Brian

126 3 0
                                    

W tau ini gaje:(








Lapangan tenis siang ini rame. Tumben-tumbenan adek kelas pada latihan semua. Anak kelas sepuluh belajar cara megang raket tenis gimana yang bener. Anak kelas sebelas belajar mukul bola yang bener. Dan anak kelas dua belas sebagian ada yang ngajarin kelas sepuluh dan sebagian ada yang ngajarin kelas sebelas. Suara pukulan bola tenis ada dimana-mana. Bola menggelinding saat pukulan tenis seseorang meleset. Bola terbang jauh saat pukulan tenis tepat sasaran. Disini gue diem sambil memegangi raket tenis dan bola tenis yang akan gue pukul. Menimang-nimang apakah bola tenis yang gue pukul ini bakalan tepat atau seperti hari kemaren, bola tenisnya kelapangan sebelah dan mengenai sang pujaan hati gue. Deengan segenap kekuatan dan kepercayaan diri yang gue miliki sekarang, gue yakin pukulan tenis gue nggak bakalan ke lapangan sebelah lagi. Bola gue lempar keatas dan gue pukul bak seorang atlet.

DUEEEEESH!

DUKK!

”Lho bolanya kemana?”
Gue bingung. Perasaan gue mukul bola tenis nya nggak pake tenaga dalem, tapi kenapa jauh banget kelemparnya. Gue berjalan keluar lapangan tenis, untuk memastikan bola tenis yang gue pukul tadi keluar apa nggak. Sambil lihat kanan-kiri, bola tak kunjung gue temukan. Akhirnya gue berenti dipinggir lapangan dan gue kepikiran kejadian yang tadi pagi. Hidup gue kenapa selalu sial kalo soal cowok? Malu abis tadi pagi diketawain sama anak anak yang ada dilorong yang menyaksikan tragedy yang menurut gue paling buruk dalam sejarah gue sekolah disini. Gue harus ngelakuin apalagi Nik, buat lo? Hah


DUG!
DUG!
DUG!

Bola tenis tiba tiba menggelinding tepat kearah kaki gue berdiri. Gue membungkuk dan mengambilnya, saat gue mengenggam bola tenisnya, gue melihat ada sepsangan kaki sedang berdiri didepan gue. akhirnya setelah bangun, gue tau dia siapa. Dia Brian. Temen Niko. Temen Bianca juga. Brian sama populernya kaya Niko, cuma Brian lebih care dan ramah dibanding Niko. Brian juga nggak kalah ganteng kaya Niko. Gue kenal Brian karena dia kakak kelas gue di tenis. Dia juga yang ngajarin gue main tenis waktu gue kelas sepuluh. Orangnya asik, baik dan agak jutek kalo sama orang yang belum dikenalnya. Oh iya, kenapa gue manggil Niko engga ada embel-embel ‘kak’ sedangkan ke Brian ada? Karna gue suka ngeliat kak Brian, dia itu lebih sopan. Niko juga nggak masalah kayaknya nggak gue panggil dengan sebutan ‘kak’.

“Nces, mau jadi kaya Bianca?” tanya Brian sambil tersenyum ke arah gue. Sumpah ya, senyumnya itu loh, adem banget, kaya ubin masjid. Subhanallah. Walaupun Brian ganteng, baik, dan boyfriendable juga, tapi kenapa hati gue nggak pernah mau berpaling dari Niko? Mungkin ini yang dinamakan cinta sejatinya Habibie Ainun.

“Eh, kak Brian! Yaa, abis gue pikir kalo gue jadi kaya Bianca, Niko bakal suka sama gue,” Jawab gue cengengesan dan setengah kaget tiba-tiba Brian nanyain itu ke gue. Dia tau darimana ya? Masa berita tragedi ‘lepas wig’ udah menjuru ke semua kelas? Memalukan. Ugh.

“Hah? Maksud lo, Niko suka sama Bianca?” si Brian malah ikutan kaget. Heran gue, dia kan temen sekelasnya, masa nggak tau? Yaa, walaupun gue nggak pernah liat dia jalan bareng.

