Harum kopi menyeruak menusuk indra pembau kala seorang gadis masuk ke sebuah kedai kecil di pinggiran kota. Gadis itu berjalan pelan, lalu duduk di sebuah meja kayu berurukuran sedang yang berada di dekat jendela kedai tersebut. Rintik hujan yang awalnya sangat kecil, kini membesar. Gadis itu merutuki dirinya sendiri, kenapa ia malah pergi ke tempat ini? Bukannya berteduh dibawah halte bus agar ia bisa sekalian pulang?
"Permisi, mau pesan apa mba?" tanya seorang pelayan ramah, sambil menyodorkan daftar menu.
Maura Zahrani Mahendra. Gadis itu menatap daftar menu yang diberikan pelayan, mencari sesuatu yang ia sukai.
"Carramel macchiato," ujarnya, tersenyum.
"Baik. Ditunggu sebentar ya, mba!"
Maura mengangguk pelan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kedai ini cukup diminati banyak orang. Buktinya, walau berada di pinggiran kota, kedai ini ramai pengunjung. Banyak pengunjung dari kalangan anak muda sampai orang dewasa datang ke tempat ini. Entah itu hanya sekedar untuk hangout, atau mungkin pertemuan resmi.
Pelayan tadi datang, membawa nampan berisi pesanan Maura tadi. Ia tersenyum ramah, lalu menyodorkan minuman itu di depan Maura.
"Silahkan, mba!" katanya.
Maura tersenyum simpul. Ia menarik gelas minuman itu mendekat, lalu menyesapnya. Perlahan, tubuhnya mulai menghangat. Mungkin ini efek dari caramel macchiato yang ia minum tadi.
Maura menatap layar ponselnya. Ada sebuah notifikasi yang bertengger di pop-up ponselnya. Itu pesan dari Maurin, adiknya. Maura membuka pesan dari Maurin.
Maurin
| Kakak dmn? Kenapa blm pulang?
Sebentar lagi. Hujan, dek. |
Maura menutup aplikasi pesan, lalu menatap tanggal yang tertera di pop-up ponselnya. Sekarang tangga 2 Februari, tanggal dimana saat itu kebahagiaan Maura terenggut.
1 tahun yang lalu, tanggal 2 Februari. Maura, gadis pintar dari SMA Harapan Nusantara mengikuti lomba Olimpiade Sains Nasional. Gadis itu sudah berlatih sangat keras, dan bersungguh - sungguh. Ia tak mau membuat sekolahnya kecewa, untuk kali kedua. Setiap malam, Maura menghafal, mengerjakan soal - soal latihan yang diberikan gurunya, dan terus mengasah kemampuannya. Tapi, saat hari-h, pikiran Maura tiba - tiba kosong. Semua yang ia hafal selama kurang lebih satu bulan itu menghilang. Maura rasanya mau menangis saat itu.
Saat pengumuman hasil, Maura mendapat peringkat bawah. Nilainya sangat buruk. Maura akhirnya menangis. Gadis itu meminta ayahnya untuk menjemputnya di tempat ia berada sekarang. Tapi setelah menunggu selama kurang lebih satu jam, ayahnya tal kunjung datang. Langit bergemuruh, menandakan hujan akan turun. Maura ketakutan, ia menangis lagi, bersamaan dengan turunnya hujan.
Lima belas menit kemudian, ponselnya berdering. Telfon dari bundanya. Maura menggeser tombol hijau ke samping -mengangkatnya.
"Maura? Kamu dimana? Cepat ke rumah sakit, ayah udah gak ada."
Saat itu juga, lutut Maura lemas bukan main. Ia ambruk dibawah lebatnya hujan. Maura menangis. Tapi airmatanya tak terlihat karena bercampur dengan air hujan. Maura menangis dalam diam. Air mata yang hangat, bercampur dengan air hujan yang dingin. Maura berteriak keras, namun suaranya terendam oleh suara gemuruh. Kebahagiaan Maura terenggut, saat ini juga. Tanggal 2 Februari.
Maura menggeleng, mencoba menghilangkan memori menyedihkan itu. Ia tersenyum, memandangi hujan diluar sana. Maura harus seperti hujan. Walaupun jatuh berkali - kali, tapi hujan tidak pernah berhenti datang ke bumi. Ia terus berusaha, menyuburkan tanah di bumi, walaupun kedatangannya tak diinginkan.
Maura pun harus sama. Ia harus terus mencoba dan mencoba. Tak boleh putus asa. Tak boleh menyerah.
-To Be Continued -
/Bersambung/