MAN IN BLACK

113 1 0
                                    

MAN IN BLACK

Los Angeles, 10pm.

Januari. Identik dengan musim dingin. Yeah, people call it winter. Sudah hampir dua tahun aku menetap di kota ini, namun tetap saja aku tidak bisa membiasakan diri dengan udara dingin yang selalu menusuk tulang. Persis yang sekarang aku rasakan. Aku seorang mahasiswi asal Indonesia yang sedang mengejar gelar Master dari salah satu universitas bergengsi di Los Angeles. Tidak heran, bukan, mengapa aku tidak menyukai cuaca dingin ini?

Tinggi badanku hanya 160 cm. Mantel hitam dan boots Dr. Marten's berwarna senada yang kupakai saat ini hanya membuatku seakan "tenggelam" dalam pakaianku sendiri. Masa bodoh dengan itu semua. Yang terpenting sekarang, aku tidak mati kedinginan dan dapat meraih gelar Masterku secepatnya. Semoga.

Beberapa saat terdiam dalam perjalanan pulang, aku sadar bahwa aku membutuhkan sedikit kehangatan. Kulangkahkan kakiku menuju sebuah coffee shop di daerah Hewitt Street. Coffee shop langgananku.

"A cup of Caramel Macchiato, please,"ucapku pada waiter.

Sembari menunggu, kudaratkan tubuhku di sebuah kursi dekat jendela dan melipat tanganku di mejanya. Jari telunjukku bergerak mengikuti irama music jazz yang sayup-sayup terdengar di kafe itu. Salah satu lagu favoritku dari Frank Sinatra, Fly Me to The Moon. Bibirku bergerak kecil menyenandungkan beberapa lirik dari lagu lawas tersebut.

Tak lama kemudian, seorang waiter datang menghampiriku dengan satu cangkir Caramel Macchiato. Setelah mengucapkan terima kasih, kutempelkan kedua telapak tanganku di sisi cangkir putih itu. Hangat. Bertolak belakang dengan perasaanku yang dingin dan hampa. Semenjak hidup sendiri di Los Angeles aku menjadi sedikit melankolis. Entah apa alasannya. Rindu keluarga, mungkin? Ah, aku teringat sesuatu. Segera aku mengeluarkan laptopku untuk mencari tiket pulang ke Indonesia bulan Juni mendatang. Summer holiday.

Pergerakanku dalam mengeluarkan benda persegi panjang berwarna putih itu berhenti ketika seorang lelaki dengan pakaian serba hitam melangkah dengan elegan ke dalam coffee shop. Bak dewa yang turun dari langit, pesonanya dapat dengan sempurna menyentuh sanubariku walau dari jarak kurang lebih sepuluh atau dua puluh meter.

"One Americano, please. No sugar,"

Ah, suaranya bulat dan dalam. Bahkan bulu romaku berdiri dibuatnya. Pergerakan pria itu mengunci bola mataku sehingga tidak bisa berpaling. Lelaki dengan sepasang mata elang yang tajam khas Asia, hidung mancung, dan bibir merahnya yang tipis. Rambut hitamnya tertata rapi dan berkilau. Semua itu dikemas menarik didalam wajahnya yang berbentuk oval dan berkulit putih pucat. So Asian. Dari manakah dia? Korea? Jepang? Cina?

Pria itu melangkahkan sepasang kaki jenjangnya ke sebuah meja dan kursi persis didepanku. Kami duduk berhadapan. Oh, tidak. Mengapa detak jantungku mendadak kencang begini? Segera kualihkan pandangan pada minumanku yang belum tersentuh, lalu menyesapnya perlahan.

Pesanan pria itu datang. Tak lama, ia menyesap minumannya. Mata kami pun bertemu pandang. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Suasana tetap bisu. Hanya suara musik yang sayup-sayup terdengar. Masih dari Frank Sinatra, I did it My Way.

Tatapannya tajam mengunci mataku. Seakan menahannya agar tidak mengalihkan pandangan. Sepuluh detik. Suasana masih sama. Dua detik setelahnya, kualihkan pandanganku darinya. Namun tidak dengan pria itu. Aku masih merasakan tatapannya padaku. Hmm... Mencoba untuk pura-pura tidak peduli mungkin solusi terbaik. Aku pun mencoba mengacuhkannya.

