Kakak  tahu  sekali  apa  yang  kau  pikirkan,  Yash....  Tahu  sekali....  Apa  yang  dulu  Kakak
sering  bilang?  Kau  tidak  usah  menunggu  Kakak....  Menunggu  sesuatu  yang  mungkin  tidak
akan—"
"Tapi  harusnya  Goughsky  bilang  ke  aku....  Bilang  sebelum  menyampaikannya  ke  Mamak!"
Yashinta memotong.
"Apa  bedanya,  Yash?  Kau  jelas  menyukai  Goughsky.  Bukan  itu  masalahnya,  kan?  Bukan
soal bilang dulu masalahnya hingga kau lari begitu saja dari ruang depan?"
Yashinta diam kembali. Menyeka pipinya.
"Kalau kau  marah  Goughsky tidak  bilang dulu, kau sepatutnya  marah pada  Kakak... Karena
Kakak lah yang memintanya melakukannya segera."
www.rajaebookgratis.com
Kak  Laisa  mendekap  lembut  bahu  adiknya.Menatap  hamparan  perkebunan.  Senyap.
Menyisakan kerlip lampu gudang pengalengan. Ada tiga truk di sana. Berjejer.
"Kau sudah 33 tahun, Yash.... Sudah saatnya menikah—" 
"Aku tidak akan menikah sebelum Kak Lais menikah!" Yashinta memotong. Suaranya serak.
"Kau  tidak  perlu  menunggu  Kakak?  Ya  Allah,  berapa  kali  lagi  Kakak  harus  bilang  hingga
kau akhirnya mengerti?"
"Yash tidak akan menikah...." Gadis itu memotong keras kepala.
"Tidak  ada  yang  tahu  kapan  Kakak  akan  menikah,  Yash.  Tidak  ada  yang  tahu....  Bahkan
mungkin  Kakak  ditakdirkan  tidak  akan  pernah  menikah....  Kau  harusnya  tahu  persis  itu."
Suara  Kak  Laisa  serak.  Menatap  wajah  adiknya  lamat-lamat.  Adiknya  yang  sekarang  mulai
terisak.
Membuat Kak Laisa tertunduk dalam. Menggigit bibir, pelan mendesah ke langit-langit,
"  Ya  Allah,  setelah  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana,  apa  aku  harus  selalu  menanggung
penjelasan  ini  kepada  mereka....  Ya  Allah,  apa  aku  harus  selalu  menjadi  penghalang
pernikahan  adik-adikku....  Lais  sungguh  ihklas  dengan  semua  keterbatasan  ini,  Ya  Allah.
Sungguh,...  Biarlah  seluruh  bukit  dan  seisinya  menjadi  saksi,  Lais  sungguh  ihklas  dengan
tegala  takdirMu....  Tapi  setiap  kali  harus  mengalami  ini,  menjadi  penghalang  kebahagiaan
mereka...." Suara Kak Laisa menghilang di ujungnya. Getir.
Dan  Yashinta  seketika  menangis  tertahan.  Memeluk  Kak  Laisa  erat-erat.  Untuk  pertama
kalinya,  kalimat  seperti  itu  meluncur  dari  mulut  Kak  Laisa.  Kalimat  penjelasan.  Sepenuh
hatinya.  Semua  ini  memang  benar-benar  sederhana  baginya.  Kesendirian.  Rasa  sepi.
Kerinduan.  Semua  itu  benar-benar  sederhana  baginya.  Ia  merasa  cukup  dengan  segalanya....
Lihatlah, malam itu ia justru hanya mengeluh telah menjadi penghalang jalan kebaikan adik-adiknya....
Tetapi      pembicaraan      di      lereng    perkebunan      itu      tidak  berguna.  Meski  tahu  secara
utuh apa yang ada di kepala Kak Laisa, tidak membuat Yashinta berubah pikiran sedikitpun.
Keras  kepala.  Apa  yang  dulu  dibilang  Ikanuri  benar.  Yashinta  belum  mengalami  sendiri
betapa  susahnya  memutuskan  untuk  menikah,  melintas  Kak  Laisa.  Apalagi  dengan  fakta
menikahnya  Yashinta,  maka  sempurna  sudah  Kak  Laisa  dilintas  oleh  seluruh  adik-adiknya.
Itu  sungguh  bukan  keputusan  mudah.  Dengan  semua  yang  telah  dilakukan  Kak  Laisa  demi
mereka. Kak Laisa yang selalu menganggap Yashinta sebagai adik tersayangnya.
Besok  pagi,  Goughsky  yang  mendapatkan  penjelasan  dari  Kak  Laisa  dan  Dalimunte
pulang  lebih  dulu.  Rekan-rekan  peneliti  di  basecamp  urung  menggodanya  saat  tiba.  Wajah
lelah  dan  kusut  Goughsky  menjelaskan  banyak  hal,  Yashinta  tiba  tiga  hari  kemudian.
Langsung  mengemasi  barang-barang.  Memutuskan  keluar  dari  proyek  konservasi.  Lebih
banyak  diam.  Matanya  sembab.  Mereka  berdua  sempat  bicara  sebentar  di  malam  sebelum
kepulangan Yashinta ke Bogor.
"Maafkan  aku  yang  tidak  mengajakmu  bicara  lebih  dulu."  Goughsky  menatap  bulan  yang
mulai penuh.
Yashinta hanya diam. Merapatkan syal di leher. Mengusir rasa dingin di kulit. Juga dingin
di  hati.  Ia  dari  tadi  ingin  sekali  menatap  wajah  si  mata  birunya.  Tapi  mati-matian  menahan
diri.
"Maafkan  aku  yang  tidak  mengerti  situasinya....  Meski  mungkin  aku  tidak  akan  pernah
mengerti, tapi penjelasan Profesor Dalimunte membantu banyak.... Kau mungkin benar, tidak
pantas mendahului Kak Laisa menikah.... Tidak pantas...."
Yashinta tetap diam.
"Yash, aku akan tetap menunggu....  Aku sungguh mencintaimu, entah   bagaimana aku harus
melukiskan perasaan tersebut karena teramat besarnya cinta ini.... "
Yashinta  menggigit  bibir.  Bagaimanalah?  Kalau  saja  ia  tidak  menahan  diri,  dari  tadi  ia
sudah  menghambur  di  pelukan  mahkluk  setengah-setengahnya.  Bilang  betapa  ia  juga  amat
www.rajaebookgratis.com
mencintainya.  Tapi  ia  tidak  akan  pernah  bisa  melintas  Kak  Laisa.  Hubungan  ini  tidak  akan
berhasil.  Jika  mereka  tidak  bisa  bergerak  ke  fase  komitmen,  pernikahan,  maka  lebih  baik  ia
mundur.  Lebih  baik  mereka  saling  menjauh.  Menunggu.  Menunggu  hingga  kapanpun,
Yashinta  tertunduk.  Bagaimanalah  ia  akan  melintas?  Setelah  begitu  banyak  kebaikan  Kak
Laisa?
Kenangan-kenangan itu melintas di kepalanya. Kak Laisa yang menggendongnya pulang
dari jembatan kayu. Tersuruk-suruk sambil menangis, cemas. Kak Laisa yang berteriak-teriak
memanggil Mamak. Gemetar meletakkannya di bale bambu. Berbisik. 
"Kakak  mohon,  bangunlah  Yash"  Kak  Laisa  yang  bahkan  tulus  menukar  nyawanya  demi
kesalamatan adik-adiknya.
Kak Laisa yang mengajarinya tentang alam, 
"Itu kukang, Yash!" Tertawa melihatnya ketakutan saat seekor kukang melompat. 
"Kau  tahu?  Saat  ada  ular  pemangsa  yang  mengancam  sarangnya,  saat  ada  hewan  buas  lain
yang  mengincar  anak-anaknya,  induk  kukang  akan  habis-habisan  mempertahankan  sarang.
Sampai mati. Dan ketika ia mati, sekarat, induk kukang akan mengambil cairan di ketiak kiri
dan kanannya, menjadikannya satu, mengusapkannya ke seluruh tubuh. Jika dua cairan ketiak
kukang  digabungkan,  itu  menjadi  racun  mematikan.  Yang  akan  membunuh  ular  atau
pemangsa  lain  saat  memakan  tubuhnya....  Kau  tahu  apa  gunanya  pengorbanan  itu?  Agar
anak-anaknya tetap selamat. Induk kukang mati bersama dengan pemangsanya!"
Saat itu Yashinta kecil hanya tertawa. Apalagi saat Kak Laisa bilang soal cairan di ketiak.
Tapi saat kuliah di Belanda, bahkan prof esor biologi di sana tidak tahu fakta tentang kukang
tersebut. Juga beberapa reporter senior National Geographic. Hanya orang seperti Kak Laisa,
yang mewarisi kebijakan alam Lembah Lahambay yang tahu. Belajar langsung dari alam liar.
Dan  mungkin  kebijakan  seperti  itulah  yang  dimiliki  Kak  Laisa,  mengorbankan  seluruh
hidupnya demi adik-adiknya. Yashinta menelan ludah.
"Kaubawa  ini,  Yash!"  Goughsky  yang  berdiri  di  sebelahnya  mengulurkan  sesuatu.  Seuntai
kalung, berhiaskan delima.
"Itu  milik  Ibu-ku.  Satu-satunya  yang  tersisa  di  rumah  kami  saat  badai  salju  itu  pergi....  Aku
akan selalu menunggumu... Hingga kapanpun..."
Dan Yashinta sudah menangis terisak. Itu pembicaraan mereka enam bulan lalu.
Enam  bulan  sebelum  SMS  Mamak  terkirimkan.  Yashinta  memutuskan  untuk  memulai
proyek  sendiri.  Konservasi  alap-alap  kawah.  Peregrin.  Pergi  ke  Gunung  Semeru.  Goughsky
juga  berhenti  dari  proyek  konservasi  elang  mereka.  Tidak  kuasa  melihat  jejak  Yashinta  di
mana-mana.  Membuat  Mr  dan  Mrs  Yoko  berteriak-teriak  tidak  mengerti.  Kabar  baiknya
proyek  mereka  sudah  selesai  di  bulan  kedua  belas.  Hanya  tinggal  masa  transisi  sebelum
diserahkan kepada petugas Taman Nasional Gunung Gede.
Kak  Laisa  sejak  pembicaraan  di  lereng  itu  tidak  banyak  lagi  membujuk  Yashinta.  Dia
sudah  amat  lelah.  Kalimat  terakhir  yang  diucapkarmya  di  lereng  waktu  itu  menjelaskan
betapa  lelahnya  Kak  Laisa.  Kanker  paru-paru  nya  sudah  stadium  III.  Semakin  ganas.  Susah
payah  Kak  Laisa  menyembunyikan  penyakit  itu  di  hadapan  adik-adiknya.  Meminum  obat
berkali-lipat  dosis  normal  menjelang  jadwal  pulang  dua  bulanan  mereka.  Ia  selalu  tngin
terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang tahu kalau Kak Laisa bolak-balik ke rumah sakit kota
provinsi.
Tetapi  energi  yang  hebat  itu,  kecintaan  atas  adik-adiknya,  rasa  cukup  dan  syukur  atas
hidup dan kehidupan, akhirnya tidak kuasa mengalahkan fisik yang semakin  lemah. Sebulan
yang  lalu,  ia  terjatuh  di  lereng  perkebunan.  Di  tandu  pulang.  Kak  Laisa  menolak  dirawat  di
rumah sakit, jadi peralatan, dokter, dan suster yang didatangkan dari sana.
Dua hari lalu, setelah bertahan selama seminggu dengan infus dan belalai plastik, SMS itu
terkirimkan. 
 
www.rajaebookgratis.com
"Pulanglah.  Sakit  kakak  kalian  semakin  parah.  Dokter  bilang  mungkin  minggu  depan,
mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
 
44
PERNIKAHAN TERAKHIR
SENJA datang untuk ke sekian kalinya di lembah indah itu.
Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup.
Aku  yang  menerima  SMS  dari  Mamak  Lainuri  dua  hari  lalu,  di  senja  itu  akhirnya  tiba
(sesungguhnya  ada  lima  sms  yang  terkirimkan;  satu  untukku).  Berdiri  sejenak  di  atas  bukit
tertinggi  Lembah  Lahambay.  Memarkir  motor  besarku  di  jalanan.  Jalan  selebar  tiga  meter
yang  sekarang  beraspal  mulus.  Tentu  saja,  bagianku  tidak  terlalu  penting  di  keluarga  ini.
Hanya turis  yang pernah  mampir. Pertama kali  singgah,  begitu terpesona  melihat kehidupan
mereka.  Begitu  terpesona  melihat  lembah  mereka.  Begitu  terpesona  melihat  apa  yang  telah
dilakukan keluarga ini demi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk lembah. Bermalam di
rumah Mamak Lainuri. Dan menjadi sahabat baik keluarga itu.
Turis yang selalu singgah dengan ransel besar di punggung.
Lihatlah,  sore  ini  sempurna  merah.  Langit  terlihat  merah.  Awan-awan  putih  terlihat
memerah. Dari atas bukit ini kalian bisa melihat  kanopi  pepohonan. Hamparan   perkebunan
strawberry sejauh  mata  memandang. Di  batasi oleh  sungai  besar dengan cadas  setinggi  lima
meter itu. Di batasi kawasan hutan konservasi, yang lebat mengelilingi lembah. Seekor elang
melenguh di kejauhan, aku tersenyum, melambaikan tangan. Membalas salam hangatnya,
Dari atas bukit  ini, empat desa  yang terdapat di  lembah  itu terlihat berjejer rapi. Rumah-rumah  semi  permanen  yang  asri.  Seperti  villa-villa  indah.  Satu  dua  lampu  rumah  mereka
mulai menyala. Bersamaan dengan lampu jalanan. Kerlip kuning yang menawan. Suara orang
mengaji  di  surau  terdengar.  Menunggu  saat  adzan  maghrib  setengah  jam  lagi.  Ayat-ayat  itu
terdengar menyenangkan. Seperti mengalir bersama angin lembah yang segar.
Buah  strawberry  terlihat  merah  di  seluruh  tepian  perkebunan,  ranum  menggoda.  Aku
lembut  memetiknya  satu.  Menciumnya  lekat-lekat.  Buah  yang  besar.  Tersenyum.
Memasukkan  buah  itu  ke  saku  jaket.  Nanti  akan  bilang  ke  Mamak  Lainuri,  aku  baru  saja
memetik  satu  buah  strawberry  mereka.  Belum  halal  di  makan  kalau  belum  bilang.  Dan
Mamak sambil tersenyum akan bilang, 
"Kau aneh sekali, Tere.... Selalu hanya memakan satu butir buah strawberry setiap kali datang
ke  sini....  Dan  selalu  saja  merasa  wajib  untuk  bilang  sudah  memetiknya....  Kau  bagian  dari
keluarga ini, anakku..."
Keluarga  yang  menyenangkan.  Meski  mungkin  sore  ini,  suka  atau  tidak  suka,  siap  atau
tidak,  waktu  yang  berputar  akan  mengambil  seseorang,  akan  mengakhiri  kisah  hidupnya.
Sungguh begitulah hidup ini. Datang. Pergi. Senang. Susah. Tidak peduli meski seseorang itu
anggota keluarga yang amat kita cintai. Tidak peduli. Aku menghela nafas panjang. Kembali
menaiki  motor besarku. Menghidupkan  mesin. Menderu. Meski derumnya  lembut, tapi amat
bertenaga.
Tapi  ada  yang  lebih  menderu  lagi.  Lebih  bising.  Aku  menolehkan  kepala  ke  garis
cakrawala,  helikopter  itu  mendekat.  Terbang  rendah  dengan  kecepatan  penuh.  Membawa
anggota terakhir keluarga mereka. Si bungsu dari Lima bersaudara,
Aku  tersenyum  lebar,  lantas  menekan  pedal  gas,  meluncur  menuju  rumah  panggung  itu.
Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika mereka mengijinkan, menuliskan kembali kisah-kisah masa kecil mereka yang indah.
Satu  jam  lalu,  saat  Intan,  Juwita  dan  Delima  duduk  melingkar  di  ranjang  besar  Wak
Laisa.  Menunggui  bersama  yang  lain,  sibuk  bercerita  tentang  sekolah  masing-masing  (Wak
Laisa  yang  meminta  mereka  bercerita).  Sibuk  melaporkan  ponten  masing-masing.  Sibuk
www.rajaebookgratis.com
melaporkan  soal  'Safe  The  Earth'.  Hamster  belang  Intan  tiba-tiba  ikut  loncat  ke  ranjang.
