Prolog

25 1 0
                                    

"Malam Minggu", merupakan malam indah bagi anak muda jaman sekarang. Malam penuh kenangan masa-masa remaja. Di mana mereka bebas bermain, tertawa, bercanda serta keseruan lainnya bersama teman, keluarga,  terutama kekasih mereka.

Tidak terkecuali juga diriku.

Walaupun bisa dibilang aku ini termasuk JONES atau Jomblo Ngenes, sebutan bagi mereka yang selalu sendiri dan gagal dalam soal asmara. Namun untuk kejadian pada "Malam Minggu" kali ini adalah suatu pengecualian. Pokoknya, hal ini tidak akan pernah terlupakan olehku.

Bagaimana aku mengatakannya, ya? Karena di depanku sekarang, sedang berdiri sesosok gadis cantik dengan senyumnya yang manis. Di bawah sinar lampu taman yang temaram. Dapat kupastikan hanya ada kami berdua di sini. Tempat sepi ditengah-tengah taman kota. Seolah, taman ini tersewa hanya untuk malam minggu kami berdua. Benar-benar cuma kami berdua saja. Begitu romantis, bukan.

Rambut panjangnya terurai halus, berwarna hitam gemerlap memantulkan cahaya lampu. Melambai pelan akibat tiupan angin. Bentuk tubuhnya ramping. Tinggi badan sedikit lebih tinggi dariku. Namun dari kesemua itu, hal yang terpenting adalah ukurannya lumayan, tidak terlalu besar ataupun kecil. Setidaknya mantap untuk telapak tanganku...

...Ehem!

Apakah ini berarti sudah saatnya aku boleh mengucapkan selamat tinggal pada gelar jones ini?

Melihat dirinya menatapku dengan pandangan berubah serius, aku hanya bisa terbengong dibuatnya. 'Gluk.' Aku menelan ludah. Betapa kurasa detak jantungku berdetak kencang.

"Kamu, Faisal Antonio!"

Ya, itu aku.

"Dalam 1 minggu ini kamu harus jatuh cinta atau— "

Sengaja memotong kalimat dengan sedikit jeda, membuatku tidak bisa untuk tidak menahan nafas.

—"Aku akan membunuhmu sekarang juga!"

"..."

Kurasa itu akhir dari kalimat yang ingin dia sampaikan...

Heh!!! Beneran nih?!

"H- hei! Sudah aku bilang, kan. Itu tidak mungkin lagi untukku!"

Tidak puas.

Nampak dari raut wajah, gadis itu seolah menunjukan ketidakpuasan dengan jawabanku.

Tanpa berkata-kata lagi, dia mengambil langkah dan berjalan mendekatiku. Tangan kanannya  terangkat lalu meraih sebuah pena yang ada pada saku seragamnya yang menonjol.

Membuka tutupnya.

Kemudian—

Jlep.

Suatu cairan keluar dari pundak kiriku.

Terasa panas... dan itu berwarna merah.

"A- apa ini, yang ka- kamu lakukan padaku?"

Aku berusaha menahan sakitnya dan hanya bisa terpaku dengan apa yang dilakukan Elizabeth benar-benar diluar bayanganku.

Bibir merah merona bergerak seirama dengan kata-kata yang diucapkan dengan begitu polos.

"Maaf, kesalahanku."

Dia melanjutkan, "Aku sedikit meleset. Soalnya ini baru pertama kalinya aku mencoba menikam seseorang."

Sayang sekali jika gadis ini tidak sedang bercanda. Dia benar-benar mengincar «jantungku».

Kutatap mata seindah berlian itu, tubuhku sedikit gemetaran juga. Emh, maksudku, ya... tentu saja aku bereaksi demikian. Bayangkan jika berada pada posisiku sekarang ini!

Ketika beberapa hari lalu bertemu dengan gadis asing dan dia ingin dekat denganmu. Kemudian mengajakmu jalan di Malam Minggu yang melegenda, dan berakhir seperti ini. Berniat akan membunuhmu dengan ekpresi polos, seperti tanpa merasa dosa sedikit pun.

Gadis ini...

Elizabeth Anastasari.

Yah... aku masih ingat dengan jelas. Hari Rabu. Tepatnya tiga hari yang lalu...

Three Days Before SatnightWhere stories live. Discover now