Hari terburuk bagi Juvia.
Gadis itu menghela nafas. Seolah belum puas, langit mulai menumpahkan air matanya, membasahi gaun indah yang sengaja ia pilih untuk hari ini.
Gaun indah yang Juvia pilih untuk kencannya hari ini.
Namun, entah untuk alasan apa, teman kencannya menunda kencan mereka. Juvia tahu pria itu berbohong! Baru saja ia melewati teman kencannya yang sedang berkencan dengan gadis lain.
Dan hujan pun turun membasahi bumi. Walau sudah reda, tetap saja gaun kesayangannya basah.
Juvia menendang— sebut saja itu —genangan air di depannya, tanpa melihat apakah air kotor itu menyiprati orang lain atau tidak. Juvia tidak peduli. Ia sedih, ingin menangis walau tahu air matanya sudah habis.
"Hey! Lihat-lihat!"
Berani sekali orang itu menghardiknya. Juvia mengendikkan kedua bahunya, kembali berjalan mengelilingi taman. Orang-orang mulai bermunculan, ketika matahari sudah menampakkan dirinya lagi. Mereka tampak bahagia, tertawa bersama, bergurau ria, dan lain sebagainya. Sementara Juvia? Ah, ia pikir ia sudah agak baikan karena atmosfer di sekitarnya.
Segerombol gadis remaja melewati dirinya. Betapa Juvia rindu dengan para sahabatnya yang sudah memiliki kehidupan masing-masing. Kini, setelah pindah ke kota ini, Juvia hanya memiliki sepupunya— Gajeel. Anak lelaki itu benar-benar tidak seperti sahabat-sahabatnya dulu! Gajeel itu orang yang membosankan, pelit bicara, dan keras kepala. Sangat tidak seru. Itulah kenapa Juvia kerap kali merasa kesepian. Juvia butuh teman. Melihat gerombolan gadis itu, Juvia merasa iri. Mereka bahagia, dengan es krim di tangan mereka.
Siapa yang makan es krim setelah hujan? Persetan, Juvia makan es krim saat musim dingin.
Penasaran, ia memberanikan diri untuk menghadang salah satu dari mereka dan bertanya.
"Permisi," Juvia bergumam. Seorang gadis berambut biru kobalt menoleh. "Ada yang bisa kubantu?"
"Uh... itu...,"
Satu, dua— lima gadis itu berhenti. Semuanya menatap Juvia, dengan tatapan penasaran. Lucu sekali! Juvia jadi ingin memiliki adik seperti mereka.
"Juvia ingin tahu, dimana kalian membeli es krim itu? Maaf kalau Juvia mengganggu...,"
Seorang gadis dengan rambut merah jambu yang diikat pun memajukan tubuhnya, menyetarakan dirinya dengan gadis berambut kobalt tadi. "Ah! Fullbuster's! Pemiliknya adalah tetangga Wendy, jadi kami mendapatkannya gratis! Gray-san memang yang terbaik!"
Setelah berbincang-bincang sedikit, akhirnya mereka berpisah. Juvia tersenyum, senang telah mengenal sedikit dari banyak orang di kota itu. Salah satunya adalah Wendy— gadis berambut kobalt itu dan Sherria, si penunjuk jalan menuju parlor es krim yang katanya enak tersebut.
Dan sampailah Juvia di depan tempat itu. Letaknya tak jauh dari taman, walau Juvia agak kesusahan berjalan dengan gaun basah yang seperti melekat pada kulitnya. Kepalanya mendongak, menatap bangunan berwarna baby blue, dengan pintu hitam dan bingkai jendela berwarna sama. Tipografi berwarna putih ditempel di jendelanya, kontras dengan warna bingkai jendelanya.
'We serve happiness in the form of something cold! Come and grab yours!'
Juvia tertawa kecil. Ia membuka pintunya. Hatinya menghangat ketika bel berdenting, menandakan seseorang telah memasuki toko itu.
"Selamat datang!"
Seorang perempuan dengan pita putih yang diikat di kepalanya berseru dari balik konter. Juvia mengangkat tangannya, dan segera mencari tempat duduk. Beruntung, kursi yang tersedia terbuat dari kayu. Ia tak perlu khawatir gaunnya yang basah ikut membasahi sofa dan membuatnya lembap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning of The End
Fanfictionawal dari akhir penantian mereka {Collection of FT fanfiction bc WHY NOT?}