Mengagetkan  yang  lain.  Tertawa.  Tapi  bagi  Laisa  yang  sudah  lelah,  kaget  sekecil  itu
membuatnya tersengal. Peralatan medis berdengking. Grafik hijau itu putus-putus.
Dokter segera mengambil alih urusan.
"RIO  JAHAT!"  Intan  berteriak  sambil  menangis.  Mencengkeram  hamstemya,  bersiap
melemparkannya lewat jendela.
"Jangan,  sayang....  Jangan  dilempar—"  Cie  Hui  berusaha  membujuk,  berusaha  menarik
tangan putrinya,
"Rio  Jahat,  Ummi!  Rio  bikin  Wawak  pingsan!  Intan  benci!"  Gadis  itu  tidak  mendengarkan.
Maka rusuh dokter mengembalikan   kesadaran   Laisa, rusuh pula yang lain membujuk Intan
agar diam, membujuk agar ia meletakkan kembali hamster belangnya.
Setengah  jam  berlalu,  situasi  berangsur-angsur  terkendali,  meski  tetap  tak  sadarkan  diri,
nafas  Kak  Laisa  kembali  normal.  Hamster  belang  itu  juga  urung  dilempar,  terlanjur  loncat
dan  kabur  duluan  saat  Intan  masih  bersikukuh  hendak  menghukumnya.  Juwita  dan  Delima
sekarang  duduk  di  pojok  kamar.  Takut-takut  Mereka  amat  gentar  melihat  Wak  Laisa-nya
yang  mendadak  kejang-kejang.  Melihat  Dalimunte  yang  berteriak  cemas.  Abi  mereka  yang
berlarian mendekat. Mereka bahkan menangis bingung.
Intan ikut bergabung duduk di pojok kamar. Menyeka pipinya yang basah. Masih merasa
amat  bersalah.  Semua  ini  gara-gara  hamster  belang  miliknya.  Berjanji  dalam  hati  akan
menghukumnya besok lusa.
Eyang Lainuri duduk di sebelah ranjang,  membelai  lembut jemari  Kak Laisa  yang  mulai
membiru.  Menatap  wajah  sulungnya  lamat-lamat.  Wajah  yang  tetap  tak  sadarkan  diri.  Usia
Mamak  saat  itu  sudah  tujuh  puluh  sekian,  Mamak  mengerti  hanya  keajaiban  yang  bisa
menyelamatkan Laisa.
Saat  itulah,  helikopter  itu  tiba.  Suara  baling-balingnya  sampai  lebih  dulu.  Menderu.
Lantas  mendarat  di  halaman  gudang  pengalengan.  Empat  ratus  meter  dari  rumah  panggung.
Membuat  Mamak  menoleh.  Siapa?  Itu  suara  apa?  Juga  Cie  Hui,  Wulan,  dan  Jasmine  yang
tidak tahu apa kabar Yashinta selama 48 jam terakhir.
"Itu Yashinta — " 
Dalimunte  berkata  pelan.  Menelan  ludah.  Menghela  nafas  lega.  Akhirnya  adik  bungsu
mereka tiba.
Ikanuri  dan  Wibisana  menuruni  anak  tangga.  Menghidupkan  mobil  modifikasi  mereka.
Meluncur  menjemput  ke  gudang  pengalengan.  Sama  seperti  Dalimunte,  mereka  sudah  tahu
Yashinta akan datang dengan helikopter, diantar Goughsky.
Maka  tidak  seperti  yang  lain,  yang  datang  terburu-buru.  Bergegas  belarian  di  atas  anak
tangga. Menyibak daun pintu. Menerobos kamar. Yashinta datang dengan digendong Ikanuri
dan  Wibisana.  Tertatih-tatih.  Berkali-kali  terhenti.  Goughsky  melipat  kursi  dorongnya.
Membawanya  menaiki  anak  tangga.  Membukanya  lagi  di  beranda  depan.  Yashinta
didudukkan  kembali  di  kursi  roda.  Mata  gadis  itu  sembab,  sejak  dari  rumah  sakit  ia
menangis.  Tidak  sabaran  dengan  kecepatan  maksimal  helikopter.  Mendesah  berkali-kali.
Tidak bisakah helikopter ini terbang lebih cepat. Menatap resah hamparan biru lautan, wajah
Kak Laisa yang terukir di gumpalan awan. Cemas. Takut. Yashinta amat takut.