Dua puluh menit berlalu, tidak ada yang berubah diantara kami. Aku sibuk dengan laptopku, dan entah apa yang dilakukannya. Aku mematikan laptop dan memberi tegukan terakhir pada caramel macchiato yang mulai dingin setelah memesan tiket yang tadi sempat tertunda. Lalu aku terdiam dengan posisi tangan terlipat di meja. Kepalaku menunduk, tidak sanggup melihat wajah pria itu. Aku terlalu salah tingkah.

Beberapa menit selanjutnya, aku terhanyut dalam pikiranku sendiri. Memoriku mengingat dengan rinci tatapan mengintimidasi pria itu, caranya berjalan, caranya memegang cangkir dengan tangan kiri, dan suaranya. Sepertinya tidak asing. It seems like.... Aku sudah mengenal itu sebelumnya. Namun jika memang kami pernah bertemu, siapa dia? Mengapa aku tidak bisa mengingatnya?

Di tengah pergumulan batinku, aku mendengar suara kursi yang berdecit. Pria itu beranjak pergi. Entah mengapa tubuhku seperti berdiri sendiri dan tanpa sadar aku mengikutinya. Dengan seksama aku ikuti kemana pria itu melangkah. Makin lama, semakin jauh dari tempatku semula berada. Sepertinya ia tidak sadar jika aku ikuti. Namun langkahnya begitu lebar, serasi dengan kedua kakinya yang panjang. Kaki pendekku sangat sulit untuk menyusulnya sehingga beberapa menit setelahnya aku kehilangan jejak.

Kuangkat pergelangan tangan kiriku untuk melihat jam. Sudah pukul sebelas. Aku masih penasaran. Aku yakin kami pernah saling mengenal. Namun, kapan? Dimana? Aku harus mendapat jawaban itu. Kulanjutkan langkahku dengan cepat, menelusuri jalan yang sudah mulai sepi di malam itu. Akan tetapi sosok tinggi dan tegap itu tidak juga aku temukan.

Di tengah langkahku, aku mendadak terhenti. Aku mengingat sesuatu. Caranya berbicara, tatapan tajamnya, cara berjalannya. Bagai puzzle yang akan tersusun, perlahan berbagai potongan memori di ingatanku membentuk suatu flashback.

"Kau tak akan pernah bisa lari dariku,"

Aku terkesiap. Terdiam membeku di tengah malam sembari menyerap semua kejadian yang kembali terputar dalam otakku. Terutama kata-kata itu. Memoriku tentangnya yang sempat terbuang.

Sekarang aku mengingatnya! Aku tahu siapa dia! Satu yang pasti, aku harus berhenti mengikutinya dan berbalik pulang ke rumah dengan cepat. Segera aku berbalik dan berlari untuk pulang. Tidak, aku tidak boleh bertemu dengannya lagi! Tidak sekarang, tidak nanti, tidak sampai kapanpun!

Perjalanan masih lumayan jauh. Aku harus berlari sampai ke daerah yang ramai dan mencari taksi untuk pulang. Ditengah kepanikan, aku merasa kemampuan berlariku meningkat. Tidak biasanya aku kuat berlari selama ini.

Lima menit aku berlari, sudah tampak sebuah perempatan ramai di depanku. Aku tersenyum dan segera mengambil ancang-ancang untuk berlari lebih cepat. Namun aku merasakan sebuah tangan menarik kuat pergelangan tanganku, begitu kuat sehingga dapat menghempaskan tubuhku ke tembok sebuah bangunan di pinggir jalan sepi itu.

Oh, tidak. Dia berhasil mendapatkanku. Pria ini, Lee Soohyuk, tersenyum menyeringai dan mengunci pergerakan tubuhku dengan kedua tangannya yang bertumpu di tembok. Ia mendekatkan wajahnya padaku dan memberikan tatapan yang membuatku tak berkutik. Sama seperti tatapannya pada saat pertemuan kami di coffee shop. Aku tetap menundukkan kepalaku menghindari matanya. Namun ia mengangkat daguku dengan jari telunjuknya sehingga sekarang ia dapat memandangku dengan jelas.

"I found you," bisiknya, disertai dengan seringainya yang mengerikan.

END


MAN IN BLACK (leesoohyuk fanfic)Where stories live. Discover now