Panas siang semakin menguliti tubuh bocah malang itu. Sesekali dihembuskan nafas ke seluruh tubuh. Tak tahan dengan panasnya raja siang yang mungkin ingin bercanda dengannya, dia putuskan untuk membaringkan tubuh kurusnya di atas rerumputan yang sesekali bergoyang menikmati alunan desahan angin dari sela sela reranting pohon. Dan kini dia sudah merasa lebih baik. Ditatapnya langit yang bahagia sekali tampaknya.
"Hai langit, kau bahagia sekali nampaknya. Berbeda denganku dan warga kota, mungkin jika kau tau nasib kami, kau juga akan menangis. Penderitaan datang pada kami 5 menit sekali. Sedih bukan?"
Ya benar saja, belum jau kata-katanya beranjak dari mulut mungilnya itu, senjata api bertuankan ganas menampakkan diri dengan lubang peluru mengarah ke arahnya. Ditatapnya dalam dalam mata prajurit itu, berusaha menerka apa yang terketik dalam pikiran mereka.
Kebisuan sempat melanda beberapa detik, hingga terpecahkan oleh suara berat seorang prajurit. Mengerikan sekali bagi bocah kecil itu setiap kali menatap wajahnya. Hidungnya yang mancung dan besar tapi bengkok dengan alis yang tebal hingga tak ada celah diantara kedua alisnya, ditambah lagi matanya yang tampak merah, sedangkan mulutnya ditutupi masker hitam.
"Hai bocah ingusan!"
Betapa mengerikannya suara itu bagi bocah malang itu.
" Apa warna baju yang dikenakan oleh Mujahidin?", tanya prajurit itu dengan nada yang keras dan menghentak dada.
"Hitam" jawab bocah itu dengan dan polos.
Tak percaya dengan jawabannya, peajurit itu bertanya lagi
"Apa warna baju yang dikenakan mujahidin?", bentaknya sekali lagi
Namun bocah itu masih teguh dengan jawabannya, karena memang jawabannya benar. Mustofa, ayahnya telah bercerita banyak padanya.
Sebelumnya para prajurit Israel memang diserang oleh sekelompok orang berbaju putih yang diduga adalah kelompok Mujahidin.
Mereka terus saja memaksa anak kecil tak bersalah itu untuk menjawab yang sebenarnya. Namu jawaban yang didapatkan sama saja. Jawaban jujur dan polosnya bocah itu membuat mereka semakin kesal