Kursi dorong itu tiba di daun pintu kamar.
Mamak  bangkit  dari  duduknya.  Tidak  sempat  bertanya  kenapa  Yashinta  datang  dengan
kaki  mengenakan  gips.  Tidak  sempat  melihat  seksama  tubuh  putri  bungsunya  yang  lebam.
Mamak langsung mendekap Yashinta erat-erat. Menangis. Apalagi Yashinta. Terisak sudah.
Menyisakan senyap di kamar Kak Laisa
Mamak membimbing kursi roda Yashinta mendekati ranjang Kak Laisa. 
Dan entah dengan kekuatan apa, Kak Laisa yang pingsan selama satu jam terakhir, pelan
membuka matanya saat Yashinta menyenruh lembut jemari kakaknya,
www.rajaebookgratis.com
"Kak Lais—" Serak Yashinta memanggil kakaknya. 
"Yash? ...." 
"Kak Lais-"
"Yash... Itu Yash?  Kau sudah tiba, Yash?  Kau ti-ba?" Percuma,  meski  membuka  mata, Kak
Laisa  sudah  tidak  bisa  melihat  lagi.    Kesadarannya    sudah    habis.  Matanya  hanya  melihat
gelap.
"Kak  Lais—"  Yashinta  berseru  tertahan.  Gemetar  menciumi  jemari  kakaknya  yang  pendek-pendek. Tidak normal. Jemari yang dulu setiap hari membersihkan gulma, membantu Mamak
memasak gula aren,  merawat satu persatu batang  strawberry. Menciumi tangan  yang  legam,
yang dulu sering terpanggang matahari.
"Mendekat, Yash.... Mendekat kemari...." 
Kak  Laisa  berbisik.  Suaranya  antara  terdengar  dan  tidak.  Dokter  ingin  bilang  ke  Dalimunte
agar Kak Laisa dibiarkan sendiri dulu. Tapi urung. Dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban itu.
Biarlah  Laisa  sempurna  di  kelilingi  orang-orang  yang  amat  dicintainya  dan  mencintainya  di
penghujung waktunya.
Yashinta  mendekatkan  mukanya.  Membiarkan  Kak  Laisa  meraba.  Merasakan  pipi
adiknya yang berlinang air mata. Mengusap kepala adiknya yang terbungkus perban. Melihnt
wajah adiknya dengan ujung-ujung jari.
"Dali....  Di  mana  Dali—"  Kak  Laisa  lemah  memanggil  Dalimunte.  Ia  ingin  mereka  semua
ada di sampingnya sekarang.
"Saya  di  sini,  Kak."  Suara  Dalimunte  parau.  Menyaksikan  Yashinta  menangis  sudah
membuatnya sesak, apalagi saat Kak Laisa memanggilnya pelan. Dalimunte mendekat, duduk
di sebelah Yashinta. 
"Dali di sini, Kak." Meraih tangan Kak Laisa, menyentuhkannya ke wajah.
Kak Laisa tersenyum. Meraba wajah Dalimunte.
"Ikanuri.... Wibisana.... Di mana dua sigung itu?" Kak Laisa berusaha tertawa kecil, meski itu
sama  saja  dengan  keluarnya  bercak  darah  yang  lebih  banyak.  Mamak  mengelapnya  dengan
lembut, tangannya bergetar.
"Ikanuri di sini, Kak." Ikanuri menghambur. Duduk di sebelah Dalimunte. Menciumi tangan
Kak Laisa sambil menangis. 
"Ini,  ini  Wibisana....  Wibisana  di  sini—"  Wibisana  ikut  duduk  di  sebelahnya.  Menyentuh
jemari Kak Laisa.
"Intan.... Juwita.... Delima...."
Intan  menarik  tangan  adik-adiknya  mendekat.  Intan  menyeka  matanya  yang  basah.  Naik  ke
atas ranjang.
Tangan  Kak  Laisa  mengusap  wajah  tiga  monster  kecil  itu.  Juwita  dan  Delima  masih
takut-takut.  Tapi  pemahaman  itu  datang  dengan  cepat.  Mereka  menatap  amat  sedih  wajah
Wawak yang meski matanya terbuka, tapi tidak bisa melihat apa-apa lagi.
"Mamak...." Kak Laisa menciumi tangan Mamak.
