Gadis Lima Sore

15.2K 2.8K 896
                                    

Setahun yang lalu, aku bertemu seorang perempuan bermantel bulu di sekitaran taman. Rambutnya panjang, kulitnya putih bersih. Duduk dan membaca buku, sambil sesekali mengikik sendirian. Di bulan-bulan berikutnya, aku juga hampir tidak pernah melewatkan seminggu tanpa bertemu secara kebetulan dengannya. Entah itu saat mengantre di kasir supermarket, di stasiun saat menunggu kereta, di kedai kopi waktu hujan, sampai di bandara sewaktu kepulanganku dari New York musim semi tahun lalu.

Kemudian, menjelang kurang lebih tiga bulan yang lalu, aku baru berani mengajaknya bicara saat melihatnya sedang mengantre permen kapas sewaktu aku lari sore. Saat itu dia sedang merengut karena menjadi orang terakhir dalam barisan pembeli permen merah muda itu.

Aku tidak tahu, kalau bicara dengannya ternyata jauh lebih mengasyikkan daripada sekadar memperhatikan dari jauh.

“Namaku adalah jagung bakar. Aku punya teman bernama kentang goreng. Dan saat kau melihat bumbu dapur berada di sebelah kami, itu artinya kami adalah sup sayur,” begitu katanya saat menjelaskan siapa aku, dan siapa dia.

Dia menyebut dirinya jagung bakar, dan menyebutku kentang goreng. Padahal, aku tidak pernah merasa terlihat enak dimakan saat sedang berpantul di depan cermin.

Aku yakin sekali kalau dia bukan bocah remaja yang terlambat puber. Dari penampilannya, kelihatan sekali kalau dia sudah matang. Seleranya berpakaian tidak pernah terlihat berlebihan atau pun tidak sopan. Namun, jangan pernah tanyakan padaku kenapa sikapnya seringkali kekanak-kanakan. Karena aku juga masih belum tahu.

Setelah mengenal perempuan itu, aku jadi tahu kalau ada hal yang lebih beragam warnanya selain pensil-pensil krayon, ada hal yang lebih hangat dibanding segelas teh hijau, serta ada senyum yang bisa lebih menggoda daripada sepuluh tubuh wanita.

Namun sayangnya, perempuan itu kini sedang menatapku cemas. Katanya, kalau dia pulang ke rumah lewat dari pukul lima sore, akan selalu ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi keesokan harinya. Dia sudah memaksa pulang dari sini sejak satu jam yang lalu. Sayangnya, festival payung di kota ini jarang bisa dijumpai. Aku tentu saja tidak mau melewatkan satu hari di tiap dua belas bulannya kali ini.

Dia seperti sudah akan menangis setelah aku tolak ajakannya untuk pulang. Katanya, kalau aku tahu hal apa yang akan terjadi besok, aku pasti ingin cepat-cepat pulang juga.

Aku memang tidak pernah mengerti tentang apa yang perempuan itu bicarakan. Mengenai kejadian besok, celaka, sebab-akibat, sampai tentang tanda-tanda. Yang aku mengerti cuma satu: dia tidak pernah memikirkan sesuatu yang baik. Setahu perempuan itu, apapun yang akan dijumpainya besok hanyalah peristiwa buruk. Dan akan bertambah buruk kalau hari ini dia pulang lewat dari pukul lima sore.

"Ayo pulang," katanya lagi.

Kali ini, lengan kemeja hitam panjangku sudah diremasnya sekuat tenaga. Kemarin-kemarin, aku selalu setuju dengan permintaannya tentang pulang sebelum pukul lima. Dan sekarang? Oh, ayolah, ini baru pukul empat lewat tiga puluh menit. Apalagi, rumahnya cukup terbilang dekat dari festival payung ini. Apa susahnya sih menunggu lima belas menit lagi untuk menyaksikan ribuan payung-payung yang dipasang bergantung.

"Kau tidak pernah mengerti apa yang aku rasakan. Kumohon, ayo pulang. Kau juga harus pulang sekarang juga," katanya dengan suara lebih tinggi.

Entah kenapa, tiba-tiba ada yang berbeda dari nada bicaranya. Seperti ada kilat marah di antara nada cemasnya. Sebelumnya dia belum pernah menaikkan suara ketika sedang bicara denganku. Rasa sukaku padanya tidak lantas mengalihkan penasaranku pada tingkah-tingkah anehnya. Aku juga perlu tahu.

Dia adalah gadis yang selalu antusias saat pagi hari. Dia akan selalu ceria di menjelang siang, dan akan begitu seterusnya sampai sebelum mendekati pukul lima sore. Kurasa, dia memang perempuan krayon yang memiliki banyak warna.

Gadis Lima SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang