Epilog

12 0 0
                                    

Padang rumput membentang sepanjang pinggiran kota, rendah dan kehijauan yang semakin jelas seiring ban mobil kami menuruni lereng.  Sesekali pohon akasia berkelompok mesra menyeruak pandangan tanpa batas. Kulitnya yang coklat memberi kontras seperti noda lumpur di bawah semeruak cahaya matahari. Tak ada yang luar biasa kala itu, hanya lapangan luas yang datar. Di Kejauhan Anak-anak kecil berlarian menyambut langit, tawa mereka terdengar menemani suara angin lembut. Sebagian dari mereka di sana untuk domba, membiarkan gembalaannya bebas mencari makanan, menikmati siang. Di utara sekawanan burung terbang dengan barisan rapi nyaris berbentuk segitiga sempurna.

Semakin jauh jalan membawa, setelah sekian akasia, padang rumput tergantikan keramaian pasar. Terlihat orang-orang tua sibuk dengan pekerjaan mereka di tempat makan, di warung, di klinik sederhana, di toko kelontong kecil, dan toko bahan makanan. Orang bilang kebanyakan isi pasar berasal langsung dari hasil masyarakat kota kecil ini, yaitu ladang di bagian lain padang tadi, serta peternakan di dekat perbatasan timur. Mobil harus melaju dengan pelan melewati pasar ini, karena hampir tak cukup ruang di jalan tanah kecil yang menjadi satu-satunya jalan ke tempat tujuan kami.  Sesekali becak dan kereta yang ditarik kuda berbagi jalan dengan sepeda motor menerjang debu menemani mobil kami, suaranya bercampur baur menjadi semacam simfoni unik.

Tak perlu waktu lama, mobil berhasil menembus ujung pasar. Pemandangan langsung berganti rumah-rumah kayu yang rapi beriringan dengan semakin menyempitnya jalan. Pada beberapa rumah, para wanita menjemur pakaian yang kelihatannya baru saja dicuci. Di antaranya, tampak bangunan kecil menyeruak ingin tampil dengan papan besar bertuliskan nama instansi pemerintahan, orang berjalan keluar dan masuk mengurus segala keperluan terkait dirinya di sana.

Kami tak berhenti karena urusan dengan kepala kelurahan telah diselesaikan dua hari yang lalu melalui telepon. Kali ini kami berjanji untuk bertemu langsung di tempat lain.

Hingga sampai di ujung jalan, sebuah tiang berkarat berdiri rapuh. Pada puncaknya melambai-lambai kain berwarna merah dan putih lusuh karena lama terkena hujan bergantian dengan cahaya matahari. Ada papan yang memberi tanda bahwa bangunan di belakangnya merupakan sekolah menengah atas satu-satunya di daerah ini.

Di sanalah, tepat di sebelah papan tersebut, mobil kami berhenti.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 04, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tiga PagiWhere stories live. Discover now