Tersenyum. Mamak sudah kehilangan kata-kata. Memperbaiki tudung rambutnya.
"Ya Allah, terima kasih atas segalanya.... Terima kasih...." Kak Laisa mendesah pelan.... 
"Ya  Allah,  Lais  sungguh  ihklas  dengan  segala  keterbatasan  ini,  dengan  segala  takdirmu....
Karena, karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik...."
Nafas Kak Laisa tersengal. Satu dua.
"Yash-"
"Yash di sini, Kak."
Yashinta memegang lembut tangan Kak Laisa.
"Kau pulang bersama si mata biru mu?"
Yashinta mengangguk. Menjawab pelan. Tangisnya mengeras.
www.rajaebookgratis.com
"Menikahlah,  Yash....  Sekarang—"  Kak  Laisa  tersengal.  Nafasnya  benar-benar  tidak
terkendali lagi. 
"Biar,  biar  Kak  Laisa  masih  sempat  melihat  betapa  bahagianya  kau....  Biar,  biar  Kak  Laisa
masih sempat menyaksikan betapa cantiknya mempelai wanita."
Yashinta tersedu. Menciumi jemari kakaknya.
Bagaimanalah ini? Bagaimanalah?
Yashinta  patah-patah  menoleh  ke  Mamak.  Mamak  mengangguk  pelan.  Menoleh  ke
Dalimunte. Dalimunte mengangguk, menyeka hidung. Menoleh ke Ikanuri dan Wibisana, dua
sigung  itu  tidak  memperhatikan,  lebih  sibuk  mengendalikan  perasaan.  Lebih  emosional
dibandingkan yang lain. Dua sigung itu tertunduk menatap wajah Kak Laisa. Terisak.
Menoleh  ke  arah  Goughsky.  Pemuda  Uzbek  itu  mengusap  wajahnya.  Menggigit  bibir
menahan  rasa  sesak  menyaksikan  semua  ini  sejak  masuk  kamar  tadi.  Goughsky  menyeka
matanya.  Lantas  melangkah  mantap,  mendekat.  Menyibak  adik-kakak  yang  duduk  berjejer.
Duduk di sebelah Yashinta.
"Aku akan selalu mencintaimu, Yash." Berbisik, meyakinkan.
Yashinta tertunduk. Menggigit bibir. 
"Menikahlah, Yash—" Kak Laisa tersenyum. Dan Yashinta gemetar mengangguk.
Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar. 
Berpendar-pendar  jingga.  Sungguh  senja  itu  wajah  Kak  Laisa  terlihat  begitu  bahagia.
Mungkin seperti itulah wajah bidadari surga.
Lima  menit  kemudian  pernikahan  itu  dilangsungkan.  Dalimunte  yang  menjadi  wali
pernikahan. Bang Jogar dan salah satu penduduk kampung lainnya menjadi saksi.
Pernikahan terakhir di lembah indah mereka.
Seusai  Goughsky  mengucap  ijab-kabul.  Saat  Yashinta  menangis  tersedu.  Ketika  Mamak
menciumi  kening  bungsunya  memberikan  kecupan  selamat.  Saat  yang  lain  buncah  oleh
perasaan  entahlah.  Semua  perasaan  ini....  Saat  itulah  cahaya  indah  memesona  itu  turun
membungkus  lembah.  Sekali  lagi.  Seperti  sejuta  pelangi  jika  kalian  bisa  melihatnya.  Di
sambut  lenguhan  penguasa  Gunung  Kendeng  yang  terdengar  di  kejauhan.  Kelepak  elang
yang melengking sedih.
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca. 
Menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas  mengambang di atas
ranjang. 
Lembut menjemput.
Kak Laisa tersenyum untuk selamanya. Kembali.
Senja itu, seorang bidadari sudah kembali di tempat terbaiknya
Bergabung dengan bidadari-bidadari surga lainnya.
 
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata
bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan  sayap burung indah. Mereka baik lagi
cantik  jelita.  (Ar  Rahman:  70).  Suara  Mamak  berkata  lembut  saat  kisah  itu  diceritakan
pertama  kali  terngiang  di  langit-langit  ruangan:  bidadari-bidadari  surga,  seolah-olah
adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)....
www.rajaebookgratis.com

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BIDADARI BIDADARI SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang