R I S H T A

7.4K 424 15
                                    

Sudah lewat tengah malam saat Uzumaki Hinata terbangun dengan kaget dan membuat pandangannya berputar.

Matanya segera menyesuaikan diri dengan cahaya temaram sinar bulan yang menyusup melalui sela-sela ventilasi udara.
Sinar lembut itu menimpa wajah suaminya yang tertidur lelap.

Uzumaki Naruto tidur dengan mulut sedikit terbuka, tarikan napasnya yang teratur terasa menenangkan, Hinata terseyum lembut, tanpa dia sadari, secara alami tangannya sudah terulur pada wajah polos yang sangat dicintainya, jarinya dengan lembut membelai pipi tan yang mempunyai tiga garis sebagai tanda lahirnya itu.

"Kau pasti sangat lelah," kata Hinata mengelus rambut kuning suaminya, suara merdunya membuat Hokage kita tersenyum dalam tidurnya.

Hinata bertanya dalam hati sudah berapa lama ia tertidur, dia sudah bertekad menunggu suaminya pulang, dan memberikan kejutan. Ia yakin, Naruto pasti sengaja tidak membangunkannya.

Sebagai Hokage, Naruto sangatlah sibuk, menghabiskan sebagian besar waktu dan dedikasinya untuk kemajuan Konoha dan tentu saja perdamaian dunia ninja.

Hinata sangat bangga dengan pencapaian suaminya walaupun itu berarti kurangnya waktu dan perhatian untuk keluarganya. Hinata bisa memakluminya, namun tidak dengan putra sulung mereka. Boruto merasa tidak mendapat cukup perhatian dan malah membenci Ayahnya, Nanadaime Hokage.

Setelah penyerangan Momoshiki dan Kinshiki Otsutsuki, keaadan berubah membaik, Boruto lebih memahami seberapa besar tanggung jawab yang harus diemban seorang pemimpin desa.

Dua minggu terakhir Naruto disibukkan dengan persiapan peringatan gugurnya para pahlawan perang sekaligus perayaan kemenangan aliansi ninja pada perang dunia ninja ke empat yang membuatnya jarang berada di rumah, ia harus menyesuaikan waktu pelaksanaan semua misi para shinobi agar mereka dapat menghadiri acara tersebut.

Naruto bergerak pelan memperbaiki posisi tidurnya, menggumamkan serangkaian kata-kata tidak jelas. Hinata tersenyum geli saat pendengarannya mengidentifikasi nama penasehat Naruto dan dokumen penting yang harus segera ditandatanganinya. "Sayang... kau mengigaukan nama Shikamaru," suara lembut itu terdengar manja. "Itu membuat ku cemburu."

Hinata terkenang saat suatu malam suaminya pulang dengan wajah lelah dan terus mengomel, terkadang menyalahkan Shikamaru sebagai penyebab tumpukan dokumen yang tiada habisnya. Dan tugasnyalah untuk mempelajari, menulis berbagai perjanjian kerja sama dengan desa lain yang di kerjakannya dari pagi hingga malam.

"Mungkin suatu hari Shikamaru akan menemukan ku mati di kursi Hokage karena stroke, alih-alih di medan perang melawan jutsu berbahaya musuh, misalnya saja Otsutsuki." Hinata tau suaminya bermaksud bercanda, mungkin Naruto merindukan lagi pertarungan bersama sahabatnya Sasuke Uchiha.

"Naruto-kun akan selalu menjadi pahlawan bagi ku, tak perduli sedang bertempur atau sedang membaca," Ibunda Himawari itu tersenyum geli.

Nyonya Hokage yang masih betah memandangi wajah suaminya, mau tak mau tersenyum lebar mengingat cerita menggebu-gebu Sakura tentang perlawanan 'sengit' suaminya pada perang dunia, dengan Oiroke gyaku haremu no jutsu yang mengubah beberapa bunshin Naruto menjadi pria tampan tanpa busana. "Untung saja Sasuke-kun tidak menirunya," Hinata terkenang wajah Nyonya Uchiha yang merah padam.

Diraihnya tangan Naruto, tangan besar dan hangat yang akan selalu menggapai dan melindunginya. Ia meletakkan kepalanya pada dada bidang yang selalu menjadi tempat bersandar dan memberikan rasa aman.

Bibir yang selalu mengucapkan kata-kata penyemangat penuntun jalan ninjanya, bibir yang terasa manis ketika sekarang dia mengecupnya, lembut.

Aroma maskulin yang menguar dari leher suaminya memberikan efek memabukkan, menimbulkan candu. Hinata berjuang mengendalikan diri agar tidak 'menyerang' suaminya, Naruto membutuhkan banyak istrahat sekarang. Sebagai gantinya ia membelai rambut kuning pendek suaminya, mata bulannya memancarkan rasa sayang yang teramat dalam.

"Aku sangat mencintai mu."


"Aku sangat mencintai anak-anak kita." Hinata merasa harus mengatakannya, bila tidak ia akan 'meledak', rasa bahagia dan cinta yang sudah tak tertampung lagi di hatinya.

Hinata merasa tidak akan bisa kembali tidur, kakinya melangkah pelan kemudian membuka lemari tanpa suara, kemudian mengeluarkan syal panjang merah yg dilingkarkan ke lehernya, benang merah takdir mereka.

Sebuah kotak kecil terbungkus warna orange terang dimasukkan ke saku mantel ungu yang dia kenakan, kemudian di kecupnya bibir suaminya. Uzumaki Hinata tersipu membayangkan ciuman pertamanya dengan Naruto yang terjadi bertahun-tahun lampau, namun kenangan itu masih bisa membuat hatinya berdebar.

"Terima kasih sudah terlahir ke dunia ini, selamat ulang tahun Naruto-kun."

Setelah memastikan kedua buah hatinya masih tertidur dengan nyaman, Hinata berjalan pelan menyusuri jalan desa.
Udara dingin bulan Oktober tak menghentikan langkah yang membawanya ke makam para pahlawan Konoha, dalam beberapa jam lagi tempat itu akan dikunjungi semua shinobi dan warga desa Konoha untuk berziarah.

Pandangan mata yang lembut dan sendu menatap dua nisan yang bertuliskan Namikaze Minato dan Uzumaki Kushina. Mertuanya.

"Maafkan aku Ayah, Ibu, mengganggu istrahat kalian di pagi buta."

"Hari ini adalah ulang tahun Naruto, jadi aku datang berkunjung lebih awal."

"Terima kasih Ayah, Ibu, telah membawa Naruto ke dunia ini."

"Aku akan selalu melindunginya, seperti yang ibu lakukan, selalu memastikan kebahagiannya." Kemudian ia menutup mata dan berdoa.

Sekarang dia berada di depan makam Neji Hyuga, bibirnya tersenyum lembut. "Neji-nii, bagaimana kabar mu?"

"Kau terkejut aku datang sepagi ini? Aku datang membagi kebahagiaan kami dengan mu."

"Nii-san... mungkin kau tidak akan menyukai apa yang akan ku katakan, tapi tetap akan ku katakan lagi dan lagi."

"Terima kasih sudah memberi kami kesempatan untuk menikmati kebahagian ini, seandainya saja kau bisa melihatnya."

"Kau pasti tau, aku sangat merindukan mu Neji-nii san."

Setelah mendoakan kebahagian kakak sepupunya, Hinata meninggalkan kompleks pemakaman itu.

***

Bagai sinar bulan yang bergantung pada cahaya matahari
Keberadaan mu sangat berharga

Tbc

R I S H T A  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang