Amran dahulu tak menyadari, bagaimana waktu bisa memberikan jarak yang teramat jauh.
Saat rasa hormat dan harga diri yang tinggi membuat orang menjadi merasa lebih baik dari yang lain. Bagaimana finansial yang berlebih menjadikan orang-orang merasa bisa menjustifikasi bahwa orang di bawahnya salah, tak berguna.
Ia dahulu hanya bocah kecil, yang memiliki gigi ompong juga mengenakan baju bekas kakaknya, yang berteman dengan seorang gadis kecil dengan rambut ekor kuda dan gigi ompong yang sama.
Dahulu tak terasa, yang para bocah pikirkan adalah bermain sampai mereka dipanggil orangtua. Bagaimana status sosial yang memberi jarak antara orangtua mereka tak mereka ketahui dan tak mereka peduli.
Sampai waktu terus berjalan dan batas semu pintar dan bodoh menjembatani dua anak manusia yang dahulu sering tertawa.
"Maaf Amran aku harus belajar dan ngerjain PR buat besok," katanya saat Amran mencoba mengajak untuk bermain seperti dulu lagi. Mulai terasa baginya saat orangtua gadis itu tak menyukai kehadirannya. Saat gadis itu mulai menghindari eksistensinya.
Dan waktu tak pernah berhenti, namun jurang yang memisahkan terasa amat lebar kala ia dan gadis itu tak pernah mengobrol lagi, dan mendapatinya sudah memiliki teman yang 'bersih' dan 'sederajat'.
Amran tahu bahwa semua ini akan terjadi. Saat ia mulai mengerti batas pergaulan yang diciptakan manusia. Yang membedakan antara boleh dan tidak boleh, yang membedakan antara pantas dan tidak pantas. Tapi ada satu yang mengganjal baginya, bagaimana batas-batas itu adalah suatu yang dangkal. Sesuatu yang tak beralasan untuk menjadikan segelintir manusia merasa berada di atas yang lainnya. Entahlah.
Amran berlalu pergi, mencuci tangan yang berlumuran oli.
"Halo Amran," sapa gadis itu suatu hari. Kala Amran baru saja selesai dari pekerjaannya di bengkel. Amran mengangguk, membalas sapaan gadis yang terlihat pulang kuliah itu.
Sudah sekian lama Amran tak berani berharap, terutama untuk yang satu ini. Saat batas siang dan malam, pintar dan bodoh, miskin dan kaya menjadikan tembok pembatas yang amat tinggi untuk dua insan manusia yang memiliki rumah berdampingan.
Amran menyukainya, dan ia tak mungkin mendapatkannya. Satu keyakinan yang terbukti saat gadis itu membawa lelaki di malam hari kepada keluarganya. Amran tak bersedih. Tak punya waktu ia bersedih setelah pekerjaan di pabrik yang menunggu malam ini.
Namun ia tahu bahwa kesetaraan, saling menghargai, dan harmoni hanyalah omong kosong belaka. Manusia membuat batas-batas untuk membuat mereka selalu berada di atas. Dan gadis itu, adalah bidadari yang tak tercapai.
Amran tahu diri, tak mungkin ia mendapatkan seorang bidadari.
16-10-2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Secuil Aksara
Short StoryMungkin dengan secuil aksara, bisa memperlihatkan isi hatimu yang sebenarnya. Cerita kurang dari 500 kata. Cover by @Deviannis