“Eh? Kakak ‘kan sekelas sama Niko? Masa nggak tau?” respon gue juga ikutan kaget dan heran. Iyalah kaget, Brian sama Niko kan sekelas, nggak mungkin kan temen-temen kelasan mereka nggak pada ngegosipin berita kalo Niko suka sama Bianca, dan akhirnya Niko ditolak sama Bianca mentah-mentah. Padahal berita ini juga udah populer seantero sekolah. Brian kudet banget ya. ck.

“Eh, sori gue keceplosan! Kakak nggak tau? Tolong rahasiain ini dari Niko ya,” kata gue. kalo Brian nggak tau, berarti ada sesuatu diantara mereka, duh pake acara keceplosan segala lagi.

“oke,” jawab Brian singkat banget, “sayang banget ya, Nces..” tambah Brian, ternyata belom selesai ngomong sambil mandangin gue dengan tatapan…duh gue nggak ngerti tatapan apa itu,

“Eh? Enggak. Gue nggak bakal nyerah! Cinta baru itu kan obat paling mujarab buat patah hati, hahaha.” Jawab gue cengar-cengir riang serta gembira. Saat enak-enak lagi ngobrol sama Brian, tiba-tiba Bianca menghampiri kita berdua.

“Ngomongin apa? Jangan ngobrol terus! Lari diluar lapangan sana,” Perintah Bianca saat melihat gue ngomong sama Brian. Raut mukanya galak abis. Jadi gugup kan gue.

“Siap!” jawab gue tegas bak jendral angkatan sungai. Sebelum gue pergi buat dinas lari diluar lapangan, gue menghampiri Brian dulu sambil bilang,”ini bener-bener rahasia lho!” dan melanjutkan perintah yang dikasih sama Bianca.

Kerjaan gue saat eskul itu ya nggak jauh-jauh dari memukul bola, memungut bola yang lemparannya meleset dan lari diluar lapangan. Kita semua diwajibkan untuk seperti itu dalam jangka beberapa bulan. buat ngelatih fisik. Setelah beberapa bulan nanti akan ada seleksi buat jadi Tim Tenis Putri yang akan ikut latihan. The real latihan. Dan ikut lomba kujuaraan tiap akhir semester. Gue nggak benci lari diluar lapangan dan memungut bola, karena menurut gue itu sehat dan menjaga kebugaran tubuh gue. Gue juga suka lari-lari dilapangan seperti yang gue lakuin sekarang ini, karena dengan begitu, gue akan melewati lapangan tempat latihan tenis putra dan ketemu sama Niko. Hidup ini indah kalo kita menikmati setiap detik yang kita lakukan.

Gue berlari dan terus berlari. Saat sampai di lapangan tenis senior putra, gue menyempatkan diri untuk berhenti dan mencari-cari sang pujaan hati gue. Saat mata kita saling bertemu satu sama lain, gue senyum. Kita saling tatap! Ya ampun gue seneng banget! Itu artinya emang gue berjodoh sama dia!

“halo, Niko,” sapa gue seimut-imutnya. Ah gila emang bener ya, jodoh itu gak kemana.

“Bodoh! Diem lo, terus lari sana!” jawab Niko dingin, sedingin udara di kutub utara. Sambil melengos, dan melanjutkan aktivitasnya kembali. Air susu dibalas dengan air tuba.  Begitulah gue setiap hari.

“Lo bilang apa? Barusan lo bilang suka ya sama gue?!” ledek gue dari luar lapangan, walaupun dia cuekkin gue, tapi gue nggak bakal balas cuekkin dia. Malah gue bersikap konyol setiap kali dia menolak gue, atau apapun itu. Terserah Niko mau bilang apa atas sikap gue ini, I’m try to be myself. And I’m proud of it.

“gue gak ngomong gitu. Dasar pea. Lari sana, nanti dimarahin Bianca lho!” teriak Niko yang udah membelakangi gue.

Walaupun gue setiap hari kaya gini, tapi gue rela, karna menurut gue itu adalah tantangan. Punggung belakangnya bagus. Enak dipandang. Cocok untuk dipeluk. Astagfirullah, Nces! Gue sambil geleng-geleng kepala ngusir pikiran jahaman yang singgah dipikiran gue dan melanjutkan lari gue yang tertunda tadi sambil tersenyum.











NGEHEHEHEEHEH:(

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 08, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Crazy Love GameWhere stories live. Discover now